Share

6. Hanya Sebatas Bayangan

Bagai terhempas dari gedung tertinggi, jantung ini seketika berhenti berdetak.

Mas Bima kecelakaan? Ya Allah ...

Tanpa pikir panjang, aku segera keluar dari rumah. Melajukan sepeda motor dengan kecepatan tinggi hingga tiba di rumah sakit. Tanpa jeda langkah kini tertuju ke meja resepsionis. Ternyata Mas Bima sudah hendak di dorong ke ruang operasi hanya menunggu kedatangan keluarga untuk menandatangani surat persetujuan.

Tak teringat lagi untuk berkonsultasi pada siapa, karena menurut dokter tindakan operasi harus dilakukan sesegera mungkin. Agar perdarahan yang terjadi pada kepalanya bisa teratasi dan harapan hidup pasien akan menjadi lebih besar.

Mendengar kata harapan hidup saja setengah ragaku seperti terserabut paksa. Ya Allah, bagaimana kecelakaan ini terjadi sampai Mas Bima bisa separah ini?

Setelah menandatangani surat persetujuan tersebut, aku dipersilahkan duduk di depan ruang operasi.

"Ijinkan saya melihat suami saya sekali saja Dok sebelum operasinya berlangsung."

Aku memohon pada salah satu suster yang bertugas.

"Baik, Mbak."

Suster itu membawaku masuk ke ruang operasi, tapi aku tak diizinkan mendekatinya karena Mas Bima sudah dalam persiapan penanganan. Dengan berbatasan kaca, aku bisa melihat kamu Mas. Wajahmu yang pucat dengan mata tertutup, aku sangat takut Mas. Kamu harus bisa melewati semua ini, aku menunggumu diluar. Kamu harus menunaikan janjian membawaku ke hotel berbintang lima. Itu janjian padaku, Mas. Aku menunggu kamu menunaikan janji itu.

"Sudah ya Mbak, kami mau langsung bertugas."

Kuanggukkan kepala dan keluar dari ruangan tersebut. Jemari mengusap perlahan kedua pipi yang sudah basah akan air mata. Jantung seperti tak mampu lagi memompa darah, sekujur tubuh benar-benar terasa kehilangan kekuatan.

Tak ada tempat lain yang harus kutuju selain mengadu pada Rabb, akhirnya langkah tertuntun menuju mushalla. Pada Rabb yang menggenggam jiwa kupinta keselamatan bagi suamiku. Tiada kuasa melainkan Kuasa Illahi Rabbi, yang menghidupkan dan mematikan manusia. Ya Allah, aku minta padamu, selamatkan suamiku, panjangkan umurnya dan berilah kesehatan padanya.

Doa kututup dengan deraian air mata, tak dapat kugambarkan rasa khawatir yang membungkus jiwa. Dalam kegelisahan, aku teringat akan mama mertua dan Mala. Dengan bersegera jemari mengeluarkan ponsel untuk kemudian menelpon keduanya.

"Ma, Mas Bima kecelakaan."

Diseberang sana mama nampak kesal.

"Apa maksud kamu, Nisa? Mama lagi ada arisan ini."

"Mas Bima, Ma."

"Ada apa sama Bima, kamu kalau bicara yang jelas."

"Mas Bima baru saja mengalami kecelakaan Ma. Sekarang dia ada di rumah sakit, keadaannya kritis dan tengah ditangani di ruang operasi."

"Apa, anakku kecelakaan? Di rumah sakit mana dia ditangani?"

"Di rumah sakit Medical Center, Ma."

Tanpa menjawab, Mama langsung memutuskan telpon. Kuusap kembali air mata yang sedikitpun tak mau berhenti berderai, lalu jemari kembali menekan tombol pada layar ponsel. Mala menjadi tujuan.

"Hallo," jawabnya di sana.

"Mala kamu dimana?"

"Masih ketemuan sama teman, Mbak. Ada apa?"

"Mala, Mas Bima kecelakaan."

"Kecelakaan?"

"Iya, cepat kamu ke rumah sakit ya. Mbak udah di sini nungguin Mas Bima selesai di operasi."

"Aku segera ke sana."

Mala lebih dulu sampai, wajahnya terlihat begitu cemas. Dia segera memelukku yang terus meneteskan air mata semenjak tadi. Dalam dekapannya aku merasa sedikit tenang, seperti telah menemukan teman terbaik yang memiliki ketakutan yang sama akan kehilangan satu lelaki.

Mala kemudian menanyakan padaku kronologis kejadian. Tak ingin berbohong padanya, akupun mulai menceritakan tanpa ada yang kututupi kecuali perihal bagaimana dia bisa mengalami kecelakaan. Karena sampai saat ini akupun masih bertanya-tanya bagaimana bisa Mas Bima kecelakaan.

Tiba-tiba dia berkata,

"Harusnya Mas Bima masih baik-baik saja jika dia tidak pulang untuk menemui Mbak."

Deg.

Perkataan Mala seperti tamparan keras yang mengenai pipi. Benarkah apa yang dikatakan Mala itu? Padahal sedari tadi aku terus berusaha meyakinkan diri bahwa musibah ini terjadi bukan karena aku atau siapapun, tapi memang semua ini sudah ditakdirkan Allah.

Namun, ucapan menyakitkan yang keluar dari bibir Mala membuatku begitu tersiksa dan kembali merasa bersalah. Biarpun begitu, aku mencoba membuat adik maduku tidak salah paham.

"Ini semua musibah Dek, bukan karena Mbak atau siapapun."

"Pokoknya kalau terjadi apa-apa sama Mas Bima, Mbak harus tanggung jawab," ucap Mala dengan dua mata melebar. Saat itu, aku merasa tubuh ini ditusuk-tusuk dengan tombak. Betapa teganya Mala, wanita yang kini tidak saja kuanggap sebagai adik, teman, bahwa saudaraku itu mengancam sedemikian rupa.

Tak bisa berkata apapun, hanya menyimpan rasa sakit itu di dalam dada. Semenjak detik ini pula diantara kami seperti ada dinding pemisah. Dia menjauh, bahkan memilih duduk di bangku yang sangat jauh denganku. Tatatapnnya tajam dan bahkan mimik wajahpun seperti begitu membenci.

Ada apa denganmu wahai adikku? Kenapa kamu membenciku sementara ini semua buka pula yang kuharapkan. Di dalam sana, yang tengah berjuang hidup atau mati, bukan saja suamimu. Tapi suamiku, yang sudah kutemani bahkan lebih lama dari kamu menemaninya?

Bibir ini bergetar, kecewa dan sedih bercampur membuat dada terasa begitu sesak.

Sudah dua jam operasi berlangsung, tidak ada satu pun yang keluar dari ruang operasi. Dari arah kanan, aku mendengar suara orang berlarian. Saat mata memandang ternyata yang mendekat adalah mama mertua dan keluarga adik iparku.

Mama langsung mendekati Mala, padahal yang lebih dulu dia temuan adalah posisiku.

"Bagaimana keadaan Bima?"

"Masih di ruang operasi, Ma. Belum ada yang keluar dari dalam sana," jawab Mala seraya menunjuk pintu ruang operasi.

Wajah mama tertuju padaku.

"Dasar istri tak berguna!"

Plaakkk!

Lima jemari mama mertua mendarat di pipi ini.

"Semua ini gara-gara kamu, jika Bima tidak pulang untuk menemuimu, dia tidak akan kenapa-kenapa!"

Jangan-jangan Mala yang sudah mengadu pada Mama perihal ini?

"Ma, ini semua takdir bukan salah Nisa. Nisa juga tidak pernah meminta agar Mas Bima pulang, justru Mas Bima sendiri yang berinisiatif untuk pulang."

"Halah banyak ngomong kamu. Ingat ini ya Nisa, jika terjadi apapun sama Bima, aku mengharamkan kamu menemuinya lagi! Ingat itu!"

Bersamaan dengan kemurkaan yang ditunjukkan Mama mertua, pintu ruang operasipun dibuka. Seorang dokter terlihat di sana.

"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?"

"Operasinya sudah selesai, tapi pasien masih dalam masa kritis. Jadi pasien tidak bisa dikeluarkan dulu dan akan dibantu beberapa jam ke depan. Perbanyak doa supaya pasien bisa melewati masa ktitisnya dengan baik."

"Baik, Dok. Apa saya boleh menjenguknya?"

"Boleh Bu, tapi cuma dua orang saja dan waktunya juga sebentar saja ya, Bu."

"Baik dokter, terima kasih. Ayo Mala kita masuk."

Sakit sekali mengetahui Mama memilih Mama sebagai temannya untuk menjenguk Mas Bima.

Tidak apa aku tidak menjengukmu Mas, karena ribuan doaku sudah melangit untukmu. Doa agar kamu dipanjangkan umur, diberi kesembuhan dan kesehatan seperti sedia kala.

Aku mendudukkan diri yang terasa sudah tak berdaya di atas bangku, Sarah yang duduk di depanku menatap dengan sinis. Sepertinya setelah ini mereka semua akan semakin membenci. Ya Allah, cobaan ini amat berat. Aku mohon Engkau beri aku kesabaran dan kemudahan.

Tak lama, mama dan Mala sudah kembali melangkah keluar. Mereka duduk menyatu di sebelah kanan. Di sisi kiri aku mungkin hanya serupa bayangan yang tidak dianggap.

Karena hati begitu riuh, aku memilih kembali ke mushalla untuk mengadukan semua resah jiwa pada Rabb. Dengan air mata yang terus mengalir kuangkat langkah perlahan.

"Pergi sana yang jauh, kalau bisa jangan kembali lagi."

Itu suara Sarah, aku mencoba tidak perduli dan terus menapaki lantai walau terasa seperti menginjak ribuan pecahan kaca.

Sampai di mushalla, kutumpahkan semua gundah jiwa melalui doa panjang. Harapan dan asa kembali kulayangkan karena kutahu Dia, Rabb yang memiliki asma Al Mujibu, Maha Pengabul Doa. Tak ada doa yang sia-sia, hanya kapan waktu tepatnya dikabulkan itu menjadi rahasia. Karena Allahlah yang paling tahu masa doa itu baik untuk dikabulkan.

Aku menangis, menghabiskan waktu berjam-jam di ruangan itu hingga dua mata terlelah dan menutup perlahan. 

*

"Mbak, Mbak, bangun sudah magrib."

Dua netraku terbuka saat merasakan seseorang mendorong tubuh ini perlahan.

"Maaf saya ketiduran," ucapku seraya mendudukkan diri.

"Iya tidak apa, wudu saja lagi Mbak karena ini sudah masuk waktu shalat magrib."

"Oh iya, terima kasih Mbak."

Bergegas aku berwudhu dan melaksanakan shalat magrib, hati sudah bertanya-tanya tentang keadaan Mas Bima. Usai shalat, dengan langkah terburu diri ini kembali ke ruang operasi. Tak ada lagi mama mertua, Mala dan adik ipar di sana. Kemana mereka?

Aku bertanya pada suster yang kebetulan keluar dari ruang operasi.

"Sus, pasien atas nama Bima apa masih di dalam?"

"Sudah di dorong ke ruangan ICU, Mbak."

"Terima kasih, Sus."

Aku segera mengangkat langkah menuju ICU. Kudapati di sana mama mertua sedang memegang ponsel. Dengan perasaan tidak enak aku mendekatinya.

"Ma, bagaimana keadaan Mas Bima?"

"Bima masih koma, Mama dan Mala akan menjaganya. Lebih baik kamu pulang saja," ucap Mama ketua.

"Tidak Ma, aku akan di sini untuk menjaga Mas Bima. Tolong Ma, jangan suruh Nisa pulang."

Mama tampak menarik napas, tapi dia sudah tidak semarah tadi. 

"Terserah padamu, tapi kamu tidak boleh masuk ke dalam. Mama dan Mala yang akan menjaga Bima."

"Kasih kesempatan sekali saja bagi Nisa untuk bertemu Mas Bima, Ma. Nisa ingin melihat Mas Bima."

"Tidak bisa, Mama takut akan terjadi hal-hal yang tidak baik jika kamu menemuinya. Jadi lebih baik kamu diluar saja."

Mama langsung membalikkan badan dan masuk ke dalam ruang ICU. Di sini, aku berdiri kaku. Mengapa, apa salahku hingga tak kau ijinkan aku melihat suamiku sendiri Mama?

***

Bersambung

Jangan lupa subscribe, like dan koment. Terima kasih, utamakan baca Al-Quran. 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Makandolu Effy
heh kebodohan yang hakiki mana ada keadilan kalau menyangkut rasa dan hati???
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
thor benar dugaan saya tolong thor ada KEADILAN buat Mbak Nisa kok SAKIT terus udah di madu disepelekan di hina bikin Nisa MANDIRI dan SUKSES
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status