Share

Bab. 9 Kelahiran Nurlaila.

Ayam jantan bekokok bersahut-sahutan menandakan hari berganti pagi. Mentari telah mengintip di sela pepohonan. Aku siap menjemput rezekimu hari ini Tuhan, berikanlah kelancaran, kemudahan serta kesehatan agar hamba dapat bekerja dengan baik. Demi masa depan ke dua buah hati hamba, bismillah.

Kulangkahkan kaki dengan penuh percaya diri, keyakinan bahwa usahaku takkan sia-sia. Demi kebahagiaan anak-anakku nanti, kerja keras akan kulalui, bersusah payah pun aku sudi. Demi masa depan anak-anakku, apapun akan kulakukan.

Melangkah memasuki pintu gerbang unit delapan tempatku bekerja, telah banyak karyawan yang datang. Mereka berjalan teratur menuju unitnya masing-masing. Beberapa rekan kerja menyapa.

"Pagi Ning," sapa perempuan muda, dengan gincu merah di bibirnya, kami hampir bersamaan memasuki gerbang tadi. Prapti, hampir seumuran denganku, masih betah melajang, ia belum menikah.

"Eeh, Bumil, selamat pagi, udah sarapan belum?" Mbak Juminah memperlambat langkah, saat menyadari aku berjalan di belakangnya.

"Udah, Mbak. Sekalian minum susu hamil biar sehat bayinya," jawabku

Beberapa karyawan wanita lain, terburu-buru mengejar waktu, saling mendahului menuju tempat duduknya. Seorang ibu berbadan besar, beberapa langkah di depanku, menengok ke belakang, netranya mengarah padaku. memindai dari atas hingga ke bawah, lalu berhenti pada perutku. 

"Anak masih kecil, sudah hamil lagi," cibirnya seketika. Tanpa merasa berdosa ia tetap berjalan meneruskan langkah.

Langkahku terhenti, mematung dengan jantung berdebar. Kutatap punggung wanita itu. Apa salahku padanya, sehingga ia berkata seperti itu, kami bahkan tak saling mengenal.

"Sudah, tidak usah dipikirkan. Anggap saja angin lalu." Mbak Juminah merangkul pundakku, menggiring langkahku menuju tempat kami bekerja.

"Kapan hari perkiraan lahir bayimu, Ning?" tanya Mbak Juminah, dengan muka penasaran.

"Menurut perkiraan Bu Bidan, sekitar dua minggu dari sekarang. Jadi untuk berjaga-jaga mulai minggu depan, aku sudah ambil cuti, Mbak," jelasku panjang lebar.

"Mbak, bakal kangen kamu, Ning," ucapnya, sambil mengelus perutku.

Terkadang kita bertemu saudara walaupun tak sedarah. Seseorang yang benar-benar baik, tanpa ingin terlihat baik di depan kita. 

Terkadang ada pula saudara, seseorang yang berhubungan darah dengan kita. Namun kita tak pernah benar-benar tahu tentang dia. Hanya sekedar bersalaman saat lebaran tiba.

πŸ’—πŸ’—πŸ’—

Persalinan kali ini, berjalan lancar. Tidak selama ketika aku akan melahirkan Anton dahulu. Seorang bayi perempuan dengan berat badan 3.5 kg dan tinggi 5.1 cm, terlahir dengan normal malam itu.

Sempat takut terjadi apa-apa pada bayi perempuanku ini, pasalnya hampir tiga bulan mengandung aku tak mengetahuinya. Rutin pijat badan sebulan sekali saat lelah, dan minum obat-obatan saat sakit mendera. 

"Bu, apa anak saya normal?" tanyaku ketika bayi itu terlahir. 

Bu Bidan menggendong bayi itu mendekat, sedikit direndahkan gendongannya agar aku dapat melihat bayi dalam posisi berbaring. Kusentuh kulit tipis di wajahnya,  meraba mata, hidung, kuping hingga ke lima jari tangan dan kakinya. 

"Normal, Bu, normal!" Seakan-akan mengerti ketakutanku, Bu Bidan mengulangi kata-katanya untuk meyakinkanku. 

"Mau dibuatkan akta lahir sekalian atau mengurus ke kecamatan sendiri, Mbak Hening? Tanya Bu Bidan.

"Sekalian saja, Bu." jawabku.

"Siapa nama anaknya?" tanyanya lagi.

"Nur Laila …."

πŸ’—πŸ’—πŸ’—

Sayup-sayup terdengar suara rintihan bayi, buru-buru kusiram air ke dalam lubang closet, dan menaikkan celana. Bergegas kembali ke dalam kamar tidur. Anton keluar dari kamar tidur dengan berlari kecil, hampir bertabrakan denganku di pintu.

"Pelan-pelan, Nak," kataku padanya. Namun ia tak menghiraukan, tetap berlari-lari kecil di depan tv menirukan aksi Tom si kucing di layar televisi. 

"Ya Allah," pekikku saat menoleh kasur, dan bergegas menujunya. Dibawah selimut ada sesuatu yang bergerak-gerak. Segera kutarik selimut itu, tampak wajah Nur Laila berkeringat. Anton yang belum mengerti apa-apa sepertinya ingin menyelimuti adiknya. Tapi ia menyelimuti adiknya hingga kepala.

Usia Anton terpaut sekitar sembilan belas bulan dari adiknya, masih butuh perhatian juga pengawasan ekstra. Dia masih belum begitu paham jika diberitahu. Belum benar-benar mengerti arti kata.

Terkadang Anton dengan sengaja mencubit adiknya hingga menangis. Entah karena ia memang jahil, atau merasa cemburu kami lebih memperhatikan adiknya yang masih bayi.

Hari berlalu, tahun berganti, sisa usia semakin berkurang. Tak ada yang tahu berapa usia kita, tak ada yang tahu kapan ajal menjemput. Aku benar-benar takut akan kematian. Sadar diri masih penuh salah dan dosa.

Dalam satu kajian tausiyah selepas subuh yang sempat kutonton, penceramah itu menyinggung soal sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang berbunyi, β€œSebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” 

Pada intinya, kita harus terus berbuat kebaikan kepada sesama manusia. Jadilah orang yang bermanfaat.


Setidaknya jika kita tak bisa bermanfaat bagi orang lain, janganlah memberikan beban. 

Sebisa mungkin jika ada uang lebih, kusisihkan untuk Simbok. Membeli beberapa keperluan dapur untuknya. Jatah rokok dari pabrik sering kuberikan untuk Bapak dan suamiku. Aku mulai berbuat baik pada orang-orang terdekat lebih dulu.

Kehadiran anak kedua membuat Mas Harto lebih semangat bekerja, ia memberanikan diri untuk menggarap sawah, juga memelihara sapi, terkadang jika ada tawaran bekerja di proyek masih diambilnya. Demi menambah pemasukan keuangan kami. 

"Capek, Mas?" tanyaku padanya saat itu. Selepas maghrib ia baru sampai rumah, badannya basah oleh keringat. Baju dan celana yang dipakai pun kotor semua. 

"Enggak, Buk," elaknya sambil tersenyum. Padahal rautnya terlihat kusam, peluh memenuhi kening, masih ada sisa tanah yang menempel di bajunya.

"Mumpung, dapat kerjaan deket. Bantu bangun rumah Pak Nandar tetangga kita itu. Lumayan buat tambah beli susu," ucapnya lagi.

Karena tuntutan biaya kehidupan, aku memutuskan tetap bekerja. Mau tak mau harus menambah anggaran untuk membeli susu formula juga memberi sedikit imbalan pada Simbok dan Mbok Ijah yang telah merawat mereka.

Walaupun tak meminta upah saat menjaga anak-anakku. Namun aku tak tega melihat Simbok lelah karenanya. Seminggu sekali aku memberi uang sekedarnya pada Simbok juga Mbok Ijah.

Mbok Ijah adalah kakak kandung Simbok, walaupun lebih tua, namun Mbok Ijah lebih sehat juga lebih gesit dari Simbok. Ia menawarkan diri untuk mengasuh Nur Laila.

Saat usia Anton sudah cukup untuk masuk taman kanak-kanak. Ia begitu berani dan mandiri, Simbok hanya mengantarkan hingga ruang belajar. Anton yang pemberani menyuruh Simbok pulang, tak mau ditunggui.

Jarak antara Anton dan Nur Laila yang hanya satu setengah tahun, membuat mereka terlihat seumuran. Selalu berada dalam lingkungan sekolah yang sama, terpaut satu tingkatan kelas.

Saat menginjak kelas empat sekolah dasar, Anton begitu nakal. Gurunya sering melaporkan kenakalannya, entah tidak membuat pekerjaan rumah, berkelahi dengan teman juga membolos sekolah.

Pada akhirnya, gurunya tidak menaikkan Anton ke kelas selanjutnya. Jadilah mereka satu angkatan di  sekolah. Menyekolahkan dua anak pada jenjang sekolah yang sama sekaligus. Membuat keuangan kami kala itu tersengal-sengal. Tak jarang kami meminjam pada saudara untuk membayar biaya sekolah.

πŸ’—πŸ’—πŸ’—

Ah, waktu begitu cepat berlalu, kini Anton dan Nur Laila sudah menikah. Melanjutkan hidup dan membangun keluarga mereka sendiri. Baru tadi kulihat bayangan kejadian saat mereka masih duduk di Sekolah Mengah Pertama, ketika Nur Laila bertengkar dengan kakaknya itu.

"Buk, Mas Nakal … pulpen Laila diambil!" 


Keduanya berebut pulpen untuk mengerjakan tugas. Kepalaku langsung menoleh ke arah kamarnya. Kosong, tak ada siapa pun disana. Berteman sepi, kerap halusinasi mencumbui. 

Ah, aku kembali terbawa perasaan dan melamun.


Aku duduk menghadap dinding, sembari menyisir rambut ikalku. Beberapa helai rambut terjatuh, kupandangi helai rambut yang jatuh ada warna putih pada salah satunya.

Ah, apa aku sudah setua itu?


Hingga tak bisa membedakan kenyataan dan bayangan? Atau semua karena kesepianku, hingga menghadirkan bayangan-bayangan itu?

Bersambung…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status