Share

PART 06

      “Sekarang tubuhmu agak melorot, Dit? Agak kurusaan, dan wajahmu tidak sesegar dulu,” ucap Pak Karim sembaru mengiris steak daging di piringnya untuk kemudian memasukkannya ke mulut dengan menggunakan garpu. Saat itu ia mengajak Radit untuk menikmati makan sore di sebuah restoran di daerah Cengkareng.

      “Biasalah, Pap, aku kan sudah berkeluarga, dan bukan lagi seorang pemuda manja yang hanya bisa menikmati segala fasilitas yang Papa sediakan seperti dulu. Kan Papa tadi sudah bilang, bahwa aku sedang berpetualang untuk mencari jatidiri. Hehehe ...,” sahut Radit.

     Ayah dan anak itu pun tertawa bersama.

     “Rumah terasa sangat sepi sejak tak ada kamu, Dit. Lebih-lebih ruang batin Papa,” ucap Pak Karim. “Lantas kapan rencanamu membuka semua tentang jati dirimu pada anak dan istrimu? Papa juga sangat merindukan cucu papa yang cantik dan mungil itu.”

     “Masih butuh waktu lagi, Pap,” sahut Radit seolah-olah pada steak daging yang sedang diirisnya. “Jujur, menantu Papa itu masih terobsesi dengan kehidupan masa lalunya yang berasal dari orang kaya. Dia belum mampu menjadi seorang istri yang benar. Papa doakan, semoga dia diberi hidayah ya, Pap.”

     “Artinya, Nagita belum bisa menjadi seorang istri yang sholehah?”

     “Ya ... semacam itulah, Pap. Solatnya pun sudah cukup lama tak dia laksanakan. Aku mau  mendidiknya secara keras, tapi tak tega juga. Maaf, Pap, baru dengan Papa saja aku menceritakan hal ini. Berharap Papa ikut mendoakan dia.”

     “Tentu, tentu, Dit. Begitulah wanita, harus pandai-pandai dan sabar untuk menghadapi dan memahaminya. Sifatnya seperti asal-muasal mereka, tulang rusuk, bengkok. Meluruskannya harus hati-hati dan sabar, dan jika kita mau meluruskannya secara paksa maka ia akan patah dan rusak.”

     “Iya, Pap.”

     “Tapi Papa sangat bangga dengan kamu, Dit. Amat langka anak seorang pengusaha kaya raya yang menggambil langkah gila seperti kamu itu. Prinsipmu kuat, dan juga tetap jujur. Jika dulu Papa adalah pekerja keras dan berprinsip kuat seperti kamu saat ini, itu wajar, sebab Papa memang berasal dari keluarga yang tak mampu. Eyangmu dulu hanyalah seorang petani penggarap di desa. Sementara kamu ... adalah sang pewaris tunggal dari kerajaan bisnis Papa.”

     “Terima kasih, Pap. Semua yang aku miliki dan warisi adalah dari Papa juga. Papa adalah orang yang paling aku kagumi dan panuti selain Rasulullah.Kelak aku hanya ingin ... memperkenalkan kepada Papa menantu yang terbaik buat Papa.”

     “Baiklah, Dik. Papa paham. Lalu bagaimana kabarnya cucunya Papa? Dia pasti makin cantik, kan? Ah, Papa sudah tak sabar untuk memeluk dan menciumnya.”

     “Sore tadi ... dia merayakan ultahnya, Pap.”

     “Oh ya?” Pak Karim berpura-pura kaget mendengarnya.  “Ya Allah, semoga cucuku panjang umur dan sehat selalu, kelak menjadi anak yang membanggakan keluarga, ya?”

     “Amin Allahumma amin.”

     “Papa ingin sekali membelikan dia hadiah apa pun yang dia inginkan. Tapi Papa tau, kau tak mungkin mau menerimanya, paling tidak sampai waktu yang kau ikrarkan tiba.”

      “Iya, Pap. Terima kasih karena Papa sudah memahami aku.”

     “Sama-sama, Dit. Oh ya, untuk jasa penjualan lahan itu kamu akan dapat dari Papa juga, selain persen dari para pemilik lahan tentunya,” ucap Pak Karim sembari melap mulutnya dengan tisu.

      “Mengapa begitu, Pap? Kan biasanya hanya dapat dari pemilik barang yang dijual?”

      “Biasanya iya seperti itu. Apa yang akan Papa berikan kepada kamu sebagai rasa terima kasih Papa buat kamu.”

     “Terima kasih untuk apa, Pap?”

     “Begini, Dit. Lahan di sekitar itu dalam satu atau dua tahun ke depan harganya akan melonjak berkali-kali lipat. Sekitar dua kilometer dari lahan itu akan dibangun sebuah kampus terpadu dari sebuah universitas internasional. Dengar-dengar lahannya sudah mencapai kesepakatan untuk harganya. Setelah pembebasan setahun baru kampus terpadu itu mulai dibangun. Jadi, Papa sangat beruntung dan berterima kasih atas info yang kauinklankan di media-media cetak dan online. Jadi, nanti akan Papa transfer ke rekeningmu, ya?”

      “Tapi Papa kan belum tau nomor ponsel dan rekeningku?”

      “I-iya. Mana nomormu biar Papa save, setelah itu kamu kirimkan nomor rekeningmu.”

      “Tapi, Pap ...tolong Papa jangan menelpon aku lebih dulu sebelum aku menghubungi Papa, jika ingin membicarakan urusan pribadi.”

      “Ya, ya, Papa paham.”

      Seusai melaksanakan sholat maghrib di sebuah mesjid di daerah Kebayoran, Radit tak langsung pulang. Ia ingin jalan-jalan dulu untuk melenyapkan segala risau dalam hatinya. Sikap Nagita terhadapnya dan anak mereka, Noni, makin aneh saja. Bagaimana bisa wanita yang dinikahinya nyaris delapan tahun yang lalu itu lebih memuliakan orang lain daripada suami dan darah dagingnya sendiri?

      Ketika ia melangkah masuk ke sebuah mega mall di daerah Senayan, langkah kakinya terhenti, saat didengarnya ada bunyi “klik” dari gawainya. Ternyata papanya telah mentransfer uang yang tadi dijanjikannya. Jumlahnya sangat besar, menurut ukurannya saat ini. Melalui pesan Wharsapp, papanya bertanya apakah dananya sudah masuk?

     “Sudah, Pap. Terima kasih ya, Pap.Tapi ini besar sekali jumlahnya,” balas Radit.

     “Bagi Papa, harta Papa yang paling besar itu adalah kau, Dit. Semoga kalian senantiasa sehat, dan Allah segera memberikan hidayah pada istrimu.”

      “Amin Allahumma amin. Terima kasih, Pap, atas semuanya.”

     “Sama-sama, Nak.”

      Sesaat Radit menyandarkan tubuhnya pada sebuah pilar beton besar dalam mall itu. Ia memejamkan kedua matanya. Dinginnya AC dalam ruangan yang luas itu tak mampu menghalangi peluh yang muncul di pori-pori tubuhnya. Papanya baru saja mentransfer uang dalam jumlah yang sangat besar, menurut ukuran dan kondisinya saat ini.

      Saat ia melangkah ke sebuah etalase gerai yang khusus menjual perhiasan brand kelas dunia, matanya melihat satu persatu berbagai jenis perhiasan yang indah-indah dengan harga yang mahal-mahal. Ada berbagai cincin, kalung, serta gelang yang bermatakan batu-batu mulia dan bertatahkan berlian termahal di  situ. Wajah Nagita spontan hadir dalam benaknya. Tentu jejeran perhiasan itu mampu ia belikan buat istrinya saat itu, karena dana transferan papanya sangat besar.

       Matanya terpaku pada sebuah kalung yang bertatahkan berlian dan berliontinkan sebiji safir biru yang berbentuk hati. Pasti sangat serasi dengan Nagita, pikirnya.

     Ketika Radit meminta kepada penjaga gerai untuk diambilkan kalung itu, nyaris bersamaan pula seorang laki-laki berjas lengkap menunjuk barang yang sama. Bahkan laki-laki itu sedikit lebih dulu  menunjuk daripadanya. Dan saat laki-laki itu mengambil alih kalung itu dari tangan pegawai gerai, ia langsung meletakkannya di atas kaca etalase dan memotretnya dengan menggunakan kamera gawainya. Hasilnya ia langsung kirimkan kepada seseorang.

     Tak lama kemudian di gawai laki-laki itu ada panggilan masuk. “Iya, Say. Berarti Say suka dengan kalung ini? Oh, okey, aku akan membelikannya buatmu. Besok akan aku bawakah ke kantor, ya? Ok, sama-sama. Bye-bye.”

     Sekilas Radit hanya menatap wajah laki-laki itu, sebelum ia berlalu dari tempat itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status