Share

Perampasan

"Mas … boleh aku bicara?"

Embun mencoba mendekati suaminya di ruang tamu. Sejak tadi pagi, Bumi enggan berbicara dengan Embun. Mungkin pria itu masih banyak pikiran, termasuk masalah antara istrinya dengan ibunya.

"Iya … mau bicara apa?"

Bumi sudah mau bersuara, namun masih datar. Tak ada senyum yang terkembang seperti biasanya.

"Mas masih marah sama aku?" tanya Embun.

Bumi lantas menyuruh istrinya untuk menempati tempat duduk di sampingnya. Dia ingin menyelesaikan masalah tadi pagi.

"Masih marah sama aku, Mas?" Kembali Embun melontarkan tanya.

"Mas gak marah, Dek. Mas hanya ingin kamu mengerti. Kamu dan Ibu jangan bermusuhan lagi! Jangan bersitegang lagi! Jujur, kepala Mas pusing. Sudah capek kerja, di rumah juga harus mendapati masalah lagi."

Hembusan nafas Bumi di akhir kata, membuat Embun tertunduk. Dia merasa bersalah karena telah menambah beban suaminya. Tapi di sisi lain, Embun juga tak puas kalau hanya dia yang terus diminta mengerti.

"Mas belum mengirimkan Ibu uang, Dek. Jadi kamu tenang saja!"

Tiba-tiba Bumi jujur sebelum Embun bertanya. Mungkin pria itu bisa menerka pertanyaan lanjutan yang akan dilayangkan oleh istrinya itu. Jadi Bumi berinisiatif memberitahukannya terlebih dahulu.

"Kenapa?" Embun ingin tahu alasan suaminya yang tumben tak menuruti keinginan ibunya.

"Terlalu berat. Tabungan kita tinggal tiga juta. Gaji Mas tiap bulan juga lebih banyak dikasi ke Ibu. Sekarang Ibu minta nambah uang bulanan sebesar sepuluh juta. Bagaimana kita bisa hidup hanya dengan uang sisa sebesar dua juta tiap bulan?"

Dalam hati, Embun bersorak gembira. Akhirnya sang suami mulai disadarkan walau belum sepenuhnya.

"Lalu? Apa Ibu tak marah, Mas?"

Bumi terdiam. Sebenarnya, sepanjang hari ini dia terus diteror oleh sang ibu. Bahkan di kantor dia tak bisa fokus bekerja karena teleponnya terus berdering karena ulah ibunya.

"Ibu gak marah, Mas?" Embun kembali mengulang pertanyaannya. Dia sudah seperti berbicara dengan orang linglung. Terus mengulang tanya tanpa langsung mendapat jawaban.

"Marah. Biarlah! Mas pusing. Hanya saja, Mas minta sama kamu untuk jangan cari masalah dulu sama Ibu. Jika ia menelpon dan marah-marah sama kita, telan bulat-bulat perkataannya. Jika kita melawan, Ibu akan terus meneror kita. Tolong bantu Mas, ya! Mengalah dulu untuk sementara ini!"

Huft. Embun menghela nafas kasar. Dia tak boleh egois. Suaminya tentu jauh lebih pusing memikirkan dua wanita yang dicintainya terus bertengkar.

"Mas … aku boleh kerja lagi, gak? Atau gak, biarkan aku bekerja dari rumah saja."

Setelah beberapa menit dalam keadaan hening, Embun pun memecah suasana dengan pertanyaan yang mengejutkan bagi Bumi.

"Kerja lagi? Untuk apa? Bukannya kita sudah sepakat soal kewajiban masing-masing?" tanya Bumi dengan alis yang tertaut.

Benar. Tiga bulan setelah menikah, Bumi akhirnya kembali mendapat pekerjaan. Dia lantas meminta sang istri berhenti bekerja dan fokus dengan program kehamilan. Sebagai istri yang baik, tentu Embun menuruti keinginan suaminya. Dia tak menyangka kalau gaji suaminya yang sebesar itu tetap kurang untuk meraih mimpi-mimpi mereka. Karena apa? Untuk setoran bulanan yang tak masuk akal dari keluarga Bumi.

"Aku ingin membantumu memenuhi kebutuhan rumah tangga kita, Mas. Aku juga ingin kita meraih mimpi untuk punya usaha atau rumah hunian yang tetap."

Bumi terdiam. Dia merasa tersindir dan tertampar dalam waktu bersamaan. Sebagai suami, dia merasa tak adil pada istrinya. Lebih dari setengah gajinya dia serahkan pada keluarganya di rumah. Sedangkan mereka terkadang kehabisan uang sebelum akhir bulan. Tabungan yang selama ini dikumpulkan juga kerap Bumi ambil untuk diberikan pada ibunya di rumah. Katanya hanya pinjam. Tapi sampai sekarang tak kunjung dikembalikan.

—---------------

Tok

Tok

Tok

Embun yang sedang mencuci pakaian di kamar mandi, terkejut dengan suara ketukan pintu yang keras dan terus-menerus. Siapa itu? Apakah Bumi? Apa ada barang yang ketinggalan hingga dia balik lagi ke rumah?

"Iya sebentar …." Embun gegas mencuci tangannya dari sabun yang menempel. Untuk mengeringkannya, dia tak perlu handuk. Cukup menggosokkannya di daster rumahan yang dipakainya kini.

Ceklek

"Kenapa lama banget?"

Tanpa basa-basi, Bu Retno selaku mertua Embun langsung menamparnya dengan makian. Sesaat, setelah pintu berhasil dibuka.

"Maaf, Bu. Tadi Embun habis nyuci di belakang."

Iya. Semenjak keluarga suaminya terus menambah jumlah setoran bulanan yang ditagih dari mereka, Embun terpaksa menjual mesin cucinya hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka yang terkadang habis sebelum akhir bulan. Sedangkan uang telah lenyap karena diberikan pada mertuanya. Boros? Tidak. Justru Embun terbilang irit dan hemat. Tapi tetap saja mereka masih kekurangan.

"Buatkan Ibu teh!"

Bu Retno seperti ratu yang ingin dilayani. Embun menggeleng pelan. Dia tak beranjak dari tempatnya berdiri.

"Kenapa diem terus di sana? Buatin Ibu teh! Jauh-jauh datang kemari tapi tak disuguhi apapun."

"Di sini tak ada teh, Bu."

"Kalau gitu, buatin Ibu es sirup!"

"Tak ada juga, Bu."

"Apa? Semua tak ada? Istri macam apa kamu Embun? Jadi kamu menyuguhkan suami dan tamu kalian selama ini dengan apa?"

"Dengan seadanya. Air putih serta kue yang aku buat sendiri. Lagipula, kami di sini harus irit karena uang tak ada."

Embun mencoba berkata seperti itu untuk menyindir mertuanya.

"Kamu nyindir Ibu?"

"Enggak, Bu. Embun hanya berbicara fakta. Akhir-akhir ini kami memang selalu kekurangan uang."

"Ah … sudah lah! Diam kamu! Mana Bumi? Dari kemarin ditelponin tapi gak dijawab terus."

"Mas Bumi sudah berangkat kerja, Bu. Kebetulan dia ada shift pagi."

Bumi bekerja di salah satu hotel dengan posisi sebagai Manajer. Karena itulah, gajinya tergolong besar.

"Ooo …." Bu Retno hanya merespon singkat.

"Mau apa Ibu ke sini?" Tak sadar Embun lancang bertanya pada mertuanya.

"Lancang, ya, kamu. Memangnya Ibu tak boleh ke sini? Kontrakan ini kan milik anakku. Tenang saja, Ibu hanya sebentar. Tak sudi juga berlama-lama di sini. Ibu hanya mau mengambil hak Ibu. Setoran bulanan. Sesuai dengan jumlah yang Ibu minta kemarin. Sepuluh juta. Tak boleh kurang! Jika lebih, dimaklumi."

Apa-apaan ini? Bu Retno serupa rentenir yang menagih hutang pada peminjam.

"Kami tak ada uang, Bu. Mas Bumi juga berhutang di tempat lain. Gajinya bulan ini sebagian dipakai untuk membayar hutang ke temannya itu." Embun terpaksa berbohong. Tapi Bu Retno tak semudah itu dibohongi.

"Ha ha ha. Kamu tak pintar berbohong, Embun. Aku tahu siapa Bumi. Dia tak mungkin berhutang kesana-kemari. Terkecuali di bank."

Embun menelan ludah pelan. Ternyata Bu Retno begitu ahli membaca gerak-gerik orang. Apakah ini yang dinamakan berpengalaman soal asam garam kehidupan? Ataukah ia adalah seorang pembohong kelas kakap hingga bisa membedakan mana orang jujur dan tidak?

"Tapi Mas Bumi tak ada, Bu. Tolong lah! Jika Ibu adalah seorang Ibu yang baik, jangan membebani anakmu terus hingga dia stress. Mas Bumi sudah sangat pusing jika menyangkut soal uang, Bu." Embun tak ragu lagi menasehati mertuanya. Terdengar lancang, namun dia berusaha untuk membuat mertuanya sadar.

"Kamu nasehatin Ibu? Berani banget. Ah, sudah lah! Kalau Bumi tak ada, Ibu terpaksa mengambil satu set perhasian milikmu. Mana? Berikan pada Ibu!"

Deg! Embun kembali terkejut. Satu set perhiasan yang diberikan sebagai hadiah pernikahan oleh orang tuanya, kini akan diambil oleh mertuanya? Mana mungkin? Ini namanya perampasan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status