Saat melintas di sebuah jalan yang akan memasuki wilayah Tangsel, tanpa sengaja Radit melihat sebuah mobil Baleno merah yang sangat dikenalnya terparkir di sebuah restoran. Dengan spontan ia membelokkan sepeda motornya ke areal parkir restoran itu. Baru saja ia mematikan mesin sepeda motonya, ia melihat Nagita keluar dari restoran besar itu.
“Dik, kau malah di sini?”
Nagita sangat kaget dengan keberadaan Radit di tempat itu. Tapi hanya sesaat. Kemudian dengan santai ia menjawab, “Iya, ada acara penting kolega. Dan Mas sendiri kenapa ada di sini? Apakah acaranya sudah selesai?”
Saat Radit hendak menjawab, beberapa orang laki-laki muda bersama pasangan mereka keluar dari restoran. Kepada Nagita para pasangan itu melambaikan tangan mereka kepada Nagita dan dibalas oleh Nagita dengan hal yang serupa.
Seorang pria muda yang keluar sendirian langsung berjalan mendekati Nagita dan berkata, “Terima kasih ya, Mbak Cantik, atas bantuan dananya, sehingga acaraku terlaksana. Saya duluan, ya? Bye-bye ...!”
Kedua mata Radit langsung melebar sempurna, sangat kaget.
“Jadi ... kau mendanai acara orang lain? Pemuda itu? Sementara untuk biaya buah hatimu sendiri kaubilang tak punya uang? Bahkan waktumu tak ada di hari bahagiannya Noni! Tetapi biaya dan waktu kaucurahkan untuk pemuda itu! Siapa dia!” Kemarahan Radit langsung meninggi.
“Iya, Mas, itu kolegaku dari perusahaan lain. Kemarin ia baru naik jabatan. Dia mau mengadakan syukuran kecil-kecil, kebetulan dia belum gajian, trus dia minta bantuan untuk minjem uangku. Besok-besok juga akan dia kembalikan, kok!” Dengan santai dan wajah males Nagita menjawab.
“Oh, begitu? Luar biasa. Kepentingan orang lain kaunomorsatukan, sementara kepentingan buah hatimu sendiri kauabaikan! Ibu macam apa kau ini, Dik?!”
“Sudahlah, Mas! Jangan ribut-ribut di sini, malu dilihat orang. Gitu aja lebay! Aku mau kembali ke kantor dulu, masih ada pekerjaan!”
Tanpa menunggu jawaban dari Radit, Nagita langsung melangkah cepat menuju mobilnya. Sikapnya seolah-olah tanpa beban sama sekali.
“Baik! Nanti malam kita akan bahas tentang ini di rumah ...!” ucap Radit dengan suara yang tinggi.
Nagita tak menanggapi. Ia langsung saja masuk dan menjalankan mobilnya, keluar dari areal parkir.
Radit merasa sangat tak dianggap. Ia sangat dongkol dan spontan menghentakkan kaki kanannya ke ubin dengan cukup kuat. Berkali-kali ia mengusap dahinya sendiri. “Astaghfirullah haladzim. Ya Allah, mengapa istriku sudah jauh berubah seperti itu sikapnya?” ucapnya pelan.
Sejurus kemudian ia sudah kembali melintas di jalanan yang ramai, menuju arah barat, lalu membelokkan stang sepeda motornya ke jalan desa yang membelah areal persawahan yang luas. Beberapa laki-laki yang menunggunya melambaikan tangannya ke arahnya.
“Assalamualaikum. Maaf, agak terlambat, tadi lumayan macet,” ucap Radit begitu turun dari sepeda motornya dan menyalami keempat bapak-bapak itu.
“Waalaikumsalam. Iya, Pak Radit, tak apa-apa. Karena memang ini sedang jam pulang kantor,” sahut salah seorang dari keempat laki-laki. Setahu Radit, ia bernama Pak Jarot, salah seorang pemilik lahan persawahan yang akan dijual. Para pemilik lahan itu mempercayakan kepadanya untuk menjadi perantara dalam menjual lahan mereka.
“Lantas bagaimana hasil pembicaraan dengan calon pembeli lahannya, apa ada perkembangan?” tanya Radit. Memang, Radit meminta kepada calon peminat lahan-lahan itu untuk membicarakannya langsung dengan para pemilik lahan, termasuk soal tawar-menawar harganya.
“Sudah, Pak Radit,” yang menjawab Pak Jarot lagi. “Untuk harganya sementara sudah disetujui. Calon pembelinya sebentar lagi akan ....”
Pak Jarot tak melanjutkan ucapannya, karena bapak-bapak yang bernama Pak Rohim menunjuk ke arah rombongan tiga kendaraan mobil mewah mendatang dari arah utara. “Kayaknya itu rombongan mobil mereka.”
Radit menoleh. Saat dilihatnya mobil Toyota Lexus yang berjalan di tengah yang nopolnya sudah sangat ia hafal, wajahnya menunjukkan kekagetan.
Pada saat rombongan ketiga mobil itu berhenti di dekat mereka, dan sang bos keluar dari pintu Lexus yang dibukakan oleh sopirnya, Radit langsung memalingkan wajahnya ke arah lain sembari mengusap wajahnya.
Sementara, sang bos yang mengenakan jas tuxedo krem dengan kombinasi celana panjang berwarna gelap serta mengenakan topi koboi berwarna sama dengan jasnya itu ketika melihat Radit ada di tempat itu, tak kalah kagetnya.
“Lho, kau ada di sini, Dit?” tanya sang bos sembari menunjuk Radit dengan tongkat bantu jalannya.
Radit membalikkan wajahnya dan menatap wajah sang bos dengan santai, dan, “Jadi ... Papa yang membeli lahan-lahan ini?”
“Iya, benar, Dit. Rencananya ... di lahan yang luas ini akan Papa bangun sebuah komplek perumahan mewah. Tentu kau senang kan dengan rencana Papa ini? Tapi kenapa kau berdirinya seperti itu, dan tidak memeluk Papa dulu baru bertanya? Papa sangat rindu dengan kamu, Dit.”
Radit tersenyum dan langsung berjalan mendekati Sang Papa, Abdul Karim Pambudi, lalu memeluknya erat. “Aku juga merindukan Papa, tentunya,” ucapnya. “Tentu, Pap, aku sangat menyetujui apa pun yang hendak Papa kerjakan untuk perusahaan Papa, karena aku tahu, bahwa Papa adalah seorang pebisnis kawakan yang pernah aku kenal.”
Pak Karim mencopot kacamatanya dan mengucap cairan bening yang keluar dari kedua sudut matanya dengan sapu tangannya. “Jadi ... kau yang menjadi perantara atas penjualan lahan-lahan ini?”
“Iya, Pap. Ya, buat nambah-nambah penghasilan, Pap,” sahut Radit sembari melepaskan pelukan di tubuh papanya. Ia juga menyembunyikan genangan bening di kedua matanya, dan dengan cepat ia hapus dengan ujung telunjuknya.
Mendengar jawaban Radit, Pak Karim langsung tertawa. “Apa yang kaulakukan membuat Papa jadi teringat masa lalu Papa. Papa juga pernah nyambil menjadi perantara jual-beli seperti ini, Dit.”
“Iya, Pap, aku tahu. Papa pernah menceritakan semuanya.”
“Ya, ya ...!” Dan, “Oh ya, Bapak-Bapak, sebenarnya sang makelar ini adalah putra kandung saya. Ini bukan sebuah kebetulan, tapi sudah ditentukan oleh Allah Ta’ala. Dia memang sedang berpetualang untuk mencari jatidirinya. Hahaha ...”
Mendengar pengakuan Sang Big Boss itu, semua yang hadir langsung mengangguk hormat pada Radit.
“Dan ...,” lanjut Pak Karim lagi, “karena juga kebetulan yang menjadi perantara dalam penjualan lahan-lahan ini adalah putra saya sendiri, maka saya menetapkan akan membeli lahan-lahan milik Bapak-Bapak ini, dengan harga yang disebutkan.”
“Terima kasih, Pak ...!” ucap keempat pemilik lahan dengan perasaan lega.
Dan Radit pun mengucapkan hal yang sama kepada Sang Papa.
“Baiklah,” lanjut Pak Karim lagi, “hanya itu dulu yang terpenting. Untuk transaksi dan penyerahan sertifikatnya akan kita lakukan besok, di kantor kelurahan setempat. Sekarang saya ingin merayakan pertemuan dengan anak saya ini di suatu tempat.”
“Baik, Pak. Terima kasih.”
“Yah, sama-sama.”
***
Dengan berbagai pertimbangan, Nagita pun memutuskan untuk mengajak Radit untuk bicara. Akan tetapi, ketika ia hendak membuka mulutnya, laki-laki yang telah berstatus sebagai mantan suaminya itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya, dan tidur miring memeluk guling dengan posisi membelakangi Noni dan dirinya. Nagita menghela nafasnya lalu mengecilnya nyala lampu tidur. Selanjutnya ia berusaha untuk memejamkan matanya. Saat itu jarum jam dinding telah menunjukkan pukul 00.22. Namun pada keesokan harinya ia masih memikirkan tentang rencananya itu. Setelah memikirkannya secara berulang-ulang, Nagita pun memutuskan untuk menelepon Radit. Ia menyampaikan keinginannya untuk bicara itu dengan sangat hati-hati. “Ya silakan bicara saja, insha Allah aku akan mendengarkannya?” sahut Radit. Saat itu kebetulan ia baru saja selesai melakukan pengecekan terhadap file-file laporan yang masuk pada hari itu yang tertera pada layar laptop di hadapannya. “Aku ingin bicara empat mata d
Beberapa bulan kemudian Noni sudah menemukan kembali keceriaannya. Pihak tim dokter yang menanganinya sudah memperbolehkan ia untuk check out dari rumah sakit. Artinya sudah diperbolehkan untuk dibawa pulang ke Indonesia. Hanya saja, gadis kecil itu selanjutnya masih harus menjalani terapi-terapi khusus di rumah sakit Indonesia secara berkala, terutama untuk mengetahui perkembangan dari kondisi penyakitnya. Namun dokter di Beijing itu berpendapat, bahwa Noni akan mendapatkan kesehatan kesehatannya secara optimal seiring waktu. Setelah di Indonesia, gadis itu lebih banyak tidur bersama kedua orang tuanya, Radit dan Nagita. Ia sangat bahagia karena ia bisa kembali tidur di antara kedua orang yang paling disayanginya. Ia memang selalu rindu pada dongeng-dongeng yang selalu dituturkan oleh kedua orang tuanya itu untuk mengantarkannya ke dunia mimpi. “Oh ya, Sayang,” ucap Radit suatu malam pada Noni, sebelum ia menuturkan sebuah dongeng pada sang putrinya, “sembari menungg
Beberapa menit kemudian terdengar ketukan di pintu. “Ya, silakan masuk,” ucap Radit. “Selamat siang, Mas,” salam Ningrum sembari menutup kembali pintunya. “Silakan duduk.” “Terima kasih.” Raditya menatap wajah wanita di depannya dan tersenyum. “Bagaimana keadaanmu hari ini?” tanya Raditya. “Alhamdulillah baik, Mas.” “Tadi malam Ning punya mimpi apa?” “Mimpi?” Kedua Ningrum saling merapat. Terasa ada semacam kejanggalan yang ia rasakan dalam pertanyaan itu. “Malah aku nggak sempet mimpi kayaknya, Mas. Tidur saja baru jam dua dini hari baru bisa terlelap, trus bangun subuh. Kenapa, Mas?” “Ntar kujawab pertanyaanmu, aku ingin lanjut bertanya dulu,” ucap Radit. “Kenapa tidurnya terlambat?” “Hm, nggak tau juga, Mas. Terasa gelisah saja, padahal aku sedang tidak memikirkan sesuatu apa pun yang sifatnya berat.” “Hm, berarti itu pengganti mimpinya!” celetuk Radit. “Maksud, Mas?” “Begini, tadi papaku video ca
Kondisi Raditya sudah dinyatakan pulih seratus persen setelah beberapa bulan pasca operasi transplantasi. Kondisi Noni pun makin mengarah ke kemajuan. Hanya saja ia masih terus menjalani siklus kemoterasi. Namun tim dokter memprediksi, bahwa kesembuhan Noni bisa lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Sebuah keajaiban. Setelah benar-benar klir dinyatakan sembuh sempurna, Raditya diperbolehkan oleh sang ayah, Abdul Karim Pambudi, untuk kembali mengurus perusahaan. Ia tidak hanya menangani secara online, namun juga pulang ke Indonesia. Seminggu di Indonesia dan seminggu di Beijing secara rutin. Sementara Pak Abdul Karim lebih betah mengendalikan kerajaan bisnisnya di Beijing dengan dibantu oleh beberapa tenaga ahlinya yang didatangkan ke Beijing, walau sekali-sekali beliau datang ke Jakarta. Laki-laki paruh baya itu terlihat lebih betah, terlebih karena beliau di Beijing ia selalu ada Bu Ratri untuk temannya bercerita. Begitu pun Bu Ratri, terlihat selalu c
Setelah dua minggu dalam masa menunggu, tim dokter memberikan kabar yang menggembirakan kepada Radit bahwa telah ada seseorang yang menyatakan siap untuk menjadi pendonornya. “Hanya saja,” kata sang dokter yang diterjemahkan oleh Nona Lie, “dengan alasan tertentu, sang pendonor meminta agar kami merahasiakan dulu identitasnya kepada Tuan Raditya.” “Mengapa seperti itu? Harusnya aku tahu siapa orang yang mau mengorbankan dirinya untuk menolomng hidup aku, Pak?” Radit justru menatap dan bertanya pada papanya. “Ya, seperti Pak Dokter barusan bilang, dengan alasan tertentu sang pendonor minta identitasnya untuk dirahasiapakan pada kamu. Papa kira nggak masalah. Mungkin itu berkenaan dengan privacy-nya sang pendonor?” Radit menoleh pada Nagita, “Apakah kamu yang akan melakukannya?” Nagita menggeleng, “Bukan, Mas. Lagi pula ... aku belum lama mendonorkan sumsum tulang kepada Noni. Apakah seseorang boleh mendonorkan bagian tubuhnya yang berbeda s
Setelah semua perencanaan telah disiapkan secara matang, seminggu kemudian, penerbangan menuju Negeri Tirai Bambu pun dilakukan. Perjalanan selama lebih dari tujuh jam dari Bandara Soetta menuju Beijing Capital International Airport terasa cukup melelahkan. Setiba di Beijing, Radit dan Noni langsung melakukan chek in di rumah sakit yang dirujuk untuk melakukan pemeriksaan klinis pertama. Untuk Radit masih dalam tahap dilakukan general chek-up. Dari situ akan dimulai riset klinis untuk menentukan calon pendonor. Dan hasilnya akan segera keluar dalam beberapa hari ke depan. Sementara Noni, kondisinya memang drop, jadi harus langsung dilakukan perawatan yang intensif. Dari hasil test darah, darahnya lumayan naik. Tim dokter yang menanganinya menyarankan agar pasien dirawat inap supaya mendapatkan penanganan medis yang maksimal. Kondisi dropnya Noni dipicu juga oleh kecapaian akibat perjalanan udara yang cukup lama dan kondisi dari penyakit leukemia yang diderit
“Ketika Noni divonis mengidap penyakit leukemia dan melihatnya, dunia rasanya terbalik,” ucap Radit. ”Saat itu pun aku bertekad akan membawa Noni untuk berobat ke sebuah rumah sakit terbaik di dunia ini, di mana pun itu. Dan perasaan itu kini dirasakan juga oleh Papa. Jadi, jika Papa ingin membawa kami ke untuk berobat ke Tiongkok, maka tak ada alasan bagi aku untuk menolaknya, Pap. Tapi semuanya harus ada di sekitar kami. Semua harus ikut. Bahkan Bi Ifah pun harus ikut.” “Ya tentu, dong, Dit. Soal itu tak perlu Radit ucapkan lagi, paham jauh lebih paham arti sebuah keluarga bagi kehidupan seseorang. Jika ada keluarga kita yang lain lagi mau ikut, ya silakan. Jet pribadi Papa bisa memuat hingga sembilan belas penumpang.” “Terima kasih, Pap,” ucap Radit lalu bangkit dari duduknya dan melangkah ke ayah Papanya lalu memeluk tubuh laki-laki itu dengan erat dan terisak. “Papa adalah orang yang paling memahami aku di atas dunia ini. Entah bagaimana lagi aku harus mengu
Pasca keluar dari rumah sakit, atas permintaan sang papa, Pak Abdul Karim Pambudi, setelah memberikan berbagai alasan yang sangat masuk akal, terutama alasan yang berkenaan dengan kondisinya dan Noni, Radit pun memutuskan untuk pindah ke rumah papanya. “Rumah itu terlalu luas untuk Papa diami seorang diri. Alangkah bagusnya jika rumah seluas itu ditempati oleh banyak orang,” begitu alasan lain yang dikemukakan oleh Pak Abdul Karim Pambudi. Radi memboyong semua keluarganya, termasuk sang asisten rumah tangganya. Bi Ipah. Kecuali Bi Ipah, Radit dan keluarga kecilnya, termasuk ibu mertuanya, menempati ruangan di lantai dua. Radit memenuhi janjinya pada sang buah hati, Noni, untuk selalu tidur bersamanya. Jadi, sejak saat itu mereka bertiga menempati satu kamar dan tidur di tempat tidur yang sama dengan Noni tidur di tengah. Namun demikian, kedekatan yang sesungguhnya antara Radit dan Nagita itu belum kembali. Jarak itu masih tercipta. Radit
“Oh iya, Pak Radit. Dengan berat hati saya harus sampaikan, bahwa hasil test darahnya Noni ....” Radit tak mampu lagi mendengarkan kelanjutan dari kalimatnya Dokter Ediman. Ia terlanjur lemas dan tak sadarkan diri. Entah berapa lama ia pingsan. Hanya saja ketika siuman, ia telah berada di atas sebuah pembaringan dalam sebuah kamar yang berwarna serba putih dengan nasal kanul yang terpasang pada kedua lubang hidungnya. Selanjutnya Radit melihat dalam ruangan itu ada wajah papanya, Abdul Karim, Ibu Ratri, Nagita, Ningrum, dan Noni. Ia sedang dirawat di ruang VVIP di sebuah rumah sakit. Melihatnya siuman, semua spontan bangkit dari duduk mereka dan berdiri di sisi bed rawat. “Berapa lama aku pingsan?” tanya Radit dengan suara lemah, tanpa ditujukan secara khusus pada siapa pun. “Tadi siang kamu jatuh pingsan, sekarang sudah mau isya’,” yang menjawab Pak Abdul Karim Pambudi, papanya, dan, “Apa sebenarnya yang kamu rasakan, Dit?” Radit tak