Share

Bab 3

Author: Valencia
Nyonya Nadindra membawa Nayara masuk ke dalam kediaman, lalu memerintahkan para pelayan, "Bawa Nona untuk membersihkan diri terlebih dahulu, lalu temui Nyonya Lestari."

Kemudian, dia menatap Nayara dengan senyum lembut. "Nenekmu sudah tua, selama beberapa tahun terakhir selalu mengandalkan ramuan untuk bertahan, tubuhnya memang tidak sehat. Saat bertemu dengannya, bersikaplah manis. Jangan menyebut-nyebut lagi soal tiga tahun ini, jangan sampai membuat dia sedih."

Nayara mengangguk patuh.

Nenek adalah orang paling adil di keluarga ini. Hanya saja karena usianya yang sudah lanjut, dia tidak lagi mengurus urusan rumah.

Nyonya Nadindra melihat Nayara mendengarkan, baru bisa bernapas lega.

Dia membuka mulut dengan hati-hati. "Sekarang kamu sudah delapan belas tahun, sudah saatnya menikah. Urusan di barak tentara jangan dibicarakan lagi. Kalau sampai orang tahu selama tiga tahun ini kamu tinggal di sana dan hidup bersama para pria, bisa timbul gosip yang buruk untuk urusan pernikahanmu."

"Ibu sudah menyiapkan alasan. Bilang saja kamu pergi merawat tubuhmu, dan baru kembali sekarang."

Wajah Nayara tetap tenang. Setelah menjawab singkat, dia mengikuti pengasuh keluar.

Namun, baru beberapa langkah berjalan, dia sadar jalan ini bukan ke arah halaman miliknya.

Begitu dia bertanya, pengasuh pun menjawab sambil tersenyum, "Tubuh Nona Kelima sejak dulu lemah, selama ini harus rutin minum ramuan. Tabib bilang pohon ketapang di halamanmu terlalu lembap dan dingin, jadi Tuan Arsaka menyuruh orang menebangnya."

Nona Kelima yang disebut nyonya pengasuh itu adalah Kirana.

"Demi mengobati Nona Kelima, halaman dibongkar, dijadikan satu dengan halaman milikmu. Air panas dari mata air ditampung untuk terapi tubuhnya. Tapi Nona Keempat tak perlu khawatir. Sebelum kamu pulang, Nyonya Nadindra sudah menyuruh orang membereskan halaman itu kembali."

Nada suaranya tidak mengandung rasa bersalah sedikit pun, seolah semua ini adalah hal yang wajar.

Seakan semua orang sudah melupakan bahwa Nayara adalah putri kandung sah dari keluarga Adipati.

Sedangkan Kirana hanya anak angkat.

Pengasuh membawa Nayara sampai ke depan sebuah halaman, lalu mendorong pintu dan masuk. "Mulai sekarang, Nona tinggal di sini."

Halamannya jauh lebih kecil dari sebelumnya, tidak banyak tanaman, terlihat sangat tandus.

Dua pelayan perempuan maju memberi hormat, "Salam hormat, Nona Keempat."

Tiga tahun tak pulang, Nayara sudah tak mengenali wajah-wajah di kediaman ini.

Wajah dua pelayan ini tampak asing. Yang satu berwajah bulat, satu lagi berwajah lonjong.

Keduanya tampak cantik dan gesit.

"Hamba bernama Wulan."

"Hamba bernama Ratri."

Mereka bersamaan berkata, "Salam hormat, Nona Keempat."

Nayara mengangguk singkat, menyuruh mereka berdiri.

"Di mana Raras dan Intan?"

Mereka adalah pelayan yang selalu mendampinginya sebelum dia pergi.

Sejak Nayara bertugas ke barak, tidak pernah lagi terdengar kabar mereka.

Pengasuh menjawab sambil tersenyum, "Setelah Nona pergi, tidak lama kemudian mereka menikah. Sekarang mungkin sudah hidup tenang bersama suami masing-masing."

Nayara mengangguk. Hidup tenang tentu lebih baik daripada menghabiskan seumur hidup melayani orang lain.

Perasaannya sedikit lebih tenang, lalu melangkah masuk ke dalam kamar.

Para pelayan sudah menyiapkan hidangan.

Sangat mewah, ada empat lauk dan satu sup.

Namun mangkuknya kecil, hanya sebesar kepalan tangan.

Nayara mulai makan, satu mangkuk habis hanya dalam dua atau tiga suapan.

Keningnya berkerut halus. "Masih ada nasi?"

Wulan tampak terkejut, lalu buru-buru mengangguk. "Ada. Hamba akan ambilkan sekarang."

Melihat Nayara makan dengan sangat cepat, Ratri tak tahan untuk mengingatkan, "Nona, makanlah pelan-pelan, nanti bisa sakit perut."

Tangan Nayara yang sedang mengambil lauk terhenti. Dia hampir lupa tempat ini bukan barak militer, ini Kediaman Adipati Agung.

Tidak ada yang akan merebut makanannya, tidak ada yang menuangkan air sisa ke nasinya.

Nasi di sini harum, lauknya tidak basi, dan bahkan ada dagingnya.

Bukan tikus sawah, bukan ular, tapi ayam yang dimasak dengan kecap.

Wulan kembali membawa dua mangkuk nasi lagi.

Nayara makan dengan cepat dan lahap.

Sama sekali tidak menunjukkan sikap anggun seperti putri bangsawan, lebih mirip pengemis di pinggir jalan.

Wulan beberapa kali hendak menegur, tetapi terus menahan diri.

Selesai makan, para pelayan sudah menyiapkan air panas. Wulan dan Ratri ikut masuk ke kamar mandi. "Nona, biar hamba bantu memandikan Anda."

"Tidak perlu. Kalian keluar saja."

Wulan tampak canggung.

Ratri berkata dengan nada sedih, "Kalau Nyonya Nadindra tahu, kami pasti akan dimarahi."

Namun, Nayara hanya menatap mereka dengan sorot mata yang tenang tanpa emosi.

Tatapan dingin yang terpancar dari matanya cukup membuat kulit kepala mereka meremang.

Akhirnya, mereka pun mundur keluar dan menutup pintu rapat-rapat.

Nayara baru berjalan ke belakang tirai dan mulai membuka pakaiannya.

Tubuhnya sangat kurus, tinggal kulit membalut tulang.

Kulit putihnya dipenuhi luka memar.

Ada yang baru, ada juga luka lama.

Kalau bukan karena kemampuan medis yang dimilikinya, mungkin dia sudah lama mati di tempat itu.

Setelah selesai mandi, Nayara mengambil pakaian baru yang diletakkan di rak.

Kainnya sangat bagus, lembut dan nyaman.

Namun saat dikenakan, justru terasa longgar dan membuat dirinya tampak seperti kerangka berjalan.

"Nona, Nyonya Nadindra dan Nyonya Lestari sudah menunggu." Ratri mengingatkan.

Nayara mengangguk, lalu melangkah menuju Paviliun Amerta milik Nyonya Lestari, nenek mereka.

Dalam tiga tahun ini, Kediaman Adipati Agung telah banyak berubah.

Nayara berhenti sejenak di depan kolam teratai, raut wajahnya tampak menyimpan kenangan. "Teratai di sini ke mana?"

"Nona Kirana bilang saat musim panas, kolam ini banyak nyamuk, jadi Tuan Muda Arsaka menyuruh orang mencabut semuanya."

Kirana lagi.

Dada Nayara terasa sesak.

Saat pertama kali datang ke kediaman ini, dia berusaha keras menyenangkan semua orang.

Teratai itu dia tanam sendiri, katanya ingin membuat arak dari bunga itu untuk Arsaka.

Arsaka sempat menggoda, "Kamu ini adikku, tidak perlu repot seperti ini. Tapi kalau kamu suka, Kakak akan temani menanam."

Tuan Muda yang selalu angkuh itu, bersedia kotor-kotoran demi adiknya ini.

Saat itu Nayara berpikir, akhirnya dia tahu rasanya disayang.

Namun, sekarang, semua kebaikan itu bahkan tidak sebanding dengan satu bagian kecil dari apa yang diberikan kepada Kirana.

Mereka sampai di halaman Nyonya Lestari.

Di dalam ruangan, sudah banyak orang duduk.

Nyonya Nadindra menoleh ke arah pintu, melihat Nayara, keningnya langsung berkerut.

Pakaian itu... kenapa terlihat begitu longgar?
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setelah Tiga Tahun Jadi Budak, Seluruh Keluarga Menyesal   Bab 100

    Dia sama sekali tidak memberi muka pada Arsaka, membuat pria itu merasa sangat dipermalukan.Dulu, Nayara selalu menuruti semua ucapannya.Namun kini, di depan orang lain, dia berani membalas dengan kata-kata tajam. Wajah Arsaka pun menggelap beberapa derajat.Karena ada Sagara, dia enggan membuat keributan dengan Nayara.Akhirnya, dengan gaya sok berwibawa sebagai kakak, dia berkata pada Nayara, "Nayara, Kakak hanya bertanya biasa saja, kenapa kamu harus menjawab dengan nada seperti itu? Makin dewasa justru makin tidak tahu sopan santun."Dia sedang menyalahkan Nayara karena tidak menghargainya.Nayara mendengus pelan dan sinis. "Tuan Muda Arsaka begitu lapang dada rupanya. Tapi apakah Tuan Muda Rayendra tahu bahwa Anda memperalat dia?"Yang dimaksud Nayara adalah soal Arsaka yang diam-diam membunuh para prajurit itu. Insiden yang membuat dia dan Rayendra harus berlutut di depan istana dan menerima teguran keras dari Kaisar.Wajah Arsaka berubah. Sorot matanya dipenuhi amarah. "Nayara

  • Setelah Tiga Tahun Jadi Budak, Seluruh Keluarga Menyesal   Bab 99

    Yang diteriakkan Sagara bukan Tuan Muda Rayendra, melainkan langsung nama Rayendra. Jelas bahwa dia benar-benar marah.Para pengawal tadi tidak bisa mendekat karena kerumunan, tetapi setelah Sagara turun dari jembatan, mereka segera menyusul ke sana.Mendengar nada marah dalam suara Sagara, para pengawal pun langsung mengepung Rayendra.Rayendra menyapu mereka dengan pandangan datar, lalu mengejek dengan tawa dingin, "Cuma beberapa anak buah rendahan, tak sepadan untuk kupedulikan."Sikap merendahkannya yang terang-terangan itu membuat wajah Sagara berubah. "Hebat atau tidak, kita buktikan saja."Siapa pun yang bisa menjadi pengawal pribadi Sagara tentu bukan orang sembarangan.Meski Rayendra dikenal tangguh, melawan lima orang sekaligus pun dia tetap akan kerepotan.Hari ini, Sagara ingin menunjukkan apa akibatnya bila berani mencari gara-gara dengannya.Melihat bara di antara keduanya hampir meledak, Nayara jadi panik dan bingung harus berbuat apa.Bukan Rayendra yang dia khawatirkan

  • Setelah Tiga Tahun Jadi Budak, Seluruh Keluarga Menyesal   Bab 98

    Mungkin karena keraguan di mata Nayara terlalu jelas, tatapan Sagara padanya menjadi makin dingin.Namun, kali ini, dia tidak melontarkan sindiran seperti biasanya. Dia hanya memalingkan wajah dengan raut yang sedikit muram, tak lagi menatapnya.Namun, kedua tangannya mengepal erat.Sagara benar-benar marah, matanya menatap tajam ke satu titik tanpa berkata sepatah kata pun.Nayara justru bertanya mengapa dia menyelamatkannya?Apakah dia benar-benar lupa, atau hanya pura-pura tidak ingat?Saat usia sepuluh tahun, Sagara jatuh ke sungai karena kelalaiannya sendiri, dan Nayara yang menariknya keluar.Mata gadis kecil itu bersinar cerah, tatapannya penuh tawa saat memandangnya.Dia berkata, "Bagaimana bisa kamu berjalan lalu jatuh ke air? Kalau bukan aku yang menarikmu, kamu pasti sudah tenggelam."Waktu itu, wajah Nayara selalu dihiasi senyum lembut, matanya memantulkan cahaya seperti langit malam penuh bintang.Dia menatap Sagara yang terlihat masih terpaku ketakutan. Lalu menyelipkan s

  • Setelah Tiga Tahun Jadi Budak, Seluruh Keluarga Menyesal   Bab 97

    Nayara sama sekali tidak menyangka, hanya karena ingin melihat lampion, dia bisa terdorong jatuh ke sungai.Meski namanya sudah tercemar, dia tidak ingin menambah noda lagi dalam reputasinya yang sudah buruk.Terlebih, di hadapan begitu banyak orang, di tengah sorotan semua mata.Kalau dia sampai jatuh ke sungai, sudah pasti dia akan kembali jadi bahan omongan orang-orang.Dalam kepanikan, dia mengulurkan tangan, berusaha meraih apa pun untuk menghentikan tubuhnya agar tidak terjatuh.Tiba-tiba, tubuhnya yang sedang melayang ke bawah, berhenti.Pergelangan tangannya dicekal erat oleh seseorang. Saat menoleh ke atas, dia melihat Sagara sedang menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Pegang tanganku."Nayara tak menyangka, Sagara muncul di saat paling genting dan menyelamatkan nyawanya.Wajahnya pucat pasi, dan mata yang menatap Nayara tampak tegang.Karena terlalu keras mencengkeram, urat di keningnya menonjol dan matanya memerah.Dia berusaha menarik Nayara naik, tapi sudah bebe

  • Setelah Tiga Tahun Jadi Budak, Seluruh Keluarga Menyesal   Bab 96

    Kirana ketakutan hingga meneteskan air mata, sementara Nyonya Nadindra memeluknya erat, menenangkan dengan suara lembut, memanggilnya anak manis berulang kali.Melihat Nayara masih bersikeras, Nyonya Nadindra pun memasang wajah dingin dan menegurnya, "Itu hanya sebuah lampion, kenapa harus membuat adikmu menangis?"Ketiga kakak laki-laki mereka pun berpihak pada Kirana, dan mencela Nayara karena dianggap tidak tahu sopan santun.Akhirnya, Nayara dihukum menghadap tembok untuk merenung, sementara Kirana yang sedang sakit malah dikelilingi dan dimanja oleh semua orang.Semua perhatian tertuju pada Kirana, tak seorang pun peduli pada Nayara kecil yang hanya bisa memeluk lampion kelinci rusaknya dan menangis semalaman.Peristiwa itu mungkin hanyalah kisah lucu di mata Arsaka, tetapi bagi Nayara, itu adalah kenangan yang menyakitkan.Butuh waktu sangat lama baginya untuk benar-benar melupakan kejadian itu.Tak disangka, luka lama yang telah sembuh itu kini kembali dikoyak oleh Arsaka tanpa

  • Setelah Tiga Tahun Jadi Budak, Seluruh Keluarga Menyesal   Bab 95

    Andai Nayara tahu kalau sekadar jalan-jalan bisa membawa begitu banyak masalah, dia pasti tidak akan datang.Karena satu kalimat dari Rayendra, dia kembali merasa seperti dibakar di atas api.Tiga pasang mata tertuju padanya.Terutama tatapan Kirana yang penuh kesal dan keluhan, membuat Nayara merasa sangat tidak nyaman.Alih-alih menyalahkan biang keladinya, Kirana malah datang menemuinya.Bahkan sorot mata Arsaka pun menjadi dingin. Padahal sejak tadi dia berusaha keras menenangkan suasana di antara mereka.Namun, hanya dengan satu kalimat Rayendra, hubungan yang sempat mencair itu kembali membeku.Arsaka menarik napas dalam dan tersenyum tipis. "Rayendra, kamu salah ingat. Bukan Nayara yang suka lampion kelinci, tapi Kirana."Kirana mengangguk pelan, seolah memberi dukungan. Dengan suara lembut, dia berkata, "Kak Rayendra, aku yang suka lampion kelinci… Jangan buat Kak Nayara malu, ya."Namun, Rayendra seolah tidak mendengar. Tatapannya tetap keras mengarah pada Nayara. "Nayara, kat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status