Share

2. Hati Yang Retak

Hari bahagia itupun tiba, Nirmala benar-benar cantik dalam balutan baju pengantin rancanganku. Bak seorang putri, dia duduk dengan paripurna menyeimbangi Mas Bima yang tak kalah memesona. Melihat mereka duduk bersanding, aku jadi teringat masa sepuluh tahun silam. 

Saat dimana Mas Bima berhasil memenangkan hati ini hingga kami sempurna menjadi sepasang suami istri. Hari itu dengan begitu gagah dia mengikat janji setia bersamaku, dan hari ini aku kembali melihatnya segagah dahulu. Hanya saja kegagahan itu sekarang sudah tak lagi kumiliki seorang diri.

Kumengerjap beberapa kali, ada yang berusaha mendesak keluar dari pelupuk mata. Tapi sekuat tenaga kutahan, ini hari bahagia jika aku menangis tentu akan banyak mata yang memandang kasihan pada diri ini.

Lamunan buyar ketika beberapa sanak keluarga dekat sampai ke rumah ini. Mereka hanya menyalamiku tanpa berkata apapun, pelukan erat seolah mewakili sekian banyak ucapan penyemangat yang seharusnya mereka ucapkan untukku.

Diantara seluruh yang menyalamiku, sanubari ini bergetar ketika sebuah doa dilangitkan dengan tulus oleh dokter Siska, dokter kandungan yang selama ini selalu menjadi tempatku berkonsultasi. Dia berdoa agar aku menjadi wanita yang kuat, tidak berputus asa, tetap bahagia seperti saat pertama kali ia mengenalku. Dan doa terakhirnya, dia meminta agar rumah tangga kami langgeng serta harmonis selamanya. 

Aku memeluknya erat, iapun menyapu air mata yang menetas di wajah ini.

Ijab qabul diucapkan lantang oleh Mas Bima, aku menarik napas panjang. Ada yang menusuk dada ini dengan kuat, tapi kucoba untuk beristighfar meredakan cemburu yang sesuka hati merampas usaha untuk ikhlas. Ternyata seperti ini rasanya melihat suami bersanding dengan wanita lain, meskipun itu sudah kita ridhai sepenuh hati.

Tak lama, mama mertua mendekat, ia meminta agar aku maju ke depan. Memberikan doa yang tulus dari istri pertama untuk suami dan istri keduanya.

Sejujurnya kaki ini terasa begitu lemah, tak berdaya untuk melangkah karena hati masih diliputi kabut hitam. Namun, kucoba menguatkan diri. Aku menjabat tangan adik madu dan mencium kedua pipi lalu keningnya. Inilah wanita yang nanti akan mengarungi bahtera rumah tangga bersamaku dan Mas Bima. Hati tiba-tiba bergetar.

"Selamat adikku, kamu sudah sah menjadi istri Mas Bima. Berjanjilah untuk mendampinginya dalam suka dan duka."

Kuberi jeda pada ucapan sejenak, bibir bergetar menahan tangis.

"Iya Mbak, saya berjanji," jawabnya pelan.

"Berjanjilah pula ... untuk berusaha mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah bersamaku dan Mas Bima. Genggaman tangan kita harus lebih kuat Dik, karena mungkin akan lebih banyak cobaan yang akan kita hadapi nanti, sebab rumah tangga kita lebih besar. Ada saya juga kamu."

Dia mengangguk dan memelukku.

"Terima kasih, Mbak. Aku akan berusaha sebisa yang kumampu."

Kami saling memandang lalu perlahan kulepas tangannya. Tanpa sengaja melihat beberapa teman dan keluarga yang duduk di belakang Mala, mereka ikut menangis melihat kami. Jika pada biasanya dihari pernikahan diliputi canda tawa, tapi hari ini aku menyaksikan hampir semua tamu yang hadir di pernikahan Mas Bima justru menitikkan air mata.

Aku ingin berkata pada mereka, tolong jangan menangis. Karena jika kalian pun bersedih, hati ini akan lebih sakit. 

Kuseka air mata yang telah membasahi kedua pipi lalu menyalami dan mencium tangan Mas Bima. Didetik ini, aku ingin luruh ke lantai, hati ini seperti patah. Tapi melihat senyum yang merekah di wajah lelaki yang sangat kucintai ini, aku mencoba setegar karang di lautan.

"Selamat Mas atas pernikahanmu ini."

Dia mengangguk, aku mendapatinya menunduk sejenak, lalu mengusap mata.

"Mas, aku hanya minta padamu satu hal, kamu harus adil dalam rumah tangga kita ini. Teruslah berusaha, aku yakin kamu bisa menjadi imam yang baik bagiku dan Mala."

Mas Bima mengangguk, dia mengusap punggung tanganku seraya berkata.

"In Syaa Allah, Mas janji. Terima kasih Sayang sudah menjadi wanita yang paling kuat."

Kusunggingkan selarik senyum, di depan istri kedua suamiku dan seluruh keluarganya, aku memeluk Mas Bima erat. Inilah cobaan terberat yang harus kuhadapi disepuluh tahun pernikahan dengan Mas Bima. Tidak ada yang paling sulit selain merelakan suami yang kita cintai membagi cinta dengan wanita lain.

Bahagia, entahlah. Tapi yang kutahu tujuan pernikahan ini sangat mulia. Namun, tak bisa hilang begitu saja, rasa sedih yang ikut membersamai. Biarpun begitu, aku sudah mematri niat untuk ikhlas dan berbesar hati. Yang paling utama adalah lebih mendominasikan diri pada rasa bahagia dengan sahnya Nirmala sebagai istri kedua suamiku.

Setelah memberikan doa, perlahan langkah ini kembali menjauh. Membiarkan penghulu menyampaikan beberapa nasihat pernikahan untuk keduanya.

Pandanganku entah kenapa terus tertuju pada Nirmala. Wanita cantik itu bukan orang asing di hidup Mas Bima. Dulu, dia adalah cinta pertama suamiku. Tapi sayang hubungan mereka kandas ketika Mala justru lebih memilih menjadi model dari pada memenuhi keinginan Mas Bima untuk menikah.

Hal itu pula yang membuka jalan hingga aku bisa bertemu dengan Mas Bima dan kamipun menikah. 

Mas Bima adalah lelaki yang sangat baik. Meski hatinya pernah terisi oleh nama Nirmala, tapi setelah menikah denganku ia tak pernah sekalipun menyebut nama mantannya. Hati lelaki itu penuh untukku, hanya satu kekurangan yang menyebabkan dia harus berbagi cintanya. Aku tidak bisa memberi keturunan yang begitu diidamkan mama mertua dari anak lelaki semata wayang.

Dan kenyataan yang lebih membuat tercengang adalah keadaan dimana Nirmala sampai saat ini masih dengan kesendiriannya. Meski sudah memutuskan untuk berhenti dari dunia hiburan, tapi wanita itu belum juga berkeinginan untuk melangkah lebih jauh pada jenjang pernikahan. Lamarankulah yang membuatnya berpikir dua kali hingga akhirnya ia mengiyakan untuk menjadi istri kedua suamiku.

Sekian jam berlalu, Mas Bima dan Mala kini dituntun untuk mengadakan sesi foto-foto. Tawa bahagia ipar dan mama mertua membuat seulas senyum merekah di wajah ini. Aku memutuskan menjauh perlahan. Memilih memasuki kamar untuk menenangkan diri sejenak.

Masih tergambar bagaimana raut wajah Mas Bima penuh bahagia. Aku menyimpannya rapat di dalam dada, lalu memilih merebahkan diri di atas ranjang. Tak menunggu dua menit, air mata tumpah begitu saja saat kepala sudah bersentuhan dengan bantal busa kesayangan. Semalam aku dan Mas Bima ada di kamar ini dan mulai nanti malam hingga seminggu lamanya aku akan kehilangan dia untuk pertama kali. Ya Allah, mampukan aku untuk menjalani ini semua.

*

Sebuah tangan membelai lembut kepalaku, membuat dua netra terbuka perlahan. Entah pukul berapa aku tertidur, tapi saat ini kulihat suasana sudah mulai sedikit gelap.

"Mas Bima?"

Wajah lelaki itu tersenyum menatapku.

"Sudah sore, kamu pasti belum shalat," ucapnya lembut membuatku segera bangkit dari tidur.

"Nisa ketiduran."

"Tidak apa, masih ada waktu kok."

Dia mengusap dua mataku, mungkin tahu jika tadi dua netra ini telah lama basah. Kami saling terdiam beberapa waktu.

"Mas sekalian mau ijin," tuturnya kembali dengan suara lebih lirih. Aku mencoba tersenyum, bahkan untuk hal ini saja dia masih ijin padaku. Haruskah diri ini bahagia?

"Pergilah, Mas. Bahagiakan Nirmala di hari pernikahannya. Aku tidak apa."

Dia meraih jemariku dan mengecup kembali.

"Aku tidak tahu kamu bahagia atau tidak, tapi sungguh ada yang sakit di dalam sini."

Dia menunjuk dadanya lalu memelukku perlahan.

"Kamu harus bahagia Mas, aku mendoakan kalian."

Mas Bima kembali terdiam, tapi tiba-tiba dia memilih berbaring.

"Aku tidak jadi pergi, aku akan di sini saja bersamamu," ucapnya memeluk bantal.

Aku tahu dia merajuk, biasanya dia seperti ini jika tidak menyukai sesuatu. Apa dia tidak menyukai pernikahan ini?

"Kamu tidak boleh seperti ini Mas, ada tanggung jawab pada Mala yang harus kamu tunaikan."

Kuusap kepala Mas Bima, lalu menatapnya dari belakang. Ternyata dia menangis. Tidak boleh begini, aku harus membuatnya semangat.

"Aku akan menantangmu, Mas. Jika satu bulan setelah pernikahan ini Mala bisa hamil, aku akan memberimu sebuah hadiah."

Perlahan dia membalikkan badan, terlihat mengusap mata dengan punggung tangan.

"Mas tidak butuh hadiah, Mas hanya butuh kamu bahagia."

"Aku bahagia, sangat bahagia. Dan aku akan lebih bahagia jika Mala benar-benar hamil, Mas," ucapku dengan suara bergetar.

Dia menunduk sejenak lalu menarik napas. Ya Allah, hatiku begitu sakit, jujur aku tidak ingin sia pergi. Aku cemburu, sangat cemburu. 

"Pergilah Mas, tunaikan kewajibanmu sebagai seorang suami. Jika tidak Allah akan marah padamu."

Kukeluarkan perkataan yang sebetulnya tidak diinginkan hati ini. Tapi demi kebaikan bersama dan demi apa yang sudah aku ridhai, aku harus berjuang menekan rasa cemburu.

Kami kembali saling memandang, tanpa berkata apapun lagi dia bangkit dari ranjang dan berjalan sampai di pintu kamar. Mas Bima berbalik sejenak untuk menatapku lalu membuka pintu tersebut dan melesat keluar.

"Selamat jalan Sayang, selamat berbahagia. Semoga istrimu segera diberi keturunan. Aku selalu mencintaimu."

*

Satu bulan kemudian ...

Benap sebulan sudah pernikahan poligami ini berjalan, syukur tidak ada kendala sejauh ini. Dan hari ini Mas Bima akan menginap di rumahku. Semenjak satu jam lalu aku sudah berdandan, memakai gamis berwarna pink muda serta tak lupa menyemprotkan minyak wangi kesukaannya. 

Tak hanya diri yang terpoles, kamar pun sudah terlihat rapi dan wangi. Terdengar bunyi klakson mobilnya, jantungku melompat kegirangan. Tiga hari sudah kami tak bertemu, sungguh hati merindu luar dalam.

"Assalamualaikum."

"Waalaikum salam."

Seperti biasa, dia membuka sepatu lalu menungguku mencuci kakinya seraya membaca Bismillah. Sepuluh tahun kami selalu melakukan ritual ini, supaya langkahnya memasuki rumah bersih dan mendapatkan ridha Allah.

"Ayo masuk, Mas."

Mas Bima tersenyum, lalu menggandeng tanganku. Kami berjalan ke kamar. Wajahnya memancarkan aura tak biasa. Apakah ada sesuatu yang membuatnya sangat bahagia.

Setelah melayaninya sekitar satu jam, kami memilih duduk di balkon sembari menikmati dua gelas kopi panas dan cemilan. Diapun membuka percakapan.

"Mala hamil, Nis."

Aku tercenung sejenak. Ada bahagia yang menjalari tubuh perlahan. 

"Benar Mas Mala hamil?"

Mas Bima mengangguk. Segera aku memeluknya, tanpa sadar air mata jatuh begitu saja membasahi pipi. Mala hamil di satu bulan pernikahannya, sementara aku bahkan sudah sepuluh tahun terlalui. Qadarullah tak ada satupun benih Mas Bima yang mampir di rahim ini.

"Selamat ya Mas, kamu akan menjadi seorang Papa," ucapku dengan suara bergetar.

Aku merasakan air matanya ikut jatuh membasahi pundak. Sepertinya Mas Bima amat senang dengan kehamilan Mala hingga ia menangis terharu.

"Terima kasih Sayang, sebentar lagi kita akan dipanggil Bunda dan Papa," ucap Mas Bima seraya melerai pelukan.

"Memangnya aku juga boleh mendapatkan panggilan Bunda?"

Mas Bima mengangguk.

"Anak itu kelak akan memanggil Mala Mama dan memanggilmu Bunda."

Kusunggingkan selarik senyum sebagai wujud bahagiaku atas kehamilan istri kedua Mas Bima. Semoga dengan kehadiran bayi ini, Mas Bima bisa merasakan seutuhnya bagaimana menjadi seorang Papa. 

***

Bersambung.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Makandolu Effy
hhh apa aku saja yang merasa istrinya .....
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
nah benar kan istrinya pintar merancang ayo thor biar ada kesibukannya bukan apa kedepannya siapa tahu otak mertuanya krodit dan bikin masalah istrinya sudah ada pegangan buat masa depannya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status