Share

PART 05

      Saat melintas di sebuah jalan yang akan memasuki wilayah Tangsel, tanpa sengaja Radit melihat sebuah mobil Baleno merah yang sangat dikenalnya terparkir di sebuah restoran. Dengan spontan ia membelokkan sepeda motornya ke areal parkir restoran itu. Baru saja ia mematikan mesin sepeda motonya, ia melihat Nagita keluar dari restoran besar itu.

     “Dik, kau malah di sini?”

     Nagita sangat kaget dengan keberadaan Radit di tempat itu. Tapi hanya sesaat. Kemudian dengan santai ia menjawab, “Iya, ada acara penting kolega. Dan Mas sendiri kenapa ada di sini? Apakah acaranya sudah selesai?”

     Saat Radit hendak menjawab, beberapa orang laki-laki muda bersama pasangan mereka keluar dari restoran. Kepada Nagita para pasangan itu melambaikan tangan mereka kepada Nagita dan dibalas oleh Nagita dengan hal yang serupa.

     Seorang pria muda yang keluar sendirian langsung berjalan mendekati Nagita dan berkata, “Terima kasih ya, Mbak Cantik, atas bantuan dananya, sehingga acaraku terlaksana. Saya duluan, ya? Bye-bye ...!”

     Kedua mata Radit langsung melebar sempurna, sangat kaget.

     “Jadi ... kau mendanai acara orang lain? Pemuda itu? Sementara untuk biaya buah hatimu sendiri kaubilang tak punya uang? Bahkan waktumu tak ada di hari bahagiannya Noni! Tetapi biaya dan waktu kaucurahkan untuk pemuda itu! Siapa dia!” Kemarahan Radit langsung meninggi.

     “Iya, Mas, itu kolegaku dari perusahaan lain. Kemarin ia baru naik jabatan. Dia mau mengadakan syukuran kecil-kecil, kebetulan dia belum gajian, trus dia minta bantuan untuk minjem uangku. Besok-besok juga akan dia kembalikan, kok!” Dengan santai dan wajah males Nagita menjawab.

      “Oh, begitu? Luar biasa. Kepentingan orang lain kaunomorsatukan, sementara kepentingan buah hatimu sendiri kauabaikan! Ibu macam apa kau ini, Dik?!”

      “Sudahlah, Mas! Jangan ribut-ribut di sini, malu dilihat orang. Gitu aja lebay! Aku mau kembali ke kantor dulu, masih ada pekerjaan!”

     Tanpa menunggu jawaban dari Radit, Nagita langsung melangkah cepat menuju mobilnya. Sikapnya seolah-olah tanpa beban sama sekali.

     “Baik! Nanti malam kita akan bahas tentang ini di rumah ...!” ucap Radit dengan suara yang tinggi.

     Nagita tak menanggapi. Ia langsung saja masuk dan menjalankan mobilnya, keluar dari areal parkir.

     Radit merasa sangat tak dianggap. Ia sangat dongkol dan spontan menghentakkan kaki kanannya ke ubin dengan cukup kuat. Berkali-kali ia mengusap dahinya sendiri. “Astaghfirullah haladzim. Ya Allah, mengapa istriku sudah jauh berubah seperti itu sikapnya?” ucapnya pelan.

     Sejurus kemudian ia sudah kembali melintas di jalanan yang ramai, menuju arah barat, lalu membelokkan stang sepeda motornya ke jalan desa yang membelah areal persawahan yang luas. Beberapa laki-laki yang menunggunya melambaikan tangannya ke arahnya.

     “Assalamualaikum. Maaf, agak terlambat, tadi lumayan macet,” ucap Radit begitu turun dari sepeda motornya dan menyalami keempat bapak-bapak itu.

      “Waalaikumsalam. Iya, Pak Radit, tak apa-apa. Karena memang ini sedang jam pulang kantor,” sahut salah seorang dari keempat laki-laki. Setahu Radit, ia bernama Pak Jarot, salah seorang pemilik lahan persawahan yang akan dijual. Para pemilik lahan itu mempercayakan kepadanya untuk menjadi perantara dalam menjual lahan mereka.

      “Lantas bagaimana hasil pembicaraan dengan calon pembeli lahannya, apa ada perkembangan?” tanya Radit. Memang, Radit meminta kepada calon peminat lahan-lahan itu untuk membicarakannya langsung dengan para pemilik lahan, termasuk soal tawar-menawar harganya.

     “Sudah, Pak Radit,” yang menjawab Pak Jarot lagi. “Untuk harganya sementara sudah disetujui. Calon pembelinya sebentar lagi akan ....”

     Pak Jarot tak melanjutkan ucapannya, karena bapak-bapak yang bernama Pak Rohim menunjuk ke arah rombongan tiga kendaraan mobil mewah mendatang dari arah utara. “Kayaknya itu rombongan mobil mereka.”

     Radit menoleh. Saat dilihatnya mobil Toyota Lexus yang berjalan di tengah yang nopolnya sudah sangat ia hafal, wajahnya menunjukkan kekagetan.

      Pada saat rombongan ketiga mobil itu berhenti di dekat mereka, dan sang bos keluar dari pintu Lexus yang dibukakan oleh  sopirnya, Radit langsung memalingkan wajahnya ke arah lain sembari mengusap wajahnya.

     Sementara, sang bos yang mengenakan jas tuxedo krem dengan kombinasi celana panjang berwarna gelap serta mengenakan topi koboi berwarna sama dengan jasnya itu ketika melihat Radit ada di tempat itu, tak kalah kagetnya.

     “Lho, kau ada di sini, Dit?” tanya sang bos sembari menunjuk Radit dengan tongkat bantu jalannya.

     Radit membalikkan wajahnya dan menatap wajah sang bos dengan santai, dan, “Jadi ... Papa yang membeli lahan-lahan ini?”

     “Iya, benar, Dit. Rencananya ... di lahan yang luas ini akan Papa bangun sebuah komplek perumahan mewah. Tentu kau senang kan dengan rencana Papa ini? Tapi kenapa kau berdirinya seperti itu, dan tidak memeluk Papa dulu baru bertanya? Papa sangat rindu dengan kamu, Dit.”

      Radit tersenyum dan langsung berjalan mendekati Sang Papa, Abdul Karim Pambudi, lalu memeluknya erat. “Aku juga merindukan Papa, tentunya,” ucapnya. “Tentu, Pap, aku sangat menyetujui apa pun yang hendak Papa kerjakan untuk perusahaan Papa, karena aku tahu, bahwa Papa adalah seorang pebisnis kawakan yang pernah aku kenal.”

     Pak Karim mencopot kacamatanya dan mengucap cairan bening yang keluar dari kedua sudut matanya dengan sapu tangannya. “Jadi ... kau yang menjadi perantara atas penjualan lahan-lahan ini?”

     “Iya, Pap. Ya, buat nambah-nambah penghasilan, Pap,” sahut Radit sembari melepaskan pelukan di tubuh papanya. Ia juga menyembunyikan genangan bening di kedua matanya, dan dengan cepat ia hapus dengan ujung telunjuknya.

     Mendengar jawaban Radit, Pak Karim  langsung tertawa. “Apa yang kaulakukan membuat Papa jadi teringat masa lalu Papa. Papa juga pernah nyambil menjadi perantara jual-beli seperti ini, Dit.”

      “Iya, Pap, aku tahu. Papa pernah menceritakan semuanya.”

    “Ya, ya ...!” Dan, “Oh ya, Bapak-Bapak, sebenarnya sang makelar ini adalah putra kandung saya. Ini bukan sebuah kebetulan, tapi sudah ditentukan oleh Allah Ta’ala. Dia memang sedang berpetualang untuk mencari jatidirinya. Hahaha ...”

     Mendengar pengakuan Sang Big Boss itu, semua yang hadir langsung mengangguk hormat pada Radit.

     “Dan ...,” lanjut Pak Karim lagi, “karena juga kebetulan yang menjadi perantara dalam penjualan lahan-lahan ini adalah putra saya sendiri, maka saya menetapkan akan membeli lahan-lahan milik Bapak-Bapak ini, dengan harga yang disebutkan.”

      “Terima kasih, Pak ...!” ucap keempat pemilik lahan dengan perasaan lega.

      Dan Radit pun mengucapkan hal yang sama kepada Sang Papa.

      “Baiklah,” lanjut Pak Karim lagi, “hanya itu dulu yang terpenting. Untuk transaksi dan penyerahan sertifikatnya akan kita lakukan besok, di kantor kelurahan setempat. Sekarang saya ingin merayakan pertemuan dengan anak saya ini di suatu tempat.”

     “Baik, Pak. Terima kasih.”

     “Yah, sama-sama.”

*** 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
I Made Radit Santiawan
Bagus banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status