Share

Perampasan

Author: celotehcamar
last update Last Updated: 2024-02-13 19:18:13

"Mas … boleh aku bicara?"

Embun mencoba mendekati suaminya di ruang tamu. Sejak tadi pagi, Bumi enggan berbicara dengan Embun. Mungkin pria itu masih banyak pikiran, termasuk masalah antara istrinya dengan ibunya.

"Iya … mau bicara apa?"

Bumi sudah mau bersuara, namun masih datar. Tak ada senyum yang terkembang seperti biasanya.

"Mas masih marah sama aku?" tanya Embun.

Bumi lantas menyuruh istrinya untuk menempati tempat duduk di sampingnya. Dia ingin menyelesaikan masalah tadi pagi.

"Masih marah sama aku, Mas?" Kembali Embun melontarkan tanya.

"Mas gak marah, Dek. Mas hanya ingin kamu mengerti. Kamu dan Ibu jangan bermusuhan lagi! Jangan bersitegang lagi! Jujur, kepala Mas pusing. Sudah capek kerja, di rumah juga harus mendapati masalah lagi."

Hembusan nafas Bumi di akhir kata, membuat Embun tertunduk. Dia merasa bersalah karena telah menambah beban suaminya. Tapi di sisi lain, Embun juga tak puas kalau hanya dia yang terus diminta mengerti.

"Mas belum mengirimkan Ibu uang, Dek. Jadi kamu tenang saja!"

Tiba-tiba Bumi jujur sebelum Embun bertanya. Mungkin pria itu bisa menerka pertanyaan lanjutan yang akan dilayangkan oleh istrinya itu. Jadi Bumi berinisiatif memberitahukannya terlebih dahulu.

"Kenapa?" Embun ingin tahu alasan suaminya yang tumben tak menuruti keinginan ibunya.

"Terlalu berat. Tabungan kita tinggal tiga juta. Gaji Mas tiap bulan juga lebih banyak dikasi ke Ibu. Sekarang Ibu minta nambah uang bulanan sebesar sepuluh juta. Bagaimana kita bisa hidup hanya dengan uang sisa sebesar dua juta tiap bulan?"

Dalam hati, Embun bersorak gembira. Akhirnya sang suami mulai disadarkan walau belum sepenuhnya.

"Lalu? Apa Ibu tak marah, Mas?"

Bumi terdiam. Sebenarnya, sepanjang hari ini dia terus diteror oleh sang ibu. Bahkan di kantor dia tak bisa fokus bekerja karena teleponnya terus berdering karena ulah ibunya.

"Ibu gak marah, Mas?" Embun kembali mengulang pertanyaannya. Dia sudah seperti berbicara dengan orang linglung. Terus mengulang tanya tanpa langsung mendapat jawaban.

"Marah. Biarlah! Mas pusing. Hanya saja, Mas minta sama kamu untuk jangan cari masalah dulu sama Ibu. Jika ia menelpon dan marah-marah sama kita, telan bulat-bulat perkataannya. Jika kita melawan, Ibu akan terus meneror kita. Tolong bantu Mas, ya! Mengalah dulu untuk sementara ini!"

Huft. Embun menghela nafas kasar. Dia tak boleh egois. Suaminya tentu jauh lebih pusing memikirkan dua wanita yang dicintainya terus bertengkar.

"Mas … aku boleh kerja lagi, gak? Atau gak, biarkan aku bekerja dari rumah saja."

Setelah beberapa menit dalam keadaan hening, Embun pun memecah suasana dengan pertanyaan yang mengejutkan bagi Bumi.

"Kerja lagi? Untuk apa? Bukannya kita sudah sepakat soal kewajiban masing-masing?" tanya Bumi dengan alis yang tertaut.

Benar. Tiga bulan setelah menikah, Bumi akhirnya kembali mendapat pekerjaan. Dia lantas meminta sang istri berhenti bekerja dan fokus dengan program kehamilan. Sebagai istri yang baik, tentu Embun menuruti keinginan suaminya. Dia tak menyangka kalau gaji suaminya yang sebesar itu tetap kurang untuk meraih mimpi-mimpi mereka. Karena apa? Untuk setoran bulanan yang tak masuk akal dari keluarga Bumi.

"Aku ingin membantumu memenuhi kebutuhan rumah tangga kita, Mas. Aku juga ingin kita meraih mimpi untuk punya usaha atau rumah hunian yang tetap."

Bumi terdiam. Dia merasa tersindir dan tertampar dalam waktu bersamaan. Sebagai suami, dia merasa tak adil pada istrinya. Lebih dari setengah gajinya dia serahkan pada keluarganya di rumah. Sedangkan mereka terkadang kehabisan uang sebelum akhir bulan. Tabungan yang selama ini dikumpulkan juga kerap Bumi ambil untuk diberikan pada ibunya di rumah. Katanya hanya pinjam. Tapi sampai sekarang tak kunjung dikembalikan.

—---------------

Tok

Tok

Tok

Embun yang sedang mencuci pakaian di kamar mandi, terkejut dengan suara ketukan pintu yang keras dan terus-menerus. Siapa itu? Apakah Bumi? Apa ada barang yang ketinggalan hingga dia balik lagi ke rumah?

"Iya sebentar …." Embun gegas mencuci tangannya dari sabun yang menempel. Untuk mengeringkannya, dia tak perlu handuk. Cukup menggosokkannya di daster rumahan yang dipakainya kini.

Ceklek

"Kenapa lama banget?"

Tanpa basa-basi, Bu Retno selaku mertua Embun langsung menamparnya dengan makian. Sesaat, setelah pintu berhasil dibuka.

"Maaf, Bu. Tadi Embun habis nyuci di belakang."

Iya. Semenjak keluarga suaminya terus menambah jumlah setoran bulanan yang ditagih dari mereka, Embun terpaksa menjual mesin cucinya hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka yang terkadang habis sebelum akhir bulan. Sedangkan uang telah lenyap karena diberikan pada mertuanya. Boros? Tidak. Justru Embun terbilang irit dan hemat. Tapi tetap saja mereka masih kekurangan.

"Buatkan Ibu teh!"

Bu Retno seperti ratu yang ingin dilayani. Embun menggeleng pelan. Dia tak beranjak dari tempatnya berdiri.

"Kenapa diem terus di sana? Buatin Ibu teh! Jauh-jauh datang kemari tapi tak disuguhi apapun."

"Di sini tak ada teh, Bu."

"Kalau gitu, buatin Ibu es sirup!"

"Tak ada juga, Bu."

"Apa? Semua tak ada? Istri macam apa kamu Embun? Jadi kamu menyuguhkan suami dan tamu kalian selama ini dengan apa?"

"Dengan seadanya. Air putih serta kue yang aku buat sendiri. Lagipula, kami di sini harus irit karena uang tak ada."

Embun mencoba berkata seperti itu untuk menyindir mertuanya.

"Kamu nyindir Ibu?"

"Enggak, Bu. Embun hanya berbicara fakta. Akhir-akhir ini kami memang selalu kekurangan uang."

"Ah … sudah lah! Diam kamu! Mana Bumi? Dari kemarin ditelponin tapi gak dijawab terus."

"Mas Bumi sudah berangkat kerja, Bu. Kebetulan dia ada shift pagi."

Bumi bekerja di salah satu hotel dengan posisi sebagai Manajer. Karena itulah, gajinya tergolong besar.

"Ooo …." Bu Retno hanya merespon singkat.

"Mau apa Ibu ke sini?" Tak sadar Embun lancang bertanya pada mertuanya.

"Lancang, ya, kamu. Memangnya Ibu tak boleh ke sini? Kontrakan ini kan milik anakku. Tenang saja, Ibu hanya sebentar. Tak sudi juga berlama-lama di sini. Ibu hanya mau mengambil hak Ibu. Setoran bulanan. Sesuai dengan jumlah yang Ibu minta kemarin. Sepuluh juta. Tak boleh kurang! Jika lebih, dimaklumi."

Apa-apaan ini? Bu Retno serupa rentenir yang menagih hutang pada peminjam.

"Kami tak ada uang, Bu. Mas Bumi juga berhutang di tempat lain. Gajinya bulan ini sebagian dipakai untuk membayar hutang ke temannya itu." Embun terpaksa berbohong. Tapi Bu Retno tak semudah itu dibohongi.

"Ha ha ha. Kamu tak pintar berbohong, Embun. Aku tahu siapa Bumi. Dia tak mungkin berhutang kesana-kemari. Terkecuali di bank."

Embun menelan ludah pelan. Ternyata Bu Retno begitu ahli membaca gerak-gerik orang. Apakah ini yang dinamakan berpengalaman soal asam garam kehidupan? Ataukah ia adalah seorang pembohong kelas kakap hingga bisa membedakan mana orang jujur dan tidak?

"Tapi Mas Bumi tak ada, Bu. Tolong lah! Jika Ibu adalah seorang Ibu yang baik, jangan membebani anakmu terus hingga dia stress. Mas Bumi sudah sangat pusing jika menyangkut soal uang, Bu." Embun tak ragu lagi menasehati mertuanya. Terdengar lancang, namun dia berusaha untuk membuat mertuanya sadar.

"Kamu nasehatin Ibu? Berani banget. Ah, sudah lah! Kalau Bumi tak ada, Ibu terpaksa mengambil satu set perhasian milikmu. Mana? Berikan pada Ibu!"

Deg! Embun kembali terkejut. Satu set perhiasan yang diberikan sebagai hadiah pernikahan oleh orang tuanya, kini akan diambil oleh mertuanya? Mana mungkin? Ini namanya perampasan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Akhir Cerita

    “Anton ….”Di dalam ambulance, Mirah masih bisa memanggil nama Anton. Beruntung ipar lelakinya itu ikut mendampingi di dalam mobil ambulance.“Iya, Mbak. Kenapa?”“Eee … eee”Susah bagi Mirah untuk berucap di saat kondisi seperti ini. Tubuhnya benar-benar lemah. Nafasnya pun mulai tersengal-sengal.“Kenapa, Mbak? Mbak mau ngomong apa?”Anton mendekatkan diri dan mencondongkan telinganya ke dekat bibir Mirah. Berusaha mendengar kata yang mungkin akan lemah dan tersapu suara sirine ambulance.“Waktu Mbak gak lama lagi.”“Mbak, gak boleh ngomong gitu! Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Mbak harus kuat! Tahan, sebentar lagi! Katanya Mbak mau ketemu Rinai, anak kami. Ayo semangatkan dirimu! Nanti kalau Mbak sembuh, Laras dan Rinai pasti senang melihatmu.”Mirah yang mendengar semua itu, hanya bisa mengeluarkan air mata. Di dalam hati kecilnya, dia ingin sekali bertemu dengan orang-orang yang disebutkan oleh Anton barusan, tetapi kekuatannya mulai melemah. Tubuhnya tak sekuat dulu. Dia

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Bergerak Cepat

    “Kita omongin di dalam aja, yuk! Malu kalau dilihat tetangga.”“Gak … aku gak mau masuk ke dalam. Aku ke sini cuma mau bertemu Mbak Mirah. Lagipula, tak ada tetangga lain di sini.”Walaupun Anton menolak, Dahlia tetap melancarkan jurusnya. Memaksa Anton untuk masuk ke rumahnya. Pada akhirnya lelaki itu pun setuju demi menemukan titik terang tentang keberadaan kakak iparnya.“Duduk dulu! Biar aku buatin minum!” Dahlia pergi ke dapur. Dia hendak membuatkan minum dengan tangannya sendiri untuk Anton. Sedangkan sang tamu dibiarkan duduk di ruang tamu ditemani tatapan anggota keluarganya yang lain. Iya. Siang itu, para lelaki tak berada di rumah. Hanya ada kumpulan wanita beserta anak-anak di rumah itu. Walaupun begitu, Anton merasa risih akan keberadaan mereka. Ditambah dengan tatapan misterius dari setiap orang yang ada di rumah itu.“Ini minumnya. Silahkan diminum!”Dahlia datang membawa nampan berisi secangkir teh serta biskuit. Membuyarkan perhatian Anton yang sempat tertuju pada tat

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Gubuk Derita

    “Mas … Mas Parna! Cepat ke sini!”Dahlia berusaha melepaskan diri sembari terus berteriak memanggil sang suami. Dari arah belakang, kini muncul sesosok pria yang Mirah kenal. Dia adalah Parna, suami dari Dahlia.“Loh … loh, kenapa ini, Li?”“Tolong aku, Mas! Aduh … tolong aku! Jangan diem aja.”Setelah diberi titah, lelaki bernama Parna baru mau bergerak. Dia berusaha memisahkan sang istri dengan tetangganya itu. Karena genggaman Mirah cukup kuat di rambut Dahlia, Parna terpaksa sedikit melakukan ke-ke-ra-san.“Aduuuh, Mas. Sakit.”Dahlia akhirnya berhasil dipisahkan dengan Mirah. Wanita itu memegang kepalanya yang terasa nyeri. Sedangkan lawannya terlihat jatuh ke tanah akibat dorongan dari Parna.“Tuh, kan, Mas. Rambutku acak-acakan. Ini semua, gara-gara wanita itu!”Dahlia menunjuk ke arah Mirah yang masih terduduk di halaman rumah.“Cepat bawa dia ke dalam rumah!”“Loh, kamu mau ngapain dia, Li?” Parna penasaran. Tapi sang istri tetap memberi perintah sambil berlalu—-masuk ke dala

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Pa-rasit

    Satu tahun kemudian“Oh baik ... baik, Paman. Nanti saya kabarin ke Mbak Mirah.”Anton menekuk wajahnya setelah mendapat telepon dari seseorang. Apa yang kiranya dikabarkan oleh seseorang di seberang sana?“Mas … ini kopinya.”Laras datang sembari membawa secangkir kopi untuk sang suami. Dia heran melihat reaksi sang suami yang hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. Tak biasanya Anton bersikap seperti ini pada Laras. Pria itu hanya sibuk memainkan ponselnya.“Mas ….”Melihat keanehan yang ada pada sang suami Laras pun ikut duduk di samping Anton.“Iya, Sayang?” jawab Anton tanpa melirik sedikitpun pada Laras.“Mas … kamu lagi nelpon siapa?”“Aku mau nelpon Mbak Laras, Sayang.”“Laras? Aku dong?”Anton menghentikan kegiatannya sejenak setelah mendengar jawaban istrinya. Dia langsung menatap Laras dan tersenyum.“Maaf, Sayang. Maksud aku Mbak Mirah. Tadi ada tetangga desa yang ngabarin aku kalau Dahlia membuat ulah.”“Hah? Kenapa lagi dia, Mas?”“Dia mau menjual rumah Mbak Mirah.”“

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Dahlia, Sang Penguasa

    “Gimana, Ton? Apa kamu juga setuju dengan keputusan Mbak?”Mirah meminta saran dari adik iparnya itu. Ia ingin menyerahkan rumahnya dirawat oleh Bi Ningsih. Mirah sudah memutuskan untuk bekerja di sebuah panti sosial. Dia mendapat tawaran pekerjaan itu dari orang baik hati yang iba akan nasib Mirah. Wanita malang itu memang harus selalu berinteraksi dengan orang banyak agar kejiwaannya tak kembali kambuh. Lagipula, di panti itu, Mirah akan mendapat banyak teman sekaligus pendampingan, ceramah, pelatihan, untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat mental. Ibaratnya, sekali mendayung dua pulau terlampaui. Mirah akan bekerja sekaligus memulihkan kondisinya di tempat itu.“Memangnya Mbak sudah yakin ingin pindah dari desa ini?” tanya Anton.Mirah mengangguk dan tersenyum.“Iya, Ton. Aku gak bisa hidup sendirian di desa ini. Aku kesepian. Lebih baik, Mbak menerima tawaran dari teman Mbak itu.”“Tapi Mbak bisa kok ikut aku ke kota. Lagipula, keluarga Mas Bumi kan keluarga Mbak juga. Me

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Mirah di Desa

    (Oke, Bi. Besok saya pulang ke desa. Untuk malam ini, tolong bujuk Mbak Mirah untuk pulang ke rumahnya, ya.)“Iya, Ton. Salam buat Laras, ya. Semoga Ibu dan bayinya sehat-sehat. Selamat kalian sudah resmi menjadi orang tua.”(Iya, Bi. Terima kasih ucapan dan doanya.)Ningsih memutus sambungan telepon dengan Anton. Kemudian dia beralih kembali pada Mirah. Istri mendiang Bara itu, masih anteng duduk di teras rumah Laras. Dia menunggu kabar dari si empunya rumah.“Gimana, Bi? Apa Laras dan Anton sudah mau pulang?”“Anton baru bisa datang besok siang, Mir. Gak apa-apa, ‘kan? Kita tunggu dia besok, ya.”“Yaaah … jadi aku gak bisa ketemu mereka hari ini? Apa gak bisa dibujuk saja biar pulang hari ini juga, Bi? Ada yang mau aku bicarakan ke meraka. Penting.”“Sepertinya gak bisa, Mir. Laras baru saja melahirkan. Tentunya Anton sedang mendampingi anak dan istrinya kini.”“Apa? Laras sudah melahirkan, Bi?”Mata Mirah berkaca-kaca. Terlihat raut kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Dia terus

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status