LOGINMalamnya. Apartemen Narine.
"NARINE ALDIRA!!!"
Pintu belum sempat tertutup sempurna, Maya sudah menerobos masuk dengan ekspresi horor. "GILA LU TENANG BANGET DI KANTOR TADI!! GUE SAMPE PENGEN TABOK SATU-SATU KARYAWAN JULID DISITU!!"
"Ck lo bisa gak ngomong nya biasa aja, gak usah teriak teriak"
"ADA YANG BILANGIN GUE GINI, 'Oh kasian ya temen kamu. Baru sebulan kerja udah ketauan jadi pelakor'. SUMPAH PENGEN GUE MASUKIN KE PAPER SHREDDER KEPALANYA."
Narine menghela napas. "Masuk dulu. Jangan mangap di depan pintu kayak mau jual asuransi."
"INI BUKAN WAKTUNYA LU SANTAI."
"Gue nggak santai. Gue cuma nggak panik."
Maya masuk, menjatuhkan tas ke sofa. "Mana Thor?"
"Dia lagi di jalan ke sini."
"GOOD. Gue mau interogasi dia."
"Heh, jangan bikin sepupu gue stress."
"Dia bikin lu difitnah jadi simpenan."
"Itu bukan salah dia."
"Ya tapi fotonya"
Tiba-tiba interkom apartemen berbunyi. Itu Thor.
Thor baru masuk, langsung disambit bantal sofa oleh Maya.
"ELU NIH PENYEBABNYA!!!"
"OWH HEI SABAR SABAR"
"KENAPA LU PELUK NARINE MALAM-MALAM DI PARKIRAN?!"
"Itu efek angel kamera ya anjing!!"
"MASAA!"
"Orang bini gue dalem mobil kok!!"
"ALASAN!!!"
"BENERAN!!"
Narine memijit pelipis. "Udah cukup belum gelutnya?"
Maya dan Thor masih berdebat seperti anak TK rebutan permen. Lalu Thor duduk, lebih serius.
"Oke," katanya menatap Narine, "kita harus cari siapa yang nyebarin."
"Lu tau?"
"Yang bisa dapet foto kita cuma dua orang kantor, atau orang yang ngikutin gue sejak gue pulang dari meeting itu."
"Lu ada masalah kerjaan akhir-akhir ini?" tanya Narine.
Thor berpikir. "Ada satu investor yang gue tolak kemarin. Dia maksa. Nggak gue ambil dealnya."
"Kenapa?"
"F*e-nya gede, tapi project-nya kotor."
"Oke," Maya ikut nimbrung, "jadi kita dealing sama orang yang pake cara licik buat ngejatuhin orang?"
Thor angkat bahu. "Kayaknya begitu."
Maya menggeram. "SIAPA NAMANYA? GUE CARI ALAMATNYA. GUE BAKAR RUMAHNYA."
Thor dan Narine serempak menghela nafas melihat tingkah manusia satu ini.
Thor menatap Narine. "Lu baik-baik aja? Di kantor gimana?"
"Gimana bisa baik-baik aja coba, gosipnya gue sipenan pria beristri"
Thor malah terkekeh geli mendengarnya "Si Rajan tau gak?"
Narine hanya menggelengkan kepala sambil menyenderkan tubuhnya di kursi.
****
POV NARINE
*Thor udah pulang
"Gue beliin es kopi, roti, dan cemilan. Gue juga siap jadi psycho kalo perlu," katanya santai.
"Gue nggak butuh psycho."
"Maksud lo belum butuh psycho. Tapi udah butuh orang yang siap ngamuk buat lo kalau perlu."
Gue buang blazer gue ke kursi. Gue jelepokin diri ke sofa.
"Gue tahu siapa Thor. Orang doang yang nggak punya edukasi yang mikir lo jadi simpenan dia."
"Emang disebarnya ke siapa aja fotonya?"
Maya nggeser HP-nya, nyodorin ke gue. Dan gue nyaris pengen ngelempar HP itu keluar balkon. Karena gue kesel banget, gue gak pelukan dan itu cuma efek angel kamera nya ya Tuhan.
"Gila ya," gue bilang pelan.
"Ini kriminalitas reputasi."
"Mana ada istilah itu?"
"Sekarang ada."
Gue ketawa hambar. Maya serius banget, tapi gaya ngelawak dia memang penyelamat mood.
"Gue laporin nggak ya?" gue nanya lirih.
"Kalau lo laporin, itu perang. Dan di kantor mulai besok, semua orang bakal makin yakin lo guilty. Lo tahu kan mainan orang kantor?"
"Tau."
Maya naruh HP-nya, bersandar, lalu menatap gue.
"Na, lo kuat?"
"Kayaknya."
"Yang bener."
Gue diem. Beberapa detik.
"Gue bukan tipe yang gampang kedistract. Tapi gue jijik diginiin."
"Bagus." Maya ngangguk. "Karena bukan lo yang harus malu. Yang harus malu itu mereka yang percaya gosip murahan."
Gue tarik napas. HP gue tiba-tiba bergetar. Nama yang muncul di layar bikin gue ngucek mata.
Rajan.
"Ya, Tuhan. Serius? Dia nelfon?" Maya melotot.
"Kalau gue angkat jangan teriak-teriak," gue tekan loudspeaker.
Maya langsung memperbaiki posisi duduk kayak mau ikut sidang penting.
Gue angkat panggilannya. "Halo."
"Lu oke?" suara Rajan langsung to the point, dalam dan khawatir.
"Gue hidup."
"Gue lagi luar kota. Baru dapet berita."
"Gue kira lo udah tau duluan malah," gue jawab santai.
"Gue tau lima belas menit lalu dan gue langsung telepon lu. Thor mana?"
"Entahlah, mungkin lagi ngetawain kebodohan orang-orang."
"Gue bakal ke Jakarta besok pagi."
"Nggak us-"
"Gue bilang gue ke Jakarta berarti gue ke Jakarta."
"Serah deh"
Maya melirik gue sambil berbisik, "Gue suka kakak lo."
Gue lempar tatapan membunuh ke Maya.
"Fine," gue jawab ke Rajan. "Tapi jangan bikin heboh. Gue kerja di perusahaan orang."
"Gue nggak sebeda itu sama Thor," Rajan bilang, nada suaranya datar tapi sinis.
"Ya, kalian sepupu. Kalian semua punya bakat nyebelin."
"Gue cabut. Kalo lo butuh sesuatu, telpon gue. Jangan nahan."
Panggilan selesai.
Maya nyeletuk, "Gue udah bilang, Rajan itu tipe suamiable."
"Heh jangan sama Rajan, dia masih gamon sama mantan nya."
"Abang lo tuh udah mah cakep, care lagi"
"Gak butuh gue"
"Tapi kadang orang butuh orang yang bisa gebukin dunia buat dia."
"Gue nggak butuh orang begitu."
Maya cengar. "Yaudah sok kuat aja."
"Tapi Na kalau lo punya pacar sih gak akan seribet ini" lanjut Maya dengan serius.
'Maya kaget gak ya kalau tiba-tiba gue go pub sama pak Arkana, ya meskipun cuma pura-pura'
Maya menyipitkan mata nya curiga,"Jangan bilang lo masih perawan wkwkk"
"Yeuuu pikiran lu jomok mulu, dah ah tidur kita besok ngantor"
Halo guys Chapter besok mulai agak 19+ ya, so buat reader yang belum cukup umur di skip aja. Jangan lupa komen kritik dan sarannya.
Arkana menyetir dengan satu tangan di setir, satu lagi bertumpu santai di konsol tengah. Lampu-lampu jalan Jakarta berpendar di kaca mobil, memantul seperti garis-garis cahaya yang bergerak lambat. Narine duduk di kursi penumpang, tubuhnya sedikit menyandar ke pintu, menatap keluar jendela tanpa benar-benar fokus pada apa pun.Hening terlalu lama tidak seperti biasanya. Di saat-saat seperti ini ocehan dari bebek pribadinya itu sangat Arkana rindukan.“Irene itu…” Arkana akhirnya membuka suara, nadanya datar tapi jelas ada sesuatu yang ditahan. “Dia mantan pacar Rajan, dan orang yang sama yang ngebuat aku sama Rajan salah paham.”Narine menoleh. “Hmmm,” jawabnya pelan. “Dia cantik ya pantes kamu sama kak Rajan sampe musuhan gitu, apalagi kayaknya dia deket banget sama keluarga kamu.”Arkana menghembuskan napas pendek, seolah sudah menduga reaksi itu. “Papa mama sama orang tuanya Irene temenan dari dulu. Partner bisnis, sahabat, papa ku udah temenan dari SMA sama papinya Irene.” Rahangn
Setelah kembali dari kantin menyelesaikan makan siang nya, Narine menarik kursinya dengan keras sehingga suara nya memekakkan telinga. “Kamu tuh bener-bener ya, dikantin tadi banyak yang ngomongin kita.” omelnya sambil menyalakan laptop.Arkana menoleh. “Ya gapapa bek, biar mereka tau gimana ugal-ugalan nya kamu sama aku wkwk”“Mereka gak tau aja gimana rewelnya kamu.”“Eh itu apa?" Narine terdistrak oleh sesuatu yang ada di celana Arkana.Arkana menunduk, melirik dirinya sendiri. “Oh ini, tadi ada hewan terus nempel disini jadi kotor gini.”Arkana tersenyum kecil. “Kamu daritadi ternyata merhatiin nya kearah sini. Mau yaaaa, ngakuu.”Narine langsung menoleh tajam. “Aku nggak merhatiin.”“Oh?” Arkana menyandarkan punggung. “Kalo kamu mau bilang aja si sayang, kayak sama siapa aja.”“Orang gila!”“Gila akan cintamu.”“Sumpah ya, konyol banget kamu tuh belajar dari siapa si.” ujar Narine sambil senyum geli, siapa sangka bosnya yang galak itu kini sering menggombal yang alay pula.“Lihat
Pagi itu Narine datang ke kantor dengan ekspresi yang bahkan kopi pahit di tangannya tidak mampu selamatkan. Rambutnya rapi, outfit-nya on point, tapi auranya seperti orang yang baru saja debat panjang sama semesta dan kalah telak.Ia menaruh tas di meja, menyalakan laptop, lalu mendesah panjang.“Pagi, sayang ku” suara Arkana terdengar dari samping, tenang seperti biasa.Narine tidak langsung menoleh. “Pagi bapak.”Arkana duduk di kursinya, membuka tablet. “Bapak banget nih, masa sama pacar bilang nya bapak.”“Ya emang kamu udah bapak-bapak,” Narine akhirnya menoleh. “Bapak dari anak-anak mu, jiaaakkhh.”Narine mendengus. “Konyol banget.”Arkana tertawa senang seolah baru menemukan akar masalah dunia. “Udah gen-z banget kan bek.”Narine melotot. “Genz matamu”“Salah mulu, males.”Mereka hening beberapa detik, hanya suara keyboard dan AC kantor. Tapi jelas, hening itu bukan damai. Lebih seperti dua orang yang sama-sama tahu mereka lagi adu gengsi, tapi terlalu malas buat ngaku."Kita
Saat jam makan siang, Narine berada di pantry mengambil air. Dua rekan perempuan dari departemen lain tiba-tiba muncul dan mulai berbicara dengan Arkana yang sedang membuat kopi. Suara mereka terdengar riang, candaan ringan, kemudian salah satu menyentuh lengan Arkana sambil tertawa.Narine refleks memalingkan wajah, tapi dada tiba-tiba terasa aneh seperti ada yang menusuk pelan dari dalam.Perasaan itu membuatnya kaget. Ia tidak pernah peduli sebelumnya siapa yang dekat dengan Arkana. Tapi sekarang rasanya seperti ada jarak tak terlihat yang berubah menjadi sesuatu yang menyakitkan.Ia buru-buru mengambil air dan pergi tanpa menoleh.Namun ia bisa merasakan tatapan Arkana mengikuti gerakannya.'Duh ini gue ko jadi kayak maling ya, biasa aja deh toh cuman mimpi'****Sore menjelang jam pulang, Narine sengaja membereskan barang-barangnya lebih pelan, berharap Arkana sudah pulang duluan. Tapi ketika ia berjalan keluar, Arkana berdiri dekat lift, seolah menunggu seseorang.“Narine,” pang
Narine hampir mengira sudah berhasil menenangkan diri ketika ia sudah berpakaian rapi, mengambil tas, dan bersiap keluar kamar. Tapi saat ia membuka pintu kamar, Maya sudah berdiri di lorong kecil apartemen dengan rambut acak-acakan, satu tangan memegang laptop, satu tangan lagi sibuk mencari sesuatu di dalam tas kecilnya.“Lo berangkat sekarang kan? Nebeng gue ya,” ucap Maya buru-buru, seolah keputusan itu sudah final dan tidak bisa ditawar lagi.Narine mengerjap pelan. “Hah? masih jaman Nebeng?"“Yaelah jangan pelit-pelit calon adik ipar.” Maya menyelipkan laptop ke tas tote bag-nya. Narine mendengus pelan. “Lo bahkan gak berani natap wajah kak Rajan, so so'an mau jadi ipar gue.”“Makanya gue butuh bantuan lo,” jawab Maya nyaris dramatis, lalu merapikan sedikit rambut bagian depan. “Udah cepet ah, gue takut telat briefing.”Narine menarik napas pelan, sedikit bagian dirinya senang Maya muncul tiba-tiba begini karena setidaknya ia bisa mengalihkan pikirannya dari bayangan Arkana. Ma
POV NARINEAku mengusap dada Arkana. Menyentuh kulitnya yang terasa hangat akibat matahari sore.Pak Arkana menggeram pelan, membuatku sontak tertawa.“Narine....” desisnya.“Yes?” I play innocent.“Stop touching me.”“Why?” Tanyaku.Sekali lagi, Pak Arkana menggeram. “I’m hard.”Sebaris semyum mencuri keluar di wajahku. Aku menunduk untuk bersembunyi dariPak Arkana.“And I’m wet,” balasku, lalu mencium dadanya.Aku bisa merasakan tubuhnya menegang.Pak Arkana meraih daguku lalu menarik wajahku hingga berhadapan dengannya. Tangannyaberada di bagian belakang kepalaku. Dia mendorong kepalaku hingga bibirku mendarat di atasbibirnya. Ciumannya selalu membuatku candu. Aku membuka bibir dan membiarkan lidahnyamenguasaiku. Ciumannya terasa lembut sekaligus menuntut.Pak Arkana mengurai ciuman itu sebelum nafsu menguasai. Matanya berkilat saatmenatapku. Aku bisa merasakan birahi di matanya, karena aku pun merasakan hal yang sama.“Can we go now?” Tanyanya. “I want to see you naked, Narin







