MasukTak ada yang bisa menggambarkan duka yang dirasakan Eleanor saat ini. Seharusnya kemarin adalah hari yang indah. Hari yang dia nantikan selama dua bulan terakhir.
Namun, siapa yang menduga jika di hari itu juga Nathan benar-benar pergi meninggalkannya sendirian untuk selamanya. “Ini semua gara-gara wanita pembawa sial ini!” Nyonya Carter masih terus menunjuk wajah Eleanor dengan amarah yang membara. “Panggilan terakhir Nathan dari dia. Pasti dia yang merengek meminta Nathan pulang dengan cepat.” Eleanor hanya mampu menundukkan wajah dengan linangan air mata yang tak pernah terhenti. Biarlah, murka mertuanya tak sebanding dengan duka Eleanor saat ini. “Jawab aku, kau pasti merengek seperti biasa dan meminta Nathan untuk tiba dengan cepat, kan?” Nyonya Carter menjambak rambut Eleanor yang langsung dilerai oleh Tuan Carter. “Lepaskan, Ma. Dia juga sama-sama merasa kehilangan seperti kita.” “Tidak!” bentak Nyonya Carter dengan suara bergetar. “Gara-gara dia putra kesayanganku pergi untuk selamanya. Aku tahu Nathan tak pernah mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Aku tau Nathan akan taat peraturan. Dia selalu berhati-hati. Ini semua pasti gara-gara wanita ini!” Teriakkan Nyonya Carter pecah di ruangan duka. Nyonya Carter bahkan masih tak mau melepaskan rambut Eleanor, meski Tuan Carter berusaha melepaskannya. Melihat Eleanor yang tak melawan, dan memberikan reaksi apa pun, semakin membuat Nyonya Carter murka. Dia menghentakkan rambut Eleanor dengan kasar dan langsung menampar pipi wanita itu berulang kali. Eleanor sama sekali tak melawan atau tampak kesakitan. Jujur saja semua makian dan perlakukan kasar ibu mertuanya tidak membuat Eleanor merasakan apa-apa. Dia merasa hampa. “Camilla, hentikan!” bentak Tuan Carter setelah melihat istrinya semakin membabi buta menghajar menantunya. Dia segera menatap Mary dan Lucas bergantian. “Bawa Nyonya muda kembali ke kediamannya. Dia harus istirahat sebelum prosesi pemakaman nanti.” “Baik, Tuan.” Mary dan Lucas membantu Eleanor yang masih duduk termenung untuk segera berdiri. Mereka berdua membantu Eleanor yang berjalan dengan tatapan kosong. Sesampainya di kediaman pribadi Nathan dan Eleanor, Mary membawa Nyonya mudanya itu menuju kamar. Di dalam kamar, wanita paruh baya itu tak henti-hentinya menangis sembari memeluk Eleanor yang hanya diam sejak tadi. “Saya mengerti duka yang Nyonya rasakan,” ungkap Mary dengan tulus. Dia mengusap punggung Eleanor dengan lembut. “Sesekali melawan dan menangis itu bukan dosa, Eleanor.” Punggung Eleanor bergetar mendengar Mary memanggilnya hanya dengan nama tanpa ada embel-embel apa pun. Dia tak punya siapa pun di tanah asing ini. Hanya ada Nathan yang selama ini dijadikan sandaran hidupnya. Hanya ada Nathan yang selalu menjadi teman untuk menaruh segala harapan, dan ketakutannya. Akan tetapi, kini semua sudah sirna. Orang yang selalu menenangkannya, orang yang selalu membelanya kini sudah tiada. Eleanor hanya sendirian di negeri orang ini. “Menangislah.” Mary mengusap punggung Eleanor yang bergetar. Sungguh, hati Mary tak sanggup melihat Eleanor diperlakukan dengan kasar dan disalahkan atas perbuatan yang tak pernah dia lakukan sama sekali. Sejak Eleanor datang sebagai menantu keluarga Carter enam tahun lalu, Mary sudah menggangap wanita itu sebagai putrinya sendiri. “Nathan meninggalkan aku sendiri di sini. Dia mengingkari janji kami, Mary.” Mary hanya mengangguk dengan air mata yang tak bisa berhenti turun. “Apa yang dikatakan Mama itu benar. Aku yang bersalah atas semua kejadian ini. Andai aku tidak menelpon Nathan dan memintanya untuk buru-buru pulang, dia pasti tidak akan kecelakaan.” Eleanor melepakan pelukan Mary, dan langsung mengusap air matanya dengan kasar. “Benar, kan, Mary? Ini semua salahku?” Mary menggeleng. Dia langsung mengusap pipi Eleanor yang sudah basah. “Jangan pernah menyalahkan dirimu, Eleanor. Ini semua sudah takdir. Kita tak pernah bisa mengubah takdir seseorang. Percayalah Tuan Nathan akan menjaga kita semua dari atas sana.” Mary kembali memeluk Eleanor yang menangis dengan kencang. Pertahanan diri wanita itu runtuh mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Mary. Benarkah? Benarkah ini semua takdir terbaik yang harus dia jalani seorang diri? Lagi-lagi seorang diri tanpa ada sosok Nathan di sampingnya?Eleanor diminta berkumpul bersama semua orang di rumah utama. Dia sudah berusaha menolak. Bukan karena tak menghargai kedua orang tuanya, hanya saja setiap menatap wajah Noah—putra Nathan yang ternyata begitu mirip dengan pria itu, kian menambah luka di hatinya. “Eleanor.” Suara Tuan Carter terdengar menembus kesunyian di ruangan yang hening. Tidak ada orang lain di sana, kecuali Olivia dan Noah, dua sosok yang entah mengapa masih berdiam diri di rumah keluarga Carter. “Papa dan mama ingin minta maaf atas nama Nathan.” Mendengar hal itu, Nyonya Carter langsung menatap suaminya dengan tidak suka. “Kenapa harus minta maaf? Lagi pula dia tidak bisa memberikan Nathan seorang anak. Andai saja tidak ada Noah, putraku itu meninggal dalam keadaan tak punya keturunan.” Mulut Nyonya Carter berujar tanpa peduli dengan perasaan Eleanor. Eleanor hanya bisa mengigit bibir. Dia sungguh merasa asing di tengah keluarga Carter secara tiba-tiba. “Mama, jangan bicara begitu. Apa pun itu
Eleanor tampak mengerjapkan matanya berkali-kali, mencoba mencerna setiap ucapan yang baru dia dengar dari wanita asing di depannya. “Ini bukan suasana yang pas untuk bergurau. Aku dan Nathan—kami belum memiliki seorang anak pun.” “Siapa bilang dia putramu dan Nathan?” Olivia menyilangkan kakinya. Menampakkan senyuman angkuh, yang seolah tak mau kalah. “Dia putraku bersama Nathan.” Pening. Kepala Eleanor benar-benar tak bisa berpikir jernih sekarang. Dia menggeleng dengan kuat. “Tidak mungkin! Aku kenal Nathan. D-dia bukan pria seperti itu,” jawab Eleanor dengan terbata-bata. “Pa, Ma, katakan pada wanita ini jika Nathan bukan pria seperti itu.” Namun, Eleanor tak mendapatkan jawaban yang diinginkan dari kedua orang tua Nathan. Mereka berdua hanya diam saja. “Pa, Ma—” “Kau butuh bukti kan, Eleanor?” tanya Olivia dengan menekankan nama wanita itu. Eleanor menoleh, menatap Olivia dengan dada naik turun. “Jangan sebut namaku dengan bibir kotormu itu!” Eleanor segera b
Siang itu hujan turun dengan begitu deras, seolah alam sedang membantu Eleanor untuk menyembunyikan air mata yang sejak kemarin tak berhenti menetes. Hari ini, Eleanor akan benar-benar melepaskan Nathan untuk yang terakhir kalinya. Setelah upacara pemakaman yang memakan waktu cukup lama, kini Eleanor melihat bagaimana peti yang di dalamnya terdapat tubuh Nathan itu turun ke bawan tanah secara perlahan. Kaki Eleanor tak sanggup berdiri lagi. Sejak tadi Mary dan Lucas lah yang membantunya dengan sepenuh hati. Hanya kedua orang tesebut yang peduli dengan keadaan Eleanor yang tampak begitu kacau. Saat tanah terakhir menutup peti itu, pandangan mata Eleanor perlahan menggelap. Kepalanya terasa berputar, dan tak lama setelah itu dia merasakan tubuhnya begitu ringan sampai matanya tertutup disertai dengan teriakan beberapa orang. “Nyonya Eleanor.” *** Eleanor membuka matanya yang terasa begitu berat. Mata biru pekat itu menatap sekeliling ruangan tempatnya berada. Ini bu
Tak ada yang bisa menggambarkan duka yang dirasakan Eleanor saat ini. Seharusnya kemarin adalah hari yang indah. Hari yang dia nantikan selama dua bulan terakhir. Namun, siapa yang menduga jika di hari itu juga Nathan benar-benar pergi meninggalkannya sendirian untuk selamanya. “Ini semua gara-gara wanita pembawa sial ini!” Nyonya Carter masih terus menunjuk wajah Eleanor dengan amarah yang membara. “Panggilan terakhir Nathan dari dia. Pasti dia yang merengek meminta Nathan pulang dengan cepat.” Eleanor hanya mampu menundukkan wajah dengan linangan air mata yang tak pernah terhenti. Biarlah, murka mertuanya tak sebanding dengan duka Eleanor saat ini. “Jawab aku, kau pasti merengek seperti biasa dan meminta Nathan untuk tiba dengan cepat, kan?” Nyonya Carter menjambak rambut Eleanor yang langsung dilerai oleh Tuan Carter. “Lepaskan, Ma. Dia juga sama-sama merasa kehilangan seperti kita.” “Tidak!” bentak Nyonya Carter dengan suara bergetar. “Gara-gara dia putra kesa
Eleanor tak memberikan reaksi apa pun. Dia terlalu terkejut mendapatkan perlakuan yang kasar dari ibu mertuanya. Eleanor tahu dan tak menutup mata jika selama ini, Nyonya Carter—ibu mertuanya itu memang tak pernah menyukai keberadaanya. Akan tetapi, perlakuannya sekarang benar-benar di luar dugaan Eleanor. “Dasar wanita pembawa sial!” maki Nyonya Carter lagi. “Mama sudah.” Suara Tuan Carter bergetar saat mencoba menenangkan istrinya. “Ma, bagaimana dengan kondisi Nathan sekarang?” tanya Eleanor dengan penuh harap. Dia mengabaikan semua perlakuan buruk yang diterima barusan. Namun, Nyonya Carter sama sekali tak menjawab. Dia justru kembali menampar pipi Eleanor untuk yang kedua kalinya. Setelah itu, wanita paruh baya itu kembali menangis dengan kencang. Menjerit dan meraung dalam pelukan suaminya. “Oh, Nath-ku. Putraku sayang yang malang.” Eleanor terpaku. Pikirannya berusaha keras mencerna apa yang sedang terjadi, hingga rasa sesak kembali menghantam dadanya. “Ma
Eleanor berjalan ke sana kemari dengan perasaan gembira. Hari ini, Nathan—suaminya akan kembali ke rumah setelah dua bulan bekerja di Maine. Eleanor bekerja keras menyiapkan sambutan hangat untuk kepulangan Nathan. Bahkan, wanita itu turun tangan sendiri ke dapur dan memasak khusus untuk suaminya. “Nyonya, mau saya bantu?” Eleanor menoleh, menatap kepala pelayan yang menawarkan bantuan kepadanya. Dia langsung menggeleng cepat dengan senyum hangat yang tak lepas dari bibir sejak tadi. “Tolong ambilkan ponselku saja, Mary. Seharusnya Nathan sudah tiba di bandara sekarang.” “Baik, Nyonya.” Mary menganggukkan kepala dengan sopan. Dia menghormati keputusan Eleanor dan segera melaksanakan perintah wanita yang tampak berbahagia itu. Siapa pun bisa melihat betapa bahagianya Eleanor hari itu. Senyuman lebar di bibirnya tak pernah lepas sejak pagi, membuat suasana di rumah besar itu seolah ikut terhanyut dalam semangat yang sama. Begitu Mary menyerahkan ponsel, Eleanor lang







