"Sudah berapa usiamu, Dit?" tanya Ibu sambil menyiapkan kopi untukku. Wanita yang lemah lembut dan amat penyayang. Tak bertanya pun, Ibu tahu berapa usiaku, karena aku anak satu-satunya dan beliau takkan lupa tanggal berapa dan tahun berapa aku dilahirkan.
"Sebentar lagi tiga puluh, pasti Ibu ingin menyuruh mencari istri lagi, kan? Ayolah, Bu. Aku belum menemukan tambatan hati."
Ibu meletakkan kopi di depanku, dia menatapku dengan pandangan lelah.
"Jadi, Ibu yang akan terus membuat kopi untukmu? Umur segini, harusnya ibu menimang cucu."
"Ibu ...." Aku kehabisan kata-kata. Sialnya, Ibu menangis.
"Ibu, aku tak suka Ibu seperti ini." Aku bangkit, memeluk tubuh Ibu yang kecil.
"Jangan seperti ini, tak ada yang kurang dari kita, kita diberikan harta yang cukup, tubuh yang sehat, tak ada alasan lagi untuk bersedih, jangan begini, ya, Bu."
"Terus Ibu harus bagaimana? Apakah Ibu akan mati di ranjang yang dingin tanpa melihat anak Ibu menikah
Yumi membuka matanya perlahan, dia agak kaget saat mendapati wajahku tengah dekat dengan wajahnya. Bahkan dia langsung mengambil jarak dariku. Aku tak bermaksud apa-apa, aku hanya memastikan dia masih bernapas atau tidak. Sebuah pikiran gila yang menakutkan, karena bisa saja dia meminum sesuatu dan mencoba bunuh diri lagi."Kau sudah tak apa-apa?" tanyaku memastikan. Yumi yang mengubah posisi berbaring menjadi duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng sekilas."Aku baik-baik saja.""Ayo kita ke Dokter!""Tidak," sahutnya dengan suara tinggi nyaris membentak, aku melihat kepanikan dan ketakutan saat aku menyebut kata Dokter. Selain takut disentuh, apa dia juga takut dengan dokter? Aneh sekali."Yumi, kondisimu lemah, aku takut terjadi apa-apa dengan kandunganmu, kita belum pernah konsultasi, kan?"Yumi tak bergeming, tatapan matanya yang sayu hanya menikmati pemandangan dinding berjarak beberapa meter di depannya."Apa aku bis
"AC di kamar tamu tidak terasa," ucap Yumi yang tiba-tiba datang di kamarku. Setelah makan malam yang lebih tepat dikatakan tengah malam, aku meminum obat. Reaksi obat cukup cepat, sehingga aku merasakan keinginan untuk bersin berkurang. Hanya saja hidungku masih tersumbat."Kita perlu mencari tukang service untuk membersihkannya, terakhir kali dibersihkan, enam bulan yang lalu, tentu debu telah menempel di dalamnya."Aku tahu pasti, Yumi paling tak suka dengan udara panas. Sedangkan kamar kami, AC menyala dengan maksimal. Mungkin kami mengabaikan kamar tamu, yang jarang ditempati, sehingga lupa memeriksanya secara berkala."Lalu, bagaimana?" tanyaku padanya, apakah dia menyuruhku ke sana dan dia di sini? Itu terdengar kejam."Aku tak bisa tidur, entah kenapa malam ini juga terasa gerah dari biasanya.""Tidur di sini saja." Aku menarik selimut kembali. Yumi masih berdiri tegak tanpa bergerak."Tak usah takut, aku takkan menyentuhmu." A
"Bagaimana keadaanmu?"Pertanyaan yang sama, pertanyaan yang amat kusukai. Mungkin remeh bagi sebagian orang, tapi tidak bagiku. Aku suka saat Adit peduli, senang saat dia mengkhawatirkanku, setidaknya pertanyaan itu berarti aku masih dibutuhkan.Sejak kejadian bertahun-tahun silam, nyaris tak ada yang bertanya bagaimana keadaanku. Ayah dan Ibu sibuk dengan dunianya, dia tak lagi peduli pada anak yang dulu dibanggakannya. Mungkin mereka merasa, bahwa aku tak lagi berguna, tak lagi memiliki masa depan. Ya, masa depan apa yang dimiliki wanita yang hampir gila, yang pernah mengurung diri selama berbulan-bulan di dalam kamar dan takut terkena cahaya matahari."Yumi?""Eh, aku ... Baik." Aku menyahut setelah terbangun dari lamunan. Pria itu, yang memiliki tatapan setajam elang dan memiliki senyum sehangat mentari, tengah duduk dengan beberapa jarak di antara kami. Mataku mengawasinya, melihat bagaimana kelopak matanya bergerak sambil mengamati wajahku. O
Malang bagi kami, saat di perjalanan. Hujan turun dengan lebatnya. Baju blus putih yang dilapisi kardigan itu langsung basah kuyup. Memang, saat di kafe tadi, langit sudah hitam mengandung awan."Apa kita berhenti mencari tempat berteduh?" Suara Adit agak keras mengalahkan deru hujan."Tanggung! Aku sudah basah!" seruku juga."Kau yakin?""Ya," sahutku lagi.Entah kenapa, sejak Adit menawarkan hubungan pertemanan, hatiku merasa sedikit bahagia. Perasaan dibutuhkan dan berharga, itu yang kurasakan. Sudah lama perasaan bangga ini tak kurasakan, bangga saat Adit mengkhawatirkanku."Pegang yang erat! Kita ngebut!" serunya lagi.Aku melingkarkan tanganku ke pinggangnya, menempel tanpa menyisakan jarak. Kulit kami bersentuhan saling meresapi rasa hangat walaupun dibatasi baju basah.Debaran itu lagi, debaran yang sama saat pertama aku mengiyakan perjodohan kami dulu.Debaran yang menjanjikan bahagia, yang tak sadar diri bahwa
"Istrimu ditikam orang,"Rasanya duniaku langsung runtuh, suara panik di seberang telepon sana, membuatku nyaris tak bernyawa. Tak hanya suara Mas Haris, pekikan keributan orang yang berada di sana pun sampai terdengar, jeritan orang yang memanggil tetangga kami.Yumi, siapa yang melakukannya pada Yumi? Dia tengah hamil. Siapa yang begitu tega berbuat jahat padanya. Setahuku, Yumi tak memiliki musuh, apakah rampok yang masuk di pagi hari ke rumah kami?Tanpa pikir panjang, aku berlari ke parkiran, memacu mobilku dengan kecepatan tinggi, suara teguran tak kuindahkan, mungkin mereka heran melihat aku lari seperti kesetanan.Mobil kupacu, tanpa memutus sambungan telepon, Mas Haris mengatakan, bahwa dia tengah dalam perjalanan menuju rumah sakit Harapan.Aku benci ini, saat darurat jalan malah macet, sebuah truk terguling menumpahkan pasir ke tengah jalan.
Yumi sudah diperbolehkan pulang setelah dirawat selama lima hari. Kondisinya mulai membaik, walaupun dia lebih pendiam dari biasanya. Ya, kami belum pulih betul dari rasa kehilangan, kehilangan anak yang kami harapkan. Akan berbeda persoalan jika kami adalah pasangan yang normal, tentu memiliki kesempatan untuk kembali memprogram kehamilan. Ah, entahlah, aku dan Yumi mulai dekat, dekat atas nama teman karena anak yang ada dalam kandungannya, kami mulai memperhatikannya bersama-sama. Sekarang, semua sudah tak ada lagi.Tak lama bagi polisi untuk menangkap Laura, tak sampai lima jam setelah Yumi selesai dioperasi, Laura ditangkap saat berada di perbatasan kota. Di sebuah kafe yang cukup terkenal ramai.Di sini aku sekarang, ingin memastikan sendiri wanita itu telah berada di jeruji besi. Selain marah dan dendam, aku juga ingin memastikan apa yang ada di pikiran wanita itu sehingga berniat menghabisi Yumi.Laura pantas digelari sebagai wanita gila. Lihatlah!
Siapa yang tak ingin bahagia. Memiliki kehidupan sempurna dan tenang, hidup bagaikan orang normal, bisa tertawa sepuasnya dan bercerita kapan saja. Aku juga ingin begitu, namun kejamnya masa lalu memporak porandakan kepercayaan diriku. Mematikan jiwaku yang selalu menunggu kematian. Tak ada rengkuhan Ayah atau pun Ibu. Mereka sibuk mengobati sakit mereka sendiri, seolah-olah mereka adalah orang tua yang tak berguna. Tak bisa menjaga anak gadis mereka satu-satunya.Mereka memendam semuanya, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, untuk menutupi rasa malu, dan menyembunyikan anaknya yang hampir gila.Dulu, aku adalah murid yang pintar di sekolah, memiliki banyak prestasi. Serta terkenal se kabupaten. Aku anak yang ceria dan memiliki banyak teman, memiliki banyak penggemar. Akan tetapi, ternyata kecantikan yang dipuja-puja malah melahirkan petaka. Tak hanya satu laki-laki yang tertarik, bahkan sebagian besar murid laki-laki di sekolahku, menaruh perasaan suka dan kagum. Buktinya, ada
Manis, ya. Itu yang kurasakan pada bibir lembut itu, ciuman pertamaku sepanjang pernikahan kami. Sebuah sentuhan yang didasari suka sama suka tak ada paksaan.Yumi menatapku pasrah, kami kehilangan kosa kata setelah ciuman singkat itu terjadi. Bisa kulihat, pipinya yang bersemu merah."Maaf, sepertinya aku harus tidur, aku mengantuk."Yumi mengalihkan pandangannya ke arah lain. Salah tingkah, aku pun dilanda rasa kebingungan.Kami telah melampaui batas pertemanan, sebuah hubungan yang baru kami ciptakan agar saling membuka diri.Sampai menjelang tidur pun, tak ada yang bersuara di antara kami. Kami tidur saling membelakangi, dengan guling sebagai pemisah.Aku tahu, Yumi belum tidur, sama denganku. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing, mencerna semua kejutan yang tak teduga ini.Sesekali ranjang berderit karena Yumi berulang kali dia bergerak kecil."Viora, adalah teman kantor, dia telah menikah."Ranjang berderit lebih keras. Yumi mendadak membalikkan tubuhnya menghadap ke arahku y