Share

Tak Percaya

"Nin, sedang apa kamu?" Tau-tau Mas Elang sudah keluar dari kamar mandi. Sementara aku masih sibuk dengan pikiran sendiri,  mengamati lelaki yang saat ini tengah berjalan ke arahku, sembari mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk. Dalam hati ada keinginan bertanya kenapa kemeja yang baru saja dipakainya bau minyak wangi perempuan.

"Jujur saja, Mas itu wangi parfum di bajumu milik siapa?" Akan tetapi, kalimat itu hanya tertahan di tenggorokan.

"Nin?" Mas Elang mengibaskan tangannya di depan wajah, membuatku langsung mengerjap, dan tersadar dari lamunan.

"Ah iya. Ada apa, Mas?"

"Kamu lagi ngapain? Dari tadi, Mas tanya malah bengong."

"Eh, masa sih. Enggak kok aku gak lagi ngapa-ngapain," jawabku. Lalu, langsung berjalan ke arah pojok kamar, menaruh pakaian kotor milik Mas Elang. "Apa, Mas mau makan?"

"Mas masih kenyang, tadi di kantor di bawain teman makan."

Aku mengangguk. "Oh gitu? Temanmu pasti baik banget ya, sampai bawain makanan segala."

"Eum ... E-enggak juga sih. Katanya kebetulan lagi masak banyak."

"Temannya laki-laki apa perempuan?"

Mendengar pertanyaanku Mas Elang langsung terlihat salah tingkah. "Eum ... Kamu kenapa nanya gitu?" Mas Elang malah balik bertanya.

"Gak apa-apa sih, cuma penasaran aja."

"Udahlah gak perlu dibahas lagi, gak penting juga. Lebih baik kita tidur aja!" Mas Elang langsung menarik tubuhku ke dalam dekapannya. 

"Memangnya itu kopi gak mau diminum dulu?" 

"Minum kopinya nanti aja, kamu gak kangen sama, Mas?" 

Mas Elang berhasil mengalihkan pembicaraan, sebagai istri aku mengalah. Melihat sikap manisnya, kupikir tidak mungkin juga Mas Elang bermain dengan wanita lain.

***

"Lang, hari ini kamu gajian, 'kan? Kamu gak lupakan pembahasan kita kemarin, kalau mulai  sekarang Mama yang pegang gaji kamu," ucap Mama saat kami tengah sarapan bersama.

"Iya Ma, Elang gak lupa," jawab Mas Elang yang seketika menerbitkan binar di mata Mama. Perempuan yang usianya sudah berkepala lima itu, langsung tersenyum lebar.

"Kak Elang juga gak lupakan dengan janji kakak, habis gajian mau beliin Iza sepatu?" Iza bertanya. Lalu, menyendokkan bubur ayamnya ke mulut.

"Enggak. Kakak ingat kok. Memangnya harga sepatunya berapa?" tanya Mas Elang.

"Gak mahal kok Kak. Cuma 250 ribu aja," jawab Iza santai. Lalu, tersenyum lebar.

"Iya, Mama juga kemarin lihat baju warnanya bagus banget," timpal Mama.

Saat ini di meja makan, mereka sibuk membahas keuangan. Mereka belum tahu saja pengeluaran selama ini. Tapi, aku hanya diam mendengarkan rencana yang akan mereka lakukan saat Mas Elang gajian nanti.

"Kamu kenapa dari tadi diam aja, kamu enggak keberatan 'kan kalau Mama yang pegang uangnya?" Mama bertanya padaku melihat aku yang sejak tadi hanya diam.

"Enggak kok, Ma. Aku gak ada masalah," jawabku.

"Ya baguslah kalau begitu," balas Mama.

"Kak, kalau aku juga mau beli tas boleh gak?" tanya Iza. "Soalnya kemarin aku juga lihat ada tas yang aku suka, harganya cuma 150 ribu kalau gak salah," terangnya.

"Kalau ada uangnya kalian atur aja," balas Mas Elang.

"Yeay, Mbak Hanin jangan iri ya!" ucap Iza sambil mengembangkan senyum. Senyum membanggakan diri.

"Mbak gak iri. Tapi, sebelum beli keperluan kalian aku cuma mau bilang untuk membayar cicilan bulanan selama ini," terangku.

"Alah paling berapa?" ucap Iza menyepelekan.

"Lihat aja nanti," balasku.

"Ya udah, aku berangkat dulu!" ucap Iza kemudian. Lalu, beranjak dari tempat duduknya.

"Lho gak sekalian bareng sama kakakmu?" tanya Mama heran.

"Ah, nunggu Kak Elang lama. Iza hari ini ada ulangan." Iza pun langsung menyalami kami. Lalu, kembali berpamitan.

Selang beberapa saat, Mas Elang pun berangkat kerja. Aku mengantarnya ke depan.

"Mas berangkat dulu!" Aku mengangguk dan menyambut tangannya. Lalu, menciumnya dengan takzim.

Mas Elang pun langsung masuk ke mobil. Mobil itu baru di beli Mas Elang beberapa bulan yang lalu dari teman yang kebetulan tidak terpakai, meski second bodynya masih bagus dan hanya perlu di servis sedikit.

Jam terus bergerak ke kanan, dan hari sudah hampir sore, aku melihat pada jam yang menempel di dinding yang tengah menunjukkan pada angka 15 lebih 20. Tapi, Mama yang pergi sebelum azan Zuhur tadi belum juga pulang. Bukannya, tadi dia bilang mau pergi sebentar? Bahkan Iza yang biasanya sudah pulang sekolah pun belum menampakkan batang hidungnya.Entah kemana mereka?

Walau bagaimana pun ada perasaan khawatir. Ah, sebaiknya aku mandi saja dulu, usai masak untuk makan malam, badan terasa lengket karena keringat, dan bercampur aroma masakan. Kalau Ashar masih belum juga pulang aku akan menghubungi mereka, atau memberitahu Mas Elang. 

Aku pun lekas menuju kamar, dan mengajak Kinara untuk mandi. Gadis kecil itu nampak bersemangat saat kuajak untuk mandi, cuaca hari ini memang lumayan panas. Jadi, pantas saja kalau membuat gerah.

"Ara, ayo mandi!"

"Yeay," Ara melompat girang, alat masak-masakan yang sejak tadi jadi teman mainnya langsung di tinggal begitu saja. Lalu, meraih boneka yang ada di sampingnya.

"Ma, dek ayina au andi uga," sambungnya, dengan gaya bahasa khas anak kecil.

Aku tersenyum, melihat tingkahnya yang selalu menggemaskan. Lalu, mengangguk membuat tubuh kecilnya semakin berlonjak kegirangan.

Aku dan Kinara pun segera masuk ke kamar mandi, menikmati guyuran dan aroma sabun yang membuat tubuh terasa lebih segar.

Usai mandi dan berganti pakaian, aku menunaikan 4 rakaat, Ara kubiarkan duduk di sampingkiri. Lalu, kupasangakan mukena dan sejadah. Setelahnya baru mengajaknya keluar kamar. Begitu mencapai ruang tamu aku melihat Mama dan Iza sudah duduk di kursi ruang tamu dengan berbagai belanjaan.

"Mama sama Iza kapan pulangnya?" tanyaku.

"Eh, ada Mbak Hanin. Coba lihat sepatunya bagus gak, Mbak?" Bukannya menjawab gadis yang masih menggunakan seragam putih-abu itu langsung menunjukkan sepatu yang baru saja dibelinya.

"Iya, bagus," jawabku singkat.

"Ya iyalah, siapa dulu yang pilih," lanjutnya seolah tengah membanggakan diri.

Mama pun terlihat sibuk dengan barang belanjaannya. 

"Cucu Oma sudah cantik, sini Sayang Oma punya sesuatu buat Ara." Mama mengajak Ara untuk duduk di sebelahnya. Lalu, mengeluarkan sesuatu dari plastik, dan ternyata mainan. Tentu saja, Ara langsung terlihat senang menerima hadiah dari Mama.

Entah dari mana mereka bisa membeli ini semua? apa Mas Elang sudah transfer langsung ke rekening Mama, atau gaji pensiunan Papa?

Tidak lama kemudian terdengar suara deru mobil memasuki halaman, dan berhenti.

"Hanin, ngapain kamu masih di situ?" Ucapan Mama menarikku ke alam sadar. "Suami pulang bukannya disambut malah bengong," sambung Mama.

Aku pun langsung melihat ke arah pintu, dan bergegas menyambut Mas Elang, mengambil tas kerjanya. 

Begitu melihat sang Papa pulang, Ara langsung berlari, memamerkan mainan yang baru saja di dapatnya, kemudian kedua tangannya terangkat ke atas meminta naik ke gendongan. 

"Duh anak Papa udah wangi," ucap Mas Elang setelah meraih tubuh Ara. Lalu, memberinya sebuah kecupan dikedua pipinya. Kemudian duduk bersama Mama dan Iza. 

"Makasih lho Lang, Mama dan Iza akhirnya bisa beli barangnya," ucap Mama senang.

"Eum ... Jadi, Mas udah gajian?" tanyaku penasaran mendengar ucapan Mama.

"Kamu ini suami baru pulang malah nanyain gaji, bukannya ngambilin minum kek, apa kek. Cepat sana ambilin minum!" 

Akhirnya aku menurut, dan mengambil minumnya ke dapur.

"Ini, Mas diminum dulu!" ucapku setelah kembali dari dapur. Lalu, menyerahkannya ke Mas Elang. Mas Elang pun langsung mengambilnya, dan meminumnya hingga setengah.

Aku masih penasaran, menunggu jawaban dari Mas Elang apa benar dia sudah gajian, dan mentransfernya ke Mama? Bukan apa, sebab Mama harus tau apa saja yang harus dibayar.

"Jadi bener, Mas udah gajian?" Aku kembali bertanya.

"Iya, semuanya udah Mas transfer ke Mama," jawab Mas Elang santai.

Aku tidak lagi menjawab. Lalu, berlalu ke kamar mengambil beberapa catatan yang harus dibayar oleh Mama.

"Maaf, Ma karena sekarang Mama yang pegang uang. Jadi, semua catatan pembayaran bulan selama ini aku serahkan ke Mama," ucapku lembut dan sopan seolah tengah memberikan sebuah jabatan.

Mama langsung mengambilnya dengan wajah tak suka. "Paling juga berapa?" ucap Mama menyepelekan. Lalu, mulai meneliti satu persatu catatan tersebut.

"Ha apaan ini?" Mata Mama membulat tak percaya saat melihat catatan hutang yang harus dibayar.

Bersambung ...

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
masih aja ada istri tolol dan kayak babu di masa sekarang ini ya. g simpati banget sama istri kayak gitu dungu dan banyak drama
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status