Share

Bab 4 Pergumulan Yudha

[ POV Yudha ]

"Apa yang sudah ibu lakukan pada istriku, hingga ia tak mau lagi tinggal di rumah ini?!"

Aku ingin dengar dari ibu sendiri. Bertanya pada Karin, ia pasti menutupi perbuatan Ibu.

Ini bukan kejadian pertama kali. Tak mungkin karena hal sepele lalu ia minta pulang dan tak bisa dicegah lagi.

Terlebih lagi, kulihat sisa tangisan masih terlihat jelas, meski berusaha ia tutupi dengan senyuman di depanku.

Tak kudengar suara ibu, selain isakan.

"Maafkan ibu, Yudha."

Hanya itu yang beliau ucapkan, lantas menutup mulutnya dengan telapak tangan. Isakan makin terdengar. Bahunya mulai terguncang.

Sayangnya, aku tak lagi iba. Aku sudah bosan melihat sandiwara seperti ini.

"Berhentilah ikut campur rumah tanggaku, kalau masih mau melihatku di rumah ini."

"Apa maksudmu, Yudha?" sambar ibu.

"Harus kukatakan berapa kali, Bu, Karin itu hidupku. Kebahagiaanku. Kalau ibu menyakiti hatinya, sama saja ibu menyakiti hatiku."

Ibu justru mencebik. Cepat sekali ekspresinya berubah.

"Kasihan sekali anakku. Matanya buta karena cinta."

Ibu menatapku tajam. Aku tak peduli. Yang ada di pikiranku sekarang hanya istri dan anakku.

"Aku akan membawa Karin ke rumah orang tuanya setelah ini, biar ibu bisa berpikir."

Kutinggalkan Ibu seorang diri, lalu menuju ke kamar, di mana belahan jiwaku berada.

"Kita berangkat sekarang?" tanyaku, setelah duduk di sisinya yang baru selesai menyusui.

Ia segera beralih dari posisi berbaring ke posisi duduk. Beberapa anak rambut menutup sebagian wajah, menambah kadar kecantikan wanita yang kucintai sepenuh hati.

Kurapikan rambutnya yang keluar dari ikatan, hingga kulihat rona kemerahan di pipinya yang semakin berisi.

"Baiklah, aku akan siap dalam sepuluh menit," ujarnya dengan senyuman.

Ia menurut, lantas beranjak ke meja rias. Ia mulai menyapukan isi botol di atas meja, bergantian ke wajahnya.

Aku menunggu sambil memeriksa ponsel. Go-car yang kupesan sebentar lagi datang. Ia akan mengantar kami ke terminal, sebelum menaiki bus.

Kuperiksa sekali lagi isi tas yang akan kami bawa. Kuambil beberapa potong pakaian, kutambahkan serta ke dalam tas tersebut.

"Mas."

"Ya?" Aku mengalihkan pandang pada istriku yang telah selesai berdandan.

"Boleh aku bicara?"

"Boleh, dong, ada apa? Bicaralah."

Aku setia menunggu, akan bicara apa kiranya istriku?

"Jangan terlalu keras pada ibu. Beliau ibumu, wanita yang melahirkan kamu, seperti aku yang melahirkan anakmu. Apa kamu lupa bagaimana aku berjuang melahirkan anak kita?"

Suaraku tadi pasti terdengar olehnya. Dia selalu seperti ini, berusaha menenangkan saat aku tak terkendali.

"Tentu saja aku ingat. Aku yang menunggumu, kan?"

Bagaimana aku bisa lupa, menemani ia yang merasakan kontraksi hingga anak kami lahir.

Jika saja bisa, ingin rasanya kutukar rasa sakit itu, biar aku saja yang merasakan. Sayangnya, itu hal yang mustahil.

"Nah, makanya. Pelankan suaramu kalau bicara sama ibu, Mas."

Ia berkata sambil meraih Dinar, lalu membungkusnya dengan kain gendongan.

Lihatlah, Bu. Sesayang ini menantumu. Kenapa hatimu tak terketuk juga hingga sekarang? Kenapa ibu masih juga terlihat tak menyukai istriku ini?

"Baiklah, Sayang. Tak salah aku memilihmu sebagai istri. Sayangnya, ibu harus diberi pelajaran, supaya tetap berbuat baik pada wanita pilihanku."

Kuambil tas dengan tangan kiri, lalu beriringan kami ke luar kamar.

Kedua mata ibu masih basah dan merah saat kami sampai. Dinar segera diambil alih, lalu didekap erat sambil terisak.

Lima menit menunggu, belum ada tanda-tanda beliau menyerahkan kembali cucu yang sedang didekap. Untung saja anakku anteng.

"Sudah cukup, Bu. Kami berangkat sekarang. Ibu hati-hati ya, di rumah," ujarku, lalu mengambil Dinar dari dekapan Ibu.

Karin mengulurkan tangan untuk berpamitan, tapi ditepis oleh beliau. Aku mendengkus kesal melihat itu.

"Ayo, Dek," ajakku kemudian.

Lalu lalang kendaraan sangat ramai saat aku ke luar dari rumah ini.

Beriringan kami menuju go-car yang telah menunggu di depan toko ibu. Toko yang berjasa menghidupi kami selama ini.

Ibu mengantar kepergian kami dengan tangisan. Oh, ibu, berhentilah menangis. Aku hanya pergi sebentar, paling lama tiga hari di sana.

Mobil yang kami naiki perlahan bergerak dan meluncur mulus di jalan raya. Masih kulihat ibu mematung di tempatnya.

.

Menempuh perjalanan 18 jam, sampailah kami di desa Karin. Desa yang sesungguhnya, sebab jauh dari keramaian. Hamparan sawah yang hijau dapat ditemukan dengan mudah di sekitar sini.

"Kasih kabar ke rumah, Mas," tegur Karin, begitu aku merebahkan badan.

Remuk redam rasa badanku ini. Ingin segera memejamkan mata, setelah berbasa-basi dengan keluarga istri.

Lihatlah, Bu. Aku bahkan tak ingat memberi kabar, justru menantu yang kau buat menangis ini yang mengingatkan.

"Kami sudah sampai, Bu," ujarku, setelah sambungan telepon terhubung.

Karin memijit pundak dan punggung sementara aku berbicara dengan ibu. Dinar telah menjadi pusat perhatian kedua simbahnya sejak baru tiba, jadi kami bisa istirahat sejenak.

"Kalau begitu lekaslah pulang," pinta ibu di ujung telepon.

Baru juga sampai, Bu. Istirahat pun belum, sudah diminta pulang. Tiba-tiba saja rasa bersalah itu datang. Teringat kemarin saat aku bersuara keras pada ibu.

"Iya, Bu," jawabku singkat.

"Kalau lapar nggak usah masak, ke rumah Bulek saja, gampang, tinggal bayar, biar nggak repot," tambahku lagi.

Ibu mengiyakan, lalu menutup sambungan telepon setelah mengucapkan salam.

Baru berpisah sebentar, tapi rinduku sudah datang. Tak bisa kusembunyikan kekhawatiran, sebab ibu seorang diri di rumah. Ke rumah bulek pun jaraknya lumayan, mesti naik motor lima belas menit baru sampai.

Sekarang aku mengerti, kenapa istriku serindu ini dengan anak sulungnya.

Terkadang, memang keberadaan seseorang baru terasa saat terpisah oleh jarak, seperti yang kurasakan sekarang.

Lantas, masih maukah istriku kubujuk untuk tinggal bersama ibu lagi setelah ini?

Ataukah kuturuti permintaannya untuk mencari kontrakan, demi baiknya hubungan menantu dan mertua?

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status