Share

Seusai Ikrar Talak
Seusai Ikrar Talak
Author: Efzet-el

bab satu

"Aku ingin bercerai." Ucapku seraya melemparkan map ke meja dihadapannya. Jean, wanita yang sudah dua tahun ini berstatus menjadi istriku. "Jean, bukankah dari awal aku sudah katakan bahwa pernikahan ini tidak akan bertahan lama?" Aku beralih duduk dihadapannya namun dia masih diam tak bergemim , matanya menatap map yang masih diatas meja. Wanita didepanku ini biasanya akan cerewet, sesekali menjawab setiap perdebatanku dan akan ia akhiri dengan senyum simpul pertanda tak peduli. "Jean!" Aku mulai menaikkan nada suaraku.

Jean tak seperti biasanya, dia hanya diam tanpa membantah ataupun menjawab permintaanku kali ini. Dua tahun hidup dengannya tidak banyak hal yang kita lakukan bersama, bahkan akupun tak ingin tau kegiatan apa saja yang dia lakukan setiap harinya. Sebaliknya, dia akan mencecarku banyak pertanyaan tentang hal tak penting yang kemudian akan aku jawab dengan nada tinggi untuk berhenti, dia selalu menganggu. Tapi hanya dia timpali dengam senyuman.

"Baiklah." dia berjalan gontai kekamarnya. Ya, sejak menikah kami memang memutuskan untuk mempunyai kamar sendiri-sendiri. Namun sesekali aku akan pergi kekamarnya sekedar meminta hakku sebagai suaminya dan sebaliknya memang tak ada paksaan darinya untuk memberikan kewajibannya sebagai istri. Sesaat kemudian dia kembali meletakkan sebuah bungkus kecil disebelah map yang kulempar tadi.

Aku mengambil benda pipih itu, garis merah dua yang terlihat jelas. Aku tau ini adalah alat tes kehamilan menunjukkan bahwa wanita dihadapanku ini tengah hamil. Kini giliranku tercekat, menatapnya tajam.

Kini dia mulai bergerak, mengambil map dan membukanya pelan kemudian tangannya mulai terarah untuk menandatanganinya. "Ada lagi mas?" Dia meletakkan kembali seperti sebelumnya. Aku menggeleng tanpa berucap sepatah katapun lalu dia kembali kekamarnya hingga terdengar suara kunci dari dalamnya.

Melirik jam didinding, memang sudah sangat malam tapi masih belum mau beranjak dari sini. Aku sendiri tak bisa memastikan perasaan apa yang harusnya kurasakan saat ini, seharusnya seorang suami akan bahagia mendapati kabar istrinya hamil kemudian memeluknya dan mengekspresikan kebahagiaan mereka dengan banyak hal.

Kali ini aku yang tak bisa lagi berfikir jernih mulai mengetuk pintunya, sangat lama tak ada jawaban darinya. "Aku tau kamu belum tidur, Jean!" Teriakku. "Aku bisa saja masuk menggunakan kunci cadangan atau memilih untuk mendobrak pintu ini." Aku masih berusaha.

Jean membukanya, lalu kembali masuk kedalam berbaring dibalik selimut dan aku mengamatinya dari sini. Biasanya dia akan membuka pintu dengan tersenyum menggoda seolah tau bahwa aku datang hanya ingin menuntut kewajibannya.

Aku menutup lagi pintunya, menghampirinya yang tidur menghadap samping. Melupakan kejadian barusan kemudian ikut berbaring disampingnya dan memeluknya dari belakang.

*

Ketika akhirnya mataku terasa berat harus dipaksakan terbuka oleh paparan sinar matahari berasal dari jendela yang tirainya terbuka. Mengedarkan pandangan sekejap, Jean sudah tidak lagi disebelahku. Biasanya dia akan membangunkanku saat subuh dengan handuk yang sudah melilit dikepalanya namun kali ini tak lagi.

Kita hanya berdua selama dua tahun ini, dirumah yang kubeli dari hasil kerja kerasku. Aku sengaja mengajaknya pindah kesini walau mama memaksa untuk ditemani. Tidak mungkin aku bisa menahan diri seolah menjadi pasangan suami istri yang saling menyayangi setiap harinya didepan orang tuaku.

Dari dalam kamar mandi kamar ini terdengar suara kran air yang menyala kecil, bergegas aku masuk kedalamnya yang memang tak dikunci. Kebiasaan buruk Jean memang tak pernah mengunci kamar mandi ketika didalamnya.

"Jean." Aku menghampirinya, mengelus pelan tengkuk lehernya. Ya, dia tengah membungkuk didepan wastafel. Rambutnya yang terurai ku ikat dengan karet rambut yang kutemukan disebelahnya. "Mau kubuatkan teh hangat?" Tanyaku yang hanya di jawab gelengan olehnya, tangannya mengusap bibir tipisnya lalu menutup kran air didepannya.

Tak ada suara darinya, bila sebelumnya dia akan dengan riang mengatakan sesuatu hal yang sangat tidak penting atau sesekali bersenandung yang akan tetap dia lanjutkan padahal aku sudah menyuruhnya berhenti.

Setelah dia kembali berbaring ditempat tidurnya, aku membenarkan selimutnya yang tak dia hiraukan sama sekali, aneh rasanya. Aku beranjak kedapur, Jean terbiasa memasakan banyak menu disini. Dengan semangatnya sudah memasukkan kotak bekal kedalam tas kerjaku dan terkadang membuatku kesal.

Ini kali pertamanya sejak aku menikah, menyeduh teh sendiri karena Jean sudah akan menyiapkan semua kebutuhanku walau aku memintanya tak perlu. Jean memang sangat keras kepala.

Kembali kekamar Jean, meletakkan secangkir teh panas dimeja sebelahnya. "Jean, minumlah dulu." Aku duduk disampingnya tapi dia tetap menutup matanya. "Minumlah." Sedikit memaksa dan Jean tetap mengacuhkanku.

Ponselku berdering dari sofa depan kamar Jean, aku melupakan benda itu semalaman. Kali ini aku yang mengacuhkan panggilan tersebut. "Setidaknya angkatlah, aku sangat pusing mendengarnya." Sejak semalam akhirnya mendengar suaranya lagi. Entah kali ini tanpa banyak pertimbangan menuruti perintahnya bergegas mengambil ponsel yang tergeletak diatas map yang semalam sudah ditandatangani Jean.

"Segara, ini sudah jam berapa? Kenapa kamu tidak masuk kerja?" Teriak suara tegas dari seberang. Sebagai anak tunggal aku memang tak perlu memikirkan karir diluar sana.

"Pa, Jean tak bisa kutinggal." Aku sangat tau, kedua orang tuaku akan sangat menuruti permintaanku bila berkenaan dengan perempuan yang masih kulihat berbaring ditempatnya.

"Kamu tidak sedang menjadikan Jean alasan kan?" Kali ini papa yang meninggikan suaranya.

"Kalau tidak, suruh mama datang kesini sajalah." Hingga akhirnya aku menutup telepon bersamaan dengan kesanggupan papa untuk meminta mama datang kesini.

Belum ada sepuluh menit sejak papa telepon tadi kali ini ponselku berdering dan memang sesuai tebakanku, panggilan dari mama. "Jean kenapa? Kamu apakan dia Gara?"

"Mama datang kerumah bawakan sarapan untuk Gara sekalian." Pintaku, tanpa banyak mengobrol akupun juga segera mematikan sambungannya. Hingga pandangaku kembali pada map diatas meja. Entahlah bagaimana dan akan kuapakan selanjutnya barang ini. Aku menuju kamarku membawa map ini, memasukkannya kelaci meja kerjaku. Seketika pandangan berhenti pada satu bingkai foto yang sengaja Jean letakkan diatas meja kerjaku.

"Kenapa ada foto karikatur pernikahan kita? Tanyaku sepulangnya dari kantor saat itu. Jean hanya tersenyum tetap sibuk menyiapkan makan malam. "Kamu yang meletakkanya?"

"Lucu sekali bukan?" Tak habis fikir dengannya. Begitulah dia akan selalu tersenyum tak pernah menanggapi amarahku setiap waktu. "Kalau foto itu hilang, akan kudenda kamu satu milyar." Aku hanya mencibir, bagaimana mungkin aku menanggapinya.

Entah sudah berapa kali aku memindahkan foto itu di laci, namun tetap akan berubah tempat kesemula setiap harinya. Jean memang tak peduli bahkan ketika terang-terangan aku mengecewakannya.

Kupandangi lekat foto yang sudah beralih ditanganku. Senyum Jean sama persis seperti setiap hari kulihat, namun sejak semalam bukan hanya senyumnya yang menghilang bahkan memandang wajahnya saja dia seperti tak memberi kesempatan. Ada rasa teriris yang tak bisa diungkapkan kali ini. Haruskah aku melanjutkan proses perceraian ini? Tapi bagaimana dengan nasib anak kami kelak?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status