Dulu di desa May (begitu sapaan akrabnya) ada penawaran sekolah masal. Sekolah massal itu gini, anak-anak nanti akan sekolah di luar daerah bareng-bareng.
“Bagi siapa saja yang ingin sekolah silahkan datang ketempat pak lurah”. Begitu pengumuman dari petinggi desa setempat. Dengan senang hati ibu Mayra mendaftarkan anaknya ditempat pak lurah. Dan ternyata peminatnya cukup luar biasa banyak.Akhirya seluruh anak yang minat sekolah dibawa ke tujuan masing-masing. Kebetulan Mayra nyangkut di APPI. Nyangkut… kayak jemuran kebawa angin ajah.
Dan sejak masih duduk di bangku sekolah dasar Mayra meninggalkan kampung halaman demi menempuh pendidikan yang lebih tinggi.
Alasan utama ibu Mayra untuk mendaftarkannya ke pak lurah adalah karena ekonomi. Dengan pendapatan yang hanya di bawah rata-rata, ibu Mayra takut tidak bisa menyekolahkan anaknya sampai jenjang yang Mayra Inginkan. Beruntung bertemu pak lurah yang menawarkan pendidikan kepada penduduk yang membutuhkan.
Mayra punya ayah sudah meninggal sejak dia berusia tiga tahun. Jadi deh… anak yatim tersematkan dalam dirinya. Karena itu pak lurah neyangkutkan Mayra kedalam prioritas anak yang ikut sekolah massal.
***
Delapan tahun kemudian“May, muka kamu kenapa? Kok merah-merah semua”. Terus kaki kamu kok bengkak. (sambil membuka sedikit rok Mayra, karena penasaran dengan bengkaknya kaki Mayra)Tanya Riani teman sebangku Mayra.
“Ah, nggak apa-apa kok”. Jawab Mayra santai.
“Kamu habis berantem?”
“kalau iya kenapa? Kamu mau bantuin?
“Hehe ya nggak lah. Emang aku saras 008 yang siap numpas kejatahan”.
Belum selesai canda mereka berdua, tiba-tiba dari podium pak Rusman memanggil nama Mayra.Setelah ber muqaddimah panjang kali lebar akli tinggi, pak Rusman memanggil nama Mayra.
“ Kita panggilkan Mayra Rahmawati. Atlet silat kita yang baru saja memenagkan pertandingan silat tingkat povinsi DIY.
Dengan santai dan tenang Mayra melangkah menuju sumber suara.
Masih dengan suara yang sama “pak Rusman” kepada bapak kepala sekolah untuk menyerahkan piala dan uang pembinaan.
Ratusan siswa menyaksikan penyerahan piala itu.
Prok…prok…prok..
Tepuk tangan peserta upaca menambah semarak penyerahan pilaa Mayra.
Cepret..cepret, kilatan cahaya foto ikut meramaikan suasana pagi itu. Ciyeeh udah kayak artis ajah.Kebetulan ada tiga orang yang bertanding di hari yang sama dengan Mayra. Cuman yang beruntung menang hanya Mayra.
Bukan kali ini saja Mayra mendapatkan penghargaan. Dari berbagai tingkat pernah ia lalui. Mulai dari tingkat kecamatan sampai tingkat Jateng dan DIY pun pernah ia menangkan. Bahkan hampir menang tingkat nasional. Karena ada satu dan lain hal jadi ditunda menang tingkat nasionalnya.
Kalahpun juga jadi hal yang biasa bagi Mayra. Pernah tidak dapat juara hanya dapet sakitnya karena dapat pukulan lawan tandingnya. Semua menjai pengalaman yang tidak bisa dilupakan bagi Mayra.
Asam garam pernak-pernik silat pernah ia lalui. Maka dari itu sekolah menjadikan dirinya sebagai atlet andalan. Bukan tidak ada atlet lain yang lebih baik, tapi belum ada saja atlet yang sebaik dirinya. Maka sampai sekarang Mayra masih bertahan menjadi atlet kebanggan sekolah. Tidak ada bakat istimewa dari Mayra untuk mengantarkannya jadi atlet. Hanya saja ketekunan membawa dirinya menjadi juara.
Sepulang dari lomba silat, biasanya guru Mayra akan mengajaknya menyantap soto pak Mukidi yang terkenal seantero Jogja. Enak banget katanya. Kebetulan letaknya tidak jauh dari sekolah Mayra.
Di tempat soto
“Waaahhh enak nih.. yang punya pacar Mayra. Nanti kalau ada yang jahil langsung deh… keluarin jurus silatnya”.
Sruput… sambil menyantap soto pak Wakidi, Riani mencoba menggoda Mayra yang sedang menikmati segelas es tehnya.
“Enak apaan? Bengkak semua nih… tanggung jawab. Dinikahi”.
“Loh. Kok aku yang suruh nikahi. Ya pialamu yang suruh tangggung jawab. Wong dia yang buat kamu bengkak kok”.
Sruputtt… ah…sueger tenan… giliran Riani yang mencicipi es tehnya.
Kedua sahabat ini sangat menikmati soto langganan mereka dengan “rasa”h mbayar bagi Riani.
Eh.. “Ri, ini gorengan apa batu bata sih? Kok keras banget”. Komentar Mayra.
Sejurus kemudian Riani juga angkat bicara.“ini juga mienya kayak senar gitar spanyol. Nggak seperti biasanya. Rasanya juga aneh. Hmmmm ya sudahlah. Mungkin ini rejeki kita hari ini dengan rasa yang nggak karuan. Harus dinikmati. Harus”. Timpal Riani pasrah.
Pajak juara menanti Riani saat Mayra menang lomba. Setiap Mayra menang lomba berapapun uang yang ia terima, Riani pasti dapat bonusnya.
Anggi ini kelas dua SMP. Di sudah sejak kecil ditinggalkan ibunya. Dia hidup dengan adik dari ayahnya. Karena ayah terlalu sibuk untuk mengurusi Anggi sendiri.“ Mbak, nitip Anggi ya, saya berharap nantinya Anggi bisa menjadi anak yang baik. Kalau dirumah kerjaannya nonton tv terus mbak”.“Iya buk, kami akan bantu sebisa mungkin dengan sekuat tenaga. Mohon doanya juga buat mbak Anngi. Dengan di ditempatkannya mbak Anggi di APPI bisa menjadi anak yang lebih baik sebelumnya”.Meskipun bukan pondok, APPI juga berusaha mendidik anak-anaknya menjadi anak yang sholih sholihah,berbakti kepada orang tua. Berguna bagi nusa, bangsa dan agama.Cieh… kayak lampiran di acara aqiqohan anak ajah.Teringat saat setahun yang lalu saat buleknya Anggi menitipkan kepada kami. Rasanya tidak menyangka jika sekarang dia akan meleset dari jalur. Anggi yang dulu bukan Anggi yang sekarang. Dia sangat berbeda dengan saat pertama kali datang
Vita ini anak orang kaya. Bapaknya salah satu anggota TNI. Asli Yogyakarta. Ayah sekarang tugas di Kalimantan Barat. Bersama adik dan ibunya ayahnya tinggal di Kalaimantan. Sedangkan Vita di Yogyakarta bersama saudara dari ayahnya.Alasan Vita ditinggal di Yogya adalah agar tidak berkali-kali pindah sekolah. Selama kelas dua SMP sudah tiga kali pindah sekolah. Ini yang ketiga kalinya. Ayahnya nggak mau nanti Vita ketinggalan gara-gara sering pindah sekolah. Dan juga ayah memikirkan sikap Vita yang kurang supel terhadap orang. Jadi terlalu susah untuk adaptasi.Dia ke APPI atas kemauan orang tua. Apapun yang Vita minta selalu di kasih. Uang spp sekolah tiga tahun dibayar lunas sudah. Uang asrama tiga tahun dibayar luas sudah.Supel sekali… pak Mariono hoho…. Bukan pak Mario Teguh. Karena orang terlalu kaya apa aja yang di inginkan tinggal di kedipin aja. Nanti datang sendiri. Hush… sulap kaleee.sekali kedip bisa terwujud. ***
Salwa tinggal di asrama karena keinginannya sendiri. Bukan karena paksaan. Dia memilih tinggal di asrama karena sekolahnya dekat dengan asrama dan yang jelas sekolah salwa satu yayasan dengan APPI.Si Salwa yang sedikit berisi badannya, ia selalu ceria memberikan warna tersendiri bagiku. Dia tidak pernah mebantah apa yang diperintahkan pengasuhnya. Dia juga tidak pernah melanggar aturan-aturan asrama.Salwa sekarang kelas dua SMK. Kebetulan di sekolah salwa hanya ada dua jurusan. Masak dan menjahit. “Hah? Masak aja pake sekolah. Aku nggak sekolah bisa masak”. Celetuk si Nisa anak kelas satu SMP.“Masaknya disekolah itu bukan sekedar masak biasa seperti ibumu yang masak. Kalau ibumu yang masak mentok-mentoknya gulai ayam. Ini sekolah masak nantinya masakan di jual. Diajarin juga cara jualnya gimana kalau disekolahku. Yang dimasak juga bukan cuma masakan-masakan standar. Masakan internasional juga nasional dipela
Nia Saraswati. Anak semata wayang dari ibu Suminah ini masuk ke APPI karena keinginan ibunya. Ibu dan ayahnya sudah berpisah sejak Nia berumur tiga tahun. Sejak itu ibunya kerja keras banting tulang untuk menghidupi keluarganya.Ahhh tulang di banting-banting. Nggak kasihan tuh. Rusak nggak ada yang produksi tuh.Hoho… nggak ada maksud.Lupakan saja.Sejak saat itulah Nia dirawat neneknya. Sejak dirawat nenek, Nia selalu dimanja. Apapun yang diminta Nia, selalu di turuti. Dengan prinsip neneknya “apapun dikasih yang penting anaknya nggak nangis” Nia menjadi anak yang selalu ingin dituruti segala permintaannya.Namun kali ini masuk APPI menjadi keputusan ibunya. Hanya ibu yang dia takuti petuahnya. Karena takut jika tidak dikasih uang.Makdsud ibunya masukkan ke APPI agar Nia bisa menjadi anak yang tahu aturan dan bisa menjadi anak yang dapat dibanggakan orangtua. Tahu at
"Dasar pengasuh nggak bener!!! Keluar kamu Maharani"."Anak saya nggak pacaran dikiranya pacaran"." Jadi pengasuh yang bener dong!!! Teriaknya lagi."Nggak pecus!!"Teriakan demi teriakan menggema di halaman rumah Haji Mahmud.Tidak ada aba-aba, kami yang sedang beraktifitas seperti biasa dikagetkan dengan teriakan Bu Suparmi yang sedari tadi diselimuti amarah.Hajah Sriyati yang sedang membereskan beberapa alat dapur mendekat ke sumber suara karena penasaran."Maaf Bu, ada apa ya, kalau ada masalah kita selesaikan baik-baik, nggak enak kalau teriak-teriak begini." dengan nada lembut Hajah Sriyati menyapa bu Suparmi."Masuk dulu bu, biar sedikit adem". Perintah Hajah Sriyati.Tanpa penolakan, Bu Suparmi sedikit meredupkan cahaya amarahnya yang sejak tadi membara."Bu, anak saya kenapa dituduh pacaran? Saya menyekolahka
Belum selesai urusan dengan ibunya Nia, sudah menunggu urusan catering yang menuntut ku harus sigap dan cekatan. Belum lagi tugas-tugas kuliah yang harus aku selesaikan dengan segera. "Haduuh bisa keriting ini rambut yak". "Raniiii!!!. "pelanggan alat-alat catering setengah berteriak memanggilku". Oh iya, aku lupa cerita. Di asrama APPI, juga memiliki usaha persewaan alat-alat catering. Biaya sewa tergolong lebih murah dibanding tempat lain. Sudah banyak pelanggan tetap catering APPI ini. Beberapa pelanggan memang teman dekat dari Hajah Sriyati. Hajah Sriyati sendiri yang mengelola persewaan alat catering ini. Beberapa kali dibantu anak-anak untuk pembelajaran bagaimana mengelola usaha alat persewaan alat catering. Sering juga kami diajarkan cara merawat alat-alat catering yang telah dipakai agar umurnya lebih lama dari apa yang diperkirakan. Sejauh ini, untuk harga H
"Rani, pulang cepat nanti kita masak karena ini tanggal dua belas, nanti rapat". Singkat, padat dan jelas. Begitu isi pesan mbak Adine putra Haji Mahmud yang sukses membuat moodku menyublim. Bisa ya, mood langsung ilang hanya gara-gara disuruh pulang cepet. Bagaimana tidak, hanya aku yang disuruh pulang cepat. Teman-teman lain tidak disuruh pulang. Aku tidak mau tinggal diam. Aku datangi teman-teman yang seharusnya berkepentingan di rapat bulanan ini. Ada si tengil Laras tuh, harusnya dia juga disuruh pulang cepat. Nggak adil kalau hanya aku yang disuruh pulang cepat. Ya, meskipun aku sudah tidak ada urusan di kampus. Tapi ini tidak adil. Gumamku dalam hati.Kuganggu saja dia yang lagi asyik pacaran di taman sebrang Fakultas. "Laras, disuruh pulang sama mbak Adine". "Ah, nanti dulu. Masih ada urusan". "Huh bilang aja urusann
Seperti biasa, aktifitas harianku adalah membersamai anak-anak asrama. Setelah aku bangun, aku harus membangunkan mereka satu per satu. Yups, satu per satu. Bayangin aja, sekamar anak limabelas itu harus bangun semua sebelum aku ke masjid sholat jamaah. Masalahnya, anak-anak itu susah banget buat di bangunin. Satu di bangunin, sukses dia bangun. Eh yang satunya tidur lagi. Ternyata tadi sukses bangunnya dia hanya acting belaka. Haduuuh..kadang bikin emosi anak-anak ini. Harusnya pagi-pagi masih semangat, ngumpulin energi dan mood yang baik. Lha ini moodnya malah di rusak sebelum mekar. Huhu Yaudah si, itu resiko jadi pengasuhnya anak-anak. Harus pinter-pinter kita menjaga mood dan mempertahankannya. Setelah anak-anak bangun, mereka wajib untuk sholat subuh berjamaah. Lanjut, setelah sholat subuh, kita harus sama-sama menjaga lingkung