"Maaf Mas, kali ini aku tak bisa bertahan lagi. Atau, kamu mau melihatku mati berdiri jika memaksa aku bertahan lebih lama lagi?"
Mas Yudha terkesiap mendengar jawabanku."Dek, apa yang kamu katakan? Mas ingin hidup dan menua bersamamu. Kenapa kamu mengatakan hal yang membuatku takut?"Dipegangnya kedua bahu, serta memandang lekat ke dalam bola mataku. Aku sendiri tak bisa menahan diri. Pandanganku telah terhalang oleh kaca-kaca bening, yang kutahan supaya ia tak luruh."Maaf, Mas. Aku tak bermaksud menakutimu. Aku mengatakan hal yang sebenarnya. Jika aku bertahan lebih lama lagi di rumah ini, bukan tak mungkin aku menjadi mayat saat keluar dari sini."Ia telah lama mengetahui perseteruanku dengan Ibu. Selama ini, ia selalu bisa meyakinkan aku, supaya tetap tinggal dan mengalah.Kupegang lengannya, lalu melanjutkan kalimatku."Ijinkan aku pergi dari sini, ya. Aku mau pulang ke rumah orang tuaku. Aku rindu dengan anak sulungku," pungkasku.Aku tak berdusta soal ini. Terakhir bertemu tiga bulan lalu, saat bayiku lahir. Silvi diajak serta ke sini oleh orang tuaku, menginap tiga hari, lalu dibawa kembali untuk tinggal bersama mereka.Meski bisa berkomunikasi melalui ponsel, tetap saja rasa rindu sebagai seorang ibu tak bisa kuhindari."Dek, sabarlah dulu. Kamu kan tau sifat ibu. Kamu hebat sudah bertahan sejauh ini. Kamu sendiri kan sudah menyanggupi, kalau mau tinggal di sini setelah menjadi istriku, apa kamu lupa?"Benar memang, aku menyanggupi syarat yang diajukan tersebut, sampai ibu mau memberikan restu."Yudha anak terakhir. Ia akan tetap tinggal di sini bersama Ibu. Jadi, jika mau menjadi istri anakku, kamu harus mau tinggal di sini, bagaimana?" pinta ibu, kala itu.Aku tak keberatan sama sekali saat itu, sebab restu ibu di atas segalanya, selain cinta Mas Yudha yang begitu besar.Seiring berjalannya waktu, kutau kalau ibu tak setulus itu. Begitu Dinar lahir, yang beliau inginkan hanyalah anakku. Bahkan berniat memasukkan nama anakku ke dalam KK ibu. Tentu saja aku menolak.Kali ini, rasanya aku menyerah kalah. Pun teringat dengan beliau yang lancang menyuapi anakku tanpa seijinku, membuatku tak bisa tenang jika tinggal lebih lama di rumah ini.Aku hanya berusaha patuh pada ucapan bidan, untuk memberikan ASI eksklusif selama enam bulan pertama sejak anakku lahir. Apakah keputusanku salah?Kutatap wajah lelaki yang telah menjadi suamiku selama satu tahun setengah ini."Aku tidak lupa, Mas. Aku hanya tak bisa tinggal di sini lagi, maafkan aku," ujarku hati-hati. Takut lidahku kesleo mengucapkan kalau ibu telah mengusirku.Tatapan serta kedua tangan Mas Yudha mengunciku. Lalu ia membuang pandang ke luar jendela kamar.Ia pasti berat mengambil keputusan. Ia tak bisa meninggalkan Ibu, pun tak bisa berpisah dengan kami berdua. Belum pernah sekali pun kami berjauhan semenjak Dinar lahir."Boleh, ya, Mas? Aku sudah sangat rindu dengan Silvi, dengan orang tuaku juga," ujarku, mencoba membujuk suamiku."Atau kita cari tempat tinggal, asal tak serumah dengan ibu?" usulku lagi.Usul yang telah lama kuajukan, tapi selalu ditolak mentah-mentah olehnya.Selalu alasan ibu tak ada teman, juga kesepakatan di awal sebelum pernikahan yang ia jadikan alasan, untuk mementahkan permintaanku supaya tinggal terpisah dari ibu mertua."Ibu akan bagaimana kalau kita tinggal, Dek? Ibu nggak ada temannya, hanya Dinar yang bisa membuat ibu kembali tertawa sepeninggal Bapak."Tuh, kan. Selalu begini jawaban yang kudapat.Ibu menyayangi anakku, itu tak diragukan lagi. Bahkan telah jelas sekali, ia meminta aku pergi tanpa membawa anakku siang tadi.Ingin kukatakan ini pada suamiku, tapi lidahku terasa kelu. Tak mungkin aku mengadu domba ibu dan anak, yang akan memperkeruh suasana. Keputusanku telah bulat, kali ini aku harus pergi, apa pun yang terjadi."Maaf, Mas, tapi aku memaksa. Jika kamu tak mau mengantarku pulang, atau mencari kontrakan, aku tetap akan pergi berdua, bersama Dinar," pungkasku.Aku pamit ke luar hendak mengambil anakku dari gendongan ibu, sebab kudengar ia mulai merengek.Ibu terlihat sedang menggendong sambil mengguncang keras badan anakku. Beliau selalu melakukan ini dengan maksud membuat bayiku terdiam."Ibu, maaf, Dinar sepertinya lapar dan mengantuk, biar saya beri ASI dulu, ya?" pintaku, berharap ibu setuju."Biar Ibu yang tidurkan. Sana kamu!" usir ibu, lalu melangkah menjauhiku.Aku baru akan menyusul, saat kedua tangan besar Mas Yudha memegang bahuku dari belakang."Biar Mas saja. Kamu tunggu di sini, setelah ini Mas antar kamu pulang."Aku masih terpana dan mencoba mencerna kalimat Mas Yudha. Ia telah tak berada di sampingku lagi, secepat kilat ia menyusul ibu, lantas berbicara sebentar.Tak lama kemudian, Dinar telah berpindah dalam dekapannya.Aku melihat kedatangan mereka berdua dengan mata berembun. Senyuman Mas Yudha, telah mengikis habis risau yang menyelimuti perasaanku sejak beberapa saat tadi."Buat ia kenyang dulu, setelah itu kita berangkat," ujarnya dengan menyerahkan Dinar padaku."Baik, Mas, terima kasih, ya," jawabku dengan suara beriak.Ia mengangguk, lalu melabuhkan kecupan hangat di keningku dan Dinar bergantian."Mas juga kangen sama Silvi. Kita jenguk ia sama-sama, ya. Jangan sedih lagi," ujarnya, lalu mengusap kepalaku dengan sayang.Aku mengangguk, lantas membawa Dinar ke kamar untuk kuberi ASI. Sementara itu, Mas Yudha pamit untuk menemui ibu.Aku bisa tersenyum lega, membayangkan kalau sebentar lagi akan meninggalkan rumah ini.Bayang-bayang hidup bebas dari ibu, telah terpampang di depan mata."Apa yang sudah ibu lakukan pada istriku, hingga ia tak mau lagi tinggal di rumah ini?!" Lamunanku buyar, saat kudengar suara keras Mas Yudha di luar kamar. Apa yang kamu lakukan, Mas?[ POV Yudha ]"Apa yang sudah ibu lakukan pada istriku, hingga ia tak mau lagi tinggal di rumah ini?!"Aku ingin dengar dari ibu sendiri. Bertanya pada Karin, ia pasti menutupi perbuatan Ibu. Ini bukan kejadian pertama kali. Tak mungkin karena hal sepele lalu ia minta pulang dan tak bisa dicegah lagi. Terlebih lagi, kulihat sisa tangisan masih terlihat jelas, meski berusaha ia tutupi dengan senyuman di depanku.Tak kudengar suara ibu, selain isakan. "Maafkan ibu, Yudha." Hanya itu yang beliau ucapkan, lantas menutup mulutnya dengan telapak tangan. Isakan makin terdengar. Bahunya mulai terguncang.Sayangnya, aku tak lagi iba. Aku sudah bosan melihat sandiwara seperti ini."Berhentilah ikut campur rumah tanggaku, kalau masih mau melihatku di rumah ini.""Apa maksudmu, Yudha?" sambar ibu."Harus kukatakan berapa kali, Bu, Karin itu hidupku. Kebahagiaanku. Kalau ibu menyakiti hatinya, sama saja ibu menyakiti hatiku."Ibu justru mencebik. Cepat sekali ekspresinya berubah."Kasihan seka
Aku menikmati perjalanan yang tersisa.Membuang pandang ke luar jendela, lalu tersenyum melihat pemandangan di luar sana.Matahari telah bergeser ke arah barat, saat kendaraan roda empat yang kami naiki memasuki desa kelahiranku.Desa yang tak pernah kukunjungi setahun terakhir. Kelebat kenangan masa dulu, melintas satu persatu.Ibu menyambut kedatangan kami bertiga dengan sukacita. Sementara bapak masih di sawah. Silvi anakku, masih belum terlihat."Istirahatlah dulu, sebentar lagi bapak pulang. Silvi masih ngaji di TPA," ujar ibu setelah kutanya keberadaan mereka berdua.Mas Yudha segera membersihkan diri, setelah berbincang sebentar dengan ibu dan keluarga yang tinggal dekat ibu.Dinar, ia telah berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Ia menghadirkan senyum bagi banyak orang yang baru ia jumpai."Ibu ... ."Silvi menghambur memelukku, begitu melihat sosokku berdiri tegak di depan pintu, menyambut kepulangannya dari TPA.Anakku telah besar sekarang. Ada rasa haru menyeruak,
Sepeninggal bapak, kuurus keperluan Silvi, sementara Dinar dipegang ibu.Biasanya ibu ikut ke sawah juga, tapi kali ini beliau memilih tinggal, sebab kedatangan cucunya yang lain."Biar saya yang antar Silvi ke sekolah, Bu," pintaku, setelah anak sulungku siap dengan pakaian seragam dan tas sekolahnya. Ibu mengiyakan. "Berangkat sama ibu ya, Nak?" tawarku, yang segera disambut dengan anggukan.Kupastikan Dinar kenyang dan pulas tertidur, sebelum akhirnya aku melajukan motor, mengantar anakku ke sekolah. Hal yang selama ini belum pernah kulakukan, sebab terpisah jarak."Karin!"Silvi baru memasuki halaman sekolah, aku pun baru akan menstarter sepeda motor, saat kudengar namaku dipanggil.Bibirku melengkungkan senyum, begitu mengetahui siapa pemilik suara tadi. Tiwi, temanku SD, yang terlihat memakai seragam, seperti guru TK yang lain. Aku bergegas turun dari motor. Tak sopan rasanya duduk di atas motor sambil berbincang, meski dengan teman lama sekali pun."Kapan pulang?" tanyanya, s
Awalnya, kupikir Dinar akan rewel sebab beradaptasi dengan suasana baru di desa ini.Nyatanya, ia justru anteng, lebih anteng dan tidurnya lebih nyenyak. Sama sepertiku, terbawa suasana tenang di sini, membuat aku bangun dengan badan segar, sebab istirahatku tak terganggu semalaman."Dia capek di perjalanan, biar Ibu pijit, ya?" pinta ibu pagi tadi.Aku mengiyakan, sebab ibu memang biasa memijit bayi tetangga jika diminta.Ibu dengan telaten memijit seluruh badannya sebelum dimandikan pagi tadi. Setelah itu, ia tidur nyenyak hingga hampir tengah hari.Silvi sendiri terlihat asyik mengajak adiknya bercanda, meski dijawab dengan bahasa bayi, tak mengurangi tawa di wajah kecil itu. Ia bahkan mengajak beberapa teman sepermainan ke rumah, demi memamerkan adik kecilnya yang baru datang.Lewat tengah hari, datang seorang kerabat jauh, membawa sebuah undangan pernikahan."Kebetulan ada Karin di rumah. Kakakmu mau nikah, kamu bisa datang, kan, Rin?"
Ia segera berbalik arah, lantas menghilang di balik pintu. Tak lama kemudian, ia telah kembali dengan rambut dan wajah yang basah. Kemeja yang ia kenakan tadi, telah ia lepas, hingga menampilkan dada dan tulang rusuk yang seakan berlomba ke luar.Melihat itu, seketika teringat ucapan ibu, bahwa suamiku kian kurus setelah beristri aku. Ya, bagaimana nggak kurus, dia hampir begadang setiap malam, belum lagi kerja dari pagi hingga sore. Waktu istirahatnya hanya sedikit. Makan pun baru tengah hari, itu pun pemilih sekali. Sudah mikir keras mau masak apa, ujungnya milih jajan juga. Bingung sendiri kadang-kadang.Tangannya masih memegang handuk, lalu mengusap kepala hingga aroma harum shampoo menguar dari sana. Kuambilkan kaos untuk ia kenakan."Mas, maaf, ya," pintaku, sambil mendekat ke tempat ia berdiri. Ia telah kembali rapi dan wangi. Kuulurkan tangan yang segera disambut."Iya, dimaafin. Kenapa, sih, sensi amat, tumben. Kangen ya, habis ditinggal
Perjalanan kali ini terasa lambat. Tak ada temanku bicara, tak ada yang kuajak bertukar kata.Hanya foto kami bertiga menjadi pelepas rindu. Terlebih pada bayi kecilku, yang kini mulai berceloteh lebih banyak dari sebelumnya.Ibu tak henti menanyaiku, sejak awal perjalanan, hingga saat aku tiba di rumah. Aku pun merasa jengah."Kamu, kok balik sendirian, Yudha? Mana anak kamu? Mana Karin? Mereka berdua baik-baik saja, kan?"Ibu beruntun menanyaiku yang baru saja sampai. Lantas mengikuti langkah panjangku memasuki rumah."Sementara mereka tinggal di sana dulu, Bu," ujarku menyudahi pertanyaan ibu yang tanpa henti."Apa maksudmu dengan tinggal di sana? Apa cucuku tak akan kembali ke rumah ini?" tanya ibu lagi."Ibu, aku baru saja sampai. Tak bisakah ibu biarkan aku istirahat dulu barang sejenak?"Kuserahkan kardus berisi oleh-oleh dari orang tua istriku. Ibu menerima, tapi tak kunjung diletakkan, kardus itu masih menggantung di udara.Kuserahka
Belum sempat kulangkahkan kaki, tangan ibu telah mencekal lenganku. "Yudha."Aku menoleh, menemukan wajah ibu yang memandang tajam ke dalam mataku."Iya, Bu, gimana?""Perempuan itu milik suami dan keluarganya kalau sudah menjadi istri, apa kamu lupa? Kenapa kamu biarkan dia di sana, sedangkan kamu di sini. Rumah tangga macam apa yang kamu jalani, Nak?"Aku terkesiap mendengar penuturan ibu. Tak mengerti, kenapa selalu mempersalahkan rumah tanggaku."Maksud Ibu apa?"Ganti aku yang menatapnya penuh tanya. Tatapan ibu tak setajam tadi. "Asal ibu tau, ya. Semua ini gara-gara ibu! Aku hanya mau anak dan istriku di sini. Tapi ibu telah membuat ia pergi dan tak mau kembali!"Aku bersuara dengan keras, meluapkan isi hati. Tak bisa kukendalikan lidah ini. Tak teringat lagi pinta Karin untuk bersuara pelan di depan wanita ini, wanita yang telah melahirkanku. Ibu tentu saja terperanjat dengan sambutanku.Kondisi fisikku memang sedang lelah,
Aku mulai menjalani hari-hari tanpa Mas Yudha.Tanpa ibu dan bapak juga, sebab sibuk sekali di sawah, meninggalkan aku seorang diri di rumah, mengurus dua orang anakku.Ya, meski Silvi sudah bisa main di luar bersama teman-teman dan sepupu yang tinggal berdekatan. Tetap saja ada ulahnya yang menyita perhatian dan waktuku, seperti pagi menjelang siang ini."Adek cantikk!"Kedua mata yang sempat terpejam, kembali terbuka lebar. Bayi kecil itu mulai menangis, sebab terkejut oleh suara kakaknya. "Astaghfirullah!"Aku pun ikut terlonjak, sebab kedatangan yang tiba-tiba, saat aku hampir ikut terlelap. Tanpa sadar, kedua mata ini melotot ke arah anak sulungku.Sepasang tangan kecil itu menggantung di udara, tepat di samping bayiku yang kini menendang-nendang udara di antara suara tangisnya. Silvi mengkerut di tempat, lalu menundukkan kepala. Bibirnya melengkung ke bawah. Ia pasti ikut terkejut dengan sambutan yang ia dapat."Kakak, maaf ya, a