Share

PART 07

       “Pak Radit...?”

       “Eh, iya, Bu Ningrum...?” Agak tergagap Radit menjawab panggilan atasannya itu, sehingga ia memasukkan begitu saja barang-barangnya ke dalam tak kerjanya. Ia bersiap akan pulang.   

       “Pak Radit bisa lanjut membantu saya untuk  menyusun proposal yang tak jadi kita susun tempo hari?”

       “Malam ini, Bu?”

      “Iya, Pak. Pak Dirut ingin proposal itu selesai malam ini agar bisa diajukan esok hari. Bagaimana, apakah Pak Radit bisa?” 

       Jika itu permintaan Pak Dirut, tentu sangat sulit baginya untuk menolak. Beliau sudah sangat baik terhadapnya pada momen ia sedang kritis keuangan. Memang, selama ini ia dan Bu Ningrum, sang manajer muda itu itu, selalu diminta oleh beliau untuk bekerja sama dalam menyiapkan surat-surat jenis itu. Proposal hasil penyusunan mereka itu selalu lolos dan terima oleh calon perusahaan mitra.

       Radit pun akhirnya mengangguk tegas. “Tentu, Bu. Pasti bisa. Sekarang ya, Bu.”

     “Iya, Pak Radit. Mudah-mudahan kita bisa rampungkan cepat malam ini.”

     “Oh, baik, Bu.”

      Seharusnya, Radit selalu langsung pulang dari kantor tempatnya bekerja. Di parking area perusahaan, ia akan menutupi pakaian kerjanya dengan jaket dari sebuah perusahaan ojol tempatnya bernaung untuk mencari penghasilan tambahan. Ia tak akan meninggalkan sumber penghasilan tambahan itu walau rekening banknya saat ini sudah sangat membengkak. Uang bonus dari Papanya tempo hari dan ditambah lagi persen dari para pemilik lahan, membuatnya diam-diam menjadi orang yang kaya mendadak saat itu. Tak siapa pun yang tahu masalah itu, termasuk Nagita, istrinya sendiri. Rasa kecewanya masih melekat dalam hatinya atas sikap istrinya itu yang memandang rendah dirinya selaku seorang suami, sehingga Nagita pun mengabaikan kepentingan keluarganya sendiri.

       Memang, sejak beberapa bulan yang lalu, sehabis jam kantor, Radit akan melanjutkan mencari tambahan penghasilan di jalanan sebagai seorang driver ojol. Hasilnya ya lumayanlah untuk menambah uang belanja. Ketika ia sedang mengantarkan penumpangnya, terkadang ia bisa mendapatkan info tentang adanya lahan, bangunan, atau kendaraan yang hendak dijual dan ia makelari. Hasilnya ya lumayan. Tetapi hasil makelar yang paling besar ia peroleh adalah dari lahan yang dibeli oleh papanya itu.

       Nagita malam itu pun pulang agak terlambat. Ia baru sampai rumah pukul sepuluh malam.

       “Mas Radit belum pulang, Bu?” tanya Nagita kepada ibunya, Bu Ratri, yang saat itu sedang bermain hape di sofa ruang tamu.

      “Belum. Masih mengantar penumpang ojegnya, kali?” Wanita berusia nyaris paroh baya itu seolah sedang bicara dengan gawai yang sedang dipegangnya. Ia sangat suka menonton kembali Drakor kesukaannya melalui Youtube. Terkadang membahaskan kembali dengan Nagita.

       “Noni ...?”

       “Baru saja bobok dia. Ibu ini baru saja keluar dari kamarnya, membacakan dongeng buatnya. Agak rewel dia tadi, sampai aku lewat nonton Drakornya. Katanya ada yang ingin dia omongkan sama kamu dan papanya.”

       “Hm. Paling tentang ultah sekolanya. Lusa sekolahnya memang ultah.”

       “Oh iya, paling itu yang ingin Noni omongkan. Lantas kamu sudah membuat rencana untuk itu, Git. Apa kamu akan mendampingi Noni di sekolahnya?

      “Besok aja bahasnya, Bu. Biar papanya yang memikirkan dan merencanakannya. Tugasku di kantor juga sedang padat saat ini,” sahut Nagita dengan ekspresi males. “Terus Bik Ipah jadi pulang kampung tadi siang?”

       “Jadi, tadi jam  sebelah siang.”

       Nagita hanya menanggapinya dengan helaan nafas panjang sembari masuk ke dalam kamarnya, membersihkan dirinya di kamar mandi dan mengganti pakaiannya dengan pakaian piyama.

       “Kau nggak bawa makanan, Git?” tanya Bu Ratri, ketika Nagita keluar dari kamarnya dan duduk di sofa di seberangnya.

       “Nggak. Aku kira Ibu masak untuk makan malam kita,” sahut Nagita santai sembari melihat ke arah ibunya sekilas sebelum tatapannya tertuju pada layar ponsel yang dipegangnya.

       “Ikh, bosen masak sayur dan lauk itu-itu mulu, Git. Sekali-sekali kamu beli makanan di luar ke’, trus kita nikmati bareng-bareng di rumah.”

       “Ya, maaf deh, Bu. Gita nggak tau. Jadi Noni juga belum makan, dong?”

       “Noni sudah makan. Tadi dia beli bubur ayam yang biasa lewat depan rumah. Mama yang belum.”

       Nagita menghela nafas panjang. Ponsel di tangannya tiba-tiba berbunyi. Nada panggilan.

      Saat dilihatnya siapa yang menghubunginya, raut wajahnya kian terlihat lesu dan gusar. “Iya, Mas ...? Apa ...? Jadi Mas sekarang lembur, gitu? Nggak ngojek, dong? Halo ...! Mas ...!”

      Telepon putus, membuat wajah Nagita terlihat kesal dan langsung mematikan ponselnya. Sempat pula ia melampiaskan emosinya dengan membanting ponselnya di sofa di sampingnya sambil menggerutu dengan wajah kesal.

      “Kalau Radit lembur, berarti makan malam kita terlambat dong, Git?” ucap Bu Ratri, juga dengan nada dan wajah merajuk.

      Nagita tidak menyahuti ucapan mamanya, namun justru mengusap layar ponselnya dan menghubungi kembali suaminya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status