Share

Setoran Bulanan Untuk Mertua
Setoran Bulanan Untuk Mertua
Penulis: celotehcamar

Transfer, dong!

[Dek, sudah gajian, 'kan? Kirimin Ibu uang, dong! Ibu harus bayar hutang. Bekal adikmu juga sudah habis.]

[Oke, Bu. Nanti aku transfer ke rekening Ibu.]

Huft. Embun menghela nafas kasar setelah membaca percakapan antara suami dan mertuanya. Pesan yang selalu datang tiap awal bulan. Dan permintaan ini tak hanya datang sekali dalam sebulan, tapi berkali-kali. Ada saja alasan dari ibu mertuanya. Beras habis, bayar arisan, sampai dengan keinginannya yang wajib membeli baju baru tiap bulan. Semua itu, harus Bumi yang menanggung.

Lalu, dimana gaji pensiunan mendiang Ayah Bumi? Apakah selalu habis dalam sekejap? Hingga Retno, selaku Ibunda Bumi selalu membebankan kebutuhan rumah tangganya pada anak ketiganya itu.

"Sayang …."

Bumi yang baru keluar dari kamar mandi, heran melihat istrinya berdiri di samping nakas tempat tidurnya.

"Dek, kenapa?"

Karena tak kunjung mendapat jawaban, Bumi pun mendekati Embun agar bisa melihat wajah istrinya itu dari arah depan. Sedari tadi, Embun tak menyahut dan terus membelakanginya.

"Dek … dari tadi gak nyahut-nyahut."

Kini Bumi telah berhasil menyentuh istrinya. Seketika Embun terkesiap dan gugup hingga tak sengaja melemparkan ponsel suaminya ke atas tempat tidur.

"Nah … kepo sama isi di handphone Mas, ya?"

Bumi menggoda istrinya. Dia tak merasa tersinggung apalagi ketakutan saat tahu istrinya menggeledah ponselnya. Toh, di dalamnya tak ada bukti apapun yang akan membuat Embun marah. Bumi memang pria setia dan sangat menyayangi istrinya.

"Eh … e … enggak, Mas. Tadi gak sengaja aja."

Embun masih terlihat gugup. Perbuatannya selama ini tertangkap basah oleh suaminya. Dia malu sekaligus tak enak hati pada sang suami. Padahal dia mengecek ponsel Bumi bukan karena curiga suaminya itu berkhianat. Hanya saja, Embun terlalu penasaran dengan isi pesan yang selalu mertuanya kirim.

Bumi melihat ponsel yang tergeletak di ranjang. Pesan dari ibunya selama ini telah terbuka dan terlihat oleh mata. Dia baru tahu kalau sedari tadi istrinya terdiam karena melihat percakapannya dengan orang rumah via WA.

Bumi mengambil ponselnya. Sempat terdiam sesaat. Namun dia kembali mengangkat wajah dan tersenyum ke arah istrinya.

"Maaf, ya, Sayang. Kalau tabungan serta penghasilan Mas selama ini harus dibagi lagi dengan orang rumah. Tapi bukankah Mas sudah izin denganmu?"

Benar. Selama ini, Bumi memang izin pada Embun untuk membagi gajinya dan diberikan pada orang rumah. Tapi itu hanya untuk satu kali dalam sebulan. Bukan berkali-kali dan menjadikan Bumi sebagai penanggung jawab sepenuhnya untuk orang rumah. Padahal Ibu mertua Embun masih menerima pensiunan mendiang ayah mertua. Bukan mengandalkan Bumi selalu. Miris. Embun ingin berontak tapi takut dianggap tak berbakti pada mertua.

"Em … tapi, Mas." Embun sedikit ragu. Dia mencoba untuk menyusun kata agar sang suami tak salah paham dengan maksud ucapannya nanti.

"Tapi apa, Sayang? Katakan saja! Kamu keberatan? Nanti biar Mas berbicara sama Ibu."

Inilah yang membuat Embun begitu menghormati suaminya. Walaupun dalam rumah tangganya, hanya Bumi yang menghasilkan uang, tapi pria itu tetap menghargai sang istri.

"Bukan, Mas. Kita harus pikirkan masa depan kita juga! Toh, Ibu juga ada uang pensiunan. Kenapa kita tak batasin dulu kiriman uang ke orang rumah?"

Sesaat, Bumi terdiam. Ada perang batin dalam dirinya. Dia merasa perkataan Embun ada benarnya, tapi dia juga ingin membantu keluarganya yang kini tak punya kepala keluarga lagi setelah sang ayah meninggal.

—--------------

"Kok masih segini uangnya? Berarti Bumi belum transfer juga."

Bu Retno, selaku Ibunda Bumi, merasa cemas karena saldo di ATM-nya tak kunjung bertambah. Tak ada transferan dari kemarin.

"Mana udah ditagih hutang sama tetangga. Beras dan kebutuhan rumah juga sudah habis. Mana sih, Bumi? Dari kemarin suruh transfer, gak juga dilakuin. Lelet banget jadi orang. Kalau gini, aku kan jadi pusing."

Bu Retno mengacak-acak rambutnya. Ia terus menggerutu, menyalahkan anak ketiganya itu. Ia geram karena Bumi tak kunjung mengirimkan uang. Padahal masih banyak kebutuhan dirinya yang harus dipenuhi saat ini. Ia pun memutuskan menelpon Bumi.

Tuuuut

Tuuuut

Tuuuut

"Ini tersambung, kok. Tapi kok gak diangkat terus sama si Bumi?" Bu Retno menggerutu. Ia pun kembali menelpon anaknya untuk kedua kalinya.

Kali ini terangkat. Namun ini bukan suara Bumi.

"Halo, Bu." Ini adalah suara Embun.

"Loh … ini Embun?" tanya Bu Retno.

"Eh … iya, Bu. Mas Bumi masih sarapan."

"Kok agak gak sopan, ya, kamu? Berani banget jawab telepon suami. Kalau ini dari bosnya, apa kamu angkat juga? Sekalian goda, ya?"

Embun terdengar menghela nafas pelan. Pagi-pagi dia sudah dihadapkan dengan sindiran pedas dari sang mertua.

"Ada apa, Bu?" Embun terpaksa menelan bulat-bulat kata-kata menyakitkan dari mertuanya. Dia masih berusaha bersikap sopan.

"Kasi teleponnya ke Bumi! Malas sekali berbicara sama kamu. Ganggu mood-ku hari ini," ucap Bu Retno mengikuti gaya bicara anak muda masa kini.

"Memangnya mau bicara soal apa, Bu? Uang lagi? Mas Bumi bukan mesin ATM yang bisa memberikan ibu uang setiap saat."

Tak terasa, Embun nekat melawan sang mertua. Dia sudah geram dengan sikap Bu Retno yang bisa dibilang memeras anak dan menantunya.

"Hah? Apa kamu bilang? Coba katakan sekali lagi!" Bu Retno berteriak dari seberang telepon. Embun tak mau kalah, dia pun mengulang perkataan yang barusan dia ucapkan.

"Mas Bumi bukan mesin ATM, Bu. Tolong bilang sama anak Ibu yang lainnya untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah. Kami juga punya mimpi untuk keluarga kecil kami. Selama ini, kami bahkan harus irit karena Mas Bumi menuruti keinginan ibu terus. Bagaimana kami bisa punya rumah dan yang lainnya jika Ibu terus menggerogoti kami? Bahkan hanya sekedar kendaraan pun, Mas Bumi tak punya. Dia masih memakai kendaraan milikku, padahal gajinya cukup besar."

Embun menghela nafas kasar. Telepon dimatikan secara sepihak olehnya. Dia sudah tahu pasti sang mertua kini sedang memaki-makinya di tempat lain.

Di sisi lain, Bumi mendengar percakapan istri dan ibunya sejak tadi. Kebetulan Embun lupa mematikan loudspeaker teleponnya. Dia kini mendekati Embun dan mengambil ponselnya dengan sedikit kasar. Embun terkejut.

"Kamu tak seharusnya berkata kasar seperti itu pada Ibu. Aku setuju dengan saranmu kemarin, untuk membatasi uang yang akan dikirimkan pada orang rumah. Tapi bukan begini caranya. Aku tersinggung."

Bumi meninggalkan istrinya begitu saja. Embun serasa ingin berteriak. Suaminya kini justru kecewa terhadap dirinya. Apa mungkin Embun terlalu jahat? Ataukah ini wajar dilakukan pada mertua yang bahkan tak bisa menghargainya? Karena semakin nurut Embun, dia justru semakin diinjak-injak oleh mertuanya.

Telepon kembali berdering. Itu dari Bu Retno, mertua Embun. Kini Bumi yang menerimanya. Tapi Embun ikut melebarkan kuping agar bisa mendengar percakapan mereka.

"Ibu sakit hati, Bumi. Istrimu keterlaluan. Tolong ajari sopan santun padanya! Jangan berbicara sembarangan sama Ibu! Jadi benalu aja belagu. Sekarang kirimkan uang yang ibu minta. Sekalian saja kirim sepuluh juta!"

Deg! Embun merasakan sesak di dada. Sepuluh juta? Ibu mertuanya meminta sepuluh juta pada Bumi? Sedangkan Bumi hanya mendapat gaji sebesar dua belas juta rupiah per bulan.

Haruskah Bumi menuruti permintaan ibunya dan membuat keluarganya sendiri kelaparan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status