Home / Rumah Tangga / Setelah Diusir Ibu Mertua / Bab 5 Bersama Keluarga

Share

Bab 5 Bersama Keluarga

Author: Nisa Khair
last update Last Updated: 2022-09-16 14:49:53

Aku menikmati perjalanan yang tersisa.

Membuang pandang ke luar jendela, lalu tersenyum melihat pemandangan di luar sana.

Matahari telah bergeser ke arah barat, saat kendaraan roda empat yang kami naiki memasuki desa kelahiranku.

Desa yang tak pernah kukunjungi setahun terakhir. Kelebat kenangan masa dulu, melintas satu persatu.

Ibu menyambut kedatangan kami bertiga dengan sukacita. Sementara bapak masih di sawah. Silvi anakku, masih belum terlihat.

"Istirahatlah dulu, sebentar lagi bapak pulang. Silvi masih ngaji di TPA," ujar ibu setelah kutanya keberadaan mereka berdua.

Mas Yudha segera membersihkan diri, setelah berbincang sebentar dengan ibu dan keluarga yang tinggal dekat ibu.

Dinar, ia telah berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Ia menghadirkan senyum bagi banyak orang yang baru ia jumpai.

"Ibu ... ."

Silvi menghambur memelukku, begitu melihat sosokku berdiri tegak di depan pintu, menyambut kepulangannya dari TPA.

Anakku telah besar sekarang. Ada rasa haru menyeruak, saat ia memelukku erat.

Anak yang tak mendapat kasih sayang ayahnya sejak lahir. Pun kasih sayangku, sebab sejak umurnya delapan bulan, aku harus merantau ke kota untuk bekerja, demi terbeli susu untuknya.

Ayahnya, jangan ditanya. Ia sudah tak ada kabar sejak palu hakim diketuk, tanda perpisahan kami diresmikan.

"Carilah kebahagiaanmu sendiri, Silvi biar bapak sama ibu yang urus," demikian pinta Bapak, saat pertama kali Mas Yudha memperkenalkan diri.

Usianya empat tahun saat itu, saat pernikahanku dilangsungkan.

Meski berat, kurelakan juga meninggalkan Silvi bersama kedua orang tuaku. Pun sebab permintaan ibu Mas Yudha.

"Ibu tak mau orang sini tau, kalau menantuku sudah punya anak. Paling tidak, tunggulah sampai satu tahun," pinta ibu, kala itu.

Aku menuruti pinta beliau, setelah Mas Yudha meyakinkan kalau semua akan baik-baik saja.

Besar harapan bahwa hati beliau akan luluh, lalu lembut dan melunak, seperti layaknya batu yang ditetesi air, lama kelamaan akan berlubang juga.

Kusejajarkan tinggi pada anakku, setelah melepaskan pelukan, lalu kuhujani ia dengan ciuman bertubi-tubi.

"Ibu kangen, Nak," ujarku, lalu kembali mendekapnya dalam dada.

Ia balas mengeratkan badan, seakan mengerti dan menyalurkan rindu yang terpendam sekian lama.

"Mau lihat adik, nggak?" tawarku, setelah puas melepas rindu.

Ia mengangguk setuju, lantas kuraih badan mungilnya ke dalam gendongan.

"Adik bobo sini sama Kak Silvi kan, Bu?" tanyanya, setelah puas menghujani sang adik dengan kecupan sayang.

Aku mengangguk mengiyakan, lalu menemani berbincang.

"Mana anak cantiknya Ayah," sapa Mas Yudha.

Silvi malu-malu saat Mas Yudha hendak menggendongnya.

"Kakak sudah besar, Yah, nggak mau digendong," pungkasnya, membuat Mas Yudha tertawa kecil, lalu mengajak berbincang banyak hal.

Ada yang menghangat di hatiku, melihat keluarga kecilku berkumpul seperti ini. Jika memungkinkan, ingin rasanya kubawa serta Silvi tinggal bersamaku.

.

Menikmati pagi dengan melihat pemandangan hijau di belakang rumah, membuat hatiku terasa damai.

Tenang sekali di sini, tak seperti di rumah orang tua Mas Yudha, yang ramai dengan hiruk pikuk kendaraan bermotor.

Untuk pertama kalinya, semalam aku bisa tidur nyenyak lagi, tanpa deru kendaraan bermotor yang melintas tiba-tiba.

"Mana Yudha?" tanya bapak, sambil celingukan mencari keberadaan menantunya.

"Masih tidur, Pak," jawabku apa adanya.

"Sudah jam berapa ini, masih belum bangun juga?"

Kudengar bapak mendecak kesal. Mas Yudha memang biasa bangun siang, sebab terjaga semalaman. Hal ini juga yang sering membuat ia berselisih dengan sang ibu.

"Sebentar lagi juga bangun, Pak. Masih capek dia," belaku.

Bapak tak menanggapi. Tangan kanannya meraih sepotong singkong rebus, lalu mulai menyuapkan ke mulut.

"Masih tinggal di sana, kamu?" tegur bapak, lantas menyeruput kopi yang baru saja kusajikan.

"Masih, Pak," jawabku singkat.

Kunikmati singkong rebus yang tersaji di meja. Hal yang hampir selalu kulakukan saat di rumah, yakni menemani bapak menikmati pagi, sebelum berangkat ke sawah.

"Mau di sini sampai kapan? Jangan lama-lama."

Aku terkesiap mendengar ucapan bapak. Kutatap lekat wajah bapak, sambil mencari tau, apa maksud ucapan yang baru saja menyusup ke telingaku.

Asap tipis kembali mengepul, seiring dengan hembusan napas bapak.

"Bapak, kok gitu ngomongnya. Bukannya seneng anaknya pulang," ujarku dengan mengerucutkan bibir.

Bapak mulai terbatuk, seperti tersedak asap yang ia keluarkan sendiri.

"Itu asapnya dikurangi makanya, dibilangin nggak pernah didenger," ujarku kesal.

Kuambilkan juga segelas air putih dalam gelas, lalu kuulurkan pada beliau yang segera diterima.

"Ini sudah jadi menu utama, nggak bisa ditawar," pungkas bapak, setelah menghabiskan isi gelas seluruhnya.

"Terserah bapak lah. Asal jangan dekat Silvi kalo lagi berasap begini. Aku nggak mau anakku sakit," pungkasku, lalu meraih gelas bapak, ikut menyeruput isinya yang masih setengah.

"Eh, masih suka ngopi kamu, Rin?"

Bapak bertanya sambil menaikkan alis, menatapku dengan pandangan bertanya. Lama tak menghabiskan waktu bersama, tak lantas mengubah kebiasaanku saat berada dekat bapak.

"Masih, dong. Apalagi berbagi sama bapak," jawabku sambil terkekeh.

Bapak tak menanggapi, beralih kembali meniupkan asap tipis ke udara.

"Ya kalau mau di sini nggak papa, cuma kasihan ibumu, sama siapa dia. Apalagi cucunya kamu bawa ke sini. Kesepian pasti."

Kualihkan pandang pada lelaki yang duduk di sampingku, lelaki yang menjadi cinta pertamaku. Kenapa beliau lebih mengkhawatirkan ibu mertua, bukannya aku putrinya. Apa maksudnya coba.

"Bapak sudah memasrahkan kamu sama mertua dan suamimu. Kalau nggak betah serumah, ya cari rumah yang dekat sana, biar bisa saling kunjung."

Aku bahkan belum bercerita apa pun pada beliau, tapi seolah beliau mengerti sebab kepulanganku kali ini.

"Bapak ke sawah dulu, baik-baik di rumah, ya," pamit bapak, lalu mengelus kepalaku.

Tak menunggu jawabanku, bapak segera meraih caping, lantas berganti pamit pada ibu, sebelum benar-benar pergi.

Terbersit tanya di benakku, salahkah aku pulang ke rumah ini, saat merasa tak nyaman di rumah mertuaku?

Aku tak berniat tinggal dalam waktu lama di sini. Aku akan segera kembali, nanti, setelah berhasil membujuk Mas Yudha, supaya tak lagi tinggal serumah dengan ibu.

Kapan waktu itu tiba, biar waktu yang bicara. Kita lihat saja nanti.

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Ending

    Tiga bulan kemudian ….Kalimat takbir dan tahmid tak henti terucap dari bibir wanita berjilbab merah marun usai mendengar putusan sidang. Tubuh yang terbalut gamis berwarna senada dengan jilbabnya itu tersungkur di lantai keramik yang dingin, melakukan sujud syukur.Setengah tak rela Bu Elis membiarkan Karin menyerahkan Lusi dan Dani pada ibu kandungnya. Hak asuh atas kedua anak itu mutlak diberikan kepada Andin, mengingat usia mereka yang masih balita. Rasa haru tak bisa disembunyikan oleh Andin yang didampingi oleh Bu Ida dan juga Raya, pengacara rekomendasi dari Pak Tomo untuk memenangkan kasus Andin.Angga menerima keputusan sidang dengan lapang dada. Ditatapnya wajah wanita yang kini bergelar mantan istri. Wajah yang bersimbah air mata sembari memeluk dua buah hati setelah sekian lamanya tidak berjumpa. Wanita itu terus menghujani ciuman di wajah Lusi dan Dani secara bergantian, seakan tak pernah cukup untuk mengungkapkan betapa besar tumpukan rindu y

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Jelang Ending 3

    Satu Minggu, dua Minggu, hingga lima Minggu, obrolan Bu Elis berpusat pada rencana pernikahan Angga dan Mira. Karin dan Yudha yang kebagian dengar nyaris setiap hari setiap saat, merasa gerah dan memilih tidak menanggapi pada akhirnya. Pihak keluarga sudah menegur ketika kabar perpisahan Angga dan Andin tersiar, dan secepat itu pula merencanakan pernikahan. Namun, Bu Elis seakan menutup telinga. Jaminan sertifikat sawah yang dipegang Mira membuat wanita yang selalu mengenakan banyak perhiasan itu merasa wajib menjadikan Mira sebagai menantu.Terlebih lagi, peran Mira yang membuat Angga akhirnya berpisah dengan Andin, perempuan yang notabene tidak disukai sejak awal, membuat Bu Elis semakin dekat dengan Mira, merencanakan beberapa hal menyangkut penyelesaian bangunan rumah dan toko Angga, serta lahan yang masih luas hendak dimanfaatkan untuk apa.Keberadaan Lusi dan Dani di rumahnya, membuat semangat Bu Elis naik berlipat-lipat. Melihat ketiga cucu yang tu

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Jelang Ending 2

    Di tempat lain ….Mira menyeringai melihat dua bocah kecil yang sedang asyik menonton film animasi. Kegiatan yang selalu dibatasi oleh kedua orang tuanya, kini bisa bebas dilakukan selama yang mereka inginkan. Sebuah es krim berbeda rasa, berada di tangan masing-masing anak. Sedikit belepotan, tapi, tak masalah bagi sosok berbaju biru yang pikirannya tengah berkelana membayangkan jadi pemilik tunggal lahan seluas satu hektar di tepi jalan, beserta satu petak sawah yang sudah diincar oleh kontraktor pabrik.Sebuah foto diambil, lantas dikirimkan kepada Bu Elis, wanita yang melancarkan aksinya membawa dua bocah kecil itu, tak lain untuk kepentingannya sendiri."Jaga mereka baik-baik, kami segera ke sana." Bunyi pesan yang langsung masuk sebagai jawaban, diiringi sebuah foto seorang lelaki yang tengah menyalakan sepeda motor.Mira menarik salah satu sudut bibirnya. Sebentar lagi, impiannya akan terwujud. Tinggal menunggu drama dimainkan seb

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Jelang Ending

    Ibu dan anak itu menegakkan kepala dan menatap berang padanya. Harga diri yang selama ini dijunjung tinggi merasa terluka mendengar kalimat terakhir yang meluncur dari wanita yang berdiri di ujung teras dengan wajah tenang."Kamu pikir saya miskin hingga kamu beri sedekah?!" geram Bu Elis melotot tak terima.Tangan menggenggam erat, wujud dari geramnya hati dengan jawaban dari wanita yang berdiri tegak di depannya. Tanpa sadar kalau beberapa bagian yang runcing dari perhiasan yang ia pegang menusuk-nusuk kulit."Maaf, Bu. Saya tidak pernah berpikir demikian," jawab Andin singkat, lantas memasukkan beberapa benda yang tercecer. Merapikan kembali tas yang tidak terlalu besar, menyampirkan talinya di pundak. "Saya pamit. Assalamu'alaikum."Menganggukkan kepala, lantas melangkah pergi. Bu Elis menjawab salam Andin dengan suara ketus."Wa'alaikumsalam."Bu Elis menatap kepergian menantu pertamanya dengan senyuman sinis. Lega

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Talak

    Andin terkejut ketika sampai di rumah dan mendapati Angga memberi tatapan tajam padanya. "Mas, kamu, sudah pulang? Bukannya biasanya jam setengah lima paling cepet?" tanya Andin beruntun.Lelaki yang ia tanya masih mengeraskan rahang dengan bahu naik turun. Di belakangnya, Bu Elis menarik salah satu sudut bibirnya.Andin menelisik isi rumah, berharap ia hanya melewatkan melihat anaknya yang berada di kamar saat ia pergi. Ya, dalam keputusasaan tak menemukan kedua buah hatinya, dia berharap mereka berada di salah satu ruang dalam rumah mungilnya. Ia bergegas pulang saat membuat kesimpulan sendiri, dan belum berniat memberi kabar pada suaminya karena tak mau membuat lelaki itu cemas di jam kerja. Tak dinyana kalau suaminya telah lebih dulu sampai sebelum ia berhasil menemukan anaknya."Kau sembunyikan di mana anakku?" tanya Angga penuh penekanan."Apa? Menyembunyikan?" tanya Andin tak mengerti. Tatapannya menyorot wanita paruh ba

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Hanya Titipan

    Bu Elis menuju dapur, memeriksa semua benda yang ada di sana. Wanita itu memekikkan nama menantunya."Andin! Ke sini, kamu!"Andin terjingkat, lantas beranjak ke dapur.Melihat ibu mertuanya berkacak pinggang dengan tatapan tajam, keningnya mengernyit heran."Ada apa, Bu?" tanya Andin dengan suara pelan. "Tidak ada makanan sama sekali! Kau beri makan apa cucuku?" ketus Bu Elis.Andin membulatkan mulut. Di dapurnya memang sudah tidak ada makanan selain nasi. Beberapa stok cemilan sudah dia keluarkan untuk menyambut tamunya. Dia yakin kalau yang dimaksud ibu mertuanya adalah lauk untuk teman makan nasi. Sementara telur tinggal dua biji. "Tadi anak-anak makan sama sup udang, tapi, sudah habis, Bu," jawab Andin membuat Bu Elis menelengkan kepala."Udang?"Andin mengangguk mengiyakan."Lalu nanti kalau mereka lapar lagi, kamu kasih apa?" selidik Bu Elis. Kali ini suaranya lebih pelan.And

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status