Happy Reading
*****
"Apaan sih, Mas?" sanggah Risma, "datang-datang malah nuduh yang nggak jelas. Zikri itu sahabatku dari bayi. Lagian kami bertetangga. Wajar dong dia main ke sini."
"Kamu anggap hal ini wajar? Ikut aku!" Riswan menarik pergelangan tangan istrinya. Masuk ke kamar mereka ketika berkunjung.
Ayahnya menatap bingung. Sementara dua wanita yang sejak tadi berjibaku di dapur tergopoh penasaran.
"Lepas, Mas! Sakit tahu," pinta Risma sambil tangannya berusaha melepas cekalan sang suami.
"Maaf," ucap Riswan. Dia melihat tangan dang istri memerah. "Mas nggak suka lihat kamu deketan sama Zikri."
"Kenapa nggak suka? Aku, kamu larang deket sama Zikri. Lalu, kenapa kamu masih deket sama mantanmu?" Risma menatap nyalang, seolah menantang kemarahan suaminya.
"Mantan yang mana?"
"Oh!" jawab Risma kaget. "Mantanmu banyak berati, ya. Semakin mantap aku untuk berpisah."
"Risma!" teriak Riswan penuh emosi. "Buang jauh-jauh pikiran negatifmu. Aku nggak seperti yang kamu pikirkan."
Suara keras pertengakaran keduanya membuat Zikri merasa bersalah. Dia memutuskan untuk pulang. Sementara orang tua Risma saling menatap penuh kesedihan. Mengapa menantu dan putrinya bisa bertengkar hebat seperti itu.
"Pelankan suaramu, Mas. Ini rumah Ayah bukan rumah kita sendiri."
"Kamu yang terus memancing emosiku. Ayo pulang sekarang juga. Kita selesaikan semua di rumah."
"Nggak!" kata Risma kekeh. "Aku mau nginep aja. Lagian buat apa pulang ke rumah. Toh kehadiranku nggak pernah kamu anggap."
Riswan menjambak rambutnya sendiri. Setengah frustasi mengahadapi keadaan istrinya yang semakin hari semakin susah diarahkan. "Ayo pulang. Mas nggak mau Ayah sama Ibu berpikir macam-macam."
"Lebih baik mereka tahu apa permasalahan pernikahan kita. Daripada semakin membuat mereka kecewa dengan harapan-harapan indah."
Habis sudah kesabaran lelaki itu. Dia keluar kamar setelah berkata akan menginap di rumah mertuanya. Saat akan mengambil minuman di dapur. Terasa sentuhan pada bahunya. Riswan menoleh dan mendapati tatapan sedih Rini Wahyuni, ibunya Risma.
"Ibu mau ngomong, Mas. Boleh?" ucap Rini.
"Boleh, Bu." Riswan mengeser kursi di meja makan.
"Mas Riswan cemburu sama Zikri?"
Riswan menatap sang ibu mertua. "Saya nggak cemburu, Bu. Risma nggak ngomong kalau niatnya jenguk njenengan itu mau ketemu Zikri. Saya cuma takut terjadi fitnah. Bukankah hubungan apa pun tentang dua insan berbeda jenis kelamin akan selalu rentan gosip dan omongan jelek."
"Masak Risma nggak ngomong sama Mas Riswan?" Pertanyaan Rini diangguki. "Apa dia juga nggak ngomong kalau mau nginep?" Lagi-lagi gelengan sang menantu yang didapat. "Kalian lagi bertengkar, Mas?"
Lelaki itu menarik napas panjang. Mana mungkin menceritakan hal sebenarnya. "Kami nggak sedang tengkar, Bu. Tadi pagi nggak sempat ngasih kabar kalau Risma sudah di rumah. Ada banyak kerjaan di warung. Maaf, nggeh." Ucapan itu tulus keluar darinya.
Baru saja keduanya menyelesaikan percakapan suara seorang gadis kecil berumur 14 tahun melengking. "Mas, Riska kangen banget. Lama sekali nggak datang njenguk," katanya.
Gadis yang tak laim adalah adik Risma, langsung memeluk Riswan dari belakang. Dia memang selalu saja manja pada sang kakak ipar. Mungkin karena tidak pernah memiliki saudara laki-laki, jadi sikapnya begitu.
"Eh, salim dulu, Dik. Kok langsung nemplok aja," protes Rini.Riska nyengir kuda. "Maaf, lupa."
"Anak perawan jangan suka kelapan. Masak jam segini baru pulang. Hayo, dari mana?" Riswan sudah menganggap Riska adiknya sendiri, jadi tidak sungkan untuk menggodanya.
"Baru pulang les, Mas," jawab Rini. Dia menarik kursi di sebelah kakak iparnya dan mulai meminum air putih. "Jangan suuzon, deh."
"Bukan suuzon, Dik. Pergaulan anak jaman sekarang tuh nakuti. Nggeh kan, Bu." Rini menggut-manggut menjawab pertanyaan menantunya.
"Nggak boleh dipukul rata gitu, ih. Adik lain dari yang lain. Nggak mau juga pacaran. Mending langsung nikah kayak Mbak sama Mas. Lebih enak kayaknya." Gadis itu nyerocos.
"Enak apanya, Dik." Suara Risma terdengar menyahut di belakang mereka.
"Kakak," teriak Riska. Merentangkan tangan dan berlari memeluk. Sudah seperti film kartun saja. Keduanya berpelukan.
"Udah besar, jangan manja, ih." Risma mencium adiknya gemas.
Rini, hanya geleng-geleng kepala saja melihat tingah putri bungsunya. Mau gimana lagi, semua memanjakan gadis itu. "Ibu ke kamar dulu, ya. Kalian terusin dah kangen-kangenannya. Kasihan Ayah sendirian."
"Udah tua, Bu. Jangan suka berduaan, ih. Bisa-bisa punya dedek lagi aku." Riska mengedipkan mata lucu membuat semua yang di sana tertawa.
"Minta dedek sama kakakmu. Ibu udah nggal bisa ngasih dedek lagi." Sekenanya, Rini membalas godaan putrinya.
"Kakak, Mas," panggil Riska, "kapan, nih, ponakan aku lahir."
Risma membuang muka, menarik napas panjang dan melotot pada suaminya. "Tanya masmu kapan bisa ngasih ponakan. Kakak nggak bisa jawab. Dah, ah, Kakak ngantuk." Dia berbalik arah kembali ke kamar.
Riswan memejamkan mata. Selalu saja hal anak menjadi pemantik kemarahan istrinya. "Sabar, Dik. Nanti kalau udah Allah amanahkan. Kamu pasti bakal punya ponakan."
"Jangan lama-lama, Mas." Riska mengerlingkan mata. "Ya, udah. Adik mau bersih-bersih dulu. Udah malam juga."
Tinggallah Riswan sendiri di meja makan. Kepalanya terasa pening sementara di bawah sana terus saja berdenyut. Selalu saja begitu ketika pikirannya ruwet.
Dia berdiri dan melangkah ke ruangan lain. Tak mungkin jika tetap berada di meja makan itu.
*****Puas melampiaskan keinginannya yang tak bisa dicegah, Riswan keluar kamar mandi di dekat dapur. Saat itu, Risma baru saja turun untuk mengambil minum. Dilihatnya sang suami dengan rambut basah dan wajah yang terlihat segar."Mas mandi malam-malam? Terus pake handuk sama sabun siapa?" Risma mulai mengintimidasi. Matanya awas menatap Riswan dari ujung kaki hingga kepala.Ditanya seperti itu oleh istrinya, Riswan gelagapan. "Aku gerah, Ris, jadi mandi. Ada sabun cair di dalam. Ibu juga naruh tumpukan handuk di lemari kecil dekat bak.""Emang dari warung belum mandi?" Risma masih terus mengejar."Ya belumlah. Dari warung tadi aku langsung ke sini. Rencana jemput kamu, tapi ternyata kamu minta nginep." Riswan sudah seperti maling yang akan tertangkap. Padahal, hanya hal sepele. Dia sering melakukannya juga di rumah. Mandi tidak pada umumnya.Sekarang, semenjak sang istri menuntut haknya. Hal sekecil apa pun yang memicu kecurigaan Risma akan menjadi pertanyaan besar dan berkepanjangan
Happy Reading***** Riswan begitu bahagia bertemu dengan putrinya Iklima, Dara Narendra. Sampai-sampai menyeruh si sahabat untuk memvideokan aktifitas mereka. Sebelum bertemu dengan orang yang akan membantunya, sengaja si lelaki menyempatkan diri mampir ke rumah Iklima. "Wan, dia udah ada di rumah. Baiknya kamu langsung ke sana. Dua jam lagi dia harus ke rumah sakit lagi," kata Iklima. "Oke. Rumahnya no 25 kan?" "Iya." Disertai anggukan Iklima. "Sorry aku nggak bisa nemeni." "Its okey." Riswan mencium pipi Dara beberapa kali setelannya meninggalkan mereka. Rumah dengan nomor 25 terletak tak jauh dari tempatnya kini. Menurut Iklima, dokter tersebut adalah salah satu sahabat Iklima pas SMA dulu. Agak ragu sebenarnya si lelaki harus berkonsultasi dengan seseorang yang belum dikenalnya. Akan tetapi, Riswan mencoba menepis semua rasa canggung itu. Tuntutan dan tekanan dari Risma membuat pening keoala dan memaksanya harus melakukan. Ragu-ragu, dia memencet bel yang berada di luar pa
***** "Apa?" tantang Risma tak mau kalah. "Bukannya Mas juga menikmati saat-saat bersama mantan dan putrinya." Dia sengaja menggandeng tangan Zikri untuk menyingkir. "Jangan gini, dong, Ndut. Aku makin merasa bersalah. Dikira pebinor nanti." "Biarin. Dia aja seenaknya kok. Masak aku nggak boleh?" Risma tetap menggandeng tangan Zikri dan membiarkan suaminya melihat dengan mata membulat. "Risma!" panggil si lelaki yang telah berstatus suaminya. "Berhenti atau aku akan melarangmu nginep di rumah Ayah." Si perempuan berbalik. "Beraninya cuma ngancam. Larang aja, aku bakalan minggat." Zikri menganga, omongan si sahabat ngawur saja saat emosi. Apa katanya tadi, minggat? Mau ke mana Risma, jika pergi paling jauh saja cuma di kecematan sebelah. Ingin rasanya tertawa, tetapi jelas akan memperparah keadaan. "Ya udah terserah kamu. Jangan nyalahin, Mas, kalau Bunda sampai menginterogasimu nanti." Santai dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana, Riswan berbalik arah akan meninggalkan
***** Risma baru akan mendengarkan percakapan suaminya kembali. Namun, suara panggilan dari perempuan yang telah melahirkannya terdengar. Gegas dia menghampiri tak berapa lama setelahnya kedua mertua menyapa. Kedua orang tua dan mertua Risma tampak berbahagia. Dua sahabat yang tak setiap hari bertemu itu saling melempar candaan. Risma mengatur napas panjang dan perlahan meninggalkan mereka. Duduk pada sebuah meja kosong sambil memperhatikan interaksi sang suami dengan para sahabatnya. Andai dia mengundang Zikri beserta keluarga pasti tak akan kesepian seperti sekarang. Di saat suaminya sibuk dengan para tamu, dia malah sendiri merenungi nasib. Saat tatapan Risma tak menemukan sosok Riswan. Rasa khawatir itu datang apalagi Iklima juga menghilang padahal tadi keduanya terlihat bersenda gurau. "Di mana mereka? Apa mungkin lagi kencan? Kenapa aku bisa kecolongan." Celingak-celinguk mencari sosok suaminya, Risma dikejutkan dengan sebuah suara. "Sayang, makan dulu." Menengok ke sumber
Hari semakin larut saat dua pasangan muda itu sampai di rumah. Dua hari berada di kediaman orang tuanya membuat Risma rindu dengan kamar yang setahun ini telah menjadi saksi bisu perjalanan rumah tangganya. Teringat kembali tentang wanita yang membuat suaminya enggan berpaling menatap yang lain. Dia bertekad akan meluluhkan hati Riswan.Bisa jadi, usaha Risma kurang maksimal untuk menarik perhatian suaminya. Berjalan ke arah lemari. Kembali, perempuan itu mencari koleksi baju seksi yang beberapa waktu lalu dibelinya. Kali ini, warna hitam menjadi pilihan. Membayangkan Riswan akan menatapnya dengan buas, jantung Risma berdetak cepat.Sebelum lelaki itu masuk kamar, gegas Risma mengganti pakaiannya. Menyemprotkan parfum yang katanya bisa membangkitkan libido seoarang lelaki. Riasan minimalis juga disapukan ke wajah. Malam ini, rencananya tak boleh gagal. Hampir setengah jam berlalu, akhirnya pintu kamar dibuka.Menatap pose menantang sang istri di atas ranjang, Riswan berjalan mendeka
Sesampainya di rumah, Risma menangis sekencang-kencangnya. Dia memang bukan perempuan seksi seperti yang digandeng Riswan tadi. Bukan wanita pesolek yang pandai merawat tubuh, tapi penampilannya tak kalah jika sedang di rumah saat tengah berdua saja dengan suaminya.Namun, mengapa Riswan masih enggan untuk menyentuhnya. Sekedar bermesraan seperti yang dilakukan pada perempuan itu saja sangatlah jauh. Apa benar bahwa suaminya tidak pernah menginginkan dia ada di sisinya."Udahlah, Ris. Kalau kamu nangis terus nggak bakalan nyelesaikan masalah," ujar Intan yang masih setia menemani sahabatnya. "Mending kalau nanti Mas Riswan pulang kamu tanya baik-baik. Siapa tahu cewek itu salah satu rekan kerja yang punya modal buat waralaba usaha sate. Katamu, sekarang warung sate Mas Riswan buka waralaba.""Kamu salah, Tan. Dia bukan rekan kerja suamiku. Kemarin malam aku juga melihatnya datang ke acara pembukaan cabang baru dan adegan mesra seperti tadi kembali terulang. Kayaknya aku mau nyerah aja
"Ibu?" ucap Risma setengah terkejut, demikian juga Intan.Apalagi tadi pertanyaan Rini mengarah pada perempuan hamil itu. "Kenapa terkejut? Apa ada sesuatu yang terjadi denganmu, Ris?" Kedua indera ibu dua anak itu menatap intens wajah si sulung.Risma mulai salah tingkah, sesekali memandang ke arah sahabatnya. "Nggak ada apa-apa kok, Bu," jawabnya, "Intan lagi kena sindrom Ibu hamil, makanya pengen konsul ke psikolog atau psikiater. Benar kan, Tan?" Dia mencubit paha sahabatnya pelan."Iya benar, Te." Intan berdiri dan menyalami Rini. Sudah cukup lama keduanya tak bertemu apalagi semenjak hamil. "Tante apa kabar?""Alhamdulillah seperti yang kamu lihat Tante sehat dan baik-baik saja." Rini mengelus perut buncit calon ibu muda di depannya. "Baguslah kalau nggak terkait sama kamu, Ris," ucapnya sambil melirik si sulung."Nggaklah, Bu. Aku baik-baik saja." Dalam hati, Risma berdoa semoga Allah mengampuni dosanya karena sudah berbohong."Ibu cuma khawatir. Beberapa kali bertemu kamu dan
Rini turun dari motor, berjalan mendekati menantunya. "Mas Riswan," panggilnya, "kalau mau bermesraan dengan perempuan lain selain istrimu sebaiknya jangan di depan rumah kayak gini. Akan banyak tetangga yang berpikir jelek nantinya."Si lelaki menoleh, tetapi masih tetap memegang tangan perempuan itu. "Ibu kapan datang?"Rini menatap tajam ke arah tangan keduanya. "Sudah dari tadi Ibu di sini. Besok sore tolong temuin Ibu sama Ayah di rumah. Jangan lupa bawa istrimu." Perempuan sepuh itu kembali ke motor setelah Riswan menyalaminya dan menyanggupi permintaan yang diucapkan tadi.Risma masih berdiri tenang di dekat gerbang. Seketika dia berpikir untuk menyiapkan segala jawaban yang akan dikeluarkan besok. Jika ibunya sudah berkata demikian, maka sesampainya di rumah pasti akan bercerita pada Lutfi.'Ya Allah. Apa Mas Riswan sudah kehilangan akal hingga membawa perempuan itu ke rumah.' Kata Risma dalam hati.Melihat motor Rini sudah melaju cukup jauh, Risma masuk tanpa peduli dengan ke