Share

4. Cemburu

"Aku mabuk perjalanan kalau duduk di belakang."

Mala tidak mau masuk ke dalam mobil karena Mas Bima memintanya duduk di belakang.

"Yaudah Mas, biar aku aja yang duduk di belakang."

Akhirnya aku mengalah dan membiarkan Mala duduk di sebelah Mas Bima. Kami masuk ke mobil, melambaikan tangan pada mama dan ipar kemudian kendaraan roda empat inipun melaju meninggalkan Kota Bandung menuju Jakarta. 

"Nanti setiap kali kita pergi bersama, kamu dan Mbak Nisa duduknya bergantian di sini ya. Biar adil."

Mas Bima mengatur kami seperti seorang ayah mengatur dua anaknya. Aku dan Mala hanya mengiyakan, masih canggung jika disatukan begini. Perjalanan kurang lebih tiga jam ini terasa begitu panjang, karena aku lebih banyak diam mendengar Mas Bima dan Mala berbicara. Mereka saling sambut suara, apalagi jika membicarakan masa lalu. Kelihatan seperti sedang bernostalgia.

Wahai hati, janganlah engkau cemburu. Karena cemburu pada istri suamimu yang lain itu petaka, dari cemburu syaitan bisa menggelapkan matamu dan membuat kamu membenci madumu. Aku mencoba beristighfar jika mengingat kata-kata itu.

"Nisa, jangan diam donk."

Mas Bima menatapku pada kaca spion.

"Iya Mas, aku mendengar kok obrolan kalian."

Untuk selanjutnya Mas Bima mulai mengerem bicaranya, mungkin dia sadar telah membuatku merasa terasingkan. Mala kini mendominasi percakapan. Sepertinya dia memang hobby bercerita, meski Mas Bima hanya menjawab iya atau hmmm, tapi dia tetap seru melanjutkan obrolan.

Kami sampai di rumah pukul satu siang. Mbok Siti dan Pak Karman menyambut kedatangan kami. Untuk selanjutnya Mas Bima memintaku mengantar Mala ke kamar sementara. Katanya nanti ada satu kamar lagi di rumah ini yang akan direnovasi menjadi kamarnya bersama Mala. Adik maduku itu menurut. Aku dan Mas Bima kembali melangkah ke kamar kami, karena hari ini dia masih bersamaku.

Baru lima menit berada di kamar, terdengar pintu di ketuk. Kubangkitkan tubuh untuk mengecek.

"Mala, ada apa?"

"Keran air di kamar mandi rusak, Mbak."

"Oya?"

Mas Bima ternyata sudah bangkit dan berdiri di sisiku.

"Biar Mas cek dulu."

Dia keluar kamar dan berjalan menuju kamar Mala, sementara aku memilih tetap di kamar seraya membersihkan ranjang. Sudah lima belas menit berlalu, Mas Bima tak jua kembali. Apa ada masalah serius?

Karena penasaran, aku menyusul mereka. Dari pintu yang tidak tertutup rapat dapat kusaksikan keadaan di dalam sana, ternyata bukan kran air yang rusak melainkan adik maduku yang terlihat belum siap berbagi.

"Sepuluh menit aja, Mas. Aku kesepian sendirian."

"Mala, kamu harus sabar. Semua memang tidak mudah, tapi jika kamu bisa bersabar, kita semua pasti akan bahagia."

"Kenapa sih Mas harus ada pembagian jatah bermalam, harusnya dibuat simpel aja. Kalau aku butuh, kamu bisa nemenin aku dan kalau Mbak Nisa butuh Mas bisa nemenin dia. Gampang gitu 'kan. Dan sekarang pokoknya aku butuh ditemani, aku mau Mas tetap di kamar ini."

Mala terus berusaha memeluk Mas Bima, tapi Mas Bima justru mencoba menahannya. Hingga lelaki itu lelah dan membiarkan adik maduku berhasil merangkul tubuhnya. Dan merekapun duduk di atas ranjang.

"Yasudah, Mas bicara dulu sama Mbak Nisa ya. Semoga dia mengerti dan mau mengalah."

Aku yang mendengar mundur perlahan, haruskah diri ini mengalah? Atau lebih baik begini saja, sekaligus memberi ilmu bagi Mala bahwa dalam berpoligami memang banyak hal yang harus kita redam. Bukankah dulu saat aku melamarnya menjadi istri kedua suamiku, dia sudah setuju untuk berbagi?

"Aku memutuskan untuk masuk ke kamar lalu langsung meluncur ke kamar mandi. Saat keluar, ternyata Mas Bima sudah duduk di atas ranjang. Pura-pura tak tahu, aku langsung bertanya.

"Bagaimana Mas, sudah benar kran airnya?"

Mas Bima mengangguk ragu.

"Mas mau mandi, biar aku siapkan air mandinya."

"Sayang, Mas mandi di kamar Mala saja ya," ucapnya tampak ragu-ragu.

"Kenapa?"

"Em, Mala 'kan baru pertama kali di rumah kita. Dia tampak ketakutan dan minta Mas menemaninya."

Tatapan tajam kuberikan untuk Mas Bima ketika dia mengatakan hal itu, membuat lelaki yang biasanya murah senyum tersebut tampak gelagapan. Dengan mimik wajah kubuat seperti orang marah, aku mendekatinya.

"Temanilah Mala, Mas. Namanya juga pertama kali, pasti masih canggung dan sedikit ketakutan."

Wajah Mas Bima yang tadi sedikit menunduk seketika menatapku.

"Kamu nggak marah?"

"Buat apa aku marah? Sudah nggak papa, pergilah ke kamar Mala dan temani dia. Aku akan memasak dan akan memanggil kalian jika makan siangnya sudah selesai."

Mas Bima menatapku dengan dua mata berkaca. Lalu jemarinya merangkul tubuh ini.

"Terima kasih sudah menjadi istri yang luar biasa. Kamu tidak hanya cantik di wajah, tapi hatimu bersinar indah. Mas mencintai, sangat mencintaimu istriku."

Aku mencoba berbesar hati, meyakinkan diri bahwa benar saat ini Mala masih butuh banyak pendampingan. Tentu dia perlu banyak belajar agar bisa lebih menjaga sikapnya dalam pernikahan ini. Karena meskipun kehadirannya kuridhai, tapi hati ini juga harus ia jaga. Bagaimanapun pada kenyataannya mengikhlaskan suami berbagi cinta itu bukan hal yang mudah. Sampai detik ini aku juga masih belajar, belajar mendamaikan jiwa yang bergolak, belajar meredam rasa cemburu juga belajar untuk lebih menerima semua tabiat istri kedua suamiku.

Kubiarkan Mas Bima melangkah keluar dari kamar ini. Sebulir air mata melepas kepergiannya. Nyatanya wanita memang seperti ini, dari luar dia kelihatan tegar tapi sebenarnya dari dalam hatinya begitu rapuh.

*

Makanan telah selesai kuhidangkan di atas meja. Dua netra sejenak melirik jam, hampir pukul dua siang hari. Perut terasa sudah keroncongan.

Mbok Siti, ART yang sudah menemaniku semenjak pertama kali berada di rumah ini tampak membereskan dapur, sedari tadi dia terdiam padahal jika biasa banyak sekali bicaranya.

"Mbok sakit?" tanyaku memecah keheningan.

"Nggak, Buk."

"Tapi kok kebanyakan diam, nggak seperti biasa."

Si Mbok menatapku dengan tatapan penuh tanya.

"Buk, si Mbok mau nanya. Apa Mbak Mala akan tinggal di rumah ini selamanya?"

Pertanyaan yang membuatku sedikit terhenyak.

"Kenapa Mbok menanyakan hal itu?"

"Punten Buk, si Mbok hanya ingin tahu saja. Tidak ada maksud lain."

"Iya, Mbok. Mala akan tinggal bersama kami di rumah ini. Mala saat ini sedang hamil, jadi mungkin dia akan lebih butuh banyak perhatian dari Bapak."

"Wah, sungguh mulia hati Ibu. Tidak banyak wanita yang bisa ikhlas suaminya menikahi wanita lain, apalagi setelah menikah mereka ditempatkan dalam satu rumah. Tapi saya yakin Allah pasti akan memberikan ibu kesabaran dan nikmat yang banyak setelah ini."

"Aamminnn ya Rabbalalamin. Makasih Mbok sudah mendoakan saya. Yaudah, saya panggil Mas Bima dulu ya, Mbok."

Kutinggalkan Mbok Siti dan pergi ke dalam untuk memanggil Mas Bima. Sedikit sungkan tapi jemari tergerak jua untuk mengetuk pintu.

"Mas Bima, Dek Mala, kita makan siang dulu yuk."

Tak ada jawaban, aku mencoba mengetuk sekali lagi. Tapi sayang, sepertinya Mas Bima dan Mala sudah tertidur. Dengan menghela napas, aku memilih kembali ke dapur.

"Ditutup saja dulu Mbok makanannya."

"Lo kenapa, Buk? Bapak tidak mau makan?"

"Bapak sama Mala sudah tidur. Nanti saja kalau mereka bangun, kita hildangkan."

"Nggih, Buk."

Aku kembali ke kamar, meski perut sakit kucoba bertahan. Rasanya sangat tidak bernafsu jika harus makan seorang diri. Lebih baik menunggu sampai Mas Bima bangun. Kini tubuh kurebahkan di atas ranjang. Jika biasa saat bersamaku Mas Bima selalu bisa kulihat, tapi setelah Mala di rumah ini. Aku harus terbiasa ketika bersama tapi tidak bisa menyentuhnya.

Kupaksakan diri untuk tersenyum, meski jujur ada yang hendak melesat keluar dari kedua pelupuk. Aku kuat, ya aku pasti bisa melalui semua ini.

*

Dua netraku terbuka saat mendengar suara air di kamar mandi. Tak lama berselang, Mas Bima keluar dengan rambut basah dan hanya berhandukan. Aku masih berpura-pura tertidur.

Dia terlihat menuju lemari untuk memakai baju koko dan kain sarung kemudian lelaki itu membentangkan sajadahnya. Jadi Mas Bima baru shalat dhuhur di jam setengah empat siang?

Kubangkitkan tubuh dan menunggu dia selesai mengerjakan shalat. 

Assalamualaikum warahmatullah ...

Assalamualaikum warahmatullah ...

Dua netra kami saling memandang. 

"Mas baru shalat dhuhur?"

Dia mengulum senyum, bangkit melipat sajadah lalu berjalan mendekatiku di atas ranjang.

"Tadi Mas ketiduran."

Entahlah, sebagai istri yang selalu mengingatkannya agar shalat tepat waktu, aku merasa kesal dengan keteledoran suamiku siang ini. Dan tidak terkecuali rasa kesal itu tertuju pada Mala.

"Mala juga belum shalat?"

Mas Bima menggeleng, dia membuka koko yang dia pakai dan mengganti dengan baju kaos.

"Tapi sekarang udah shalat 'kan?"

"Belum juga, dia pusing katanya. Jadi nggak sanggup bangun."

Aku membuang napas panjang. Saat Mas Bima kembali ke ranjang dan duduk di sisiku, sengaja aku menyindirnya.

"Habis keramas, Mas?"

Mas Bima menatapku malu-malu. Wajahnya bersemu merah, apakah dia begitu bahagia? Atau jangan-jangan dia dan Mala baru saja ...?

Kenapa ada yang terasa perih di dalam dada, kucoba menarik napas panjang. Wahai hati, janganlah engkau cemburu jika suamimu bersama istrinya yang lain. Berdamailah, ini adalah bagian dari perjuanganmu meraih bahagia. 

"Gerah aja, panas. Tadi lupa hidupkan pendingin ruangan."

Aku mencium bau dusta pada ucapannya, tapi kuiyakan saja agar dia tak perlu merasa tidak enak padaku.

"Makan dulu, yuk."

Mas Bima mengangguk dan kamipun keluar dari kamar menuju ruang makan.

"Mala apa nggak dibangunin, Mas?"

"Suruh antar Mbok Siti aja makanan ke kamarnya."

"Oh yaudah. Mbok, saya minta tolong, antarkan nasi sama lauk ke kamar Buk Mala, ya," ucapku pada si Mbok yang kebetulan lalu di depan ruang makan.

"Nggih, Bu."

Wanita paruh baya itupun segera menjalankan permintaanku. Hanya berselang lima menit, si Mbok kembali lagi ke ruang makan dengan membawa nampan yang masih berisi makanan.

"Lo, makanannya kenapa belum diserahkan kepada Mala, Mbok?"

"Anu, Bu. Bu Mala tidak mau makan jika si Mbok yang antar, dia minta Bapak yang mengantar."

Pandangan Mas Bima langsung tertuju padaku, aku hanya tersenyum kecut.

"Letakkan saja dulu di situ, Mbok. Nanti saya antar," ucap Mas Bima.

"Tapi Bu Mala minta Bapak mengantar makanannya sekarang. Karena Ibu sudah sangat lapar dan pusing."

Pandanganku dan Mas Bima kembali bertemu, padahal kami belum selesai makan. Namun, Mala kembali membutuhkan lelaki ini.

"Mas ke sana bentar, ya. Kamu lanjut aja makan."

"Tapi Mas 'kan belum selesai makan?"

"Nggak papa, nanti Mas lanjutkan lagi. Kamu makan aja, jangan nunggu. Nanti nasinya keburu dingin."

Tanpa menungguku menjawab, Mas Bima sudah terlebih dahulu mengangkat langkah. Baiklah aku mengalah lagi, tapi sungguh aku tak berselera makan jika tak ada Mas Bima. Lebih baik menanti saja lagi.

Sembari membuang jenuh, aku menghidupkan ponsel lalu membuka I*. Ternyata Mala sedang melakukan live, sebagai model meski sudah pensiun dini, followernya tetap ramai. Aku pun tergerak untuk membuka siaran langsung itu yang pada kenyataan berlangsung di dalam kamar di rumah ini.

Suami idaman, sangat sayang dan memuliakan istri.

Membaca judulnya sudah membuat hati ngilu. Kuteruskan melihat live tersebut, yang kuincar bukan adik maduku, tapi wajah Mas Bima. Hanya melihatnya meski tak duduk bersama, sudah membuat nafsu makanku kembali.

Nasi di piring memang habis, tapi sayang ternyata melihat live itu hatiku seperti menciut. Mas Bima terlihat begitu memanjakan Mala. Dia memang lelaki idaman, sepuluh tahun bersama aku tak pernah menemukan dia meninggikan suaranya sekalipun ada hal yang tidak ia sukai kulakukan.

Mala beruntung, bisa menjadi bagian di hidup Mas Bima. Lelaki terbaik yang pernah kutemui di dunia ini.

Wahai hati, berjanjilah padaku untuk tidak cemburu. Mala adalah istri kedua suamimu, yang berhak mendapatkan segala bentuk kasih sayang serupa dengan yang diberikan Bima padamu. Kuat, sabar, ikhlas. Yakinlah bahwa kamu pasti akan bahagia jika tiga hal itu bisa kamu tanaman dalam hati.

***

Bersambung

Terima kasih sudah membaca.

Utamakan baca Al-Quran. 

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Makandolu Effy
ya ampyuunnn untung bukan orang timor yaa
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status