Share

Bab 5 Bersama Keluarga

Aku menikmati perjalanan yang tersisa.

Membuang pandang ke luar jendela, lalu tersenyum melihat pemandangan di luar sana.

Matahari telah bergeser ke arah barat, saat kendaraan roda empat yang kami naiki memasuki desa kelahiranku.

Desa yang tak pernah kukunjungi setahun terakhir. Kelebat kenangan masa dulu, melintas satu persatu.

Ibu menyambut kedatangan kami bertiga dengan sukacita. Sementara bapak masih di sawah. Silvi anakku, masih belum terlihat.

"Istirahatlah dulu, sebentar lagi bapak pulang. Silvi masih ngaji di TPA," ujar ibu setelah kutanya keberadaan mereka berdua.

Mas Yudha segera membersihkan diri, setelah berbincang sebentar dengan ibu dan keluarga yang tinggal dekat ibu.

Dinar, ia telah berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Ia menghadirkan senyum bagi banyak orang yang baru ia jumpai.

"Ibu ... ."

Silvi menghambur memelukku, begitu melihat sosokku berdiri tegak di depan pintu, menyambut kepulangannya dari TPA.

Anakku telah besar sekarang. Ada rasa haru menyeruak, saat ia memelukku erat.

Anak yang tak mendapat kasih sayang ayahnya sejak lahir. Pun kasih sayangku, sebab sejak umurnya delapan bulan, aku harus merantau ke kota untuk bekerja, demi terbeli susu untuknya.

Ayahnya, jangan ditanya. Ia sudah tak ada kabar sejak palu hakim diketuk, tanda perpisahan kami diresmikan.

"Carilah kebahagiaanmu sendiri, Silvi biar bapak sama ibu yang urus," demikian pinta Bapak, saat pertama kali Mas Yudha memperkenalkan diri.

Usianya empat tahun saat itu, saat pernikahanku dilangsungkan.

Meski berat, kurelakan juga meninggalkan Silvi bersama kedua orang tuaku. Pun sebab permintaan ibu Mas Yudha.

"Ibu tak mau orang sini tau, kalau menantuku sudah punya anak. Paling tidak, tunggulah sampai satu tahun," pinta ibu, kala itu.

Aku menuruti pinta beliau, setelah Mas Yudha meyakinkan kalau semua akan baik-baik saja.

Besar harapan bahwa hati beliau akan luluh, lalu lembut dan melunak, seperti layaknya batu yang ditetesi air, lama kelamaan akan berlubang juga.

Kusejajarkan tinggi pada anakku, setelah melepaskan pelukan, lalu kuhujani ia dengan ciuman bertubi-tubi.

"Ibu kangen, Nak," ujarku, lalu kembali mendekapnya dalam dada.

Ia balas mengeratkan badan, seakan mengerti dan menyalurkan rindu yang terpendam sekian lama.

"Mau lihat adik, nggak?" tawarku, setelah puas melepas rindu.

Ia mengangguk setuju, lantas kuraih badan mungilnya ke dalam gendongan.

"Adik bobo sini sama Kak Silvi kan, Bu?" tanyanya, setelah puas menghujani sang adik dengan kecupan sayang.

Aku mengangguk mengiyakan, lalu menemani berbincang.

"Mana anak cantiknya Ayah," sapa Mas Yudha.

Silvi malu-malu saat Mas Yudha hendak menggendongnya.

"Kakak sudah besar, Yah, nggak mau digendong," pungkasnya, membuat Mas Yudha tertawa kecil, lalu mengajak berbincang banyak hal.

Ada yang menghangat di hatiku, melihat keluarga kecilku berkumpul seperti ini. Jika memungkinkan, ingin rasanya kubawa serta Silvi tinggal bersamaku.

.

Menikmati pagi dengan melihat pemandangan hijau di belakang rumah, membuat hatiku terasa damai.

Tenang sekali di sini, tak seperti di rumah orang tua Mas Yudha, yang ramai dengan hiruk pikuk kendaraan bermotor.

Untuk pertama kalinya, semalam aku bisa tidur nyenyak lagi, tanpa deru kendaraan bermotor yang melintas tiba-tiba.

"Mana Yudha?" tanya bapak, sambil celingukan mencari keberadaan menantunya.

"Masih tidur, Pak," jawabku apa adanya.

"Sudah jam berapa ini, masih belum bangun juga?"

Kudengar bapak mendecak kesal. Mas Yudha memang biasa bangun siang, sebab terjaga semalaman. Hal ini juga yang sering membuat ia berselisih dengan sang ibu.

"Sebentar lagi juga bangun, Pak. Masih capek dia," belaku.

Bapak tak menanggapi. Tangan kanannya meraih sepotong singkong rebus, lalu mulai menyuapkan ke mulut.

"Masih tinggal di sana, kamu?" tegur bapak, lantas menyeruput kopi yang baru saja kusajikan.

"Masih, Pak," jawabku singkat.

Kunikmati singkong rebus yang tersaji di meja. Hal yang hampir selalu kulakukan saat di rumah, yakni menemani bapak menikmati pagi, sebelum berangkat ke sawah.

"Mau di sini sampai kapan? Jangan lama-lama."

Aku terkesiap mendengar ucapan bapak. Kutatap lekat wajah bapak, sambil mencari tau, apa maksud ucapan yang baru saja menyusup ke telingaku.

Asap tipis kembali mengepul, seiring dengan hembusan napas bapak.

"Bapak, kok gitu ngomongnya. Bukannya seneng anaknya pulang," ujarku dengan mengerucutkan bibir.

Bapak mulai terbatuk, seperti tersedak asap yang ia keluarkan sendiri.

"Itu asapnya dikurangi makanya, dibilangin nggak pernah didenger," ujarku kesal.

Kuambilkan juga segelas air putih dalam gelas, lalu kuulurkan pada beliau yang segera diterima.

"Ini sudah jadi menu utama, nggak bisa ditawar," pungkas bapak, setelah menghabiskan isi gelas seluruhnya.

"Terserah bapak lah. Asal jangan dekat Silvi kalo lagi berasap begini. Aku nggak mau anakku sakit," pungkasku, lalu meraih gelas bapak, ikut menyeruput isinya yang masih setengah.

"Eh, masih suka ngopi kamu, Rin?"

Bapak bertanya sambil menaikkan alis, menatapku dengan pandangan bertanya. Lama tak menghabiskan waktu bersama, tak lantas mengubah kebiasaanku saat berada dekat bapak.

"Masih, dong. Apalagi berbagi sama bapak," jawabku sambil terkekeh.

Bapak tak menanggapi, beralih kembali meniupkan asap tipis ke udara.

"Ya kalau mau di sini nggak papa, cuma kasihan ibumu, sama siapa dia. Apalagi cucunya kamu bawa ke sini. Kesepian pasti."

Kualihkan pandang pada lelaki yang duduk di sampingku, lelaki yang menjadi cinta pertamaku. Kenapa beliau lebih mengkhawatirkan ibu mertua, bukannya aku putrinya. Apa maksudnya coba.

"Bapak sudah memasrahkan kamu sama mertua dan suamimu. Kalau nggak betah serumah, ya cari rumah yang dekat sana, biar bisa saling kunjung."

Aku bahkan belum bercerita apa pun pada beliau, tapi seolah beliau mengerti sebab kepulanganku kali ini.

"Bapak ke sawah dulu, baik-baik di rumah, ya," pamit bapak, lalu mengelus kepalaku.

Tak menunggu jawabanku, bapak segera meraih caping, lantas berganti pamit pada ibu, sebelum benar-benar pergi.

Terbersit tanya di benakku, salahkah aku pulang ke rumah ini, saat merasa tak nyaman di rumah mertuaku?

Aku tak berniat tinggal dalam waktu lama di sini. Aku akan segera kembali, nanti, setelah berhasil membujuk Mas Yudha, supaya tak lagi tinggal serumah dengan ibu.

Kapan waktu itu tiba, biar waktu yang bicara. Kita lihat saja nanti.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status