“Sekarang tubuhmu agak melorot, Dit? Agak kurusaan, dan wajahmu tidak sesegar dulu,” ucap Pak Karim sembaru mengiris steak daging di piringnya untuk kemudian memasukkannya ke mulut dengan menggunakan garpu. Saat itu ia mengajak Radit untuk menikmati makan sore di sebuah restoran di daerah Cengkareng.
“Biasalah, Pap, aku kan sudah berkeluarga, dan bukan lagi seorang pemuda manja yang hanya bisa menikmati segala fasilitas yang Papa sediakan seperti dulu. Kan Papa tadi sudah bilang, bahwa aku sedang berpetualang untuk mencari jatidiri. Hehehe ...,” sahut Radit.
Ayah dan anak itu pun tertawa bersama.
“Rumah terasa sangat sepi sejak tak ada kamu, Dit. Lebih-lebih ruang batin Papa,” ucap Pak Karim. “Lantas kapan rencanamu membuka semua tentang jati dirimu pada anak dan istrimu? Papa juga sangat merindukan cucu papa yang cantik dan mungil itu.”
“Masih butuh waktu lagi, Pap,” sahut Radit seolah-olah pada steak daging yang sedang diirisnya. “Jujur, menantu Papa itu masih terobsesi dengan kehidupan masa lalunya yang berasal dari orang kaya. Dia belum mampu menjadi seorang istri yang benar. Papa doakan, semoga dia diberi hidayah ya, Pap.”
“Artinya, Nagita belum bisa menjadi seorang istri yang sholehah?”
“Ya ... semacam itulah, Pap. Solatnya pun sudah cukup lama tak dia laksanakan. Aku mau mendidiknya secara keras, tapi tak tega juga. Maaf, Pap, baru dengan Papa saja aku menceritakan hal ini. Berharap Papa ikut mendoakan dia.”
“Tentu, tentu, Dit. Begitulah wanita, harus pandai-pandai dan sabar untuk menghadapi dan memahaminya. Sifatnya seperti asal-muasal mereka, tulang rusuk, bengkok. Meluruskannya harus hati-hati dan sabar, dan jika kita mau meluruskannya secara paksa maka ia akan patah dan rusak.”
“Iya, Pap.”
“Tapi Papa sangat bangga dengan kamu, Dit. Amat langka anak seorang pengusaha kaya raya yang menggambil langkah gila seperti kamu itu. Prinsipmu kuat, dan juga tetap jujur. Jika dulu Papa adalah pekerja keras dan berprinsip kuat seperti kamu saat ini, itu wajar, sebab Papa memang berasal dari keluarga yang tak mampu. Eyangmu dulu hanyalah seorang petani penggarap di desa. Sementara kamu ... adalah sang pewaris tunggal dari kerajaan bisnis Papa.”
“Terima kasih, Pap. Semua yang aku miliki dan warisi adalah dari Papa juga. Papa adalah orang yang paling aku kagumi dan panuti selain Rasulullah.Kelak aku hanya ingin ... memperkenalkan kepada Papa menantu yang terbaik buat Papa.”
“Baiklah, Dik. Papa paham. Lalu bagaimana kabarnya cucunya Papa? Dia pasti makin cantik, kan? Ah, Papa sudah tak sabar untuk memeluk dan menciumnya.”
“Sore tadi ... dia merayakan ultahnya, Pap.”
“Oh ya?” Pak Karim berpura-pura kaget mendengarnya. “Ya Allah, semoga cucuku panjang umur dan sehat selalu, kelak menjadi anak yang membanggakan keluarga, ya?”
“Amin Allahumma amin.”
“Papa ingin sekali membelikan dia hadiah apa pun yang dia inginkan. Tapi Papa tau, kau tak mungkin mau menerimanya, paling tidak sampai waktu yang kau ikrarkan tiba.”
“Iya, Pap. Terima kasih karena Papa sudah memahami aku.”
“Sama-sama, Dit. Oh ya, untuk jasa penjualan lahan itu kamu akan dapat dari Papa juga, selain persen dari para pemilik lahan tentunya,” ucap Pak Karim sembari melap mulutnya dengan tisu.
“Mengapa begitu, Pap? Kan biasanya hanya dapat dari pemilik barang yang dijual?”
“Biasanya iya seperti itu. Apa yang akan Papa berikan kepada kamu sebagai rasa terima kasih Papa buat kamu.”
“Terima kasih untuk apa, Pap?”
“Begini, Dit. Lahan di sekitar itu dalam satu atau dua tahun ke depan harganya akan melonjak berkali-kali lipat. Sekitar dua kilometer dari lahan itu akan dibangun sebuah kampus terpadu dari sebuah universitas internasional. Dengar-dengar lahannya sudah mencapai kesepakatan untuk harganya. Setelah pembebasan setahun baru kampus terpadu itu mulai dibangun. Jadi, Papa sangat beruntung dan berterima kasih atas info yang kauinklankan di media-media cetak dan online. Jadi, nanti akan Papa transfer ke rekeningmu, ya?”
“Tapi Papa kan belum tau nomor ponsel dan rekeningku?”
“I-iya. Mana nomormu biar Papa save, setelah itu kamu kirimkan nomor rekeningmu.”
“Tapi, Pap ...tolong Papa jangan menelpon aku lebih dulu sebelum aku menghubungi Papa, jika ingin membicarakan urusan pribadi.”
“Ya, ya, Papa paham.”
Seusai melaksanakan sholat maghrib di sebuah mesjid di daerah Kebayoran, Radit tak langsung pulang. Ia ingin jalan-jalan dulu untuk melenyapkan segala risau dalam hatinya. Sikap Nagita terhadapnya dan anak mereka, Noni, makin aneh saja. Bagaimana bisa wanita yang dinikahinya nyaris delapan tahun yang lalu itu lebih memuliakan orang lain daripada suami dan darah dagingnya sendiri?
Ketika ia melangkah masuk ke sebuah mega mall di daerah Senayan, langkah kakinya terhenti, saat didengarnya ada bunyi “klik” dari gawainya. Ternyata papanya telah mentransfer uang yang tadi dijanjikannya. Jumlahnya sangat besar, menurut ukurannya saat ini. Melalui pesan Wharsapp, papanya bertanya apakah dananya sudah masuk?
“Sudah, Pap. Terima kasih ya, Pap.Tapi ini besar sekali jumlahnya,” balas Radit.
“Bagi Papa, harta Papa yang paling besar itu adalah kau, Dit. Semoga kalian senantiasa sehat, dan Allah segera memberikan hidayah pada istrimu.”
“Amin Allahumma amin. Terima kasih, Pap, atas semuanya.”
“Sama-sama, Nak.”
Sesaat Radit menyandarkan tubuhnya pada sebuah pilar beton besar dalam mall itu. Ia memejamkan kedua matanya. Dinginnya AC dalam ruangan yang luas itu tak mampu menghalangi peluh yang muncul di pori-pori tubuhnya. Papanya baru saja mentransfer uang dalam jumlah yang sangat besar, menurut ukuran dan kondisinya saat ini.
Saat ia melangkah ke sebuah etalase gerai yang khusus menjual perhiasan brand kelas dunia, matanya melihat satu persatu berbagai jenis perhiasan yang indah-indah dengan harga yang mahal-mahal. Ada berbagai cincin, kalung, serta gelang yang bermatakan batu-batu mulia dan bertatahkan berlian termahal di situ. Wajah Nagita spontan hadir dalam benaknya. Tentu jejeran perhiasan itu mampu ia belikan buat istrinya saat itu, karena dana transferan papanya sangat besar.
Matanya terpaku pada sebuah kalung yang bertatahkan berlian dan berliontinkan sebiji safir biru yang berbentuk hati. Pasti sangat serasi dengan Nagita, pikirnya.
Ketika Radit meminta kepada penjaga gerai untuk diambilkan kalung itu, nyaris bersamaan pula seorang laki-laki berjas lengkap menunjuk barang yang sama. Bahkan laki-laki itu sedikit lebih dulu menunjuk daripadanya. Dan saat laki-laki itu mengambil alih kalung itu dari tangan pegawai gerai, ia langsung meletakkannya di atas kaca etalase dan memotretnya dengan menggunakan kamera gawainya. Hasilnya ia langsung kirimkan kepada seseorang.
Tak lama kemudian di gawai laki-laki itu ada panggilan masuk. “Iya, Say. Berarti Say suka dengan kalung ini? Oh, okey, aku akan membelikannya buatmu. Besok akan aku bawakah ke kantor, ya? Ok, sama-sama. Bye-bye.”
Sekilas Radit hanya menatap wajah laki-laki itu, sebelum ia berlalu dari tempat itu.
“Pak Radit...?” “Eh, iya, Bu Ningrum...?” Agak tergagap Radit menjawab panggilan atasannya itu, sehingga ia memasukkan begitu saja barang-barangnya ke dalam tak kerjanya. Ia bersiap akan pulang. “Pak Radit bisa lanjut membantu saya untuk menyusun proposal yang tak jadi kita susun tempo hari?” “Malam ini, Bu?” “Iya, Pak. Pak Dirut ingin proposal itu selesai malam ini agar bisa diajukan esok hari. Bagaimana, apakah Pak Radit bisa?” Jika itu permintaan Pak Dirut, tentu sangat sulit baginya untuk menolak. Beliau sudah sangat baik terhadapnya pada momen ia sedang kritis keuangan. Memang, selama ini ia dan Bu Ningrum, sang manajer muda itu itu, selalu diminta oleh beliau untuk bekerja sama dalam menyiapkan surat-surat jenis itu. Proposal hasil penyusunan mereka itu selalu lolos dan terima oleh calon perusahaan mitra. Radit pun akhirnya mengangguk tegas. “Tentu, Bu. Pasti bisa. Sekarang ya, Bu.” “Iya, Pak Radit. Mudah-mudahan kita bisa
Diskusi Radit dengan Bu Ningrum terhenti oleh nada panggilan di ponselnya. Mengetahui bahwa yang memanggil adalah Nagita, Radit segera mengangkat ponselnya, setelah meminta maaf kepada Bu Ningrum. “Ya Dik, assalamualaikum ....” Tanpa menjawab salam, Nagita langsung saja mengutarakan maksudnya dengan nada yang masih tak ramah. Kayaknya ia masih menyimpan kemarahannya. “Ntar Mas pulang mampir dulu ke restoran! Aku dan ibu belum makan, nih!” “Oh, i-iya, Dik. Siap ...!” “Kok teleponnya hanya sebentar, Pak Radit?” “Oh iya, Bu. Istri saya hanya ingin menyampaikan sebuah pesan. Maaf, sampai di mana tadi, Bu?” Bu Ningrum menatap wajah laki-laki di depannya dengan sedikit tersenyum. Sesungguhnya, ia dapat membaca kegundahan di wajah laki-laki itu. Namun ia hanya pura-pura tidak menyadarinya saja. Pada saat yang sama, pikiran Radit memang sudah tidak fokus lagi. Di benaknya hanya terbayang wajah tak suka Nagita. Namun ia tetap berusaha un
Sebenarnya, Radit menginginkan sang istri menjadi ibu rumah tangga biasa saja dan mengurus Noni yang saat itu masih balita dan membutuhkan perhatian penuh dari ibunya. Tetapi Nagita bersikeras ingin menjadi wanita pekerja dan berkarier. “Lagian, Mas, kan sayang juga kan jika ijazah sarjana luar negeriku nggak diaplikasikan di dunia kerja,” ucap Nagita saat itu. Sebuah alasan yang memang logis, dan membuat Radit tak punya argumen apa pun untuk melarangnya. “Baiklah kalau begitu, Dik,” Radit akhirnya mengamini.. “Kausiapkan saja surat-surat yang dubutuhkan untuk melamar. Aku akan coba memasukkannya ke sebuah perusahaan. Kebetulan di perusahaan itu aku punya kenalan. Ya, bisa dikatakan sebagai pejabat penting dalam perusahaan itu. Siapa tahu dia bisa membantu.” “Jadi...aku tak perlu memasukkannya sendiri?” “Tak perlu. Dik tinggal tunggu panggilan saja.” Saat mengantarkan surat lamaran istrinya ke perusahaan yang dimaksud, Radit mewanti-wanti
Saat mereka menikmati hidangan dengan kepiting Alaska, baik Ningrum maupun Radit hanya sekali-sekali membicara sesuatu hal. Dan itu pun didominasi oleh Ningrum. Entah mengapa, saat itu ia merasa jauh lebih dekat dengan bawahannya itu. Ia lebih sering melihat ke depan. Ia juga merasa, behwa ternyata Raditya pria yang simpatik, juga tampan, tentunya. Hal yang selama ini seolah-olah luput dari penilaiannya. Saat keduanya sedang menikmati makan siang itu, kegiatan tangan Radit di atas piring tiba-tiba terhenti. Pandangan matanya terpaku pada dua tamu restoran yang saat itu mengambil meja di pojok lain ruangan restoran. Itu adalah Nagita bersama seorang laki-laki. Radit merasa tak asing dengan laki-laki yang datang bersama istrunya itu. Tanpa diketahui oleh Ningrum, Radit terus mengarahkan pandangannya ke arah itu. Ketika tiba-tiba laki-laki itu melap bagian wajah Nagita menggunakan tisu, darahnya berdesir cepat. Saat itu juga ia merasa telah dicurangi oleh Nagita. Selera
Baru kali ini Bu Ratri melihat Radit emosi seperti itu. Selama ini sang menantu itu selalu tenang dan sabar menghadapi sikap Nagita yang terkadang memang suka semena-mena terhadapnya. Ia tentu tidak bisa menafikan sifat baik sang menantu itu. Jika ia sampai emosi begitu, berarti kebenarannya tidak boleh ia abaikan. “Mungkin ada hal penting yang sedang mereka lakukan saat itu, Dit. Jadi, apa kenyataannya tidak seperti apa yang kamu lihat dan pikirkan. Terlebih kita sedang berada di sebuah restoran seperti yang kaubilang. Apakah itu masuk kategori berselingkuh atau semacamnya itu?” “Aku ini laki-laki dan seorang suami, Bu, tentu bisa membedakan mana perilaku wajar dan tak wajar istrinya! Nih, Ibu lihat ini. Beberapa hari yang lalu kalung ini saya ingin membelinya buat Nagita. Tapi pada saat yang sama, laki-laki yang saya lihat bersama Nagita tadi lebih dahulu meminta kalung ini pada penjaga gerainya. Tanggal dan tempat pembelian pun persis sama.” Bu Ratri mengambil
Melihat buah hatinya terlihat ketakutan seperti itu, Radit segera memeluk dan mencium Noni berkali-kali. Ia memejamkan kedua matanya dan mengucapkan istighfar berkali-kali. Lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia melepaskan pelukannya dan berdiri. Selanjutnya tanpa meninggalakan kalimat apa-apa, ia langsung keluar dari kamar dan pergi dari rumah dengan sepeda motornya. Di sebuah taman publik di daerah Menteng ia duduk merenung seorang diri. Saat itu a merasakan sakit yang sangat menghujam ulu hatinya. Kata-kata Nagita baginta laksana sebilah meteor yang menyayat malam. Tajam dan menikam. Berkali-kali pula ia menyeka kedua sudut matanya dengan sisi ujung telunjuknya. Ia tak nyaris tak mampu membedakan, saat itu air matanya keluar akibat apa? Akibat sakit ataukah karena sebuah penyesalan? Oh, tidak. Ia sama sekali tidak merasa menyesal dengan pilihannya. Mungkin hanya karena sakit dan kecewa saja. Radit teringat wajah Papanya, dan tiba-tiba ia sangat merindukannya. I
Selama seminggu Radit tak pulang ke rumah dan lebih menginap di hotel. Hatinya begitu sakit dan kecewaan. Andaikata ibu mertuanya tak mengirimkan pesan WA yang memberitahu bahwa Noni sakit, mungkin ia tak akan kembali dalam wkatu dekat. “Ya Tuhan, pesan itu terkirim sejak semalam!” desahnya panik saat membaca pesan itu. Memang, sejak ia memutuskan tak pulang ke rumah, ia tak mengaktifkan nomor yang biasa dipakai, tetapi menggunakan nomor perdana. Benar juga, suhu tubuh sang buah hatinya begitu tinggi. “Sejak kapan ia sakit, Bu?” tanyanya pada Bu Ratri sembari membelai rambut Noni yang saat itu sedang tertidur, ketika ia telah sampai di rumah. Ia melihat sang buah hati tertidur pulas dengan wajah yang memang sangat pucat. “Sejak semalam. Dia selalu memanggil-manggil namamu. Ibu menelepon kau tapi nomormu tak pernah aktif beberapa hari.” “Oh iya, Bu, maaf, memang aku sengaja tak aktifkan nomor itu. Trus kenapa Mamanya nggak membawa Noni ke rumah sakit?”
Keesokan harinya Noni sudah terlihat sehat dan ceriah kembali, sehingga pada sore hari pihak rumah sakit sudah memperbolehkan pasien untuk chek-out. Saat melihat Nagita sudah ada di rumah, Radit tidak merasa kaget lagi. Ia berusaha untuk tak mengajaknya bicara apa pun. Ia tak ingin dari pembicaraan itu akan berkembang menjadi sebuah pertengkaran. Sekarang ia lebih mengutamakan perasaan Noni daripada perasaan siapa pun, terutama perasaan Nagita. Buat apa ia memikirkan perasaan wanita yang berstatus sebagai istrinya itu sementara perasaannya sama sekali tak dianggap oleh wanita itu. Dan malam itu ia hanya ingin segera istirahat dengan memeluk tubuh mungis sang buah hatinya, Noni, di kamarnya Noni. Pagi hari, di meja makan, ketika Noni sudah ke sekolah bersama Bik Ipah, Nagita berusaha mengajaknya bicara. “Maaf, kemarin aku pulang lebih awal karena memikirkan kondisinya Noni.” Radit hanya menatap wajah ibu dari putrinya itu sesaat dan menjawab singkat, “Iya.”