Share

Bab 3

Penulis: Anna Smith
Dua tahun lalu, Dirga mulai pulang lebih larut dari biasanya.

Dia bilang dia sedang memperluas bisnis keluarga ke luar negeri, bahwa semuanya sedang sibuk.

Tapi sekarang aku tahu kebenarannya.

Dia sibuk membangun kerajaan Karina.

Rasa sakit itu menghantamku begitu keras sampai aku harus memegangi dadaku agar bisa bernapas.

"Ada apa, sayang?" Dirga langsung berdiri, kursinya bergesek keras dengan lantai marmer. "Kamu pucat, aku akan panggil dokter sekarang."

Sebelum aku sempat bicara, suara Karina terdengar tajam dan mengejutkan.

"Masih memainkan peran istri sempurna? Jangan terlalu memaksa diri. Dia cepat bosan dengan mainan rapuh."

Plak!

Suara tamparan itu begitu keras sampai membuat seluruh ruangan terdiam.

Tangan Dirga mendarat di pipinya begitu kuat sampai aku sendiri terkejut.

"Coba katakan satu kata lagi," katanya dengan suara pelan, tapi penuh ancaman. "Aku pastikan kamu tidak bisa berbicara lagi."

Karina menempelkan tangan ke wajahnya, mata menyala marah, tapi dia tahu lebih baik tidak melawan.

Dia pun pergi tanpa sepatah kata.

Tawa perlahan kembali terdengar di meja makan, tapi tubuhku terasa dingin.

Aku bisa merasakan Dirga memperhatikanku, tangannya menutupi tanganku, dan suaranya lembut dipenuhi kekhawatiran.

"Sayang, ada apa? Biarkan aku mengantarmu ke rumah sakit."

Aku menarik tanganku. "Aku baik-baik saja. Aku hanya perlu ke kamar mandi."

Begitu aku masuk ke lorong, Karina sudah berdiri di sana menungguku.

"Kamu memang istrinya, tapi aku yang melahirkan anak kembarnya. Kalau aku bilang mereka sakit, dia pasti akan berlari padaku. Berani taruhan?"

Aku tak menjawab, karena tak perlu.

Begitu aku kembali ke meja, wajah Dirga sudah pucat panik.

Dia bergegas ke arahku, dan mencium keningku. "Sayang, ada hal mendesak di kantor, aku akan segera kembali. Manajernya sudah siap urus semua. Nikmati saja makan siangmu."

Aku menggenggam lengannya. "Bukannya kamu janji mau menemani aku hari ini? Tolong, Dirga... tetap di sini."

Matanya berkilat, penuh rasa bersalah, keraguan, dan mungkin sedikit takut.

Dia menatapku seakan tahu meninggalkanku akan membuatnya kehilangan sesuatu yang tak bisa dijelaskannya.

Lalu dia berkata lembut, "Aku pulang malam ini. Aku janji."

Dan dia pergi begitu saja.

Setengah jam kemudian, ponselku bergetar.

Pesan dari Karina.

Sebuah video.

Aku menekan tombol putar, dan tanganku gemetar.

Dirga ada di sana, sedang menyuapi anak-anak mereka.

Suara Karina terdengar di rekaman itu.

"Dirga, kamu membelikannya pulau. Aku cemburu. Aku mau itu untuk ulang tahun si kembar."

Dia mengerutkan kening. "Tidak. Pulau itu untuk Alana dan anak kami."

"Kau memberinya pulau untuk menunjukkan cintamu," kata Karina lembut. "Berikan yang ini padaku, supaya anak laki-laki kita tahu mereka tidak lahir dari rasa malu."

Dan kemudian dia mengangguk.

Karina menatap lurus ke kamera, tersenyum dengan senyum menantang yang sama.

"Lihat? Bahkan hal-hal yang seharusnya milikmu jadi milikku begitu aku minta. Kamu kalah."

Aku duduk terpaku, ponsel terasa begitu berat di tanganku.

Setiap kenangan tentang kebaikannya menusukku seperti pecahan kaca.

Cara dia membalut tanganku yang terluka, dan menggendongku pulang saat hujan. Apa pun yang dulu dia lakukan untukku, bisa dia lakukan untuk Karina juga.

Aku menyerah.

Besok, aku akan pergi. Kali ini untuk selamanya.

Malam itu, Dirga pulang dan mendapati aku sudah berada di tempat tidur.

Kami tak pernah tidur terpisah sebelumnya. Biasanya, kami menunggu satu sama lain, meski fajar sudah menyingsing.

Tapi kali ini, aku tak sanggup menatap wajahnya.

Dia berbaring di sampingku, memelukku erat, napasnya menyentuh leherku.

"Aku sangat merindukanmu," bisiknya. "Baru beberapa jam, tapi rasanya seperti bertahun-tahun. Kalau kau meninggalkanku, aku tak yakin bisa bertahan..."

"Benarkah?" gumamku dengan mata tertutup.

Dia mencium bahuku. "Ngomong-ngomong soal pulau itu, aku dapat kabar pulau itu kurang bagus buat kita. Jadi aku beli dua lagi. Kita pilih bersama nanti, ya?"

Aku tersenyum tipis dalam gelap. "Terserah kamu."

Dia ragu, merasakan ada sesuatu yang dingin dalam nada suaraku.

"Apa aku berbuat sesuatu yang salah?" tanyanya pelan.

"Tidak. Aku cuma lelah." Napasku bergetar. "Ulang tahun pernikahan kita sebentar lagi. Besok siang aku akan terbang dengan pesawat pribadi untuk mengambil hadiahmu dari luar negeri sendiri."

"Kamu sedang mau bersiap hamil, sayang. Itu penerbangan lima belas jam. Biar aku saja yang pergi."

Aku menoleh padanya dan tersenyum seperti dulu. "Tidak. Aku mau lakukan sendiri."

Seperti biasa, itu langsung melemahkannya. "Baiklah. Lakukan apa pun yang kau mau."

...

Keesokan paginya, dia menyiapkan sarapanku sebelum pergi bekerja.

Sebelum keluar, aku menyerahkan sebuah amplop tertutup kepadanya.

"Itu untuk kamu," kataku pelan. "Tapi jangan dibuka sampai dua hari lagi."

Di dalamnya ada dua benda, yaitu hasil tes kehamilanku, dan video Karina.

Saat kabar itu sampai padanya, bahwa pesawatku jatuh di atas Samudra Atlantik, dia akan membukanya.

Dia akan tahu apa akibat dari pengkhianatannya.

Dia akan tahu dia sudah membunuh perempuan yang dia bilang tidak bisa hidup tanpa si wanita.

Dan aku ingin dia mengingat itu setiap hari.

Setelah dia pergi, aku berkemas dan menuju bandara.

Di tengah perjalanan, ponselku bergetar lagi.

Pesan dari Karina.

[Hotel DeLuxe. Dia di sini. Jangan lewatkan pertunjukannya.]

Aku tidak seharusnya pergi. Aku tahu apa yang akan kutemukan.

Tapi aku tetap pergi.

Itu ulang tahun si kembar.

Para tetua Keluarga Valendra dan orang-orang terdekat keluarga, semua berkumpul mengelilingi Karina.

Para pelayan memanggilnya, "Nyonya."

Dirga tidak mengoreksi mereka.

Dia hanya tersenyum pada Karina dengan senyum lembut yang familiar, senyum yang dulu milikku.

Bahkan orang tuanya ikut tersenyum.

"Kalau bukan karena Karina," kata ibunya bangga. "Keluarga Valendra tidak akan punya ahli waris."

"Dirga, janji kau akan menjaga dia baik-baik."

Dia tertawa ringan. "Kapan aku pernah memperlakukannya dengan buruk? Apa pun yang Alana punya, Karina juga punya, perhiasan, baju, dan segalanya."

Sesuatu di dalam diriku hancur.

Setiap kata manis yang pernah dia ucapkan, setiap ciuman, dan setiap janji...

Semuanya hancur di dalam diriku, dan yang tersisa hanyalah abu.

Semua orang tahu.

Semua orang kecuali aku.

Tidak ada lagi yang bisa diperjuangkan.

Tidak ada lagi yang bisa dimaafkan.

Saat aku berbalik untuk pergi, aku menatapnya sekali lagi.

Dia tertawa, dan lengannya melingkari bahu Karina.

Aku berbisik, "Selamat tinggal, Dirga Valendra. Tidak akan pernah ketemu lagi."

Beberapa jam kemudian, saat dia bermain dengan si kembar, ponselnya berdering.

"Tuan Dirga." Suara asistennya bergetar. "Pesawat istri Anda jatuh. Tepat setelah melintasi perbatasan Samudra Atlantik."

"Tidak ada yang selamat."

Dirga terpaku. Wajahnya memucat.

"Apa... kamu bilang?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Setelah Segalanya Hancur   Bab 7

    Keesokan paginya, aku terbangun karena suara piring di lantai bawah.Tidur tak kunjung datang, walau sekeras apa pun aku memejamkan mata.Saat aku akhirnya turun, Dirga sudah ada di sana, lengan digulung, berdiri di dekat kompor, seolah tidak terjadi apa-apa.Aroma tomat yang direbus pelan memenuhi dapur.Dia menatapku segera begitu mendengar langkahku."Makan siang sudah siap," katanya pelan. "Kamu mau keluar?"Aku mengambil mantelku. "Iya."Suaranya makin lembut. "Tidak mau makan dulu?"Aku menatapnya dengan dingin dan tegas."Setiap kali aku melihat kamu, seleraku hilang," kataku. "Kalau aku tetap di sini, aku bisa mati kelaparan."Perkataanku seperti menamparnya.Dia menunduk, dan jarinya menggenggam tepi meja dengan kuat."Kalau begitu pulanglah lebih awal malam ini."Aku tidak menjawab dan hanya membanting pintu cukup keras sampai kusen bergetar.Di luar, cahaya terasa terlalu terang.Aku melangkah tanpa tujuan, tangan terselip di saku, hati kacau dan gelisah.Selama bertahun-tah

  • Setelah Segalanya Hancur   Bab 6

    Rian menelepon Dirga malam itu.Keesokan paginya, orang-orang dari Keluarga Valendra sudah mengikuti Bella.Waktu Dirga akhirnya melihatku berdiri di taman rumah kecil yang kusewa, dia langsung terhenti.Kami terpaku tanpa suara.Matanya sontak memerah, seolah selama ini dia hidup sambil menahan napas.Tujuh bulan. Dua ratus empat belas hari.Dia sudah mencariku di setiap benua, membalik setiap lautan, Namun saat kami akhirnya bertemu lagi, wajahnya dipenuhi rasa takut.Takut kalau aku benar-benar ada di depannya.Takut kalau aku tidak nyata.Dan ketika pandangannya jatuh ke perutku, napasnya tercekat.Dia tahu.Dia mengerti.Bayi itu masih ada."Alana..." Suaranya bergetar saat menyebut namaku.Aku menatapnya sebentar, lalu memalingkan wajah. "Dirga."Suaraku benar-benar dingin. "Aku memalsukan kematianku karena aku ingin bebas. Sekarang kamu menemukanku, jadi dengar baik-baik. Kita sudah selesai. Tidak ada lagi. Jangan berharap aku akan luluh, merasa bersalah, atau kembali padamu. It

  • Setelah Segalanya Hancur   Bab 5

    Sudut pandang Alana.Sudah tiga bulan sejak aku menghilang.Tiga bulan sejak aku menyaksikan berita-berita berkabung seakan aku benar-benar pergi selamanya.Tiga bulan sejak aku mulai berpura-pura menjadi orang lain.Aku menyewa sebuah apartemen kecil di sebuah kota pantai yang sepi, tempat di mana tak ada yang bertanya-tanya dan suara laut cukup keras untuk menenggelamkan pikiran.Hampir setiap hari aku menutup tirai. Sinar matahari terasa terlalu terang, dan terlalu nyata.Aku duduk di sofa berjam-jam tanpa melakukan apa pun. Hanya bernapas. Hanya mencoba melupakan.Tapi melupakan Dirga seperti mencoba melupakan cara bernapas.Dia sudah terjalin dalam setiap detail kecil hidupku.Dia bukan hanya kenangan, tapi dia sudah menjadi kebiasaan.Pernah sekali, Bella mengajakku makan siang, dan mencoba membuatku tersenyum lagi.Pelayan menghidangkan makanan favoritku dulu, dan aku otomatis menoleh ke kursi kosong di sebelahku."Sayang, kamu pasti suka ini," bisikku pelan. "Kamu harus buatka

  • Setelah Segalanya Hancur   Bab 4

    Sudut pandang Dirga.Aku merasa dunia berputar sebelum tubuhku jatuh ke tanah.Suara-suara terdengar samar. Seseorang memanggil namaku. Kepalaku berputar, dan yang kulihat hanya kabut putih di mataku.Alana tidak mungkin meninggalkanku.Tidak mungkin...Aku memaksa tubuhku bangkit, terhuyung keluar dari kediaman, lalu setengah berlari menuju garasi.Aku tidak peduli pada para penjaga, pertanyaan-pertanyaan mereka, atau tatapan yang mengikutiku.Aku hanya perlu menemukan dia.Begitu aku masuk ke dalam mobil, aku melihat amplop yang dia tinggalkan di kursi penumpang.Amplop yang dia bilang baru boleh kubuka dua hari lagi.Dadaku sesak. Aku hampir tidak bisa bernapas.Setiap detak jantung membuat tulang rusukku seolah tersayat.Aku menghantamkan kepalan tanganku ke setir sampai buku jariku pecah.Kenapa aku setuju membiarkan dia terbang sendirian?Kenapa aku tidak mengirimkan pilot untuk menemaninya?Karena aku lengah.Terlalu sibuk merayakan ulang tahun anak kembar Karina, anak-anak yan

  • Setelah Segalanya Hancur   Bab 3

    Dua tahun lalu, Dirga mulai pulang lebih larut dari biasanya.Dia bilang dia sedang memperluas bisnis keluarga ke luar negeri, bahwa semuanya sedang sibuk.Tapi sekarang aku tahu kebenarannya.Dia sibuk membangun kerajaan Karina.Rasa sakit itu menghantamku begitu keras sampai aku harus memegangi dadaku agar bisa bernapas."Ada apa, sayang?" Dirga langsung berdiri, kursinya bergesek keras dengan lantai marmer. "Kamu pucat, aku akan panggil dokter sekarang."Sebelum aku sempat bicara, suara Karina terdengar tajam dan mengejutkan."Masih memainkan peran istri sempurna? Jangan terlalu memaksa diri. Dia cepat bosan dengan mainan rapuh."Plak!Suara tamparan itu begitu keras sampai membuat seluruh ruangan terdiam.Tangan Dirga mendarat di pipinya begitu kuat sampai aku sendiri terkejut."Coba katakan satu kata lagi," katanya dengan suara pelan, tapi penuh ancaman. "Aku pastikan kamu tidak bisa berbicara lagi."Karina menempelkan tangan ke wajahnya, mata menyala marah, tapi dia tahu lebih ba

  • Setelah Segalanya Hancur   Bab 2

    Malam itu aku tak tidur sama sekali.Setiap kali aku memejamkan mata, aku terbangun sambil menangis. Saat fajar, aku hanya duduk di sana sambil memeluk lututku dan menatap kegelapan hingga langit menjadi kelabu.Ketika Dirga pulang keesokan paginya, aku pura-pura tidur.Dia menanggalkan mantelnya, menunggu dingin dari tubuhnya hilang, lalu menarikku ke dalam pelukannya. Aku bisa merasakan detak jantungnya, stabil dan kuat, terasa menempel di punggungku."Sayang, lihat ini," katanya pelan sambil membuka ipadnya.Sebuah gambar pulau muncul di layar, dengan pasir putih dan air biru, seperti surga yang digambarkan orang-orang dalam cerita."Aku baru membelinya," katanya dan suaranya hampir seperti anak kecil. "Ini untuk anak kita. Dan bukan cuma itu, aku sudah mulai membangun taman bermain di seluruh negeri.""Setiap taman akan memakai nama anak kita. Kalau kita akhirnya punya anak, aku akan mengadakan pesta seratus hari. Satu kota akan datang merayakan."Dia terlihat begitu bangga, begitu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status