Sudah dua bulan sejak kelas menulis pertama Dinda dibuka. Ruang komunitas itu kini mulai ramai. Ada belasan peserta tiap pertemuan, sebagian datang dari kota sebelah, hanya untuk duduk, mendengar, dan menulis.Dinda tak menyangka perjalanannya yang kelabu justru membuka jalan bagi orang lain untuk menyalakan cahaya mereka. Ia merasa diberkati — tapi juga… lelah.Setiap pagi kini dimulai lebih cepat. Menyusun materi, membaca karya peserta, membalas email dari penerbit, mengurus undangan seminar daring. Belum lagi naskah novel yang makin mendekati tenggat waktu dari editor GoodNovel.Rayhan mendukungnya, seperti biasa. Tapi akhir-akhir ini, ada yang mengganjal.⸻Malam itu, mereka duduk di meja makan. Dinda masih sibuk dengan laptop, sementara nasi sudah dingin.Rayhan mengaduk sendoknya. “Din… kita makan dulu, yuk. Laptopp-nya nanti aja.”“Sebentar lagi, Han. Aku cuma bales satu surel penting,” jawab Dinda tanpa mengangkat kepala.Rayhan menghela napas pelan. “Kamu bilang hal yang sama
Sudah hampir sebulan sejak kasus Rama mencuat dan semua bukti diserahkan ke pihak berwajib. Nama Arsen kini tak hanya hidup dalam ingatan, tapi juga dalam sejarah yang dibacakan dengan jujur — tanpa manipulasi.Dinda kembali menekuni rutinitasnya sebagai penulis lepas. Pagi itu, ia duduk di depan jendela rumah sambil menyeruput teh jahe hangat, menatap taman kecil yang mulai berbunga.Hening yang dulu terasa seperti luka kini mulai tumbuh seperti ketenangan. Tak ada lagi sesak yang menumpuk di dada saat membuka laptop. Tak ada lagi perasaan tertinggal. Yang tersisa hanya ruang, dan napas yang tak lagi terburu-buru.Rayhan muncul dari dapur, membawa dua potong roti panggang. “Sarapan romantis ala-ala,” ucapnya sambil duduk di sebelahnya.Dinda terkekeh. “Kalau udah pakai mentega dan cinta, pasti enak.”Rayhan mencolek hidungnya dengan lembut. “Kamu lebih banyak senyum sekarang. Aku suka.”Dinda menatap Rayhan. “Dulu aku kira senyumku bakal hilang. Tapi ternyata dia cuma istirahat seben
Pagi itu mendung. Langit Jakarta seolah menahan hujan yang belum sempat turun semalam. Dinda dan Rayhan berangkat lebih awal menuju Jalan Lestari, Bekasi, tempat rumah tua keluarga Arsen berada.Mobil melaju pelan, melewati jalan sempit yang mulai dipenuhi semak liar. Di ujung gang kecil, berdiri bangunan berlantai dua, kusam, dan tampak ditinggalkan. Pagar besi sudah berkarat, dan halaman depan ditumbuhi ilalang setinggi lutut.“Ini dia,” bisik Dinda. Suaranya nyaris tenggelam oleh suara langkah mereka yang berat menembus rumput.Rayhan menarik napas, lalu mendorong pagar perlahan. Mereka melangkah masuk.⸻Rumah itu berbau lembap dan debu. Langit-langit sebagian terkelupas, dan jejak rayap menghiasi beberapa sudut dinding. Tapi ada yang aneh — bagian dalam rumah tidak sepenuhnya kosong. Ada meja kerja tua di ruang belakang, dan beberapa rak buku masih berdiri, meski lapuk.“Arsen pasti sempat ke sini lagi sebelum dia…” Dinda tidak menyelesaikan kalimatnya. Terlalu banyak kenangan ya
Keesokan harinya, Dinda memulai harinya lebih awal dari biasanya. Jam belum menunjukkan pukul tujuh, tapi ia sudah duduk di ruang kerja, menyisir akun media sosial lama yang mungkin masih terhubung dengan lingkaran keluarga Arsen.Ia tak tahu harus mulai dari mana, tapi satu nama yang muncul berulang di komentar dan foto-foto lama: Dian, sahabat Alya dulu, yang juga sempat dekat dengan Rama saat mereka masih kuliah.Tanpa pikir panjang, Dinda membuka akun Instagram milik Dian—masih aktif, dengan posting terakhir hanya dua hari lalu. Ia kirim pesan langsung.Halo, ini Dinda. Aku butuh bantuanmu. Tentang Rama dan sesuatu yang belum selesai dari masa lalu Arsen.Tak sampai satu jam, balasan datang.Akhirnya kamu nyari juga. Kita perlu ketemu. Aku udah lama pengin cerita ini, tapi nggak pernah punya keberanian.⸻Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di daerah Cipete, tempat yang cukup sepi dan tenang untuk percakapan yang tidak biasa. Dian datang dengan wajah cemas tapi jelas lega.“Kamu m
Pagi itu, langit Jakarta digelayuti mendung tipis. Awan abu-abu seolah mencerminkan suasana hati Dinda yang sama-sama kelabu. Meski Rayhan berusaha menjaga semuanya tetap tenang, Dinda tahu: hidup mereka tak lagi sepenuhnya aman.Rayhan mengantar Dinda ke kantor polisi terdekat. Surat yang ditemukan semalam sudah ia masukkan ke dalam amplop plastik bening, lengkap dengan sarung tangan karet agar sidik jari tidak terhapus. Dinda diam selama perjalanan. Tangannya menggenggam erat tepi tas, dan pandangannya kosong ke luar jendela.“Aku bisa pergi sendiri kalau kamu ada meeting penting,” katanya pelan saat mobil berhenti di depan kantor polisi.Rayhan menoleh. “Kamu pikir aku bakal ninggalin kamu ngadepin ini sendirian?”Dinda menunduk, mengangguk pelan.Di dalam kantor, mereka diterima oleh seorang petugas muda yang mendengarkan dengan saksama. Setelah membacakan isi surat dan menjelaskan riwayat pesan-pesan sebelumnya, Rayhan bertanya, “Ada kemungkinan kami tahu siapa pengirimnya kalau
Suasana rumah pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Bukan karena pertengkaran, bukan pula karena ada yang salah. Hanya… hening yang mengendap. Rayhan sedang lembur semalam dan belum bangun. Sementara Dinda duduk sendirian di ruang tengah, menatap layar laptop yang terbuka tapi kosong. Kursor berkedip pelan, seakan menantinya menulis sesuatu. Tapi jemarinya tak bergerak.Pikirannya masih pada pesan misterius itu. Sudah tiga kali dalam dua minggu ini pesan seperti itu muncul. Kalimatnya berbeda-beda, tapi semua bernada sama: menyudutkan. Seolah-olah ada yang ingin ia merasa bersalah, terus-menerus.Apa kamu benar-benar bahagia?Apakah dia tahu siapa kamu sebenarnya?Apakah kamu pikir cinta bisa menebus semua kesalahanmu?Kalimat-kalimat yang singkat, tapi cukup untuk mengguncang.Dinda sudah mencoba mengabaikannya. Tapi setiap kali ia merasa mulai sembuh, pesan-pesan itu datang lagi seperti bisikan gelap di lorong pikiran. Ia sudah mengganti nomor ponsel, tapi pesan itu tetap datan