Keesokan paginya, Mas Bima ditelpon ibundanya. Mama mertua meminta agar suamiku pulang karena ternyata di kediaman Mama mertua dibuat syukuran kecil-kecilan untuk merayakan kehamilan Mala. Pagi itu juga kami berangkat.
Melakukan perjalanan kurang lebih tiga jam akhirnya kami sampai di rumah mama mertua. Beberapa mobil sudah terparkir di halaman rumah mewah keluarga suamiku itu. Mas Bima pun memarkirkan mobilnya di belakang mobil Sarah, adik ipar.
Dari kejauhan aku dapat melihat adik maduku Mala, dia berdiri di teras rumah sembari berbicara dengan adik dan kakak iparku. Mala tampak begitu cantik dan menawan, tentu saja karena dia adalah seorang model yang usianya lebih muda lima tahun denganku dan Mas Bima. Aku dan suami lahir di tahun yang sama, hanya berbeda bulan.
Mas Bima menggenggam jemari tanganku dan mengajak mendekati saudara dan istri keduanya. Saat kedatangan kami terlihat oleh Mala, dia langsung terkesiap. Jika aku tidak salah menangkap, dua netranya tertuju pada jemariku yang digenggam Mas Bima. Menyadari hal itu aku segera menarik tangan. Berusaha menjaga sikap agar dia tidak cemburu.
"Kamu sudah pulang, Mas."
Mala meraih jemari Mas Bima lalu mengecup penuh takzim. Dia juga menyalamiku dan tersenyum. Selanjutnya adik maduku itu menyelipkan tangan pada lengan Mas Bima dan mengajak masuk.
Aku menarik napas dalam, berbesar hati menerima takdir bahwa di keluarga ini diriku memang tidak pernah dianggap. Bahkan semenjak pertama mendapat gelar istri, mama mertua dan semua ipar menaruh benci. Apalagi sekarang saat Mas Bima telah mendapatkan seorang janin dari istri keduanya. Mungkin kehadiranku menjadi semakin tidak diharapkan.
Namun sebagai wanita yang masih istri sah Mas Bima, aku harus tetap bersikap selayaknya seorang istri yang tunduk pada suaminya. Aku tetap masuk ke rumah mama mertua, meski tak ada satupun yang menyambut kedatangan diri ini.
Satu jam berada di rumah itu, aku hanya menghabiskan waktu untuk menjaga anaknya adik ipar yang masih berusia dua tahun. Dia berjalan kesana kemari dan aku membuntutinya pun kemana dia pergi. Hingga balita itu memberi isyarat padaku bahwa dirinya selesai buang air besar di dalam pampers. Terpaksa aku membawanya ke kamar mandi yang ada di sebelah dapur.
"Mala cantik banget ya Ma, dia cocok banget jadi istri Mas Bima."
Aku mendengar suara adik ipar di dapur.
"Iya kamu benar, Mala dan Mas Bima adalah pasangan serasi. Nggak seperti Mbak Nisa, jujur ya menurutku Mas Bima lebih cocok sama Mala dari pada Mbak Nisa. Tapi entah kenapa Mas Bima bisa cinta banget sama istri pertamanya, padahal mandul juga. Harusnya diceraikan aja daripada diduakan, kasihan Mbak Mala. Pasti nggak enak dimadu."
Deg.
Aku tak menyangka kedua iparku tega berbicara seperti itu. Padahal yang dimadu aku, tapi seolah yang merasakan sakitnya Mala. Meski sangat kecewa, aku tetap berdiri tegak, ingin kembali mendengar percakapan mereka.
"Iya ya, aku juga heran kenapa Mas Bima bisa jatuh cinta banget sama Mbak Nisa. Padahal tampangnya biasa aja gitu, nggak ada wah-wah nya. Mendingan Mbak Mala seribu kali. Kenapa sih Ma, Mas Bima nggak nyeraikan aja Mbak Nisa. Kenapa juga harus poligami. Bikin semak isi rumah tahu nggak."
Ya Allah, ternyata tidak hanya ada adik ipar. Mama mertua juga ada di sana?
"Mama tidak mungkin meminta Bima menceraikan Nisa, kalian 'kan tahu sendiri betapa cintanya dia sama wanita itu."
Aku memejam mata perlahan, seolah sebilah belati menusuk jantung dengan kuat. Sakitnya meluruhkan seluruh jiwa dan raga.
"Kita ke dukun aja Ma, minta obat supaya Mas Bima membenci Mbak Nisa."
"Nggak ah, Mama nggak mau main dukun-dukunan. Bisa kena karma nantii. Kita tunggu aja setelah Mala melahirkan, pelan-pelan cintanya untuk Nisa juga akan luntur."
Aku mengatup mulut yang tiba-tiba terasa bergetar, sebenci itulah mereka semua padaku? Tak lagi menunggu lebih lama, aku berjalan mundur dan menjauh dari ruangan itu. Kubawa anak adik ipar ke kamar mandi yang lain untuk membersihkan pampersnya. Setelah selesai kuserahkan ia pada saudara yang lain lalu langkah tergerak menuju kamarku yang ada di rumah itu.
Sampai di kamar, aku merebahkan diri di atas ranjang. Kepala tiba-tiba terasa berdenyut sementara dada terasa begitu sakit. Padahal selama ini aku sudah berusaha menjadi yang terbaik, aku bahkan sudah mengikhlaskan sesuatu yang paling aku cintai dalam hidup untuk kubagi kepada yang lain. Demi membahagiakan ibu mertua. Tapi mereka tetap membenciku.
Kususut air mata yang mengalir di kedua sudut, tapi begitu terhenyak saat mendengar pintu kamar terketuk. Detik berikutnya pintu tersebut terbuka, wajah Mas Bima muncul disana.
"Mas cari kemana-mana, ternyata kamu di sini."
Dia berjalan mendekat dan duduk di atas ranjang. Dengan cepat aku mengusap wajah, aku tidak mungkin menceritakan ini semua pada Mas Bima, dia tidak akan percaya. Sebab di depannya, mama maupun ipar selalu bersikap baik.
Meski enggan, kubangkitkan jua tubuh dan tersenyum padanya sekilas.
"Kenapa di kamar?" tanyanya mencari dua netraku.
"Kecapean, Mas."
Tangan Mas Bima seketika terulur untuk memijat-mijat kedua kakiku yang terjulur ke depan.
"Aku cuma kecapean Mas, bukan pegal," ucapku seraya berusaha memindahkan jemarinya tapi Mas Bima justru semakin sungguh-sungguh memijat.
"Mas kenapa di sini? Nanti dicariin sama Mama dan Mala."
"Nggak papa biar aja dicariin, kamu 'kan istri Mas juga. Jadi nggak ada larangan untuk Mas nemeni."
Aku merasa sedikit bahagia mendengar jawabannya, setelah berjam-jam dia biarkan aku merasa asing di keluarganya sendiri.
"Maaf ya, Mas daritadi sibuk terus."
Sebenarnya air mataku sudah ingin keluar saat ini tapi dering ponsel Mas Bima, membuyarkan perasaan ini.
"Dimana kamu, Bim? Istrimu kamu biarkan sendirian menerima tamu."
Pandangan Mas Bima tertuju padaku.
"Ada Ma di kamar sama Nisa."
"Kamu ini gimana sih Bim, lagi ada acara juga kenapa di kamar?"
"Nisa kurang sehat, Ma."
"Kalau sakit biarkan dia istirahat di kamar, nanti Mama suruh adikmu menemaninya. Kamu jangan kelamaan di sana. Ini tamumu teman kantor di luar."
"Oh, iya Ma. Bima keluar sekarang."
Kami kembali saling berpandangan.
"Ada tamu di luar, Mas keluar bentar ya."
Kuanggukkan kepala perlahan dan memandanginya yang kini melangkah keluar kamar. Sebelum menutup pintu ia kembali tersenyum, senyum yang menyisakan banyak tangisan di hatiku. Ya Allah, aku hanya minta Engkau tegarkan hati ini, beri aku kebaikan dan kokohkan rumah tangga ini. Aku sangat mencintai suamiku dan tidak ingin berpisah darinya. Kumohon ya Allah, kabulkan doaku ini.
*
Malam ini, Mama mertua memintaku tidur di rumahnya. Sudah jam delapan malam, Mas Bima masih menemani Mala, katanya dia lemah dan pusing. Padahal jika melihat dari peraturan bermalam, Mas Bima harusnya bersamaku untuk dua malam lagi.
Tok ...
Tok ...
Suara ketukan pintu membuatku terhenyak.
"Mbak Nisa, diajak Mama makan malam."
Suara Sarah, adik Mas Bima membuat langkah ini tergerak menuju keluar kamar. Aku ikut bergabung untuk makan. Ternyata Mas Bima dan Mala sudah ada di sana. Kenapa dia tidak memanggilku?
Pandangan Mas Bima tertuju pada diri ini, dia memintaku duduk di sebelah kanannya sementara Mala duduk di sebelah kiri. Tanpa kata akupun menurut, hendak membantu Mas Bima mencentongi nasi tapi Mala terlebih dahulu melakukannya.
"Makasih ya, Dek," ucap Mas Bima pada Mala. Kubuang rasa cemburu yang merambat perlahan. Malam ini masih malam istimewa, aku tak ingin bersedih.
Di hadapan, Mala menatapku sejenak sembari tersenyum. Dia kembali meletakkan berbagai lauk yang diinginkan Mas Bima, kutundukkan wajah dan menaruh nasi untuk diri sendiri.
Aku mencoba menyadari bahwa pernikahan poligami ini baru berlangsung satu bulan, tentu saja kami harus belajar banyak agar tidak saling menyakiti perasaan satu sama lain. Demikian halnya dengan Mala, sebagai istri pertama aku harusnya mengajari dia banyak hal agar selamanya kami bisa jadi teman bukan lawan.
Acara makan malam berlangsung khusuk, setelah selesai sebelum berangkat dari ruangan itu mama meminta waktu untuk bicara.
"Bima, sekarang Mala 'kan sudah hamil. Mama pikir dia akan butuh banyak keberadaanmu di sisinya."
Deg.
Ada sesuatu yang menyentak di dalam dada, aku sedikit cemas mendengar pembukaan yang disampaikan mama mertua.
"Apa menurutmu Mala tidak akan kenapa-kenapa jika dia tinggal sendirian terus?"
Mas Bima langsung menatapku.
"Ada ART di rumah itu Ma, juga ada satpam. Jadi Bima pikir Mala pasti akan baik-baik saja."
"Mereka itu semua hanya orang lain. Sebenarnya wanita hamil itukan sangat butuh perhatian suaminya, Mama pikir kenapa kalian tidak tinggal saja satu rumah. Jatah bermalam tetap sama, tapi dengan satu rumah kamu bisa lebih memerhatikan apa ada masalah dengan semua istri-istrimu."
Mas Bima kembali menatapku.
"Nanti Bima akan bicarakan dengan Nisa."
"Kenapa nanti, kamu 'kan bisa tanya langsung sekarang mumpung Nisa ada di sini. Mama yakin dia pasti tidak akan menolak. Bagaimana Nisa, apa kamu bisa menerima Mala di rumahmu?"
Aku terdiam sejenak.
"Lihat kondisi Mala, Nisa. Dimana-mana wanita hamil itu keadaan tubuhnya lemah, bagaimana jika dia mengalami sesuatu sementara Bima sedang bersama kamu. Butuh waktu untuk dia sampai ke rumah Mala. Sedang jika kalian berada dalam satu rumah, maka Bima hanya butuh hitungan menit untuk membantu Mala."
Aku masih bergeming, sangat bimbang. Mungkin karena pilihan berpoligami ini dilakukan secepat kilat, yang sebenarnya hati ini belum sepenuhnya siap. Apalagi jika harus serumah, aku masih ragu.
"Sebagai perempuan harusnya kamu bisa memahami bagaimana kondisi seorang wanita yang tengah mengandung, meskipun kamu tidak pernah hamil. Ya minimal bisa 'kan dibayang-bayang gimana kehamilan itu membawa efek tidak enak bagi tubuh."
Kakak ipar pun ikut nyerocos begitu saja.
"Kakak iparmu betul, Nisa. Hamil itu memberi perubahan besar pada tubuh, yang biasanya kondisi tubuh normal, tapi bisa berubah seketika karena pengaruh kehamilan. Jadi di sini Mama hanya minta kedewasaan kamu dalam berpikir. Mama yakin, Mala bisa menjaga sikapnya. Dan kalian akan lebih bahagia dengan tinggal serumah."
Aku menarik napas dalam, satu sisi aku merasa pilihan ini sangat tidak sesuai dengan keinginanku tapi di sisi lain aku seolah tidak diberi kesempatan untuk mengambil keputusan sesuai keinginan itu.
"Bagaimana Nisa, apa boleh Mala tinggal bersama kamu dan Bima?"
Pandanganku kini tertuju pada Mala, meski berat tapi kepala ini terangguk jua perlahan. Terlihat Mala sangat senang, dia langsung menggenggam tangan Mas Bima.
"Syukurlah, jadi mulai besok Bim kamu ajak Mala untuk tinggal bersama kalian," ucap mama menutup pembicaraan kami malam itu.
Pandanganku tertunduk lemah, berharap pilihan ini tidak salah justru membawa kami pada keadaan yang lebih baik.
Diantara kebimbangan yang tengah melanda jiwa, aku merasakan lima jemari merambati perlahan menggenggam erat jemariku. Saat kepala ini terangkat, kudapati Mas Bima tengah tersenyum dengan jemari tangan kanan menggenggam jemariku dan jemari kiri menggenggam tangan Mala.
Ya Allah, mampukan aku melewati semua ujian ini ...
***
Bersambung
Jangan lupa subscribe, like, dan koment. Terima kasih.
Utamakan baca Al-Quran.
Aku dan Mas Adam segera menyusul Sarah ke dalam ruang ICU."Tidak boleh berbarengan ya, Bu. Masuknya satu orang saja."Seorang suster langsung menghentikan langkah kami."Kamu saja yang masuk, mungkin Dzabir ingin melihat Papanya," ucap Mas Adam menyuruhku yang masuk sementara dia menunggu di luar. Dengan berat hati aku dan Dzabir melangkah ke dalam dan mendapati Mas Bima sudah dikerumuni banyak tenaga kesehatan dan seorang dokter. Jantung ini seketika berdegup kencang."Ada apa, Sarah?" tanyaku penuh khawatir."Tiba-tiba jantungnya lemah, Mbak. Kasihan Mas Bima, Semoga Allah memberi umur panjang," ucap Sarah dengan kedua mata berkaca-kaca."Sarah kamu pegang Dzabir ya, biar Mbak cari Mama sama Mbak Ara. Mbak takut terjadi apa-apa pada Mas Bima, sementara Mama belum sempat menjenguknya.""Iya, Mbak."Aku pun kembali keluar dari ruangan ini, Mbak Hanum ternyata sudah duduk di kursi tunggu bersama Mas Adam."Bagaimana keadaan Bima, Nis?" tanya wanita itu."Denyut jantungnya lemah, Mbak
"Nisa, Mbak mau bicara sama kamu. Oya, mereka siapa?"Wajahku tertuju pada Sarah dan yang lain. Sementara di dalam dada, jantung berdegup kencang. "Mereka ... adalah keluarga dari mantan suami saya, Mbak."Mbak Hanum seperti terkejut, apa Mas Adam sudah mengatakan pada beliau perihal Mas Bima? Ya Allah, kenapa perasaan ini semakin dihujam rasa bersalah."Oh jadi ini keluarga mantan suami kamu?"Kuanggukkan kepala, sementara wajah Mbak Hanum tertuju pada Mbak Ara."Perkenalkan saya Hanum, calon kakak iparnya Nisa."Pandanganku segera tertuju pada keduanya. Dua netra Mbak Ara membulat, bahkan Sarah dan mama pun sama."Jadi Nisa udah mau nikah?"Mbak Hanum tak menjawab, dia justru menatapku seolah ingin aku yang menjawab pertanyaan tersebut."Iya, Mbak," jawabku terbata. Sungguh tak dapat kugambarkan perasaan kini. Apalagi saat melihat Mama menundukkan wajahnya, bahkan menutup kedua mata. Ya Allah, tolong bantu hamba keluar dari keadaan yang sulit ini."Tapi apa kamu sempat bertemu Bima
Dengan memendam segenap kekecewaan, Adam berjalan meninggalkan tempat dimana dia dan Nisa berbicara dari hati ke hati.Tiga tahun bukan waktu yang cepat, mencari alasan yang kuat untuk berumah tangga. Itulah yang dilakukannya selama ini pada Nisa. Berawal dari pertemuan di pasar hingga tumbuhlah benih yang kala itu ia sebut pertanda mungkin jodoh. Ia tak langsung menetapkan hati justru memilih untuk mengenal secara diam-diam.Namun kenyataannya, tiga tahun itu tak berguna sebab semua hancur setelah tahu bahwa Nisa lebih berat pada mantan suaminya.Ia pulang membawa kekecewaan. Sampai di rumah, Adam langsung masuk ke kamar, kebetulan di rumahnya ada sang Kakak yang tampak sibuk mempersiapkan beberapa hal menyangkut pernikahannya. Hanum merasa ada yang berbeda, ia segera menyusul Adam ke kamar."Habis dari mana kamu, Dam?""Habis ketemu Nisa di rumah sakit.""Siapa yang sakit?""Mantan suaminya.""Lo, mantan suami Nisa ada di kota ini?"Adam tampak mengangguk, memilih menjatuhkan tubuh
Segera kugendong Dzabir dan menidurkannya di kursi tengah mobil. Lalu di malam buta ini kendaraan yang kunaiki akhirnya membelah langit kelam menuju rumah sakit. Berbagai pertanyaan tak henti menyeruak dalam dada, tentang Mas Bima yang kenapa sampai tiba-tiba koma, juga tentang pernikahanku yang tinggal menghitung hari. Apa sebenarnya yang kuinginkan, benarkah bersama Mas Adam adalah keinginan? Dalam kegundahan hati, keraguan itu semakin jelas. Hanya ribuan doa yang teriring dalam setiap tarikan napas. Berharap Allah bulatkan keinginan untuk memilih yang terbaik. Tetap bersamanya atau menyudahi. Sementara itu, kendaraan roda empat ini terus berputar hingga sampai di depan sebuah rumah sakit, putraku Dzabir ternyata terbangun dari lelapnya tidur. "Bund, kita ada dimana?" "Di rumah sakit, Nak." "Siapa yang sakit?" "Papa." Dia tampak sangat terkejut. Sambil mengecek bola mata, Dzabir bangkit ke posisi duduk bersandar. "Papa sakit apa, Bund?" "Bunda juga belum tahu Nak, kita tany
Jantung ini seperti berhenti berdetak saat mendapati Mas Adam berdiri di depan kamar Mas Bima. Tatapannya kini tertuju pada mantan suamiku, membuat pandangan inipun tertoleh ke belakang. Aku membuang napas berat saat menyaksikan Mas Bima hanya memakai singlet dan memakai celana selutut serta memeluk selimut. Bayangan kejadian masa lalu terlintas begitu saja, saat lelaki itu memergokiku tengah bersama Mas Brian. Ingatan tersebut membuat dada seolah tertusuk belati tertajam. "Kata Pak Agung, Pak Bima sakit?" tanya Mas Adam membuyarkan pikiranku. "Hah, iya. Saya kurang enak badan, Pak," jawab Mas Bima terbata. "Tapi sekarang sudah sehat?" "Alhamdulillah sudah agak baikan, Pak Ustadz." "Tapi kenapa calon istri saya ada di sini?" Pandangan Mas Adam kini tertuju padaku. "Tidak baik seorang wanita berada di kamar lelaki yang bukan lagi mahramnya, sekalipun ada anak kecil diantara mereka." Aku hanya bisa menunduk, sungguh dada ini bergemuruh hebat. "Ayo kita pulang, perancang pakai
"Cepat Pa bobok lagi, Bunda udah di luar."Jantungku semakin berdegup kencang."Sekarang jam berapa, Nak?"Dzabir melihat jam, dua netraku juga tertuju ke sana."Sepuluh," ucapnya berbisik. Bersamaan dengan itu terdengar bel kamar berbunyi."Kamu bisa buka pintunya?" tanyaku pada Dzabir."Bisa, Pa."Putraku itu langsung turun dari ranjang dan membuka pintu, dan di sini di atas ranjang jantung semakin bertabuh kencang.Aku harus memejamkan mata dan berpura-pura sakit. Kututup seluruh tubuh dengan selimut, agar berkeringat dan kelihatan benar seperti orang sakit. Dalam selimut, aku mulai membayangkan apa yang kumimpikan tadi. Mengajak Nisa pergi. Sungguh tak mungkin kulakukan sebagai seorang muslim."Bund, Papa ada si kamar, udah nggak sanggup bangun."Jantung seolah turun ke perut. Aku benar-benar gugup."Biar Bunda kasih tahu penjaga hotel, siapa tahu mereka ada stok obat."Hah, aduh gawat. Untuk apa minum obat, sakitnya saja sudah berkurang. "Nggak usah Bund, Papa udah minum obat ko