Home / Rumah Tangga / Setelah Engkau Mendua / 5. Hadiah Ulang Tahun

Share

5. Hadiah Ulang Tahun

Author: Wahyuni SST
last update Last Updated: 2023-07-27 22:54:11

[Di dalam lemari ada hadiah untukmu.]

Sebaris kalimat yang dituliskan Mas Bima di selembar kertas membuat langkah ini buru-buru menuju lemari. Kapan dia meletakkan surat untukku di meja ini, padahal semalam adalah jatahnya bersama Mala? Hmmm, jadi penasaran. 

Segera jemari membuka lemari.

[Selamat ulang tahun, terima kasih telah menjadi wanita tercantik di dunia. Kamu tak hanya memiliki wajah yang mengilap, tapi hatimu senantiasÙxlxa bercahaya terang. Laksana mutiara di tengah lautan, kamulah istri shalihah yang kecantikannya mengalahkan bidadari syurga. Terima kasih telah menjadi istri yang luar biasa sempurna untukku, Sayang. Di hari ulang tahunmu ini, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat-sangat mencintaimu. Semoga Allah selalu menjaga ikatan pernikahan kita ini sampai jannah. Love you my wife.]

Seulas senyum terbit begitu saja tatkala aku membaca sebuah surat lainnya yang diletakkan di atas sebuah kotak. Segera kubuka kotak tersebut, begitu bahagia ketika tahu isi di dalam kotak itu adalah serangkaian alat kosmetik bermarek B Erl yang dihadiahkan Mas Bima padaku.

Kupeluk hadiah itu, bayangan bahwa hadiah ini adalah dirinya membuat dua netra berkaca.

Seumur pernikahan, baru kali ini aku merayakan ulang tahun tanpa dia. Semua karena hari bersejarah ini jatuh di malam dimana dia menjadi milik Mala. Adik maduku itu tak terima negosiasi, jika jatah bermalam jatuh padanya, dia tak mau Mas Bima mendekatiku. Jika kedapatan, bisa mengamuk dan tak mau bicara sepanjang hari.

Aku dipaksa memahami, bahkan Mas Bima pun tak dapat melawan. Kami sadar bahwa kemungkinan besar semua terjadi karena pengaruh kehamilan, yang membuatnya jadi gampang sekali terbawa emosi dan cemburu.

Dua bulan sudah usia kandungan Mala, dan selama itu pula kami merasakan suka duka hidup bersama. Jika adik maduku itu terlihat sangat mudah marah, maka lain halnya denganku. Aku lebih banyak dituntut untuk mengalah. Selama dua bulan ini, bisa dihitung berapa malam sahaja aku bersama Mas Bima, lainnya semua untuk Mala. Sedih dan kecewa, tapi pada akhirnya aku mencoba berbesar hati karena merasa kasihan pada Mas Bima yang kerap ikut terpancing amarah.

Melupakan sejenak masalah yang kerap hadir, langsung saja kukenakan salah satu produk B Erl Very Berry Acne Treatment Oil Control Day Cream pada wajah, kulit seketika nge-glazed mengkilap. Itulah kenapa aku suka sekali memakai produk B Erl ini yang nyatanya sudah menyatu dengan diri selama kurang lebih enam bulanan.

Usai mengaplikasikan cream ke wajah, diri meraih ponsel dan mencoba mengirimkan sebuah pesan kepada Mas Bima.

[Terima kasih Mas atas hadiahnya, terima kasih telah menjadi suami yang baik. Semoga Allah selalu menjaga keutuhan rumah tangga kita. I love you soo much my husband.]

Kutekan tombol kirim, entah kenapa hati deg-degan menanti balasannya. Lima menit, sepuluh, tak ada satupun pesan yang masuk ke ponsel, akhirnya dengan menghela napas panjang kuletakkan benda pipih itu kembali di atas meja lalu memutuskan untuk berhenti berharap.

Tapi tiba-tiba ponsel justru berdering, segera jemari menyambar benda tersebut dan mengangkat panggilan yang ternyata berasal dari Mas Bima.

"Hallo Assalamualaikum, Sayang."

Aku terdiam sejenak, dua netra basah. Rindu memenuhi renungan hati, tiga malam tak dapat merengkuhnya, jiwa terasa tandus.

"Waalaikum salam, Mas Sayang."

"Udah diterima hadiahnya?"

"Sudah Mas, makasih ya."

Aku mulai terisak.

"Lo kenapa menangis?" tanyanya di seberang sana yang ternyata tahu istri tuanya ini sudah menangis.

"Aku kira kamu lupa sama ulangtahun aku, Mas."

"Sampai kapanpun aku nggak akan pernah lupa sama hari dimana Allah telah menurunkan sebuah rahmat dengan lahirnya kamu ke dunia ini. Karena jika tidak ada hari itu, mungkin kita tidak akan pernah bersama."

Ucapannya membuat air mataku semakik banyak melesat dari pelupuk mata.

"Jangan nangis lagi ya, Sayang. Mas hanya tidak mau buru-buru ngucapinnya, biar beda dari tahun-tahun sebelum ini."

Bohong, aku mencium bau dusta pada ucapannya. Aku tahu dia tak mungkin mengucapkan selamat ulang tahun padaku di rumah karena tahu persis Mala pasti akan memasang muka cemberut setelahnya. Tapi, yasudalah.

"Makasih ya atas kejutan yang berbeda di hari ulang tahunku ini. Aku suka."

"Alhamdulillah."

"Mas, aku rindu kamu."

"Iya, Sayang. Mas juga rindu. Mau jalan kemana kita hari ini?" tanyanya membuat hati seketika dipenuhi bunga-bunga beraneka warna.

Semalam adalah jatah terakhir Mas Bima bersama Mala. Jadi malam ini dan tiga malam ke depan seharusnya dia bersamaku.

"Kemana aja, Mas. Yang penting sama kamu."

"Nanti jam setengah satu siang Mas jemput ya, kita rayakan ulang tahunmu di hotel berbintang lima."

Deg.

Entah kenapa mendengar kata hotel, hati ini seperti berdebar kencang. 

"Iya Mas, aku tunggu kedatanganmu."

Kututup telpon dengan perasaan sangat bahagia, sekarang sudah pukul sebelas. Kubangkitkan tubuh lalu berjalan ke dapur untuk melakukan rutinitas biasa sembari menanti datangan jam setengah satu, yaitu memasak.

Saat melewati kamar Mala, aku seperti mendengar dia berbicara dengan seseorang mungkin melalui ponsel. Entah kenapa langkah ini seperti tertahan saat mendengar kata keguguran.

Siapa yang keguguran?

"Tapi aku nggak mau kehilangan bayiku, ada cara tidak Dok?"

Hah, apa benar yang aku dengar ini? Jadi Mala keguguran?

"Oke dok, aku segera ke sana."

Dengan cepat diri bergegas kembali melangkah, jangan sampai Mala tahu jika aku menguping pembicaraannya tadi.

Baru satu langkah hendak menuruni tangga, Mala memanggil.

"Mbak Nisa?"

Kuberhenti berjalan dan membalikkan tubuh ke belakang. Mala terlihat mendekat.

"Sejak kapan Mbak diluar kamar?" tanyanya sedikit gugup.

"Baru aja."

"Mbak dengar aku tadi bicara ditelpon?"

"Bicara apa?" tanyaku seolah tak tahu.

"Jadi Mbak nggak dengar apapun?"

Kugelengkan kepala. Anggapanku, jika memang dia keguguran biarlah dirinya sendiri yang mengabarkan hal itu pada Mas Bima dan Mama mertua.

"Memangnya ada apa, Mala?"

"Oh, em nggak ada. Mala mau keluar," ucapnya kemudian. 

"Kemana?"

"Mau ketemuan sama teman lama."

"Yaudah, jangan lupa kasih tahu Mas Bima."

"Iya, nanti aku wa aja."

"Oya Mbak, untuk nanti malam aku boleh minta dimasakin sesuatu nggak?"

"Kamu mau apa?"

"Aku pengen banget rendang padang yang pedas sama lalapan terasi. Mbak bisa bikinin nggak?"

Semenjak hadir di rumah ini dua bulan yang lalu, terhitung satu kalipun Mala tak pernah ke dapur. Jika aku mengajaknya memasak, alasan yang dia lontarkan melulu soal kehamilan. Pusing bau bawang, muntah jika mencium bau cabai. Kumaklumi meski kadang sesekali hati berkata, ada apa dengan maduku ini? 

"Iya nanti Mbak bikinin."

"Makasih ya, Mbak. Aku pergi sekarang."

"Iya, hati-hati di jalan."

Sepeninggal Mala, aku bergegas ke dapur. Menyebutkan menu yang harus disiapkan hari ini pada Mbok Siti lalu kami mulai menyiapkan semua menu tersebut. Tepat jam dua belas siang, semua telah selesai terhidang di atas meja.

"Mbok, siang ini saya nggak makan di rumah. Saya sama Bapak mau keluar, ada sedikit acara."

"Oh iya, Buk."

"Yaudah, nanti kalau Buk Mala pulang. Biar Mala saja yang makan."

Aku hendak kembali melangkah meninggalkan dapur tapi teringat akan sesuatu.

"Oya Mbok, jangan kasih tahu Mala kalau saya perginya sama Bapak, ya."

"Nggih, baik Buk."

Aku bergegas kembali ke kamar untuk melaksanakan shalat dhuhur. Kukirimkan pesan pada Mas Bima yang mengabarkan bahwa aku sudah siap menunggunya datang. Hanya berselang lima menit, balasan dari Mas Bima pun sampai ke ponsel.

"Iya Sayang, sabar ya. Mas meluncur ke sana."

Kuletakkan ponsel kembali di atas ranjang, dada bergemuruh hebat. Deg-Degan atau apa, tapi aku merasa perasaanku justru tidak baik. Semoga tidak terjadi apa-apa.

Tiga puluh menit berlalu, seharusnya Mas Bima sampai sesaat lagi. Namun, lima belas menit kemudian kembali terlalui. Mas Bima belum juga terlihat di pandangan. 

Mencoba berbaik sangka meski hati sudah ibarat genderang perang, akhirnya kucoba menghubungi suamiku itu.

Jurusan yang anda tuju sedang berada diluar jangkauan.

Ya Allah perasaanku semakin tak enak. Semoga Mas Bima segera sampai di rumah ini dalam keadaan selamat dan tidak ada rintangan apapun. Tepat satu jam menunggu, aku menerima sebuah panggilan dari nomor tak dikenal.

Lekas kumengangkat panggilan itu.

"Selamat siang, apa benar ini dengan Ibu Nisa?"

"Iya benar Mas, saya sendiri."

"Bu, kami dari rumah sakit Medikal Center ingin mengabarkan bahwa suami Ibu yang bernama Pak Bima, sekarang ada di rumah sakit. Beliau mengalami kecelakaan dan saat ini sedang dalam kondisi kritis."

Deg

Ponsel yang kupegang jatuh ke lantai.

"Ya Allah, Mas Bima?"

***

Bersambung.

Siapkan lebih banyak tissu ya, tapi jangan takut cerbung ini happy ending kok. Hanya saja jalan menuju bahagia sedikit terjal, In Syaa Allah yang baca akan semakin sayang dan cinta sama pasangannya.

Terima kasih sudah membaca.

Utamakan baca Al-Quran. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Yusna Ningsih Ningsih
iya ceritanya sedih. kuat dan dalam banget. yg putus dan ditinggal menikah saja sedih ke dalam hati.. luar biasa. cerita ini. setengah dari kehidupan ku.11 12. thx y
goodnovel comment avatar
Siti Nur Aisyah
cerita nya menarik
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Setelah Engkau Mendua   43. Takdir Terbaik

    Aku dan Mas Adam segera menyusul Sarah ke dalam ruang ICU."Tidak boleh berbarengan ya, Bu. Masuknya satu orang saja."Seorang suster langsung menghentikan langkah kami."Kamu saja yang masuk, mungkin Dzabir ingin melihat Papanya," ucap Mas Adam menyuruhku yang masuk sementara dia menunggu di luar. Dengan berat hati aku dan Dzabir melangkah ke dalam dan mendapati Mas Bima sudah dikerumuni banyak tenaga kesehatan dan seorang dokter. Jantung ini seketika berdegup kencang."Ada apa, Sarah?" tanyaku penuh khawatir."Tiba-tiba jantungnya lemah, Mbak. Kasihan Mas Bima, Semoga Allah memberi umur panjang," ucap Sarah dengan kedua mata berkaca-kaca."Sarah kamu pegang Dzabir ya, biar Mbak cari Mama sama Mbak Ara. Mbak takut terjadi apa-apa pada Mas Bima, sementara Mama belum sempat menjenguknya.""Iya, Mbak."Aku pun kembali keluar dari ruangan ini, Mbak Hanum ternyata sudah duduk di kursi tunggu bersama Mas Adam."Bagaimana keadaan Bima, Nis?" tanya wanita itu."Denyut jantungnya lemah, Mbak

  • Setelah Engkau Mendua   42. Pembatalan Khitbah

    "Nisa, Mbak mau bicara sama kamu. Oya, mereka siapa?"Wajahku tertuju pada Sarah dan yang lain. Sementara di dalam dada, jantung berdegup kencang. "Mereka ... adalah keluarga dari mantan suami saya, Mbak."Mbak Hanum seperti terkejut, apa Mas Adam sudah mengatakan pada beliau perihal Mas Bima? Ya Allah, kenapa perasaan ini semakin dihujam rasa bersalah."Oh jadi ini keluarga mantan suami kamu?"Kuanggukkan kepala, sementara wajah Mbak Hanum tertuju pada Mbak Ara."Perkenalkan saya Hanum, calon kakak iparnya Nisa."Pandanganku segera tertuju pada keduanya. Dua netra Mbak Ara membulat, bahkan Sarah dan mama pun sama."Jadi Nisa udah mau nikah?"Mbak Hanum tak menjawab, dia justru menatapku seolah ingin aku yang menjawab pertanyaan tersebut."Iya, Mbak," jawabku terbata. Sungguh tak dapat kugambarkan perasaan kini. Apalagi saat melihat Mama menundukkan wajahnya, bahkan menutup kedua mata. Ya Allah, tolong bantu hamba keluar dari keadaan yang sulit ini."Tapi apa kamu sempat bertemu Bima

  • Setelah Engkau Mendua   41. Arti Sebuah Penyesalan

    Dengan memendam segenap kekecewaan, Adam berjalan meninggalkan tempat dimana dia dan Nisa berbicara dari hati ke hati.Tiga tahun bukan waktu yang cepat, mencari alasan yang kuat untuk berumah tangga. Itulah yang dilakukannya selama ini pada Nisa. Berawal dari pertemuan di pasar hingga tumbuhlah benih yang kala itu ia sebut pertanda mungkin jodoh. Ia tak langsung menetapkan hati justru memilih untuk mengenal secara diam-diam.Namun kenyataannya, tiga tahun itu tak berguna sebab semua hancur setelah tahu bahwa Nisa lebih berat pada mantan suaminya.Ia pulang membawa kekecewaan. Sampai di rumah, Adam langsung masuk ke kamar, kebetulan di rumahnya ada sang Kakak yang tampak sibuk mempersiapkan beberapa hal menyangkut pernikahannya. Hanum merasa ada yang berbeda, ia segera menyusul Adam ke kamar."Habis dari mana kamu, Dam?""Habis ketemu Nisa di rumah sakit.""Siapa yang sakit?""Mantan suaminya.""Lo, mantan suami Nisa ada di kota ini?"Adam tampak mengangguk, memilih menjatuhkan tubuh

  • Setelah Engkau Mendua   40. Pilihan Hati

    Segera kugendong Dzabir dan menidurkannya di kursi tengah mobil. Lalu di malam buta ini kendaraan yang kunaiki akhirnya membelah langit kelam menuju rumah sakit. Berbagai pertanyaan tak henti menyeruak dalam dada, tentang Mas Bima yang kenapa sampai tiba-tiba koma, juga tentang pernikahanku yang tinggal menghitung hari. Apa sebenarnya yang kuinginkan, benarkah bersama Mas Adam adalah keinginan? Dalam kegundahan hati, keraguan itu semakin jelas. Hanya ribuan doa yang teriring dalam setiap tarikan napas. Berharap Allah bulatkan keinginan untuk memilih yang terbaik. Tetap bersamanya atau menyudahi. Sementara itu, kendaraan roda empat ini terus berputar hingga sampai di depan sebuah rumah sakit, putraku Dzabir ternyata terbangun dari lelapnya tidur. "Bund, kita ada dimana?" "Di rumah sakit, Nak." "Siapa yang sakit?" "Papa." Dia tampak sangat terkejut. Sambil mengecek bola mata, Dzabir bangkit ke posisi duduk bersandar. "Papa sakit apa, Bund?" "Bunda juga belum tahu Nak, kita tany

  • Setelah Engkau Mendua   39. Pada Siapa Hati Mendamba?

    Jantung ini seperti berhenti berdetak saat mendapati Mas Adam berdiri di depan kamar Mas Bima. Tatapannya kini tertuju pada mantan suamiku, membuat pandangan inipun tertoleh ke belakang. Aku membuang napas berat saat menyaksikan Mas Bima hanya memakai singlet dan memakai celana selutut serta memeluk selimut. Bayangan kejadian masa lalu terlintas begitu saja, saat lelaki itu memergokiku tengah bersama Mas Brian. Ingatan tersebut membuat dada seolah tertusuk belati tertajam. "Kata Pak Agung, Pak Bima sakit?" tanya Mas Adam membuyarkan pikiranku. "Hah, iya. Saya kurang enak badan, Pak," jawab Mas Bima terbata. "Tapi sekarang sudah sehat?" "Alhamdulillah sudah agak baikan, Pak Ustadz." "Tapi kenapa calon istri saya ada di sini?" Pandangan Mas Adam kini tertuju padaku. "Tidak baik seorang wanita berada di kamar lelaki yang bukan lagi mahramnya, sekalipun ada anak kecil diantara mereka." Aku hanya bisa menunduk, sungguh dada ini bergemuruh hebat. "Ayo kita pulang, perancang pakai

  • Setelah Engkau Mendua   38. Terluka Dengan Kenyataan

    "Cepat Pa bobok lagi, Bunda udah di luar."Jantungku semakin berdegup kencang."Sekarang jam berapa, Nak?"Dzabir melihat jam, dua netraku juga tertuju ke sana."Sepuluh," ucapnya berbisik. Bersamaan dengan itu terdengar bel kamar berbunyi."Kamu bisa buka pintunya?" tanyaku pada Dzabir."Bisa, Pa."Putraku itu langsung turun dari ranjang dan membuka pintu, dan di sini di atas ranjang jantung semakin bertabuh kencang.Aku harus memejamkan mata dan berpura-pura sakit. Kututup seluruh tubuh dengan selimut, agar berkeringat dan kelihatan benar seperti orang sakit. Dalam selimut, aku mulai membayangkan apa yang kumimpikan tadi. Mengajak Nisa pergi. Sungguh tak mungkin kulakukan sebagai seorang muslim."Bund, Papa ada si kamar, udah nggak sanggup bangun."Jantung seolah turun ke perut. Aku benar-benar gugup."Biar Bunda kasih tahu penjaga hotel, siapa tahu mereka ada stok obat."Hah, aduh gawat. Untuk apa minum obat, sakitnya saja sudah berkurang. "Nggak usah Bund, Papa udah minum obat ko

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status