Diskusi Radit dengan Bu Ningrum terhenti oleh nada panggilan di ponselnya.
Mengetahui bahwa yang memanggil adalah Nagita, Radit segera mengangkat ponselnya, setelah meminta maaf kepada Bu Ningrum.
“Ya Dik, assalamualaikum ....”
Tanpa menjawab salam, Nagita langsung saja mengutarakan maksudnya dengan nada yang masih tak ramah. Kayaknya ia masih menyimpan kemarahannya. “Ntar Mas pulang mampir dulu ke restoran! Aku dan ibu belum makan, nih!”
“Oh, i-iya, Dik. Siap ...!”
“Kok teleponnya hanya sebentar, Pak Radit?”
“Oh iya, Bu. Istri saya hanya ingin menyampaikan sebuah pesan. Maaf, sampai di mana tadi, Bu?”
Bu Ningrum menatap wajah laki-laki di depannya dengan sedikit tersenyum. Sesungguhnya, ia dapat membaca kegundahan di wajah laki-laki itu. Namun ia hanya pura-pura tidak menyadarinya saja.
Pada saat yang sama, pikiran Radit memang sudah tidak fokus lagi. Di benaknya hanya terbayang wajah tak suka Nagita. Namun ia tetap berusaha untuk semangat dan menyingkirkan jauh-jauh semua problem pribadinya.
Semalam, di tempat tidur, saat ia menanyakan kembali tentang sosok pemuda yang dimuliakannya di restoran itu, Nagita bukannya menjawab secara dewasa malah menjawab dengan nyolot. “Ini sudah malam, loh, Mas, nggak perlu ngajak aku ribu lagi. Mas itu terlalu berlebihan. Itu sama halnya Mas mencurigai aku ada apa-apanya dengan pemuda itu. Aku tidak serendah itu, Mas!”
“Ya wajar aku punya perasaan seperti itu, karena aku ini adalah suamimu. Apakah bisa dikatakan berlebihan jika aku minta kepada Dik untuk lebih mengutamakan kepentingan keluarga sendiri daripada kepentingan orang lain yang nggak jelas seperti itu. Ingat, Dik, kau itu istri orang harus tau batas. Siapa nama pemuda itu?”
“Apa perlunya Mas ingin mengetahui tentang dia? Itu sama halnya Mas mencurigai aku dan tak percaya sama aku!” sahut Nagita dengan suara meninggi.
“Bagaimana Mas bisa percaya sementara kau memelihara kebohongan di rumah ini, Dik?! Kaubilang tak punya uang untuk biaya pesta ultahnya Noni tetapi nyatanya kau membiayai acara pemuda itu. Kau bilang tak bisa hadir di acara ultahnya Noni, pun alasanmu karena ada pertemuan penting di kantor! Semuanya kau berbohong, Dik! Apakah itu sikap seorang istri dan ibu yang baik?!”
Mendapat muntahan emosi Radit seperti itu membuat emosi Nagita justru tak mau kalah. Ia segera segera bangkit dan berdiri di samping tempat tidur dan menatap tajam dan, “Heh, Mas! Sekali lagi aku katakan. pemuda itu bukan siapa-siapanya aku! Hanya kolega aku! Jika Mas ingin mencari istri yang lebih baik dari aku, ya silakan cari sebanyak apa pun yang Mas mau! Aku juga tak terlalu risau dan nangis darah jika Mas menceraikan aku sekalipun! Jujur, sejatinya Mas bukanlah tipe suami yang tepat buatku! Aku menikahi Mas karena keadaan saja! Level kita bagai langit dan bumi!”
Habis membombardir suaminya dengan kata-kata keras seperti itu, Nagita langsung keluar kamar sembari membawa sebuah bantal dan selimutnya, dan dengan kasar ia membuka dan menutup kembali pintu kamarnya.
Radit dibuat melongo. “Astaghfirullahaladziim. Mengapa dia sikapnya makin kasar dan sombong seperti itu ...?!” desahnya sembari mengelus-elus dadanya. “Ya Allah ... kenapa jodohku begitu jauh sifatnya degan sifatku??”
Tanpa sadar air matanya menitik keluar dari kedua sudut matanya. Ada perasaan perih yang seolah-olah tengah menyayat jiwanya. Sampai semalaman ia nyaris tak mampu melelapkan penat jiwa dan raganya.
Radit menikahi Nagita sekitar delapan tahun yang lalu. Ia bertemu dengannya ketika bekerja di sebuah bengkel mobil di daerah Kebayoran. Nagita adalah adalah salah satu pelanggan setia bengkel tempatnya bekerja.
Dulu, memang Nagita merupakan seorang gadis dari keluarga yang berada, karena papanya seorang pengusaha sukses, yang kemudian bangkrut. Nyaris seluruh kekayaan perusahaannya diinvestasikan dalam sebuah konsorsium yang ternyata bodong. Papanya Nagita jatuh sakit yang menyebabkannya meninggal. Sejak saat itu, otomatis kehidupan Nagita dan ibunya berubah seratus delapan puluh derajat. Seluruh aset perusahaan almarhum ayahnya disita oleh pihak bank untuk membayar hutang. Tak ada yang tersisa, selain mobil Honda Baleno yang sering dipakai oleh Nagita. Mobil itu pun kemudian dijual oleh Nagita atas bantuan Radit. Hasil penjualan itu dipakai untuk mengontrak rumah dan kebutuhan sehari-hari ia dan mamanya. Perusahaan tempat Nagita bekerja kala itu tiba-tiba memutuskan hubungan kerja dengannya. Uang pesangon yang diterimanya tentu harus dibelanjakan dengan irit dan hati-hati, sebab perusahaan-perusahaan yang didatanginya kemudian belum ada yang menerima lamarannya.
Keberadaan Radit yang baik tentu menjadi hal yang baik bagi Nagita dan ibunya. Pemuda itu bisa membantu apa yang dibutuhkan, jika masih mampu ia memenuhi.
Karena keduanya saling menyukai satu sama lain, kemudian memutuskannya untuk menikah. Setelah menikah, Radit memutuskan untuk pindah kerja di perusahaan tempatnya bekerja hingga saat ini. Dan atas bantuannya pula, sang istri bisa diterima bekerja di sebuah perusahaan yang baru, sebuah perusahaan ekspor-impor yang cukup bonafit.
Sebenarnya, Radit menginginkan sang istri menjadi ibu rumah tangga biasa saja dan mengurus Noni yang saat itu masih balita dan membutuhkan perhatian penuh dari ibunya. Tetapi Nagita bersikeras ingin menjadi wanita pekerja dan berkarier. “Lagian, Mas, kan sayang juga kan jika ijazah sarjana luar negeriku nggak diaplikasikan di dunia kerja,” ucap Nagita saat itu. Sebuah alasan yang memang logis, dan membuat Radit tak punya argumen apa pun untuk melarangnya. “Baiklah kalau begitu, Dik,” Radit akhirnya mengamini.. “Kausiapkan saja surat-surat yang dubutuhkan untuk melamar. Aku akan coba memasukkannya ke sebuah perusahaan. Kebetulan di perusahaan itu aku punya kenalan. Ya, bisa dikatakan sebagai pejabat penting dalam perusahaan itu. Siapa tahu dia bisa membantu.” “Jadi...aku tak perlu memasukkannya sendiri?” “Tak perlu. Dik tinggal tunggu panggilan saja.” Saat mengantarkan surat lamaran istrinya ke perusahaan yang dimaksud, Radit mewanti-wanti
Saat mereka menikmati hidangan dengan kepiting Alaska, baik Ningrum maupun Radit hanya sekali-sekali membicara sesuatu hal. Dan itu pun didominasi oleh Ningrum. Entah mengapa, saat itu ia merasa jauh lebih dekat dengan bawahannya itu. Ia lebih sering melihat ke depan. Ia juga merasa, behwa ternyata Raditya pria yang simpatik, juga tampan, tentunya. Hal yang selama ini seolah-olah luput dari penilaiannya. Saat keduanya sedang menikmati makan siang itu, kegiatan tangan Radit di atas piring tiba-tiba terhenti. Pandangan matanya terpaku pada dua tamu restoran yang saat itu mengambil meja di pojok lain ruangan restoran. Itu adalah Nagita bersama seorang laki-laki. Radit merasa tak asing dengan laki-laki yang datang bersama istrunya itu. Tanpa diketahui oleh Ningrum, Radit terus mengarahkan pandangannya ke arah itu. Ketika tiba-tiba laki-laki itu melap bagian wajah Nagita menggunakan tisu, darahnya berdesir cepat. Saat itu juga ia merasa telah dicurangi oleh Nagita. Selera
Baru kali ini Bu Ratri melihat Radit emosi seperti itu. Selama ini sang menantu itu selalu tenang dan sabar menghadapi sikap Nagita yang terkadang memang suka semena-mena terhadapnya. Ia tentu tidak bisa menafikan sifat baik sang menantu itu. Jika ia sampai emosi begitu, berarti kebenarannya tidak boleh ia abaikan. “Mungkin ada hal penting yang sedang mereka lakukan saat itu, Dit. Jadi, apa kenyataannya tidak seperti apa yang kamu lihat dan pikirkan. Terlebih kita sedang berada di sebuah restoran seperti yang kaubilang. Apakah itu masuk kategori berselingkuh atau semacamnya itu?” “Aku ini laki-laki dan seorang suami, Bu, tentu bisa membedakan mana perilaku wajar dan tak wajar istrinya! Nih, Ibu lihat ini. Beberapa hari yang lalu kalung ini saya ingin membelinya buat Nagita. Tapi pada saat yang sama, laki-laki yang saya lihat bersama Nagita tadi lebih dahulu meminta kalung ini pada penjaga gerainya. Tanggal dan tempat pembelian pun persis sama.” Bu Ratri mengambil
Melihat buah hatinya terlihat ketakutan seperti itu, Radit segera memeluk dan mencium Noni berkali-kali. Ia memejamkan kedua matanya dan mengucapkan istighfar berkali-kali. Lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia melepaskan pelukannya dan berdiri. Selanjutnya tanpa meninggalakan kalimat apa-apa, ia langsung keluar dari kamar dan pergi dari rumah dengan sepeda motornya. Di sebuah taman publik di daerah Menteng ia duduk merenung seorang diri. Saat itu a merasakan sakit yang sangat menghujam ulu hatinya. Kata-kata Nagita baginta laksana sebilah meteor yang menyayat malam. Tajam dan menikam. Berkali-kali pula ia menyeka kedua sudut matanya dengan sisi ujung telunjuknya. Ia tak nyaris tak mampu membedakan, saat itu air matanya keluar akibat apa? Akibat sakit ataukah karena sebuah penyesalan? Oh, tidak. Ia sama sekali tidak merasa menyesal dengan pilihannya. Mungkin hanya karena sakit dan kecewa saja. Radit teringat wajah Papanya, dan tiba-tiba ia sangat merindukannya. I
Selama seminggu Radit tak pulang ke rumah dan lebih menginap di hotel. Hatinya begitu sakit dan kecewaan. Andaikata ibu mertuanya tak mengirimkan pesan WA yang memberitahu bahwa Noni sakit, mungkin ia tak akan kembali dalam wkatu dekat. “Ya Tuhan, pesan itu terkirim sejak semalam!” desahnya panik saat membaca pesan itu. Memang, sejak ia memutuskan tak pulang ke rumah, ia tak mengaktifkan nomor yang biasa dipakai, tetapi menggunakan nomor perdana. Benar juga, suhu tubuh sang buah hatinya begitu tinggi. “Sejak kapan ia sakit, Bu?” tanyanya pada Bu Ratri sembari membelai rambut Noni yang saat itu sedang tertidur, ketika ia telah sampai di rumah. Ia melihat sang buah hati tertidur pulas dengan wajah yang memang sangat pucat. “Sejak semalam. Dia selalu memanggil-manggil namamu. Ibu menelepon kau tapi nomormu tak pernah aktif beberapa hari.” “Oh iya, Bu, maaf, memang aku sengaja tak aktifkan nomor itu. Trus kenapa Mamanya nggak membawa Noni ke rumah sakit?”
Keesokan harinya Noni sudah terlihat sehat dan ceriah kembali, sehingga pada sore hari pihak rumah sakit sudah memperbolehkan pasien untuk chek-out. Saat melihat Nagita sudah ada di rumah, Radit tidak merasa kaget lagi. Ia berusaha untuk tak mengajaknya bicara apa pun. Ia tak ingin dari pembicaraan itu akan berkembang menjadi sebuah pertengkaran. Sekarang ia lebih mengutamakan perasaan Noni daripada perasaan siapa pun, terutama perasaan Nagita. Buat apa ia memikirkan perasaan wanita yang berstatus sebagai istrinya itu sementara perasaannya sama sekali tak dianggap oleh wanita itu. Dan malam itu ia hanya ingin segera istirahat dengan memeluk tubuh mungis sang buah hatinya, Noni, di kamarnya Noni. Pagi hari, di meja makan, ketika Noni sudah ke sekolah bersama Bik Ipah, Nagita berusaha mengajaknya bicara. “Maaf, kemarin aku pulang lebih awal karena memikirkan kondisinya Noni.” Radit hanya menatap wajah ibu dari putrinya itu sesaat dan menjawab singkat, “Iya.”
Radit tak ambil peduli dengan keterperangahan Nagita. Ia mencium tangan ibu mertuanya. “Bu, saya pamit mau ke kantor dulu.” “Iya, Nak Dit, yang hati-hati di jalan, ya?” “Baik, Bu. Assalamualaikum.” “Walaikumsalam.” Ketika Radit telah pergi, Nagita masih terpaku di tempat duduknya. Dia tidak hanya tertegun pada jumlah tranfer Radit ke rekeningnya yang dua kali lipat dari yang ditransfernya pada ibunya, Bu Ratri, tetapi pada dua hal lain yang dikatakannya barusan. “Dari mana dia mendapatkan semua informasi itu?” gumamnya, tanpa ditujukan pada siapa pun. Bu Ratri menatap wajah Nagita sembari duduk kembali di kursi yang tadi didudkinya. “Git, jawab Ibu, apakah benar semua apa yang dikatakan oleh Nak Radit barusan?” Nagita hanya sesaat menatap wajah ibunya sebelum ia bangkit dan berjalan ke arah kamarnya. “Nagita ...!!” teriak Bu Ratri. “Jika benar apa yang Radit katakan barusan, berarti kamu telah berubah jauh! Kamu bukan saja telah membohongi s
Ningrum disambut oleh Radit di depan ruang rawat dan mengajaknya duduk di bangku besi panjang. “Tadi saya cek di kantor jika Pak Radit ijin tak masuk hari ini. Jadi saya langsung ke mari. Mertuanya Pak Radit sakit apa dan bagaimana kondisi beliau sekarang?” “Terima kasih, Bu Ningrum,” ucap Radit. “Iya, kata dokter beliau ada gangguan pada jantungnya, dan alhamdulillah sekarang sudah siuman. Hanya saja belum diperbolehjkan untuk dibesuk.” “Oh, mudah-mudahan beliau segera pulih kembali, Pak. Oh ya, barusan saya berpapasan dengan istrinya Pak Radit kayaknya?” “Iya, Bu Ningrum. Dia sedang padat tugasnya di kantornya, jadi harus gantian nunggunya.” “Oh ...!” hanya itu yang keluar dari bibir Ningrum. Dia tak mau berkomentar lebih, walau seharusnya seorang ibu harus menjadi prioritas dulu dari hal apa pun. Terlebih ketika seorang ibu sedang sakit. Tanpa disadari oleh keduanya, saat itu Nagita mengintai di sudut lorong rumah sakit. Tampaknya wanita itu mera