MasukPOV OFF
Narine menghela napas pelan, antara gugup dan pasrah. Seolah dunia sekitar kehilangan suara.
Langkah mereka beriringan melewati lobi yang kini mendadak sunyi. Ratusan pasang mata memandang. Resepsionis yang biasanya cerewet tiba-tiba menahan napas. Dua karyawan magang yang baru masuk bahkan salah menjatuhkan map ke lantai.
Arkana dan Narine berjalan santai menuju lift.
“Pak Arkana pagi, Pak-Bu Narine” suara gugup dari salah satu staf terdengar lirih, nyaris gemetar.
Arkana hanya mengangguk ringan, tanpa melepaskan tangannya dari pinggang Narine. Senyum tipisnya malah semakin memperjelas situasi ini bukan sekadar kebetulan.
Lift berdenting.
Orang-orang yang menunggu di depan lift sekitar tujuh atau delapan orang langsung menegang begitu pintu terbuka. Ruang di dalamnya cukup sempit, tapi Arkana tetap menarik Narine masuk.
Begitu mereka berdua masuk, orang-orang lain ikut berdesakan masuk juga, menciptakan ruang yang makin sempit. Narine nyaris kehilangan keseimbangan ketika seseorang dari belakang terdorong. Tapi sebelum tubuhnya tergeser, satu lengan kuat melingkari pinggangnya.
Seketika Arkana menarik Narine ke dadanya.
Ia berdiri di belakangnya, satu tangan menahan dinding lift, satu lagi menahan pinggang Narine agar tak tersentuh siapa pun. Tubuhnya menciptakan semacam “lingkar perlindungan” di tengah kerumunan itu.
Narine bisa merasakan napas Arkana di sisi telinganya hangat, dekat, terlalu dekat. Aroma cologne-nya yang lembut bercampur dengan wangi sabun pagi Narine, menimbulkan percikan kecil di dadanya.
“Tenang,” bisik Arkana tanpa suara keras. “Aku gak bakal biarin orang lain nyenggol kamu.”
Narine tak bisa bicara. Hanya jantungnya yang terdengar berdentum keras di kepala. Orang-orang di dalam lift sudah saling pandang, beberapa berpura-pura sibuk dengan ponsel, tapi sudut bibir mereka tak bisa menyembunyikan rasa terkejut.
Lift berhenti di lantai 12. Dua orang keluar. Beberapa lagi menatap keduanya dengan rasa penasaran yang nyaris menyala. Narine berusaha menjauh sedikit, tapi Arkana tak bergeser.
“Pak Arkana” bisiknya. “Mereka semua lihat.”
“Biarkan. Aku juga lihat, dan aku gak suka ada yang nyenggol kamu,” jawab Arkana pelan, namun penuh nada kepemilikan yang membuat Narine makin bingung dengan apa yang ia rasakan.
Lift berdenting lagi lantai 28. Kali ini hanya mereka berdua yang tersisa. Pintu tertutup, dan suasana jadi hening.
Arkana melepaskan pelukannya perlahan, menatap Narine lewat pantulan pintu baja. “Kamu tau? Mereka bakal ngomongin ini seharian.”
“Ya dan aku gak tau apakah itu bagus atau justru tambah parah,” jawab Narine, menatapnya lewat pantulan yang sama.
“Yang penting mereka berhenti ngomong omong kosong soal kamu dan Thor.” Suara Arkana terdengar lebih rendah dari biasanya. “Kalau mereka mau gosip, biar gosipnya tentang sesuatu yang aku kontrol.”
Narine menatapnya lurus kali ini. “Dan aku bagian dari kontrol itu?”
Arkana menatapnya balik dalam, serius, nyaris membuat udara di antara mereka menegang. “Kamu bagian dari hal yang gak bisa aku abaikan lagi.”
Pintu lift terbuka.
Sekejap kemudian, ruangan kantor yang tadinya dipenuhi suara keyboard dan telepon langsung senyap total. Semua mata beralih ke arah dua orang yang baru keluar dari lift.
Arkana berjalan lebih dulu, namun tidak melepaskan tangan Narine. Ia bahkan sempat menatap sekeliling dengan pandangan datar khas bos besar yang tidak peduli pada gunjingan. Tapi efeknya justru luar biasa.
Bisik-bisik bermunculan begitu mereka lewat:
“Gila. Itu Narine kan?”
“Loh bukannya dia kemarin sama Thor?”
“Tapi Pak Arkana gak pernah kayak gitu ke siapa pun loh.”
“Berarti gosip kemarin gak bener dong? Mereka deket banget.”
Maya yang kebetulan baru keluar dari pantry hampir menjatuhkan gelas kopinya. Ia menatap Narine dengan mata membulat, memberi ekspresi what the hell is going on?! tanpa berani bicara keras. Narine hanya menunduk sedikit, pura-pura sibuk dengan ponsel, padahal wajahnya sudah memanas sampai telinga.
Arkana membuka pintu ruangannya dan menoleh sebentar. “Masuk,” katanya datar.
Narine menelan ludah sebelum melangkah masuk. Pintu menutup pelan di belakang mereka, menyisakan kantor yang langsung meledak seperti pasar rumor.
Beberapa menit kemudian, Maya langsung menghampiri meja Narine tapi ruang sekretaris itu kosong. Maya berbisik ke staf lain, “Kalian liat tadi? Arkana ngerangkul pinggang Narine, cuy!”
“Seriusan?!” sahut yang lain dengan suara lebih tinggi. “Gila berarti mereka beneran official?!”
“Entah official atau nggak, tapi itu wow banget sih.”
Dalam waktu kurang dari setengah jam, hampir semua lantai sudah tahu cerita versi masing-masing. Ada yang bilang Arkana sudah go public karena mau tunangan, ada juga yang lebih ekstrem bilang Narine sengaja jadi “peliharaan” bosnya supaya terbebas dari title simpenan.
Sementara itu, di dalam ruang kerja Arkana, suasananya sangat berbeda.
Narine berdiri di depan meja besar dari marmer abu-abu itu, menatap Arkana yang sedang membuka laptopnya seolah tak terjadi apa-apa.
Jantung Narine masih berdetak dengan kencang, gugup dan ia merasakan panas pada pipinya.
Narine bergumam dalam hati apakah sandiwara ini akan membantu nya melewati masalah atau malah menambah masalah baru.
Arkana terdiam beberapa detik sebelum menjawab, “Kamu jangan ngelamun gitu, kesambet nanti"
"Oh ya saya mau bilang dalam permainan ini gak boleh ada yang baper, shall we?"
Ucapan itu membuat Narine tersenyum sinis "Saya gak mungkin baper sama bapak, bapak bukan tipe saya"
Arkana terkekeh dan menghampiri Narine yang masih berdiri di depan pintu itu "Kalaupun ada yang baper, saya pastikan itu kamu bebek" dengan sentilan kecil dibibir Narine.
Dan sebelum Narine sempat protes, tangan Arkana menyentuh pipinya dengan kecupan tipis di bibir mungil Narine.
Narine yang dicium mendadak seperti itu hanya bisa mematung dengan mata melotot.
Arkana tersenyum "Good girl" dan kembali ke kursi kebanggaanya dengan tenang bahkan setelah membuat Narine hampir pingsan.
Happy reading guys Tinggalkan jejak dengan komen dan berikan kritik juga saran ❤️❤️
Arkana menyetir dengan satu tangan di setir, satu lagi bertumpu santai di konsol tengah. Lampu-lampu jalan Jakarta berpendar di kaca mobil, memantul seperti garis-garis cahaya yang bergerak lambat. Narine duduk di kursi penumpang, tubuhnya sedikit menyandar ke pintu, menatap keluar jendela tanpa benar-benar fokus pada apa pun.Hening terlalu lama tidak seperti biasanya. Di saat-saat seperti ini ocehan dari bebek pribadinya itu sangat Arkana rindukan.“Irene itu…” Arkana akhirnya membuka suara, nadanya datar tapi jelas ada sesuatu yang ditahan. “Dia mantan pacar Rajan, dan orang yang sama yang ngebuat aku sama Rajan salah paham.”Narine menoleh. “Hmmm,” jawabnya pelan. “Dia cantik ya pantes kamu sama kak Rajan sampe musuhan gitu, apalagi kayaknya dia deket banget sama keluarga kamu.”Arkana menghembuskan napas pendek, seolah sudah menduga reaksi itu. “Papa mama sama orang tuanya Irene temenan dari dulu. Partner bisnis, sahabat, papa ku udah temenan dari SMA sama papinya Irene.” Rahangn
Setelah kembali dari kantin menyelesaikan makan siang nya, Narine menarik kursinya dengan keras sehingga suara nya memekakkan telinga. “Kamu tuh bener-bener ya, dikantin tadi banyak yang ngomongin kita.” omelnya sambil menyalakan laptop.Arkana menoleh. “Ya gapapa bek, biar mereka tau gimana ugal-ugalan nya kamu sama aku wkwk”“Mereka gak tau aja gimana rewelnya kamu.”“Eh itu apa?" Narine terdistrak oleh sesuatu yang ada di celana Arkana.Arkana menunduk, melirik dirinya sendiri. “Oh ini, tadi ada hewan terus nempel disini jadi kotor gini.”Arkana tersenyum kecil. “Kamu daritadi ternyata merhatiin nya kearah sini. Mau yaaaa, ngakuu.”Narine langsung menoleh tajam. “Aku nggak merhatiin.”“Oh?” Arkana menyandarkan punggung. “Kalo kamu mau bilang aja si sayang, kayak sama siapa aja.”“Orang gila!”“Gila akan cintamu.”“Sumpah ya, konyol banget kamu tuh belajar dari siapa si.” ujar Narine sambil senyum geli, siapa sangka bosnya yang galak itu kini sering menggombal yang alay pula.“Lihat
Pagi itu Narine datang ke kantor dengan ekspresi yang bahkan kopi pahit di tangannya tidak mampu selamatkan. Rambutnya rapi, outfit-nya on point, tapi auranya seperti orang yang baru saja debat panjang sama semesta dan kalah telak.Ia menaruh tas di meja, menyalakan laptop, lalu mendesah panjang.“Pagi, sayang ku” suara Arkana terdengar dari samping, tenang seperti biasa.Narine tidak langsung menoleh. “Pagi bapak.”Arkana duduk di kursinya, membuka tablet. “Bapak banget nih, masa sama pacar bilang nya bapak.”“Ya emang kamu udah bapak-bapak,” Narine akhirnya menoleh. “Bapak dari anak-anak mu, jiaaakkhh.”Narine mendengus. “Konyol banget.”Arkana tertawa senang seolah baru menemukan akar masalah dunia. “Udah gen-z banget kan bek.”Narine melotot. “Genz matamu”“Salah mulu, males.”Mereka hening beberapa detik, hanya suara keyboard dan AC kantor. Tapi jelas, hening itu bukan damai. Lebih seperti dua orang yang sama-sama tahu mereka lagi adu gengsi, tapi terlalu malas buat ngaku."Kita
Saat jam makan siang, Narine berada di pantry mengambil air. Dua rekan perempuan dari departemen lain tiba-tiba muncul dan mulai berbicara dengan Arkana yang sedang membuat kopi. Suara mereka terdengar riang, candaan ringan, kemudian salah satu menyentuh lengan Arkana sambil tertawa.Narine refleks memalingkan wajah, tapi dada tiba-tiba terasa aneh seperti ada yang menusuk pelan dari dalam.Perasaan itu membuatnya kaget. Ia tidak pernah peduli sebelumnya siapa yang dekat dengan Arkana. Tapi sekarang rasanya seperti ada jarak tak terlihat yang berubah menjadi sesuatu yang menyakitkan.Ia buru-buru mengambil air dan pergi tanpa menoleh.Namun ia bisa merasakan tatapan Arkana mengikuti gerakannya.'Duh ini gue ko jadi kayak maling ya, biasa aja deh toh cuman mimpi'****Sore menjelang jam pulang, Narine sengaja membereskan barang-barangnya lebih pelan, berharap Arkana sudah pulang duluan. Tapi ketika ia berjalan keluar, Arkana berdiri dekat lift, seolah menunggu seseorang.“Narine,” pang
Narine hampir mengira sudah berhasil menenangkan diri ketika ia sudah berpakaian rapi, mengambil tas, dan bersiap keluar kamar. Tapi saat ia membuka pintu kamar, Maya sudah berdiri di lorong kecil apartemen dengan rambut acak-acakan, satu tangan memegang laptop, satu tangan lagi sibuk mencari sesuatu di dalam tas kecilnya.“Lo berangkat sekarang kan? Nebeng gue ya,” ucap Maya buru-buru, seolah keputusan itu sudah final dan tidak bisa ditawar lagi.Narine mengerjap pelan. “Hah? masih jaman Nebeng?"“Yaelah jangan pelit-pelit calon adik ipar.” Maya menyelipkan laptop ke tas tote bag-nya. Narine mendengus pelan. “Lo bahkan gak berani natap wajah kak Rajan, so so'an mau jadi ipar gue.”“Makanya gue butuh bantuan lo,” jawab Maya nyaris dramatis, lalu merapikan sedikit rambut bagian depan. “Udah cepet ah, gue takut telat briefing.”Narine menarik napas pelan, sedikit bagian dirinya senang Maya muncul tiba-tiba begini karena setidaknya ia bisa mengalihkan pikirannya dari bayangan Arkana. Ma
POV NARINEAku mengusap dada Arkana. Menyentuh kulitnya yang terasa hangat akibat matahari sore.Pak Arkana menggeram pelan, membuatku sontak tertawa.“Narine....” desisnya.“Yes?” I play innocent.“Stop touching me.”“Why?” Tanyaku.Sekali lagi, Pak Arkana menggeram. “I’m hard.”Sebaris semyum mencuri keluar di wajahku. Aku menunduk untuk bersembunyi dariPak Arkana.“And I’m wet,” balasku, lalu mencium dadanya.Aku bisa merasakan tubuhnya menegang.Pak Arkana meraih daguku lalu menarik wajahku hingga berhadapan dengannya. Tangannyaberada di bagian belakang kepalaku. Dia mendorong kepalaku hingga bibirku mendarat di atasbibirnya. Ciumannya selalu membuatku candu. Aku membuka bibir dan membiarkan lidahnyamenguasaiku. Ciumannya terasa lembut sekaligus menuntut.Pak Arkana mengurai ciuman itu sebelum nafsu menguasai. Matanya berkilat saatmenatapku. Aku bisa merasakan birahi di matanya, karena aku pun merasakan hal yang sama.“Can we go now?” Tanyanya. “I want to see you naked, Narin







