Share

Chapter 5

Author: nesitara
last update Last Updated: 2025-11-10 14:21:21

Langit Jakarta sudah gelap ketika Karina akhirnya memarkir mobilnya di depan rumah. Lampu-lampu taman menyala lembut, menyorot arsitektur modern rumah dua lantai yang seolah bersinar di antara bangunan lain di kawasan elit Menteng. Rumah ini selalu tampak indah, tapi bagi Karina, keindahannya terasa seperti bingkai yang menahan sesuatu di dalamnya.

Ia menguap kecil sambil mematikan mesin. Hari ini terlalu panjang. Seharian di kampus mengerjakan tugas, berusaha menghindari tatapan dosen yang membuat jantungnya kacau, lalu tenggelam di perpustakaan sampai malam. Sekarang, yang ia inginkan hanya mandi air hangat dan tidur.

“Selamat datang, Non.” salah seorang pegawai rumah menyambutnya.

Begitu membuka pintu, suara tumit sepatunya menggema di lantai marmer. Aroma bunga lili dari vas di meja ruang tamu menyeruak, bercampur dengan wangi rumah yang terlalu steril namun tidak pernah benar-benar menunjukkan kehangatan.

Karina menuruni anak tangga menuju ruang tengah, meletakkan tas di sofa, lalu langsung berjalan ke arah tangga menuju kamarnya. Tapi baru dua langkah, suara berat yang sangat ia kenal menghentikannya.

“Kamu baru pulang jam segini, Karina?”

Suara itu datang dari ruang keluarga. Dalam cahaya lampu yang agak redup, Kamil Yudistira berdiri dengan jas rumah berwarna gelap, masih dengan wajah tegas khas pengusaha besar yang tidak mengenal lelah.

Papi.

Karina berhenti, menoleh sedikit, lalu berusaha tersenyum seadanya. “Iya, Pi. Habis mengerjakan tugas.”

Kamil menatap jam tangannya. “Tugas atau keluyuran tidak jelas? Jam sebelas malam bukan jam wajar untuk mengerjakan tugas, apalagi kamu anak perempuan.”

Kalimat itu terdengar seperti sindiran, tapi sudah terlalu sering ia dengar untuk diambil hati. “Papi cek aja email aku sendiri. Aku beneran baru kirim tugas itu beberapa jam lalu.”

“Dasar anak bandel, ada aja jawabannya,” omel Kamil. Ia duduk di kursi ruang tamu, menyilangkan kaki, lalu menatap anaknya dengan tatapan khasnya yang datar tapi mengintimidasi. Karina tahu ayahnya tidak suka jika ditentang. 

“Ada acara lusa nanti. Peresmian gedung salah satu partner kita di proyek properti Batavia Hills. Kamu harus ikut.”

Karina mengerutkan kening. “Hah? Acara siapa?”

“Pak Adi Gunawan. Kamu tahu, proyek yang akan kamu ambil alih setelah lulus nanti.”

Karina tertawa pendek, tidak segan menunjukkan lelah dan ketidakpeduliannya. “Papi, aku belum lulus, bahkan belum mengerjakan skripsi. Aku belum ambil alih apa-apa.”

“Itu justru alasan kamu harus mulai tampil,” sahut Kamil cepat. “Orang-orang harus tahu siapa penerus Yudistira Group berikutnya.”

Karina mendengus. “Papi yakin mau memberikan perusahaan keluarga ke aku? Papi sendiri juga kelihatannya nggak yakin.”

“Bukan urusan yakin atau tidak yakin. Kamu satu-satunya anak di keluarga ini. Mana mungkin Papi berikan perusahaan keluarga pada orang lain. Jadi kamu harus mulai membiasakan diri menjadi wajah perusahaan.” Nada Kamil tidak memberi ruang tawar-menawar.

Tapi Karina tetap mencoba. “Pi, aku capek banget. Aku bahkan belum tidur cukup dua hari ini. Aku cuma mau istirahat.”

“Kamu pikir di dunia ini cuma kamu aja yang capek?” Kamil menatapnya tajam. “Kamu pikir hidup ini permainan, Karina? Semua yang kamu nikmati sekarang, pendidikan, kenyamanan, reputasi keluarga, itu bukan datang begitu saja. Ada tanggung jawab di baliknya. Sebaiknya kamu mulai pelajari dari sekarang, bukan terus bermain-main.”

“Belajar jadi robot maksudnya?” jawab Karina cepat, suara mulai meninggi. “Aku nggak mau datang ke pesta orang yang bahkan nggak aku kenal cuma buat dipajang kayak manekin!”

Kamil bangkit dari kursinya, berdiri di hadapan Karina. “Jaga bicaramu, Karina. Kamu pikir Papi senang memaksamu seperti ini terus karena kamu tidak juga mengerti posisimu?”

Karina menegakkan bahu, berusaha menahan air mata yang mulai terasa di pelupuk mata. “Makanya stop maksa-maksa aku!”

“Cukup! Apa yang Papi katakan ini perintah dan Papi nggak terima negosiasi seperti ini. Kamu harusnya bersyukur dengan apa yang kamu punya, bukan jadi anak tidak tahu diri seperti ini.”

“Aku nggak minta semua ini, Pi. Aku cuma ingin jadi diri aku sendiri tanpa ditekan sana-sini,” pekik Karina.

“Jadi diri kamu?” Kamil tertawa pendek penuh cibiran. “Kamu bahkan belum tahu kamu itu siapa, Karina.”

Suasana ruang tamu mendadak tegang. Hening sesaat, hanya terdengar detik jam dinding. Karina menatap ayahnya, sosok yang selama ini ia segani sekaligus takuti. Kata-katanya terasa seperti belati yang dingin tapi tepat sasaran.

“Kalau Papi mau punya anak yang sempurna, kenapa nggak bikin aja boneka porselen, biar nggak pernah salah,” kata Karina pelan tapi penuh amarah.

Kamil terdiam sejenak. “Hati-hati dengan ucapanmu.”

 “Kenapa? Karena aku nggak sopan?” Karina melangkah mundur setengah langkah. “Aku udah capek, Pi.”

Kamil menghela napas berat, nada suaranya berubah lebih dingin. “Besok malam kamu tetap datang. Tidak ada perdebatan.”

Karina membuka mulut untuk membantah lagi, tapi langkah lembut dari arah tangga membuatnya berhenti. Seorang wanita muncul dengan daster sutra dan selendang di bahu, langkahnya pelan tapi anggun.

Renata.

“Mami,” gumam Karina pelan, spontan melembut.

Renata tersenyum kecil. “Ada apa ini? Suaranya sampai ke atas.”

Kamil langsung mengatur nada bicaranya, tapi matanya masih penuh kilat emosi. “Tidak ada apa-apa. Aku hanya mengingatkan Karina tentang tanggung jawabnya.”

Renata memandang anaknya lembut, lalu menatap suaminya dengan ekspresi menenangkan. “Sudahlah, Pi, jangan keras-keras. Dia baru pulang. Biarkan dia makan atau istirahat dulu.” Suara Renata lembut, tapi selalu berhasil menurunkan tensi di rumah ini.

Karina melihat wajah ibunya yang pucat, sedikit lelah. Ia tahu ibunya tidak sehat tekanan darah rendah dan anemia kronis sering membuatnya harus istirahat panjang. Melihat wanita itu berdiri di sana, dengan mata lembut yang penuh cemas, amarahnya langsung luluh. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menunduk.

“Maaf, Mi. Aku nggak bermaksud ribut.”

 Renata mendekat, membelai lengan putrinya. “Tidak apa-apa. Kamu pasti lelah, ya?”

Karina mengangguk pelan, suaranya serak. “Iya, Mi. Aku mau istirahat.”

Renata menatap Kamil sebentar, tatapan yang lebih seperti permintaan dalam diam. Kamil akhirnya berkata datar, “Baik. Tapi besok malam kamu tetap datang. Tolong jangan membuat drama apa pun.”

Karina tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil, bukan karena setuju, tapi karena tidak ingin memperpanjang. Begitu Kamil berbalik, Karina segera menatap ibunya lagi dan tersenyum tipis.

“Aku naik dulu, Mi.” 

Renata mengelus pipi anak gadisnya, lalu mengangguk. “Istirahat, sayang.”

Karina naik ke lantai atas perlahan. Begitu pintu kamarnya tertutup, ia langsung bersandar di baliknya dan menatap langit-langit. Udara di kamar mewah itu terasa pengap, seperti menahan semua emosi yang tidak bisa keluar di ruang tamu tadi.

Kamar itu luas dan rapi, tapi terasa kosong. Di meja belajar, tumpukan kertas tugas masih terbuka. Di sampingnya, kotak kecil berisi jam tangan pria itu—jam tangan dengan inisial G.B.—tergeletak tanpa sengaja.

Ia melangkah ke meja rias, membuka ikat rambutnya, menatap wajahnya sendiri di cermin. Wajah yang selalu terlihat baik-baik saja di depan orang lain, tapi terasa seperti topeng sekarang.

“Penerus perusahaan,” katanya lirih, menirukan suara ayahnya. “Cari saja orang lain, aku nggak peduli pada perusahaan.”

Ia tertawa getir.

Sambil bercermin, seketika, wajah Garda muncul di pikirannya.

“Buktikan pada saya kalau apa yang saya lakukan ini salah.”

“Manusia selalu ingin melepaskan diri dari keadaan yang mereka sebabkan, tapi jarang berani menanggung konsekuensi dari pilihannya.”

Karina mendengus. “Kenapa semua orang selalu memandangku sebelah mata? Memangnya ini hidup siapa?”

Selesai dengan rutinitas malamnya, Karina mematikan lampu utama, meninggalkan hanya cahaya kuning redup dari lampu meja. Malam itu, Karina berbaring tanpa bisa tidur, menatap langit-langit dengan pikiran yang tidak berhenti berputar. Antara marah, lelah, dan rasa bersalah yang entah ditujukan ke siapa.

Rumah besar itu hening. Terlalu hening, sampai ia bisa mendengar detak jam berdetak di dinding, bersahutan dengan jam tangan milik Garda di atas lacinya.

Sementara di tempat lain, pria yang menjadi objek amarah Karina sedang duduk di kantornya. Di hadapannya banyak layar membuka berbagai dokumen yang baru didapatkannya dari tim. Dokumen-dokumen itu berisi data dan laporan-laporan di balik layar milik perusahaan Yudistira yang berhasil Garda kumpulkan.

“Bos, belum balik?”  Suara dari balik pintu membuat Garda mengangkat wajahnya yang sejak tadi terpaku pada layar. Orang itu adalah Arsen, kawan dekat Garda sekaligus Senior Security Analyst di Jagajaya.

Garda melirik arloji, rupanya sudah hampir tengah malam. “Sebentar lagi. Lo balik duluan aja,” ucapnya sambil kembali fokus pada data-data dari proyek yang hanya diketahui oleh Arsen dan tim terpilih yang dikerjakan tanpa sepengetahuan siapapun, apalagi ayah Garda—pimpinan Jagajaya Security.

Arsen berjalan mendekat ke arah Garda. “Lo tahu ‘kan kalau bokap lo tahu tentang proyek ini, bukan cuma lo aja yang kena amukannya, tapi gue juga. Lo mungkin aman karena lo calon pewaris perusahaan. Tapi gue dan tim, mungkin bisa langsung dipecat.”

Tanpa mengalihkan matanya dari layar, Garda bergumam, “Biar gue yang tanggung jawab kalau hal itu sampai terjadi.”

Arsen mendecak. “Garda… Garda. Lo itu Chief Risk & Security Officer dan calon pewaris perusahaan ini, calon bos besar, ngapain juga masih ngurusin hal remeh kayak gini? Mana sampai turun ke lapangan dan nyamar jadi dosen segala. Duit lo belum cukup atau lo kurang kerjaan?” ejeknya tertawa.

“Bukan soal duit, Arsen,” respon Garda tenang. “Sana lo balik duluan. Dan jangan panggil gue bos besar. Belum tentu juga gue yang naik jadi pimpinan, masih ada Samuel.”

“Semua orang di sini juga tahu bokap lo bakal lebih milih lo daripada dia.” Pria itu menepuk bahu Garda berkali-kali. “Ya udah, gue cabut duluan. Mending lo juga cepat balik sebelum orang-orang curiga sama kerjaan gelap lo ini,” sambungnya berpamitan lalu berjalan pergi. 

Garda tahu itu. Namun ia terlanjur masuk ke dalam lorong panjang dan gelap ini dan ia ingin tahu di mana ujungnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuhan Terlarang Dosen Killer   Chapter 36

    Garda tidak langsung menyilakan Nala duduk. Ia berdiri di dekat jendela ruang dosennya, satu tangan di saku celana, mata mengarah ke luar seolah sedang memperhatikan halaman fakultas, padahal pikirannya sudah bersiap menimbang setiap kata yang akan keluar dari mulut mahasiswi di depannya.Jika Nala sengaja menemuinya, pasti ada kaitannya dengan Karina. “Ada apa?” kata Garda singkat.“Ini tentang Karina,” jawab Nala tegang.Dugaan Garda benar. “Ceritakan,” ujar Garda tipisNala menarik napas. Ia tahu betul bagaimana berbicara dengan pria di depannya. Terlalu berputar-putar hanya akan membuat Garda memotong.“Karina sedang jadi bahan pembicaraan di kampus,” ujar Nala akhirnya. “Bukan cuma gosip biasa. Ini sudah menjalar ke kelas dan angkatan lain. Ada yang bilang dia menyalahgunakan koneksi pribadi dan memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi, ada yang bilang dia dapat perlakuan khusus dari dosen. Ada juga yang membahas tentang pria yang terlihat bersama dia di Puncak kemarin.”Garda

  • Sentuhan Terlarang Dosen Killer   Chapter 35

    Lobi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mahardika tidak pernah benar-benar sunyi, apalagi di waktu pergantian kelas seperti sekarang. Para mahasiswa bercengkrama di lorong, duduk-duduk di lobi sambil mengerjakan tugas yang sudah mepet deadline, dan sisanya berjalan terburu-buru mengejar kelas selanjutnya. Karina yang baru keluar dari kelas Garda, melangkahkan kakinya dengan malas ke arah pintu keluar gedung. Namun belum setengah perjalanan, Bu Vivian yang baru keluar dari ruangan, menghadangnya. “Karina,” ujar wanita itu. “Tunggu, ada yang mau saya bicarakan.” “Ada apa, Bu?” Karina gugup. Jika ada dosen yang ingin bicara dengannya, biasanya hal itu menyangkut masalah akademik atau apa pun hal yang buruk. Rahang Karina hampir jatuh saat Vivian mengatakan sesuatu yang sama sekali di luar dugaannya. “Saya sudah selesai baca laporan penelitian kelompokmu, cukup bagus. Kalian submit penelitian itu ke simposium nasional ya? Kalau nanti lolos seleksi dan terbit, biar biaya

  • Sentuhan Terlarang Dosen Killer   Chapter 34

    Karina menyadari ada yang salah bahkan sebelum kelas benar-benar dimulai. Bukan karena materi. Bukan karena suasana kelas. Melainkan karena cara Garda berdiri di depan kelas hari itu. Tidak, pria itu tidak berbeda. Ia tetap tegak seperti biasa. Nada suaranya sama—tenang, jelas, terukur. Slide presentasi berjalan rapi, setiap poin dijelaskan tanpa cela. Namun Karina merasa ada sesuatu yang hilang. Karina duduk di barisan tengah, iPad di depannya menyala, ia memutar-mutar pensil otomatisnya tanpa sadar. Matanya fokus menatap layar, kemudian ke arah papan tulis, lalu tanpa sadar, menatap Garda. Jauh dalam dirinya, Karina mendesah kecewa. Setiap kelas, tatapan mereka biasanya selalu bertemu meski itu hanya sepersekian detik. Hal itu seakan menjadi rahasia kecil di antara mereka. Di antara banyaknya manusia, mereka seolah berkomunikasi lewat kerlingan mata yang hanya sekelebat. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya sejak ia bisa mengingat, tatapan itu tidak pernah dibalas. Biasanya, me

  • Sentuhan Terlarang Dosen Killer   Chapter 33

    Keesokan paginya, matahari muncul malu-malu dari balik kabut pegunungan. Udara masih segar, rumput basah oleh embun. Di lapang, berkumpul beberapa warga dan mahasiswa. Warga mengajak rombongan kampus untuk bermain permainan tradisional yang membutuhkan kerja sama dan menimbulkan banyak tawa.Karina sudah ikut lebih dulu, duduk bersama beberapa warga dan mahasiswa, ikut bermain bakiak panjang.“Ayo, ayo! Satu-dua-tiga! Langkahnya harus kompak!” seru warga yang memimpin permainan.Karina tertawa pelan, kakinya bergetar karena kesulitan mengikuti ritme. Tapi ia mencoba.Sampai akhirnya sebuah suara terdengar dari belakang.“Pak Garda! Ikut sini! Kekurangan satu orang!”Karina menegang seketika. Ia tahu suara itu. Ia tahu nama itu.Saat menoleh… Garda sudah berjalan mendekat.“Maaf, saya cuma lewat—”“Tapi Pak, satu orang lagi biar genap! Ayo, sekalian menghangatkan badan,” mahasiswa yang lain bersikeras saling bersahutan.Mahasiswa lain bersorak. Garda tidak bisa menolak. Dan tiba-tiba i

  • Sentuhan Terlarang Dosen Killer   Chapter 32

    Malam turun dengan perlahan, seperti kabut tipis yang menyelimuti desa kecil di Puncak Bogor. Lampu-lampu kuning digantung di sepanjang lapangan, bergetar pelan diterpa angin gunung yang sejuk. Warga sudah berkumpul, beberapa anak kecil berlari-larian sambil memegang jagung bakar dan balon. Musik tradisional dari speaker tua mengalun rendah, menciptakan suasana hangat.Namun di tengah kehangatan itu, ruang ketegangan masih menggelayuti, sejak tadi tidak mau pergi dari dada Karina maupun Garda.Karina berdiri di antara mahasiswa lain, mengenakan sweater rajut tipis yang menghadangnya dari dingin udara pegunungan. Pipinya memerah bukan karena dingin, tapi karena ia terus memikirkan pria yang berdiri beberapa meter darinya.Garda.Pria itu sedang duduk bersama para dosen lain. Wajahnya tampak sangat… tenang. Terlalu tenang. Berbahaya-tenang. Seolah ia datang ke acara penutupan hanya sebagai pengamat, padahal tatapannya sesekali melesat ke arah Karina seperti refleks yang tidak bisa ia ke

  • Sentuhan Terlarang Dosen Killer   Chapter 31

    Angin sore di desa itu dinginnya bukan main, sebagaimana dinginnya sesuatu yang belum selesai antara dua orang yang pura-pura baik-baik saja. Langit baru saja kehilangan cahaya terakhirnya, menyisakan warna tembaga di balik gunung yang jauh. Selepas kegiatan pengabdian hari itu, semua mahasiswa sibuk merapikan alat dan materi. Beberapa masih berdiskusi di depan aula, tertawa kecil meski wajah mereka terlihat lelah.Sementara itu, Karina melangkah keluar dari aula dengan kedua tangan penuh. Tripod, box alat tulis, map data, dan kotak peraga materi kesehatan mental, semuanya ia bawa kembali ke posko. Pundaknya nyeri, dan kakinya pegal di sana-sini karena seharian ini sering berjalan dan bolak-balik posko–aula desa untuk menyiapkan kegiatan.Ia hanya ingin ke posko, membersihkan diri dan beristirahat. Ketika ia melewati jalan kecil berkerikil menuju posko yang berupa rumah panggung sederhana yang disiapkan untuk tim tiga hari ini, siluet seseorang muncul dari tikungan.Seseorang dengan b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status