Share

PART 07

Penulis: Aura Kisah
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-16 16:31:20

       “Pak Radit...?”

       “Eh, iya, Bu Ningrum...?” Agak tergagap Radit menjawab panggilan atasannya itu, sehingga ia memasukkan begitu saja barang-barangnya ke dalam tak kerjanya. Ia bersiap akan pulang.   

       “Pak Radit bisa lanjut membantu saya untuk  menyusun proposal yang tak jadi kita susun tempo hari?”

       “Malam ini, Bu?”

      “Iya, Pak. Pak Dirut ingin proposal itu selesai malam ini agar bisa diajukan esok hari. Bagaimana, apakah Pak Radit bisa?” 

       Jika itu permintaan Pak Dirut, tentu sangat sulit baginya untuk menolak. Beliau sudah sangat baik terhadapnya pada momen ia sedang kritis keuangan. Memang, selama ini ia dan Bu Ningrum, sang manajer muda itu itu, selalu diminta oleh beliau untuk bekerja sama dalam menyiapkan surat-surat jenis itu. Proposal hasil penyusunan mereka itu selalu lolos dan terima oleh calon perusahaan mitra.

       Radit pun akhirnya mengangguk tegas. “Tentu, Bu. Pasti bisa. Sekarang ya, Bu.”

     “Iya, Pak Radit. Mudah-mudahan kita bisa rampungkan cepat malam ini.”

     “Oh, baik, Bu.”

      Seharusnya, Radit selalu langsung pulang dari kantor tempatnya bekerja. Di parking area perusahaan, ia akan menutupi pakaian kerjanya dengan jaket dari sebuah perusahaan ojol tempatnya bernaung untuk mencari penghasilan tambahan. Ia tak akan meninggalkan sumber penghasilan tambahan itu walau rekening banknya saat ini sudah sangat membengkak. Uang bonus dari Papanya tempo hari dan ditambah lagi persen dari para pemilik lahan, membuatnya diam-diam menjadi orang yang kaya mendadak saat itu. Tak siapa pun yang tahu masalah itu, termasuk Nagita, istrinya sendiri. Rasa kecewanya masih melekat dalam hatinya atas sikap istrinya itu yang memandang rendah dirinya selaku seorang suami, sehingga Nagita pun mengabaikan kepentingan keluarganya sendiri.

       Memang, sejak beberapa bulan yang lalu, sehabis jam kantor, Radit akan melanjutkan mencari tambahan penghasilan di jalanan sebagai seorang driver ojol. Hasilnya ya lumayanlah untuk menambah uang belanja. Ketika ia sedang mengantarkan penumpangnya, terkadang ia bisa mendapatkan info tentang adanya lahan, bangunan, atau kendaraan yang hendak dijual dan ia makelari. Hasilnya ya lumayan. Tetapi hasil makelar yang paling besar ia peroleh adalah dari lahan yang dibeli oleh papanya itu.

       Nagita malam itu pun pulang agak terlambat. Ia baru sampai rumah pukul sepuluh malam.

       “Mas Radit belum pulang, Bu?” tanya Nagita kepada ibunya, Bu Ratri, yang saat itu sedang bermain hape di sofa ruang tamu.

      “Belum. Masih mengantar penumpang ojegnya, kali?” Wanita berusia nyaris paroh baya itu seolah sedang bicara dengan gawai yang sedang dipegangnya. Ia sangat suka menonton kembali Drakor kesukaannya melalui Youtube. Terkadang membahaskan kembali dengan Nagita.

       “Noni ...?”

       “Baru saja bobok dia. Ibu ini baru saja keluar dari kamarnya, membacakan dongeng buatnya. Agak rewel dia tadi, sampai aku lewat nonton Drakornya. Katanya ada yang ingin dia omongkan sama kamu dan papanya.”

       “Hm. Paling tentang ultah sekolanya. Lusa sekolahnya memang ultah.”

       “Oh iya, paling itu yang ingin Noni omongkan. Lantas kamu sudah membuat rencana untuk itu, Git. Apa kamu akan mendampingi Noni di sekolahnya?

      “Besok aja bahasnya, Bu. Biar papanya yang memikirkan dan merencanakannya. Tugasku di kantor juga sedang padat saat ini,” sahut Nagita dengan ekspresi males. “Terus Bik Ipah jadi pulang kampung tadi siang?”

       “Jadi, tadi jam  sebelah siang.”

       Nagita hanya menanggapinya dengan helaan nafas panjang sembari masuk ke dalam kamarnya, membersihkan dirinya di kamar mandi dan mengganti pakaiannya dengan pakaian piyama.

       “Kau nggak bawa makanan, Git?” tanya Bu Ratri, ketika Nagita keluar dari kamarnya dan duduk di sofa di seberangnya.

       “Nggak. Aku kira Ibu masak untuk makan malam kita,” sahut Nagita santai sembari melihat ke arah ibunya sekilas sebelum tatapannya tertuju pada layar ponsel yang dipegangnya.

       “Ikh, bosen masak sayur dan lauk itu-itu mulu, Git. Sekali-sekali kamu beli makanan di luar ke’, trus kita nikmati bareng-bareng di rumah.”

       “Ya, maaf deh, Bu. Gita nggak tau. Jadi Noni juga belum makan, dong?”

       “Noni sudah makan. Tadi dia beli bubur ayam yang biasa lewat depan rumah. Mama yang belum.”

       Nagita menghela nafas panjang. Ponsel di tangannya tiba-tiba berbunyi. Nada panggilan.

      Saat dilihatnya siapa yang menghubunginya, raut wajahnya kian terlihat lesu dan gusar. “Iya, Mas ...? Apa ...? Jadi Mas sekarang lembur, gitu? Nggak ngojek, dong? Halo ...! Mas ...!”

      Telepon putus, membuat wajah Nagita terlihat kesal dan langsung mematikan ponselnya. Sempat pula ia melampiaskan emosinya dengan membanting ponselnya di sofa di sampingnya sambil menggerutu dengan wajah kesal.

      “Kalau Radit lembur, berarti makan malam kita terlambat dong, Git?” ucap Bu Ratri, juga dengan nada dan wajah merajuk.

      Nagita tidak menyahuti ucapan mamanya, namun justru mengusap layar ponselnya dan menghubungi kembali suaminya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 52

    Dengan berbagai pertimbangan, Nagita pun memutuskan untuk mengajak Radit untuk bicara. Akan tetapi, ketika ia hendak membuka mulutnya, laki-laki yang telah berstatus sebagai mantan suaminya itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya, dan tidur miring memeluk guling dengan posisi membelakangi Noni dan dirinya. Nagita menghela nafasnya lalu mengecilnya nyala lampu tidur. Selanjutnya ia berusaha untuk memejamkan matanya. Saat itu jarum jam dinding telah menunjukkan pukul 00.22. Namun pada keesokan harinya ia masih memikirkan tentang rencananya itu. Setelah memikirkannya secara berulang-ulang, Nagita pun memutuskan untuk menelepon Radit. Ia menyampaikan keinginannya untuk bicara itu dengan sangat hati-hati. “Ya silakan bicara saja, insha Allah aku akan mendengarkannya?” sahut Radit. Saat itu kebetulan ia baru saja selesai melakukan pengecekan terhadap file-file laporan yang masuk pada hari itu yang tertera pada layar laptop di hadapannya. “Aku ingin bicara empat mata d

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 51

    Beberapa bulan kemudian Noni sudah menemukan kembali keceriaannya. Pihak tim dokter yang menanganinya sudah memperbolehkan ia untuk check out dari rumah sakit. Artinya sudah diperbolehkan untuk dibawa pulang ke Indonesia. Hanya saja, gadis kecil itu selanjutnya masih harus menjalani terapi-terapi khusus di rumah sakit Indonesia secara berkala, terutama untuk mengetahui perkembangan dari kondisi penyakitnya. Namun dokter di Beijing itu berpendapat, bahwa Noni akan mendapatkan kesehatan kesehatannya secara optimal seiring waktu. Setelah di Indonesia, gadis itu lebih banyak tidur bersama kedua orang tuanya, Radit dan Nagita. Ia sangat bahagia karena ia bisa kembali tidur di antara kedua orang yang paling disayanginya. Ia memang selalu rindu pada dongeng-dongeng yang selalu dituturkan oleh kedua orang tuanya itu untuk mengantarkannya ke dunia mimpi. “Oh ya, Sayang,” ucap Radit suatu malam pada Noni, sebelum ia menuturkan sebuah dongeng pada sang putrinya, “sembari menungg

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 50

    Beberapa menit kemudian terdengar ketukan di pintu. “Ya, silakan masuk,” ucap Radit. “Selamat siang, Mas,” salam Ningrum sembari menutup kembali pintunya. “Silakan duduk.” “Terima kasih.” Raditya menatap wajah wanita di depannya dan tersenyum. “Bagaimana keadaanmu hari ini?” tanya Raditya. “Alhamdulillah baik, Mas.” “Tadi malam Ning punya mimpi apa?” “Mimpi?” Kedua Ningrum saling merapat. Terasa ada semacam kejanggalan yang ia rasakan dalam pertanyaan itu. “Malah aku nggak sempet mimpi kayaknya, Mas. Tidur saja baru jam dua dini hari baru bisa terlelap, trus bangun subuh. Kenapa, Mas?” “Ntar kujawab pertanyaanmu, aku ingin lanjut bertanya dulu,” ucap Radit. “Kenapa tidurnya terlambat?” “Hm, nggak tau juga, Mas. Terasa gelisah saja, padahal aku sedang tidak memikirkan sesuatu apa pun yang sifatnya berat.” “Hm, berarti itu pengganti mimpinya!” celetuk Radit. “Maksud, Mas?” “Begini, tadi papaku video ca

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 49

    Kondisi Raditya sudah dinyatakan pulih seratus persen setelah beberapa bulan pasca operasi transplantasi. Kondisi Noni pun makin mengarah ke kemajuan. Hanya saja ia masih terus menjalani siklus kemoterasi. Namun tim dokter memprediksi, bahwa kesembuhan Noni bisa lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Sebuah keajaiban. Setelah benar-benar klir dinyatakan sembuh sempurna, Raditya diperbolehkan oleh sang ayah, Abdul Karim Pambudi, untuk kembali mengurus perusahaan. Ia tidak hanya menangani secara online, namun juga pulang ke Indonesia. Seminggu di Indonesia dan seminggu di Beijing secara rutin. Sementara Pak Abdul Karim lebih betah mengendalikan kerajaan bisnisnya di Beijing dengan dibantu oleh beberapa tenaga ahlinya yang didatangkan ke Beijing, walau sekali-sekali beliau datang ke Jakarta. Laki-laki paruh baya itu terlihat lebih betah, terlebih karena beliau di Beijing ia selalu ada Bu Ratri untuk temannya bercerita. Begitu pun Bu Ratri, terlihat selalu c

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 48

    Setelah dua minggu dalam masa menunggu, tim dokter memberikan kabar yang menggembirakan kepada Radit bahwa telah ada seseorang yang menyatakan siap untuk menjadi pendonornya. “Hanya saja,” kata sang dokter yang diterjemahkan oleh Nona Lie, “dengan alasan tertentu, sang pendonor meminta agar kami merahasiakan dulu identitasnya kepada Tuan Raditya.” “Mengapa seperti itu? Harusnya aku tahu siapa orang yang mau mengorbankan dirinya untuk menolomng hidup aku, Pak?” Radit justru menatap dan bertanya pada papanya. “Ya, seperti Pak Dokter barusan bilang, dengan alasan tertentu sang pendonor minta identitasnya untuk dirahasiapakan pada kamu. Papa kira nggak masalah. Mungkin itu berkenaan dengan privacy-nya sang pendonor?” Radit menoleh pada Nagita, “Apakah kamu yang akan melakukannya?” Nagita menggeleng, “Bukan, Mas. Lagi pula ... aku belum lama mendonorkan sumsum tulang kepada Noni. Apakah seseorang boleh mendonorkan bagian tubuhnya yang berbeda s

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 47

    Setelah semua perencanaan telah disiapkan secara matang, seminggu kemudian, penerbangan menuju Negeri Tirai Bambu pun dilakukan. Perjalanan selama lebih dari tujuh jam dari Bandara Soetta menuju Beijing Capital International Airport terasa cukup melelahkan. Setiba di Beijing, Radit dan Noni langsung melakukan chek in di rumah sakit yang dirujuk untuk melakukan pemeriksaan klinis pertama. Untuk Radit masih dalam tahap dilakukan general chek-up. Dari situ akan dimulai riset klinis untuk menentukan calon pendonor. Dan hasilnya akan segera keluar dalam beberapa hari ke depan. Sementara Noni, kondisinya memang drop, jadi harus langsung dilakukan perawatan yang intensif. Dari hasil test darah, darahnya lumayan naik. Tim dokter yang menanganinya menyarankan agar pasien dirawat inap supaya mendapatkan penanganan medis yang maksimal. Kondisi dropnya Noni dipicu juga oleh kecapaian akibat perjalanan udara yang cukup lama dan kondisi dari penyakit leukemia yang diderit

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 46

    “Ketika Noni divonis mengidap penyakit leukemia dan melihatnya, dunia rasanya terbalik,” ucap Radit. ”Saat itu pun aku bertekad akan membawa Noni untuk berobat ke sebuah rumah sakit terbaik di dunia ini, di mana pun itu. Dan perasaan itu kini dirasakan juga oleh Papa. Jadi, jika Papa ingin membawa kami ke untuk berobat ke Tiongkok, maka tak ada alasan bagi aku untuk menolaknya, Pap. Tapi semuanya harus ada di sekitar kami. Semua harus ikut. Bahkan Bi Ifah pun harus ikut.” “Ya tentu, dong, Dit. Soal itu tak perlu Radit ucapkan lagi, paham jauh lebih paham arti sebuah keluarga bagi kehidupan seseorang. Jika ada keluarga kita yang lain lagi mau ikut, ya silakan. Jet pribadi Papa bisa memuat hingga sembilan belas penumpang.” “Terima kasih, Pap,” ucap Radit lalu bangkit dari duduknya dan melangkah ke ayah Papanya lalu memeluk tubuh laki-laki itu dengan erat dan terisak. “Papa adalah orang yang paling memahami aku di atas dunia ini. Entah bagaimana lagi aku harus mengu

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 45

    Pasca keluar dari rumah sakit, atas permintaan sang papa, Pak Abdul Karim Pambudi, setelah memberikan berbagai alasan yang sangat masuk akal, terutama alasan yang berkenaan dengan kondisinya dan Noni, Radit pun memutuskan untuk pindah ke rumah papanya. “Rumah itu terlalu luas untuk Papa diami seorang diri. Alangkah bagusnya jika rumah seluas itu ditempati oleh banyak orang,” begitu alasan lain yang dikemukakan oleh Pak Abdul Karim Pambudi. Radi memboyong semua keluarganya, termasuk sang asisten rumah tangganya. Bi Ipah. Kecuali Bi Ipah, Radit dan keluarga kecilnya, termasuk ibu mertuanya, menempati ruangan di lantai dua. Radit memenuhi janjinya pada sang buah hati, Noni, untuk selalu tidur bersamanya. Jadi, sejak saat itu mereka bertiga menempati satu kamar dan tidur di tempat tidur yang sama dengan Noni tidur di tengah. Namun demikian, kedekatan yang sesungguhnya antara Radit dan Nagita itu belum kembali. Jarak itu masih tercipta. Radit

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 44

    “Oh iya, Pak Radit. Dengan berat hati saya harus sampaikan, bahwa hasil test darahnya Noni ....” Radit tak mampu lagi mendengarkan kelanjutan dari kalimatnya Dokter Ediman. Ia terlanjur lemas dan tak sadarkan diri. Entah berapa lama ia pingsan. Hanya saja ketika siuman, ia telah berada di atas sebuah pembaringan dalam sebuah kamar yang berwarna serba putih dengan nasal kanul yang terpasang pada kedua lubang hidungnya. Selanjutnya Radit melihat dalam ruangan itu ada wajah papanya, Abdul Karim, Ibu Ratri, Nagita, Ningrum, dan Noni. Ia sedang dirawat di ruang VVIP di sebuah rumah sakit. Melihatnya siuman, semua spontan bangkit dari duduk mereka dan berdiri di sisi bed rawat. “Berapa lama aku pingsan?” tanya Radit dengan suara lemah, tanpa ditujukan secara khusus pada siapa pun. “Tadi siang kamu jatuh pingsan, sekarang sudah mau isya’,” yang menjawab Pak Abdul Karim Pambudi, papanya, dan, “Apa sebenarnya yang kamu rasakan, Dit?” Radit tak

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status