Home / Romansa / Seumur Hidup Terlalu Lama / 6. Bertemu Musuh Lama.

Share

6. Bertemu Musuh Lama.

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2025-08-04 09:42:12

“Halo, Bang Anton, Mas Thoriq,” sapa Uma sopan. Setelah dirinya dipilih Arya sebagai istri, kakak-kakaknya kembali menjalin hubungan dengan mantan pacar masing-masing.

“Halo juga, nona kecil yang sekarang sudah menjadi nyonya besar,” goda Anton. Uma terkekeh mendengarnya.

“Rasanya baru kemarin aku melihatmu memakai seragam SMA. Sekarang sudah menjadi istri dan ibu, ya?” Thoriq menatap Uma dari atas ke bawah. Dulu gaya Uma khas remaja belasan tahun. Namun sekarang Uma menjelma menjadi sosok sosialita papan atas.

“Iya, Mas. Aku sudah menjadi ibu-ibu sekarang,” Uma meringis. Ia tahu apa yang dipikirkan Thoriq—penampilannya kini tampak lebih tua dari usianya yang baru menginjak 21 tahun. Anton dan Thoriq pun tertawa kecil. Waktu cepat sekali 

“Kita jadi nonton nggak nih?” tanya Raima. Ia tampak bosan dengan candaan pacarnya dan Uma.

“Jadi dong, Ima. Tapi jalannya agak jauh, ya. Soalnya aku parkirnya di ujung. Halaman ini sudah dikuasai Alphard-nya Uma,” canda Thoriq.

Anton ikut menimpali,

“Kita juga harus jalan kaki. Aku parkir di belakang Thoriq. Nggak apa-apa, kan, Da? Kasta mobil kita beda sama Uma soalnya, jadi harus mengalah.”

Rauda dan Raima tertawa pendek, lalu memutar bola mata.

“Mobil sih boleh mewah, tapi pelitnya nauzubillah,” ujar Raima sinis.

Menanggapi sindiran itu, Uma hanya tersenyum kecil. Tapi Anton dan Thoriq saling melirik, lalu mengangguk paham. Kakak-adik ini rupanya sedang berselisih. Hal biasa. Bahkan mereka pun di rumah terkadang seperti itu. Tak perlu ditanggapi dengan serius. Nanti juga mereka akan berbaikan lagi. 

***

Jarum jam di ruang tengah menunjukkan pukul 14.15 ketika Uma berpamitan kepada ibunya. Ayahnya yang sempat terlalu gembira menyambut kedatangannya kini telah berbaring kelelahan. Setelah memastikan sang ayah tertidur dengan tenang di kamar, Uma mengambil tas besar yang tadi ia letakkan di ruang tamu, lalu berpamitan.

Permintaan Rauda agar ayahnya diberi ranjang seperti di rumah sakit, diam-diam menyulut sebuah ide di kepala Uma.

Pak Alwi—sopir keluarga suaminya—langsung membukakan pintu mobil begitu melihatnya melangkah keluar.

“Sudah selesai, Bu Uma?” tanyanya sopan, tangannya memegang gagang pintu.

Uma mengangguk pelan. “Iya. Ayah harus istirahat. Tadi kami terlalu semangat ngobrol.”

Pak Alwi mengangguk paham. Mobil pun melaju perlahan keluar gang menuju jalan raya. Namun belum jauh meninggalkan rumah, Uma bersuara dari kursi belakang.

“Pak, boleh kita singgah sebentar?”

“Ke mana, Bu?” tanya Pak Alwi, menoleh sejenak lewat kaca spion.

“Toko bahan kimia. Yang di depan minimarket itu, dekat perempatan.”

Pak Alwi tampak bingung. “Toko bahan kimia? Bukan ke pasar tradisional, Bu? Biasanya Ibu belanja ke sana.”

Uma tersenyum tipis. “Kali ini beda, Pak. Saya mau beli bahan-bahan untuk membuat sabun.”

“Sabun?” Pak Alwi menoleh lagi. Matanya tampak heran, tapi tetap sopan. “Sabun mandi maksud Ibu?”

Uma mengangguk. “Iya. Sabun mandi batang. Dulu, waktu sekolah, saya sering membuat sabun sendiri. Saya menjualnya ke teman-teman dan tetangga. Sekarang saya mau mencoba membuatnya lagi. Ini saya juga bawa peralatannya dari rumah orang tua.” Ia menunjuk bungkusan besar yang tadi ia bawa—di dalamnya ada mixer, wadah stainless, alat pemotong, dan cetakan sabun.

Pak Alwi melirik tas besar di samping Uma, lalu tertawa kecil. Bukan mengejek, tapi justru terdengar tulus dan penuh empati.

“Wah, Ibu kreatif, ya? Bagus sekali idenya. Selain bisa dipakai sendiri, siapa tahu bisa jadi cuan. Nanti kalau sabun-sabun buatan Ibu sudah jadi, saya adalah pelanggan pertama!” janji Pak Alwi serius.

Uma tertawa. “Tidak usah beli, Pak. Gratis kalau untuk Bapak.”

Pak Alwi berdecak. “Mana boleh begitu? Orang yang baru mulai usaha harus didukung, bukan dikasih gratisan. Lha wong Ibu membeli bahan-bahannya juga pakai uang.”

“Saya belinya juga buat istri dan anak gadis saya—Ira. Mereka sekarang senang memakai sabun dari bahan-bahan alami, katanya lebih aman, bebas bahan kimia. Kalau tahu sabunnya buatan Ibu, pasti mereka makin bangga memakainya,” tambah Pak Alwi, menyemangati.

“Terima kasih, Pak. Saya memang sungguh-sungguh ingin mencoba berdikari. Mulai dari yang kecil… siapa tahu bisa jadi besar.”

Pak Alwi mengangguk. Ia tahu, Uma tidak sedang bicara soal sabun semata. Ia paham betul kehidupan Uma—yang tampak glamor di luar, tapi di baliknya penuh keterbatasan dan tekanan. Ia tahu, karena ia sering menyaksikan sendiri bagaimana Arya dan Bu Mirna memperlakukan Uma dengan sangat tidak adil.

Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah toko kecil dengan papan nama Toko Kimia Jaya. Dulu, Uma sering belanja di sana. Harganya murah, dan toko ini bahkan buka di hari Minggu.

Uma turun dan masuk ke dalam. Dengan hati-hati, ia mulai memilih bahan-bahan yang dulu sangat ia kenal: sodium hydroxide, minyak kelapa, minyak zaitun, pewangi alami, serta cetakan sabun dari silikon. Semuanya ia bayar dengan uang dari dompet mungil—sisa-sisa jatah bulanan yang ia sisihkan diam-diam.

“Rahuma Kinanti? Ngapain kamu ke toko kimia? Mau membuat bom, ya?”

Sebuah suara bariton menembus pendengarannya. Uma cepat-cepat berbalik.

Gentala Hanenda. Kakak Arumi Hanenda, sahabatnya saat SMA.

Genta tidak banyak berubah. Masih sama—tampan rupawan, dengan sorot mata jahil yang khas.

“Iya, kalau yang aku beli itu Cottoclarin, Texapone, atau Na₂SO₄,” sahut Uma ketus. Dari dulu, ia memang tidak pernah menyukai Genta karena keusilannya.

“Eh, jangan salah. Bom itu tidak melulu terbuat dari Cottoclarin 5–10%, Texapone 10%, Na₂SO₄ 10–20%, Na₂CO₃ 35–50%, atau STPP 5–20%,” kata Genta, menyebut formula kimia dengan santai. Lalu ia menambahkan, “Kadang, bom bisa juga datang dari kabar anak baru lulus SMA yang langsung nikah sama om-om kaya.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   98. Akhir Bahagia ( End)

    Lima Tahun KemudianUma menatap bayangannya di depan cermin.Di sana tampak seraut wajah wanita muda penuh percaya diri, mengenakan kebaya khas wisuda berwarna gading lembut. Senyumnya merekah, matanya berbinar.Hari ini adalah hari yang sudah lama ia nantikan.Hari ketika ia resmi diwisuda sebagai seorang Sarjana Desain.Setelah perjalanan panjang dan berliku, setelah air mata, luka, dan pembuktian yang tak mudah, akhirnya ia berhasil menyelesaikan studinya di jurusan Tata Busana.Dari luar kamar terdengar suara lembut ibunya memanggil.“Uma… Genta sudah datang, Nak. Katanya kalian mau berangkat bersama.”Uma menatap pantulan dirinya sekali lagi, lalu menarik napas panjang. “Sebentar, Bu…”Ia mengambil tas tangannya dan segera keluar.Begitu membuka pintu, ia mendapati Genta sudah berdiri di ruang tamu, mengenakan batik biru tua dan senyum yang menenangkan seperti biasa. Tatapan itu masih sama — hangat, sabar, dan penuh cinta.“Siap, calon Sarjana Desain?” godanya lembut.Uma meringi

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   97. Semesta Punya Kuasa.

    Genta dan Uma telah sampai di rumah Bu Rahayu. Mobil tua itu berhenti perlahan di depan pagar besi yang berkarat, diselimuti bunga melati yang kini merambat hingga ke tiang teras.Uma terdiam di kursinya.Matanya menatap rumah itu lama sekali — rumah yang dulu menjadi saksi delapan belas tahun hidupnya.Rumah tempat ia tumbuh, bermimpi, dan akhirnya pergi dalam duka.Genta menoleh pelan. “Kita masuk?”Uma mengangguk. “Ini rumahku, tapi rasanya aku seperti pertama kalinya pulang,” ucap Uma dengan suara nyaris tak terdengar.“Kini kamu akan benar-benar pulang dan kembali mewujudkan mimpi-mimpimu dari sini,” Genta menyemangati Uma.“Bismillah.” Uma melangkah masuk. Seketika hawa rumah langsung menyergapnya — wangi sabun produksi kakak-kakaknya, sofa tua merah marun tempat mereka sekeluarga menonton televisi, berbagai macam piala dan penghargaan yang ia dapat di sekolah — semua masih terpajang rapi. Tiada yang berubah.Kecuali sosok ayahnya yang tak lagi menyambutnya saat ia pulang ke rum

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   96. Akhir Kisah Cinta.

    Di dalam mobil yang belum dihidupkan mesinnya, Genta menatap Uma dengan senyum lembut.“Bagaimana kalau kita mulai semuanya dari awal?”Uma mengangguk. “Tapi tanpa janji-janji harus menikah kapan, punya anak berapa, harus berhenti bekerja, dan sebagainya. Aku muak diatur-atur oleh laki-laki patriarki,” pungkas Uma tegas.Genta tertawa kecil. “Tentu saja. Kamu lupa dulu aku tidak menembakmu karena aku ingin kamu serius menggapai cita-cita, hm?” Genta mencubit cuping hidung Uma gemas. Dari zaman sekolah dulu, ia paling suka melihat Uma dalam mode tegas begini. Selain cantik ia tampak mempesona sekaligus cerdas. “Itu kan dulu, saat kita masih remaja. Sekarang usia kita sudah bertambah. Apa Mas sungguh-sungguh tidak keberatan menunggu hingga bertahun-tahun?” Uma menyipitkan mata, meragukan kesungguhan Genta.“Bagiku, dulu dan sekarang tidak ada bedanya. Aku mencintaimu beserta semua mimpi-mimpimu. Dan insyaallah, akan kita wujudkan bersama.”Uma menyipitkan mata. Kemurahhatian Genta nyar

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   95. Gerbang Kebebasan.

    Gerbang KebebasanPagi itu langit tampak cerah. Semilir angin Subang berembus lembut, membawa aroma basah tanah yang baru saja disiram embun. Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan gerbang Lapas Wanita. Dua orang pemuda dan tiga orang wanita turun dari mobil. Mereka adalah Anton, Thoriq, Bu Rahayu, Rauda, ​​dan Raima. Mereka berlima sudah tidak sabar menyambut kebebasan Uma.Pintu gerbang lapas tiba-tiba terbuka. Seorang perempuan muda melangkah keluar dari gerbang pintu. Ia menoleh sejenak pada pintu besi yang langsung tertutup rapat, seolah ingin mengucapkan selamat tinggal dengan pantas. Perempuan muda itu adalah Uma. Tubuhnya tampak lebih kurus, namun sorot matanya teduh. Ada ketenangan dan keputusan di sana—ketenangan yang lahir setelah berbulan-bulan menerima, memaafkan, dan belajar berdamai dengan diri sendiri.Begitu melihat kehadiran Uma, Bu Rahayu langsung berlari kecil dan memeluk putri bungsunya erat-erat. Kerinduan yang selama ini tertahan akhirnya terlampiaskan.“Ana

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   94. (Menjelang) Hari Bahagia.

    Setelah Sidang — Ruang Tahanan Kejaksaan Negeri SubangLangit sore di luar jendela sudah berwarna kelabu keemasan ketika Uma kembali ke ruang tahanannya. Petugas membuka pintu besi, mempersilakannya masuk, lalu menguncinya kembali. Suara logam yang mengunci itu terdengar nyaring, menggema di ruang sempit.Uma berdiri sejenak, menatap dinding kosong di hadapannya. Rasanya aneh — hari ini seharusnya menjadi puncak dari segala ketegangan yang menyesakkan, namun yang ia rasakan justru sebaliknya. Ia tenang sekali divonis satu tahun setengah penjara.Ia berjalan ke sudut ranjang, duduk perlahan, lalu menatap kedua tangannya yang pucat. Di sana, di dekat nadi, masih ada bekas goresan luka kecil yang dulu sempat ia buat sendiri — di malam setelah Adek pergi. Ia sempat ingin bunuh diri, sebelum akal sehat mengalahkan pikiran pendeknya.Uma baru saja ingin berbaring sejenak ketika seorang petugas menghampiri, membawa dua buah amplop berwarna putih.“Surat-surat untukmu. Sudah dari dua hari yan

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   93. Semua Ada Hikmahnya.

    Sidang Kelima — Pembacaan PutusanUma duduk di kursi terdakwa dengan wajah tenang. Jemarinya menggenggam tasbih kecil pemberian ibunya — sesuatu yang selalu ia bawa sejak persidangan pertama.Di sisi kanan, Daniel sebagai kuasa hukumnya membisikkan sesuatu pelan. Tapi telinga Uma sudah tidak benar-benar mendengar. Hatinya lebih sibuk mendengarkan suara langkah dan detak jam dinding yang menggema.Barisan pengunjung tampak penuh hari itu.Bu Rahayu duduk di deretan depan, diapit oleh Rauda dan Raima yang berkali-kali menyeka air mata.Arumi, sahabat yang tak pernah absen di setiap sidang, duduk tak jauh dari mereka. Di sebelah Arumi, Genta menunduk dalam diam — memanjatkan doa tanpa suara.Beberapa saat kemudian, Genta menegakkan kepala, menatap Uma yang juga tengah memandangnya dengan tatapan menguatkan. Sejak pertama kali Uma ditahan, ia tak pernah sekalipun meninggalkannya. Ia menghadiri setiap sidang, memberi Uma kekuatan — baik sebelum maupun sesudahnya.Di barisan belakang, Gunaw

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status