Share

4. Sebatas Sahabat

 Happy Reading

*****

"Apaan sih, Mas?" sanggah Risma, "datang-datang malah nuduh yang nggak jelas. Zikri itu sahabatku dari bayi. Lagian kami bertetangga. Wajar dong dia main ke sini."

"Kamu anggap hal ini wajar? Ikut aku!" Riswan menarik pergelangan tangan istrinya. Masuk ke kamar mereka ketika berkunjung.

Ayahnya menatap bingung. Sementara dua wanita yang sejak tadi berjibaku di dapur tergopoh penasaran.

"Lepas, Mas! Sakit tahu," pinta Risma sambil tangannya berusaha melepas cekalan sang suami.

"Maaf," ucap Riswan. Dia melihat tangan dang istri memerah. "Mas nggak suka lihat kamu deketan sama Zikri."

"Kenapa nggak suka? Aku, kamu larang deket sama Zikri. Lalu, kenapa kamu masih deket sama mantanmu?" Risma menatap nyalang, seolah menantang kemarahan suaminya.

"Mantan yang mana?"

"Oh!" jawab Risma kaget. "Mantanmu banyak berati, ya. Semakin mantap aku untuk berpisah."

"Risma!" teriak Riswan penuh emosi. "Buang jauh-jauh pikiran negatifmu. Aku nggak seperti yang kamu pikirkan."

Suara keras pertengakaran keduanya membuat Zikri merasa bersalah. Dia memutuskan untuk pulang. Sementara orang tua Risma saling menatap penuh kesedihan. Mengapa menantu dan putrinya bisa bertengkar hebat seperti itu.

"Pelankan suaramu, Mas. Ini rumah Ayah bukan rumah kita sendiri."

"Kamu yang terus memancing emosiku. Ayo pulang sekarang juga. Kita selesaikan semua di rumah."

"Nggak!" kata Risma kekeh. "Aku mau nginep aja. Lagian buat apa pulang ke rumah. Toh kehadiranku nggak pernah kamu anggap."

Riswan menjambak rambutnya sendiri. Setengah frustasi mengahadapi keadaan istrinya yang semakin hari semakin susah diarahkan. "Ayo pulang. Mas nggak mau Ayah sama Ibu berpikir macam-macam."

"Lebih baik mereka tahu apa permasalahan pernikahan kita. Daripada semakin membuat mereka kecewa dengan harapan-harapan indah."

Habis sudah kesabaran lelaki itu. Dia keluar kamar setelah berkata akan menginap di rumah mertuanya. Saat akan mengambil minuman di dapur. Terasa sentuhan pada bahunya. Riswan menoleh dan mendapati tatapan sedih Rini Wahyuni, ibunya Risma.

"Ibu mau ngomong, Mas. Boleh?" ucap Rini.

"Boleh, Bu." Riswan mengeser kursi di meja makan.

"Mas Riswan cemburu sama Zikri?"

Riswan menatap sang ibu mertua. "Saya nggak cemburu, Bu. Risma nggak ngomong kalau niatnya jenguk njenengan itu mau ketemu Zikri. Saya cuma takut terjadi fitnah. Bukankah hubungan apa pun tentang dua insan berbeda jenis kelamin akan selalu rentan gosip dan omongan jelek."

"Masak Risma nggak ngomong sama Mas Riswan?" Pertanyaan Rini diangguki. "Apa dia juga nggak ngomong kalau mau nginep?" Lagi-lagi gelengan sang menantu yang didapat. "Kalian lagi bertengkar, Mas?"

Lelaki itu menarik napas panjang. Mana mungkin menceritakan hal sebenarnya. "Kami nggak sedang tengkar, Bu. Tadi pagi nggak sempat ngasih kabar kalau Risma sudah di rumah. Ada banyak kerjaan di warung. Maaf, nggeh." Ucapan itu tulus keluar darinya.

Baru saja keduanya menyelesaikan percakapan suara seorang gadis kecil berumur 14 tahun melengking. "Mas, Riska kangen banget. Lama sekali nggak datang njenguk," katanya.

Gadis yang tak laim adalah adik Risma, langsung memeluk Riswan dari belakang. Dia memang selalu saja manja pada sang kakak ipar. Mungkin karena tidak pernah memiliki saudara laki-laki, jadi sikapnya begitu.

"Eh, salim dulu, Dik. Kok langsung nemplok aja," protes Rini.

Riska nyengir kuda. "Maaf, lupa."

"Anak perawan jangan suka kelapan. Masak jam segini baru pulang. Hayo, dari mana?" Riswan sudah menganggap Riska adiknya sendiri, jadi tidak sungkan untuk menggodanya.

"Baru pulang les, Mas," jawab Rini. Dia menarik kursi di sebelah kakak iparnya dan mulai meminum air putih. "Jangan suuzon, deh."

"Bukan suuzon, Dik. Pergaulan anak jaman sekarang tuh nakuti. Nggeh kan, Bu." Rini menggut-manggut menjawab pertanyaan menantunya.

"Nggak boleh dipukul rata gitu, ih. Adik lain dari yang lain. Nggak mau juga pacaran. Mending langsung nikah kayak Mbak sama Mas. Lebih enak kayaknya." Gadis itu nyerocos.

"Enak apanya, Dik." Suara Risma terdengar menyahut di belakang mereka.

"Kakak," teriak Riska. Merentangkan tangan dan berlari memeluk. Sudah seperti film kartun saja. Keduanya berpelukan.

"Udah besar, jangan manja, ih." Risma mencium adiknya gemas.

Rini, hanya geleng-geleng kepala saja melihat tingah putri bungsunya. Mau gimana lagi, semua memanjakan gadis itu. "Ibu ke kamar dulu, ya. Kalian terusin dah kangen-kangenannya. Kasihan Ayah sendirian."

"Udah tua, Bu. Jangan suka berduaan, ih. Bisa-bisa punya dedek lagi aku." Riska mengedipkan mata lucu membuat semua yang di sana tertawa.

"Minta dedek sama kakakmu. Ibu udah nggal bisa ngasih dedek lagi." Sekenanya, Rini membalas godaan putrinya.

"Kakak, Mas," panggil Riska, "kapan, nih, ponakan aku lahir."

Risma membuang muka, menarik napas panjang dan melotot pada suaminya. "Tanya masmu kapan bisa ngasih ponakan. Kakak nggak bisa jawab. Dah, ah, Kakak ngantuk." Dia berbalik arah kembali ke kamar.

Riswan memejamkan mata. Selalu saja hal anak menjadi pemantik kemarahan istrinya. "Sabar, Dik. Nanti kalau udah Allah amanahkan. Kamu pasti bakal punya ponakan."

"Jangan lama-lama, Mas." Riska mengerlingkan mata. "Ya, udah. Adik mau bersih-bersih dulu. Udah malam juga."

Tinggallah Riswan sendiri di meja makan. Kepalanya terasa pening sementara di bawah sana terus saja berdenyut. Selalu saja begitu ketika pikirannya ruwet.

Dia berdiri dan melangkah ke ruangan lain. Tak mungkin jika tetap berada di meja makan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status