Sejak kembali masuk kedalam kamar Jean. Nampak dia masih berbaring tetap menghadap samping dengan selimut tertutup sampai dadanya.
"Perlu kumatikan pendinginnya?" Entah sudah berapa pertanyaan yang terlontar dariku sejak tadi namun tak sekalipun dia menjawab selain dengan gelengan kepala. Ternyata begini rasanya bertanya tapi diacuhkan, sedangkan hampir setiap hari aku tak menghiraukan semua ucapan dari Jean. Aku bisa mendengar suara klakson mobil hinga berisiknya gerbang yang terbuka, pastilah mama sudah datang dengan supirnya. Bergegas aku keluar kamar ini menghampiri wanita setengah baya yang sudah nampak memasuki pintu utama. "Kenapa Jean?" Mata tua itu melotot seperti sudah siap keluar dari tempatnya. "Ini pasti ulahmu kan? Mama sudah katakan jangan gegabah, sudah mending dapat istri baik begitu masih aja kurang." Kemarin aku memang sempat datang kerumah mama sebelum akhirnya mengurusi semua berkas gugatan yang akan kudaftarkan ke pengadilan Agama. "Ma, biarkan Gara bicara dulu. Setelah itu barulah lihat kondisi Jean." Aku menarik pelan lengan mama menuju dapur, setidaknya aku bisa memastikan bahwa obrolan kita berdua nantinya tidak terdengar oleh Jean. "Jean hamil ma." Aku menyerahkan benda pipih pemberian Jean semalam yang sejak tadi pagi sudah berpindah kesaku celanaku. "Allahuakbar." Mama mencoba menahan teriakannya yang ia tutup dengan kedua tangannya. Nampak jelas kebahagiaan yang terpancar dari rautnya. "Akhirnya mama akan gendong cucu." Mama masih memandang bergantian antara aku dan benda pipih itu. "Tapi sepertinya Jean terlanjur marah denganku ma, dari semalam dia mendiamkanku." Aku berucap serius. "Jangan katakan kalau kamu sudah menyatakan talak Gara?" Aku tak menjawab dan hanya terpaku didepan mama. Kali ini mama memukul dadaku, aku melupakan rasa sakitnya. "Bodoh sekali." "Seandainya Gara tau kalau Jean hamil." Kali ini aku tak bisa melanjutkan ucapanku, aku seakan tenggelam dalam ketakutanku sendiri. Seandainya aku tak segegabah ini memutuskam akhir dari pernikahanku. Ya, pernikahan yang sangat tidak aku inginkan dari awal. Menikahi gadis pilihan orang tua tanpa perasaan cinta sama sekali. Kemarin aku masih dengan angkuhnya meminta Mattew, salah seorang tim pengacara keluarga untuk mengurus semua gugatan ceraiku. "Setidaknya bujuk Jean agar mau makan ma." Aku meraih kedua tangannya, memohon seperti anak kecil kepada ibunya. Mama mengusap air mata yang sempat menetes dengan sapu tangan yang sempat diambil dari tasnya. Kemudian berjalan tanpa mengucap lagi kata kepadaku. Jean memang kesayangan orang tuaku. Dia dengan mudahnya mencuri perhatian mereka bahkan mama sudah menganggapnya seperti putrinya sendiri. "Hallo sayang." Aku mengikuti mama hanya sampai pintu kamar, mengamati pergerakan dua orang didalamnya. "Mama bawakan bubur ayam yang biasa kamu titip ke Wahyu itu." Bisa kulihat Jean mulai menggerakan tubuhnya, berusaha untuk duduk. "Kamu kepengen apa biar dibelikan Wahyu." Jean hanya menggeleng, namu aku bisa melihat senyumnya ketika didekat mama sangat berbeda sekali ketika bersamaku tadi. "Ma, Jean pengen pulang kerumah." Ucap Jean, aku langsung tersentak begitupula mama yang duduk didepannya. "Kenapa? Segara menyakitimu?" Jean kembali menggeleng. "Lagian kamu mau pulang kemana?" Orang tua Jean sudah bercerai hampir lima belas tahun lamanya, keduanya sudah sama-sama memiliki kehidupan baru. Ibunya menikah dengan pria Dubai sedangkan ayahnya sudah pula menikahi perempuan seumuran Jean asal pulau seberang. "Mau pulang kerumah mama aja gimana?" "Jean pengen refreshing aja ma. Disini sepertinya mulai jenuh." Mungkin diamnya tadi adalah caranya mencari alasan pada mama. Ya, kami berdua memang seolah menutupi keadaan pernikahan ini pada mama padahal dibalik semua itu mama sudah paham dan seolah pula menutup mata dari keadaan yang sebenarnya. "Mama juga kadang jenuh dirumah sendirian. Kalau kamu pulang kerumah mama, pasti suasana rumah akan ramai." Mama berusaha merayu Jean, setidaknya pilihan ini lebih baik ketimbang membiarkannya disini sedangkan aku tak bisa menemaninya selama bekerja. "Ma, Hanya beberapa hari saja dirumah sendiri." Kali ini tak bisa diperdebatkan lagi, Jean pasti akam tetap pada pendiriannya. Sedang mama hanya diam tanpa bisa lagi menjawab. "Pulihkan dulu tenagamu. Setelah itu kita bahas lagi nanti." Mama berjalan keluar mengambil bungkusan yang ia letakkan dimeja tadi. "Mama nggak mungkin membiarkan Jean pulang sendiri kan?" Aku mengikutinya kala sosok itu menuju dampur kembali. "Itu kesalahan kamu, perempuan mana yang masih mau tinggal dengan suami yang sudah meminta cerai?" Kali ini mama meluapkan amarahnya kepadaku. "Bahkan dikeadaan seperti ini dia masih saja menutupi kesalah suami bodohnya ini, oh bukan suami tapi calon mantan suami." Mama kembali masuk kedalam kamar Jean, dan aku memilih untuk duduk disofa yang biasa Jean gunakan untuk bersantai ini. Melupakan sejenak permasalahan ini. Aku mengambil satu bungkus bubur ayam karena memang sudah sangat lapar. Membukanya malah meningatkanku pada kebiasaan Jean yang suka ngambek tidak jelas setiap aku sengaja lupa titpannya itu. "Aku sangat repot sekali. Kenapa tidak pergi membelinya sendiri saja." Ucapku setiap Jean mulai menanyakan kenapa aku tak membelikannya bubur ayam kesukaannya tersebut. Tak pernah kuhiraukan kekecewaan Jean, tak pernah pula aku menanggapi setiap permintan sepelenya. Kembali melahap makanan lembek ini dengan menutup mata. Berharap semua bayangan tentang Jean memudar. "Segara!" Teriak mama memanggilku, gegas aku menghampiri asal suara tersebut. Memasuki kamar Jean, nampak dia masih berusaha memakan bubur ayam tanpa memperdulikan kedatanganku. "Mama harus pulang, Jaga istrimu baik-baik" aku mengangguki perintah mama. Setelah akhirnya dua wanita tersebut saling berpamitan, kembali aku mengikuti mama keluar sampai pintu depan. Nampak pak Wahyu yang dengan sigap membukakan pintu mobil untuk tuannya tersebut. "Mama akan usahakan kalian pulang kerumah saja." Wanita itu sempat mengecup ubun-ubunku, kebiasaan yang memang sering mama lakukan denganku. Setelah kututup kembali gerbang kemudian langsung masuk kekamar Jean, dia tak nampak ditempat tidurnya. Langsung aku menuju pintu kamar mandi namun kali ini terkunci. Baiklah, setidaknya aku tau keberadaannya. Ku bereskan bekas makan Jean, merapikan tempatnya. Aku ahli dalam mebereskan kamar, kamarku terbiasa rapi bahkan aku melarang Jean untuk membereskannya sekalipun dalam keadaan kotor, sangat takut bila Jean hanya akan memperburuk tatanan kerapian dikamarku. Jean sudah selesai, keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk berbentuk baju dengan rambut yang basah. Dia masih tetap mengabaikanku, seolah kehadiranku dikamar ini hanyalah bayangan tak nampak. Duduk dikursi kecil depan kaca riasnya. Mulai memoles wajahnya dengan krim atau tabir surya entahlah, dan aku masih melanjutkan beberesku. Aku duduk dibelakangnya, diatas kasur empuknya. Seharusnya dia tau karena sangat jelas terpantul dikaca yang ada didepannya. "Sudah selesai diamnya?" Aku mulai bersuara, Jean masih terlihat merapikan rambut panjangnya dengan sisir menggerakkan tangannya dari ujung atas rambut hingga bawah. "Jean, suamimu sedang bertanya denganmu!""Jean, suamimu sedang berbicara denganmu." Sosok didepanku kini berbalik arah menghadapku. Tak ada jawaban atau bantahan lagi darinya, "Kamu terus mendiamkanku seharian." Aku sedikit melunak, namun Jean tetap tak bersuara Aku menghampirinya, duduk berlutut didepannya namun dia tetap tak menghiraukannya. "Jangan begini, rasanya gak enak." Aku meraih kedua tangannya, sempat kudengar helaan nafas berat dari sosok berbau wangi shampo didepanku ini. "Maafkan aku." "Iya." Hanya begitu, kemudian melepaskan tanganku. Jean beranjak menuju lemarinya, mengambil salah satu dari tumpukannya kemudian masuk kembali kedalam kamar mandi. Sungguh, belum ada sehari Jean mendiamkanku aku sudah kelabakan seperti ini. Bagaimana bila nantinya aku resmi berpisah dengannya? Namun bukankah dari awal aku memang sudah menginginkan perpisahan ini? Aku bahkan tidak pernah sebimbang ini. Jean selesai, mengenakan daster mini yang memang biasa ia kenakan dirumah. Kali ini aku memilih untu
Tepat adzan magrib saat akhirnya membelokkan mobil di tempat pengisian bahan bakar. Jean masih saja menutup matanya, bajunya sudah berganti dengan kaos polos dan celana panjang saat akan berangkat tadi. "Aku antar ke kamar mandi dulu sebelum shalat." Baru saja aku akan melepaskan sabuk pengamannya, namun dia seolah tau dan terlebih dahulu melepasnya. Jean bergegas akan membuka pintu mobil. Aku masih memandanginya saat akhirnya dia juga berbalik arah memandangku, ya pintu mobil belum ku buka kunci otomatisnya, kali ini aku tersenyum mengejek kearahnya. Ku buka pintu disebelahku kemudian bergegas keluar membukakan pintu untuknya. "Hati-hati istriku." Ucapku mengedipkan mata kearahnya, dia hanya memandang tak berekspresi. Jean beranjak, memberi isyarat kepadaku untuk membuka bagasi mobil dan langsung kuturuti perintahnya. Dia mengambil sebuah totebag terpisah yang sengaja disiapkan untuk perlengkapan shalatnya. Begitu pula aku, mengambil sarung yang kemudian sege
Setelah selesai berjamaah, seorang driver yang sudah menyelesaikan pesananku mengabari sudah menunggu didepan. "Maaf ya mas. Pasti tadi kesusahan mencari pesanan saya." Aku berucap bebarengan dengan sekantong kresek yang diberikan driver tersebut kepadaku. "Carinya gampang mas, antrinya itulo yang butuh waktu lama." Pria yang mungkin seumuranku tersebut tertawa, aku memberikan uang beserta tips untuknya. "Saya kira tidak akan menemukan makanan ini disini mas. Istri saya sedang hamil dan hanya mau makan ini katanya." Aku bernafas lega, mengintip makanan dalam kotak yang lengkap dengan jus tomat permintaannya. "Namanya orang hamil mas, sabar aja. Sebagai suami emang tugasnya nurutin ngidamnya istri biar dunia baik-baik saja." Akupun ikut tertawa, kemudian pria ini pamit untuk pergi begitupun aku yang segera kembali kekamar. Jean terlihat duduk dikursi, menyeduh teh panas yang kusiapkan tadi mungkin sudah dingin. Rambutnya dia ikat keatas, tanganny
Seusai makan Jean meminta untuk langsung kembali kehotel, tak lagi ada obrolan diantara kita setelahnya.Langsung saja kududuki kursi empuk yang terletak dipojok ruangan ini, mengamati setiap gerak geriknya sejak kembali kesini. Sudah berganti pakaian lagi dengan daster mininya, sudah selesai pula membersihkan diri dari kamar mandi kemudian duduk dikursi menghadap kaca, mengeluarkan pouch kecil yang ternyata berisi banyak sekali kebutuhan skincarenya."Sesibuk inikah kamu setiap mau tidur?" Kali ini biarlah aku yang berusaha membuat suasana diantara kita mencair. Jean hanya mengangguk, dan aku masih memikirkan topik apalagi yang akan kubahas kali ini.Baiklah, giliranku yang harus membersih diri. Akupun berganti pakaian menggunakan kaos pendek dan boxer pendek pula. Kali ini langsung merebahkan diri ke salah satu bed. Jean nampaknya sudah menyelesaikan ritualnya, memilih lampu dalam mode tidur dan ikut berbaring namun berada di bed seberangku.Jean sungguh tak memperdulikanku, segera
"Aku ingin bercerai." Ucapku seraya melemparkan map ke meja dihadapannya. Jean, wanita yang sudah dua tahun ini berstatus menjadi istriku. "Jean, bukankah dari awal aku sudah katakan bahwa pernikahan ini tidak akan bertahan lama?" Aku beralih duduk dihadapannya namun dia masih diam tak bergemim , matanya menatap map yang masih diatas meja. Wanita didepanku ini biasanya akan cerewet, sesekali menjawab setiap perdebatanku dan akan ia akhiri dengan senyum simpul pertanda tak peduli. "Jean!" Aku mulai menaikkan nada suaraku. Jean tak seperti biasanya, dia hanya diam tanpa membantah ataupun menjawab permintaanku kali ini. Dua tahun hidup dengannya tidak banyak hal yang kita lakukan bersama, bahkan akupun tak ingin tau kegiatan apa saja yang dia lakukan setiap harinya. Sebaliknya, dia akan mencecarku banyak pertanyaan tentang hal tak penting yang kemudian akan aku jawab dengan nada tinggi untuk berhenti, dia selalu menganggu. Tapi hanya dia timpali dengam senyuman. "Baik