Share

PART 06

Penulis: Aura Kisah
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-29 15:20:05

      “Sekarang tubuhmu agak melorot, Dit? Agak kurusaan, dan wajahmu tidak sesegar dulu,” ucap Pak Karim sembaru mengiris steak daging di piringnya untuk kemudian memasukkannya ke mulut dengan menggunakan garpu. Saat itu ia mengajak Radit untuk menikmati makan sore di sebuah restoran di daerah Cengkareng.

      “Biasalah, Pap, aku kan sudah berkeluarga, dan bukan lagi seorang pemuda manja yang hanya bisa menikmati segala fasilitas yang Papa sediakan seperti dulu. Kan Papa tadi sudah bilang, bahwa aku sedang berpetualang untuk mencari jatidiri. Hehehe ...,” sahut Radit.

     Ayah dan anak itu pun tertawa bersama.

     “Rumah terasa sangat sepi sejak tak ada kamu, Dit. Lebih-lebih ruang batin Papa,” ucap Pak Karim. “Lantas kapan rencanamu membuka semua tentang jati dirimu pada anak dan istrimu? Papa juga sangat merindukan cucu papa yang cantik dan mungil itu.”

     “Masih butuh waktu lagi, Pap,” sahut Radit seolah-olah pada steak daging yang sedang diirisnya. “Jujur, menantu Papa itu masih terobsesi dengan kehidupan masa lalunya yang berasal dari orang kaya. Dia belum mampu menjadi seorang istri yang benar. Papa doakan, semoga dia diberi hidayah ya, Pap.”

     “Artinya, Nagita belum bisa menjadi seorang istri yang sholehah?”

     “Ya ... semacam itulah, Pap. Solatnya pun sudah cukup lama tak dia laksanakan. Aku mau  mendidiknya secara keras, tapi tak tega juga. Maaf, Pap, baru dengan Papa saja aku menceritakan hal ini. Berharap Papa ikut mendoakan dia.”

     “Tentu, tentu, Dit. Begitulah wanita, harus pandai-pandai dan sabar untuk menghadapi dan memahaminya. Sifatnya seperti asal-muasal mereka, tulang rusuk, bengkok. Meluruskannya harus hati-hati dan sabar, dan jika kita mau meluruskannya secara paksa maka ia akan patah dan rusak.”

     “Iya, Pap.”

     “Tapi Papa sangat bangga dengan kamu, Dit. Amat langka anak seorang pengusaha kaya raya yang menggambil langkah gila seperti kamu itu. Prinsipmu kuat, dan juga tetap jujur. Jika dulu Papa adalah pekerja keras dan berprinsip kuat seperti kamu saat ini, itu wajar, sebab Papa memang berasal dari keluarga yang tak mampu. Eyangmu dulu hanyalah seorang petani penggarap di desa. Sementara kamu ... adalah sang pewaris tunggal dari kerajaan bisnis Papa.”

     “Terima kasih, Pap. Semua yang aku miliki dan warisi adalah dari Papa juga. Papa adalah orang yang paling aku kagumi dan panuti selain Rasulullah.Kelak aku hanya ingin ... memperkenalkan kepada Papa menantu yang terbaik buat Papa.”

     “Baiklah, Dik. Papa paham. Lalu bagaimana kabarnya cucunya Papa? Dia pasti makin cantik, kan? Ah, Papa sudah tak sabar untuk memeluk dan menciumnya.”

     “Sore tadi ... dia merayakan ultahnya, Pap.”

     “Oh ya?” Pak Karim berpura-pura kaget mendengarnya.  “Ya Allah, semoga cucuku panjang umur dan sehat selalu, kelak menjadi anak yang membanggakan keluarga, ya?”

     “Amin Allahumma amin.”

     “Papa ingin sekali membelikan dia hadiah apa pun yang dia inginkan. Tapi Papa tau, kau tak mungkin mau menerimanya, paling tidak sampai waktu yang kau ikrarkan tiba.”

      “Iya, Pap. Terima kasih karena Papa sudah memahami aku.”

     “Sama-sama, Dit. Oh ya, untuk jasa penjualan lahan itu kamu akan dapat dari Papa juga, selain persen dari para pemilik lahan tentunya,” ucap Pak Karim sembari melap mulutnya dengan tisu.

      “Mengapa begitu, Pap? Kan biasanya hanya dapat dari pemilik barang yang dijual?”

      “Biasanya iya seperti itu. Apa yang akan Papa berikan kepada kamu sebagai rasa terima kasih Papa buat kamu.”

     “Terima kasih untuk apa, Pap?”

     “Begini, Dit. Lahan di sekitar itu dalam satu atau dua tahun ke depan harganya akan melonjak berkali-kali lipat. Sekitar dua kilometer dari lahan itu akan dibangun sebuah kampus terpadu dari sebuah universitas internasional. Dengar-dengar lahannya sudah mencapai kesepakatan untuk harganya. Setelah pembebasan setahun baru kampus terpadu itu mulai dibangun. Jadi, Papa sangat beruntung dan berterima kasih atas info yang kauinklankan di media-media cetak dan online. Jadi, nanti akan Papa transfer ke rekeningmu, ya?”

      “Tapi Papa kan belum tau nomor ponsel dan rekeningku?”

      “I-iya. Mana nomormu biar Papa save, setelah itu kamu kirimkan nomor rekeningmu.”

      “Tapi, Pap ...tolong Papa jangan menelpon aku lebih dulu sebelum aku menghubungi Papa, jika ingin membicarakan urusan pribadi.”

      “Ya, ya, Papa paham.”

      Seusai melaksanakan sholat maghrib di sebuah mesjid di daerah Kebayoran, Radit tak langsung pulang. Ia ingin jalan-jalan dulu untuk melenyapkan segala risau dalam hatinya. Sikap Nagita terhadapnya dan anak mereka, Noni, makin aneh saja. Bagaimana bisa wanita yang dinikahinya nyaris delapan tahun yang lalu itu lebih memuliakan orang lain daripada suami dan darah dagingnya sendiri?

      Ketika ia melangkah masuk ke sebuah mega mall di daerah Senayan, langkah kakinya terhenti, saat didengarnya ada bunyi “klik” dari gawainya. Ternyata papanya telah mentransfer uang yang tadi dijanjikannya. Jumlahnya sangat besar, menurut ukurannya saat ini. Melalui pesan Wharsapp, papanya bertanya apakah dananya sudah masuk?

     “Sudah, Pap. Terima kasih ya, Pap.Tapi ini besar sekali jumlahnya,” balas Radit.

     “Bagi Papa, harta Papa yang paling besar itu adalah kau, Dit. Semoga kalian senantiasa sehat, dan Allah segera memberikan hidayah pada istrimu.”

      “Amin Allahumma amin. Terima kasih, Pap, atas semuanya.”

     “Sama-sama, Nak.”

      Sesaat Radit menyandarkan tubuhnya pada sebuah pilar beton besar dalam mall itu. Ia memejamkan kedua matanya. Dinginnya AC dalam ruangan yang luas itu tak mampu menghalangi peluh yang muncul di pori-pori tubuhnya. Papanya baru saja mentransfer uang dalam jumlah yang sangat besar, menurut ukuran dan kondisinya saat ini.

      Saat ia melangkah ke sebuah etalase gerai yang khusus menjual perhiasan brand kelas dunia, matanya melihat satu persatu berbagai jenis perhiasan yang indah-indah dengan harga yang mahal-mahal. Ada berbagai cincin, kalung, serta gelang yang bermatakan batu-batu mulia dan bertatahkan berlian termahal di  situ. Wajah Nagita spontan hadir dalam benaknya. Tentu jejeran perhiasan itu mampu ia belikan buat istrinya saat itu, karena dana transferan papanya sangat besar.

       Matanya terpaku pada sebuah kalung yang bertatahkan berlian dan berliontinkan sebiji safir biru yang berbentuk hati. Pasti sangat serasi dengan Nagita, pikirnya.

     Ketika Radit meminta kepada penjaga gerai untuk diambilkan kalung itu, nyaris bersamaan pula seorang laki-laki berjas lengkap menunjuk barang yang sama. Bahkan laki-laki itu sedikit lebih dulu  menunjuk daripadanya. Dan saat laki-laki itu mengambil alih kalung itu dari tangan pegawai gerai, ia langsung meletakkannya di atas kaca etalase dan memotretnya dengan menggunakan kamera gawainya. Hasilnya ia langsung kirimkan kepada seseorang.

     Tak lama kemudian di gawai laki-laki itu ada panggilan masuk. “Iya, Say. Berarti Say suka dengan kalung ini? Oh, okey, aku akan membelikannya buatmu. Besok akan aku bawakah ke kantor, ya? Ok, sama-sama. Bye-bye.”

     Sekilas Radit hanya menatap wajah laki-laki itu, sebelum ia berlalu dari tempat itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 52

    Dengan berbagai pertimbangan, Nagita pun memutuskan untuk mengajak Radit untuk bicara. Akan tetapi, ketika ia hendak membuka mulutnya, laki-laki yang telah berstatus sebagai mantan suaminya itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya, dan tidur miring memeluk guling dengan posisi membelakangi Noni dan dirinya. Nagita menghela nafasnya lalu mengecilnya nyala lampu tidur. Selanjutnya ia berusaha untuk memejamkan matanya. Saat itu jarum jam dinding telah menunjukkan pukul 00.22. Namun pada keesokan harinya ia masih memikirkan tentang rencananya itu. Setelah memikirkannya secara berulang-ulang, Nagita pun memutuskan untuk menelepon Radit. Ia menyampaikan keinginannya untuk bicara itu dengan sangat hati-hati. “Ya silakan bicara saja, insha Allah aku akan mendengarkannya?” sahut Radit. Saat itu kebetulan ia baru saja selesai melakukan pengecekan terhadap file-file laporan yang masuk pada hari itu yang tertera pada layar laptop di hadapannya. “Aku ingin bicara empat mata d

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 51

    Beberapa bulan kemudian Noni sudah menemukan kembali keceriaannya. Pihak tim dokter yang menanganinya sudah memperbolehkan ia untuk check out dari rumah sakit. Artinya sudah diperbolehkan untuk dibawa pulang ke Indonesia. Hanya saja, gadis kecil itu selanjutnya masih harus menjalani terapi-terapi khusus di rumah sakit Indonesia secara berkala, terutama untuk mengetahui perkembangan dari kondisi penyakitnya. Namun dokter di Beijing itu berpendapat, bahwa Noni akan mendapatkan kesehatan kesehatannya secara optimal seiring waktu. Setelah di Indonesia, gadis itu lebih banyak tidur bersama kedua orang tuanya, Radit dan Nagita. Ia sangat bahagia karena ia bisa kembali tidur di antara kedua orang yang paling disayanginya. Ia memang selalu rindu pada dongeng-dongeng yang selalu dituturkan oleh kedua orang tuanya itu untuk mengantarkannya ke dunia mimpi. “Oh ya, Sayang,” ucap Radit suatu malam pada Noni, sebelum ia menuturkan sebuah dongeng pada sang putrinya, “sembari menungg

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 50

    Beberapa menit kemudian terdengar ketukan di pintu. “Ya, silakan masuk,” ucap Radit. “Selamat siang, Mas,” salam Ningrum sembari menutup kembali pintunya. “Silakan duduk.” “Terima kasih.” Raditya menatap wajah wanita di depannya dan tersenyum. “Bagaimana keadaanmu hari ini?” tanya Raditya. “Alhamdulillah baik, Mas.” “Tadi malam Ning punya mimpi apa?” “Mimpi?” Kedua Ningrum saling merapat. Terasa ada semacam kejanggalan yang ia rasakan dalam pertanyaan itu. “Malah aku nggak sempet mimpi kayaknya, Mas. Tidur saja baru jam dua dini hari baru bisa terlelap, trus bangun subuh. Kenapa, Mas?” “Ntar kujawab pertanyaanmu, aku ingin lanjut bertanya dulu,” ucap Radit. “Kenapa tidurnya terlambat?” “Hm, nggak tau juga, Mas. Terasa gelisah saja, padahal aku sedang tidak memikirkan sesuatu apa pun yang sifatnya berat.” “Hm, berarti itu pengganti mimpinya!” celetuk Radit. “Maksud, Mas?” “Begini, tadi papaku video ca

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 49

    Kondisi Raditya sudah dinyatakan pulih seratus persen setelah beberapa bulan pasca operasi transplantasi. Kondisi Noni pun makin mengarah ke kemajuan. Hanya saja ia masih terus menjalani siklus kemoterasi. Namun tim dokter memprediksi, bahwa kesembuhan Noni bisa lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Sebuah keajaiban. Setelah benar-benar klir dinyatakan sembuh sempurna, Raditya diperbolehkan oleh sang ayah, Abdul Karim Pambudi, untuk kembali mengurus perusahaan. Ia tidak hanya menangani secara online, namun juga pulang ke Indonesia. Seminggu di Indonesia dan seminggu di Beijing secara rutin. Sementara Pak Abdul Karim lebih betah mengendalikan kerajaan bisnisnya di Beijing dengan dibantu oleh beberapa tenaga ahlinya yang didatangkan ke Beijing, walau sekali-sekali beliau datang ke Jakarta. Laki-laki paruh baya itu terlihat lebih betah, terlebih karena beliau di Beijing ia selalu ada Bu Ratri untuk temannya bercerita. Begitu pun Bu Ratri, terlihat selalu c

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 48

    Setelah dua minggu dalam masa menunggu, tim dokter memberikan kabar yang menggembirakan kepada Radit bahwa telah ada seseorang yang menyatakan siap untuk menjadi pendonornya. “Hanya saja,” kata sang dokter yang diterjemahkan oleh Nona Lie, “dengan alasan tertentu, sang pendonor meminta agar kami merahasiakan dulu identitasnya kepada Tuan Raditya.” “Mengapa seperti itu? Harusnya aku tahu siapa orang yang mau mengorbankan dirinya untuk menolomng hidup aku, Pak?” Radit justru menatap dan bertanya pada papanya. “Ya, seperti Pak Dokter barusan bilang, dengan alasan tertentu sang pendonor minta identitasnya untuk dirahasiapakan pada kamu. Papa kira nggak masalah. Mungkin itu berkenaan dengan privacy-nya sang pendonor?” Radit menoleh pada Nagita, “Apakah kamu yang akan melakukannya?” Nagita menggeleng, “Bukan, Mas. Lagi pula ... aku belum lama mendonorkan sumsum tulang kepada Noni. Apakah seseorang boleh mendonorkan bagian tubuhnya yang berbeda s

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 47

    Setelah semua perencanaan telah disiapkan secara matang, seminggu kemudian, penerbangan menuju Negeri Tirai Bambu pun dilakukan. Perjalanan selama lebih dari tujuh jam dari Bandara Soetta menuju Beijing Capital International Airport terasa cukup melelahkan. Setiba di Beijing, Radit dan Noni langsung melakukan chek in di rumah sakit yang dirujuk untuk melakukan pemeriksaan klinis pertama. Untuk Radit masih dalam tahap dilakukan general chek-up. Dari situ akan dimulai riset klinis untuk menentukan calon pendonor. Dan hasilnya akan segera keluar dalam beberapa hari ke depan. Sementara Noni, kondisinya memang drop, jadi harus langsung dilakukan perawatan yang intensif. Dari hasil test darah, darahnya lumayan naik. Tim dokter yang menanganinya menyarankan agar pasien dirawat inap supaya mendapatkan penanganan medis yang maksimal. Kondisi dropnya Noni dipicu juga oleh kecapaian akibat perjalanan udara yang cukup lama dan kondisi dari penyakit leukemia yang diderit

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 46

    “Ketika Noni divonis mengidap penyakit leukemia dan melihatnya, dunia rasanya terbalik,” ucap Radit. ”Saat itu pun aku bertekad akan membawa Noni untuk berobat ke sebuah rumah sakit terbaik di dunia ini, di mana pun itu. Dan perasaan itu kini dirasakan juga oleh Papa. Jadi, jika Papa ingin membawa kami ke untuk berobat ke Tiongkok, maka tak ada alasan bagi aku untuk menolaknya, Pap. Tapi semuanya harus ada di sekitar kami. Semua harus ikut. Bahkan Bi Ifah pun harus ikut.” “Ya tentu, dong, Dit. Soal itu tak perlu Radit ucapkan lagi, paham jauh lebih paham arti sebuah keluarga bagi kehidupan seseorang. Jika ada keluarga kita yang lain lagi mau ikut, ya silakan. Jet pribadi Papa bisa memuat hingga sembilan belas penumpang.” “Terima kasih, Pap,” ucap Radit lalu bangkit dari duduknya dan melangkah ke ayah Papanya lalu memeluk tubuh laki-laki itu dengan erat dan terisak. “Papa adalah orang yang paling memahami aku di atas dunia ini. Entah bagaimana lagi aku harus mengu

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 45

    Pasca keluar dari rumah sakit, atas permintaan sang papa, Pak Abdul Karim Pambudi, setelah memberikan berbagai alasan yang sangat masuk akal, terutama alasan yang berkenaan dengan kondisinya dan Noni, Radit pun memutuskan untuk pindah ke rumah papanya. “Rumah itu terlalu luas untuk Papa diami seorang diri. Alangkah bagusnya jika rumah seluas itu ditempati oleh banyak orang,” begitu alasan lain yang dikemukakan oleh Pak Abdul Karim Pambudi. Radi memboyong semua keluarganya, termasuk sang asisten rumah tangganya. Bi Ipah. Kecuali Bi Ipah, Radit dan keluarga kecilnya, termasuk ibu mertuanya, menempati ruangan di lantai dua. Radit memenuhi janjinya pada sang buah hati, Noni, untuk selalu tidur bersamanya. Jadi, sejak saat itu mereka bertiga menempati satu kamar dan tidur di tempat tidur yang sama dengan Noni tidur di tengah. Namun demikian, kedekatan yang sesungguhnya antara Radit dan Nagita itu belum kembali. Jarak itu masih tercipta. Radit

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 44

    “Oh iya, Pak Radit. Dengan berat hati saya harus sampaikan, bahwa hasil test darahnya Noni ....” Radit tak mampu lagi mendengarkan kelanjutan dari kalimatnya Dokter Ediman. Ia terlanjur lemas dan tak sadarkan diri. Entah berapa lama ia pingsan. Hanya saja ketika siuman, ia telah berada di atas sebuah pembaringan dalam sebuah kamar yang berwarna serba putih dengan nasal kanul yang terpasang pada kedua lubang hidungnya. Selanjutnya Radit melihat dalam ruangan itu ada wajah papanya, Abdul Karim, Ibu Ratri, Nagita, Ningrum, dan Noni. Ia sedang dirawat di ruang VVIP di sebuah rumah sakit. Melihatnya siuman, semua spontan bangkit dari duduk mereka dan berdiri di sisi bed rawat. “Berapa lama aku pingsan?” tanya Radit dengan suara lemah, tanpa ditujukan secara khusus pada siapa pun. “Tadi siang kamu jatuh pingsan, sekarang sudah mau isya’,” yang menjawab Pak Abdul Karim Pambudi, papanya, dan, “Apa sebenarnya yang kamu rasakan, Dit?” Radit tak

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status