Althea merasa sesak. Setiap kali ia berada di rumah ini, dadanya seperti terhimpit sesuatu yang tak terlihat, mencekik perlahan namun pasti. Tatapan mata Ibu Rigel tak pernah memancarkan kehangatan. Tak ada satu pun isyarat penerimaan dalam setiap lirikan matanya. Althea tahu, sejak awal wanita itu tidak pernah menginginkannya menjadi bagian dari keluarga ini.
Ia menyadari, dirinya dan keluarga ini berasal dari dua dunia yang berbeda. Gaya hidup mereka, cara berpikir mereka—semuanya tak sejalan. Seperti air dan minyak yang dipaksa bersatu namun tak pernah benar-benar bisa menyatu. “Bagaimana kabarmu, Althea?” tanya Will, ayah mertuanya, dengan senyum yang tulus. Althea mengangguk pelan dan menjawab, “Aku baik.” Di antara seluruh anggota keluarga, hanya Will yang mampu bersikap ramah dan tulus padanya. Lelaki itu memperlakukannya seperti anak sendiri, penuh perhatian dan tanpa menghakimi. “Jagalah Althea dengan baik, Rigel. Ajak dia jalan-jalan. Jangan kau terus-terusan larut dalam pekerjaan,” ujar Will, memecah ketegangan di ruang makan itu. Rigel menatap Althea sejenak, sorot matanya sulit ditebak. Ada ketidaknyamanan yang samar, seolah enggan menanggapi perintah ayahnya. Tunggu dulu, kenapa lelaki itu harus menatapnya? Jelas bukan dia yang meminta hal itu. “Aku baik-baik saja. Aku juga cukup sibuk dengan banyak aktivitas, jadi tidak merasa bosan,” sahut Althea, berusaha terdengar netral. Tidak perlu Rigel untuk menjaganya Althea tetap mengelola usahanya sendiri—sebuah restoran kecil yang tidak mewah, tapi nyaman dan punya pelanggan setia. Itu cukup untuk memenuhi kebutuhannya, meskipun secara teknis, semua kebutuhannya bisa ditanggung oleh Rigel. Tapi setidaknya dia memiliki pegangan mandiri yang bisa dia andalkan jika kelak pernikahan ini berakhir. “Lain kali aku akan ajak dia berlibur,” ucap Rigel tiba-tiba. Althea menoleh cepat, sedikit terkejut. Ucapan itu tak seperti Rigel yang biasa. Ada sesuatu yang berbeda dari nada bicaranya—terlalu ringan, terlalu mudah. Lelaki itu memang sulit dibaca, namun hari ini, ia tampak lebih... mencurigakan? Ia menghela napas panjang, berharap semua ini cepat selesai. Ia ingin kembali ke rumah, merebahkan diri di tempat tidur, dan melupakan semua kekakuan ini. Namun begitu kelopak matanya tertutup, bayangan itu kembali menghantuinya. Mimpi gila yang membuatnya merasa kehilangan kewarasan. Mimpi tentang Rigel—tentang ciumannya yang menyusuri seluruh tubuhnya, menyisakan jejak basah di kulitnya. Pipinya memanas. Ia tahu itu hanya mimpi, sesuatu yang tak mungkin terjadi dalam dunia nyata. Rigel—suaminya—dingin seperti es. Lelaki itu tak pernah menyentuhnya, apalagi dengan hasrat seperti dalam mimpi. Namun yang membuatnya menggigil bukan hanya isi mimpi itu, tapi kenyataan bahwa tubuhnya bereaksi nyata. Saat terbangun, bagian bawah tubuhnya benar-benar basah, dan payudaranya terasa sangat sensitif. Apakah mimpi bisa berdampak fisik sekuat itu? Lamunannya buyar ketika suara nyaring terdengar. “Lihat bagaimana dia mengabaikan aku! Perempuan ini tidak punya sopan santun!” seru Ibu Rigel, suaranya menusuk seperti duri. Althea tetap diam. Ia mencoba bersabar, seperti yang biasa ia lakukan. Banyak yang bertanya, mengapa ia tetap bertahan, mengapa tidak melawan. Jawabannya sederhana—ia merasa memiliki utang budi pada keluarga ini. Sejak awal, pernikahan ini bukan tentang cinta, melainkan perjanjian antara dua sahabat lama—kakek Althea dan kakek Rigel. Sayangnya, mereka tak memiliki anak perempuan, jadi janji itu diwariskan kepada cucu mereka. Ayah Althea adalah sahabat dekat Will. Saat keluarga Althea mengalami masalah besar, keluarga Rigel membantu mereka. Hubungan timbal balik yang telah berlangsung selama tiga generasi itu akhirnya berujung pada satu keputusan: menikahkan Althea dengan Rigel. Setelah ayahnya meninggal dua tahun lalu, Althea tak menyangka janji itu masih berlaku. Tapi Will menepatinya, demi menghormati persahabatan mereka. Dan Althea, yang tak memiliki siapa-siapa lagi, menerima pernikahan itu. Selama setahun, Will memperlakukannya dengan baik. Tapi tidak dengan Ibu Rigel, yang terus menunjukkan penolakan secara terang-terangan. Dan Rigel? Lelaki itu baik, namun terlalu jauh. Mereka jarang berbicara sebelum menikah, dan setelah menikah, hubungan mereka tetap datar seperti permukaan kaca. Apa yang membuat dia dulu berpikir Rigel bisa jadi rumah? Apakah karena tatapan pertamanya? Senyum pertamanya? Nyatanya, ia hanya terjebak dalam status tanpa makna. Suaminya seperti bayangan—ada, namun tak benar-benar hadir. --- Mobil melaju menjauh dari kediaman keluarga Lester. Althea bersandar dan memejamkan mata sejenak, membiarkan angin masuk lewat celah kaca yang sedikit terbuka. Biarkan angin membawa semua rasa kesal dan frustasinya. “Maaf. Aku benar-benar ada urusan mendesak, jadi terlambat,” ujar Rigel dari balik kemudi. “Benarkah?” sahut Althea tanpa menoleh. “Aku tidak tahu Ibu akan marah padamu,” jawab Rigel, nadanya ringan seolah tak menganggap serius. Althea menghela napas. “Dia hanya tidak ingin menyalahkanmu. Kau pikir Ibu bodoh? Aku bahkan bisa mencium bau alkohol dan asap rokok darimu. Mana mungkin dia tidak tahu?” sahut Althea. Suaranya tegas. Sudah cukup satu tahun ia menahan semuanya. Ia tak ingin terus jadi tameng untuk kesalahan yang bukan miliknya. Apa pun yang Rigel lakukan di luar sana bukan urusannya, tapi jangan jadikan dirinya pelindung dari tanggung jawab. Dia bukan orang yang harus menanggung semua kesalahan Rigel hanya karena ia adalah istri Rigel. “Kau...?” Rigel terlihat sedikit terkejut, kalimatnya terputus. “Aku benar-benar lupa,” ucapnya akhirnya, seolah semua itu hanya hal kecil. “Lupa atau pura-pura lupa, itu masalahmu. Tapi mulai sekarang, jangan ubah kebiasaan kita. Lebih baik tetap seperti biasanya,” ujar Althea tegas. Ia baru sadar, percakapan mereka paling banyak terjadi saat sedang emosi. Saat semuanya baik-baik saja, mereka hanya bicara seadanya, paling tidak lebih dari enam kata. Aneh. Tapi untuk pertama kalinya, Althea merasa lega. Ia akhirnya menjadi dirinya sendiri di hadapan Rigel. Meski begitu, ada yang mengganggunya. Ia sempat melihat sudut bibir Rigel terangkat—senyum? Untuk apa? Apa yang membuatnya tersenyum? Ia yakin bukan kata-katanya. Senyum itu seperti teka-teki yang belum punya jawaban. Lelaki itu memang membingungkan. Tenang, dingin, namun terlalu terkontrol. Tak ada manusia yang bisa selalu netral tanpa terganggu apa pun... bukan? “Ternyata kau banyak bicara,” komentar Rigel, nada suaranya datar. Althea melirik ke arahnya. Apakah itu bentuk sindiran? Atau hanya pernyataan polos? “Aku memang banyak bicara sejak dulu,” jawabnya santai. “Tapi selama satu tahun ini, kau menahan diri,” balas Rigel. Althea tersenyum tipis. “Aku hanya begitu padamu,” ujarnya, kali ini dengan nada yang lebih tajam. Hanya kepada Rigel-lah ia merasa mati kata. Pada pelayan, pada Maria, ia bisa bicara berjam-jam. Tapi dengan suaminya sendiri, seolah semua kata terhenti di tenggorokan.Keesokan paginya, sinar matahari yang hangat membanjiri kamar luas vila itu. Althea terbangun lebih dulu. Ia membalik tubuhnya perlahan, menghadap Rigel yang masih terlelap. Wajah pria itu terlihat jauh lebih tenang, jauh dari sosok Rigel Lester yang selama ini dikenal dunia sebagai dingin dan tak tersentuh. Dalam tidur pun, ia tetap menggenggam tangan Althea, seakan takut melepaskannya.Althea mengelus pipi Rigel pelan. "Apa kau sadar... betapa kau telah berubah?"Seolah mendengar suara pelan itu, Rigel mengerang kecil dan membuka matanya. Ia tersenyum samar melihat wajah Althea begitu dekat."Selamat pagi, istri cantikku," gumamnya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.Althea tersenyum lebar. "Kau sadar? Kau tidak mendengkur semalam."Rigel menyipitkan mata. "Aku tidak pernah mendengkur.""Kau dengkur pelan kalau terlalu capek. Tapi semalam... mungkin terlalu bahagia, ya?" godanya.Rigel hanya terkekeh, lalu menarik Althea masuk dalam pelukannya lagi. "Kalau bisa, aku mau
Beberapa hari berlalu sejak kejadian di restoran. Luka di hati Althea masih membekas, namun sikap Rigel yang semakin lembut dan penuh perhatian mulai mengobatinya sedikit demi sedikit. Lelaki itu benar-benar berubah. Ia menjadi seseorang yang tidak hanya menjaga Althea secara fisik, tetapi juga emosinya. Ia mendengarkan lebih banyak, menyentuh dengan lebih hati-hati, dan mencintai dalam diam yang perlahan tumbuh menjadi nyata.Sore itu, cahaya matahari menyusup masuk melalui jendela kamar mereka, mewarnai dinding dengan semburat jingga yang hangat. Althea duduk di depan cermin, menyisir rambutnya pelan. Wajahnya masih terlihat tenang, namun gurat kelelahan tak sepenuhnya hilang dari matanya. Rigel, yang sedari tadi memperhatikannya dari tepi ranjang, akhirnya membuka suara.“Althea,” panggilnya pelan.“Hm?” Althea menoleh dengan senyum lembut.“Ayo kita pergi.”Althea mengerutkan dahi, bingung. “Pergi ke mana?”“Liburan,” jawab Rigel sambil berdiri dan menghampirinya. Ia berlutut di s
Langkah Althea membawanya ke jalan kecil di sisi taman, tak jauh dari restoran. Pepohonan rindang menaungi trotoar sempit yang sepi di siang hari. Angin berembus pelan, menggoyang dedaunan dan membawa aroma bunga-bunga liar yang bermekaran. Tapi tidak ada yang bisa menenangkan hatinya.Ia duduk di bangku kayu tua, kepalanya tertunduk, bahunya gemetar pelan.Tangis itu tidak meledak. Ia menangis dalam diam, seperti selalu.Air matanya mengalir melewati pipi yang masih terasa perih. Bukan hanya dari tamparan Vivian, tapi dari luka yang jauh lebih dalam. Luka karena merasa tak pernah cukup. Tak pernah dihargai.“Apa salahku?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar oleh angin.Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan. “Aku tidak pernah minta menjadi bagian dari mereka... Aku tidak pernah ingin apa-apa dari Rigel. Aku hanya ingin... dihargai. Dilihat.”Sesal menyesaki dadanya. Marah. Lelah. Perasaan-perasaan yang tak bisa ia ucapkan
Rigel membawa Althea masuk ke kamar dengan langkah pasti. Ia menutup pintu perlahan, lalu menatap wajah Althea yang masih terlihat letih, namun senyumnya hadir bagai bisikan yang memanggil hasrat terdalamnya. Perlahan, ia menunduk dan mencium kening Althea, lalu turun ke pipi, hingga akhirnya bibir mereka bersentuhan."Kau lelah, tapi tetap saja... menggoda seperti ini," gumam Rigel, suaranya serak.Althea tersenyum lemah. "Kau terlalu banyak bicara."Rigel tertawa pelan dan membalasnya dengan mencium lembut bibirnya, lebih lama kali ini. Tangannya melingkari pinggang Althea, mendekapnya erat, seolah tak ingin membiarkan dunia menyentuhnya lagi. Ciumannya berubah semakin dalam, dan tubuh Althea melunak dalam pelukannya."Kau tahu? Saat kau menatapku dengan mata yang lelah itu, jantungku berdetak lebih keras," bisik Rigel, matanya menelusuri setiap garis wajah Althea."Kau suka wanita lelah, ya?" goda Althea, membiarkan jemarinya menyusuri
Langit mendung menggantung di atas gedung Lester Corporation saat Noah memasuki kantor Rigel tanpa pemberitahuan. Wajahnya dihiasi senyum genit, tubuhnya dibalut kemeja putih ketat dan celana hitam yang dipilih dengan sangat sadar untuk menonjolkan pesona yang masih ia banggakan.“Rigel...” sapanya dengan suara lembut, mendayu. “Kau masih tampan seperti terakhir kali kulihat. Atau mungkin... malah lebih menggoda sekarang?”Rigel yang tengah memeriksa dokumen menoleh singkat, tatapannya langsung berubah kaku. “Noah. Untuk apa kau ke sini?”“Tidak bisakah aku sekadar rindu?” Noah melangkah pelan, menyusuri ruang kerja itu seolah sedang menghidupkan kembali kenangan masa lalu. “Tempat ini belum banyak berubah. Tapi kau... pasti banyak yang berubah sejak kau menikah, ya?”Tanpa malu, Noah berdiri di sisi Rigel, bahkan menyentuh bahu pria itu dengan ujung jarinya. “Apa kau masih suka disentuh di sini?” bisiknya, seolah sedang bermain-main.Rigel menepis tangannya tajam. “Jangan lakukan itu
Mobil melaju tenang di jalanan sore yang mulai teduh. Ezra menyetir dengan satu tangan, sementara tangan lainnya sibuk menunjuk ke arah bangunan atau tempat-tempat yang membuatnya tertawa sendiri.“Dulu aku pernah kerja di tempat itu,” katanya menunjuk sebuah kedai kopi mungil di sudut jalan. “Barista pertamaku bilang latte buatanku rasanya seperti air sabun.”Althea menoleh, heran. “Serius?”Ezra tertawa. “Serius. Tapi lima bulan kemudian aku dapat promosi jadi kepala barista. Lucu, kan?”Sepanjang perjalanan, Ezra terus berbagi cerita—tentang masa kuliahnya yang ceroboh, tentang pertemanan-pertemanan aneh yang ia jalani, hingga mimpinya suatu hari bisa membuka kafe sendiri dengan taman kecil di sampingnya. Cara bicaranya santai, terbuka, dan penuh warna.Althea mendengarkan dengan senyum yang tak sadar mulai menetap di wajahnya. Udara dalam mobil tak lagi canggung, sebaliknya—penuh kenyamanan yang hangat.Ezra memang berbeda, p