Gemi bergegas mencekal lengan Lee ketika acara serah terima jabatan pagi ini telah usai. Ada beberapa hal, yang harus segera ia jernihkan, hingga tidak ada rasa penasaran lagi di hati Gemi.
“Mas, kita perlu bicara,” pinta Gemi nyaris berbisik dan ia melirik Lex sebentar seolah meminta persetujuan terlebih dahulu. Ketika Lex mengangguk samar, maka dari itu, berarti Gemi diberi waktu untuk membicarakan semuanya dengan Lee.
Lee pun mengangguk. Tidak melanjutkan langkahnya untuk keluar dari ruang meeting seperti karyawan yang lain. Bertahan, hingga semua orang keluar dan hanya menyisakan mereka berdua saja di dalamnya.
“Apa-apaan ini, Mas?” tanya Gemi seraya melangkah untuk menutup pintu ruang meeting. Ia tidak ingin pembicaraan mereka berdua sampai terdengar ke luar sana. Sampai detik ini, masih belum ada yang tahu kalau mereka adalah suami istri. “Kenapa aku curiga, kalau kepindahanku ke Jakarta, ada hubungannya dengan kamu ke Surabaya?”
Lee menarik kur
Chandie mengangguk patuh, ketika mendengar semua nasehat yang katakan oleh Lee melalui video call. Sesekali bibir mungil yang sedari tadi hanya melempar senyum itu, terbuka untuk menjawab dengan kata, ‘iya’. Sementara itu, di belakang Chandie yang tengah duduk bersila, sudah ada Gemi yang sibuk mengepang rambut gadis kecil yang sudah terbagi dua. “Jadi, papa pulang sabtu paginya?” Chandie memastikan lagi kepulangan sang papa dari Surabaya. “Nggak jadi jumat malamnya?” “Iya,” jawab Lee dengan sabar dan terus memerhatikan kedua wanita yang kini sudah memenuhi hatinya dari seberang sana. “Maaf, ya. Kerjaan Papa banyak banget di sini. Jadi, harus diselesaikan dulu.” “Iya,” jawab Chandie sembari mengangguk paham. Paling tidak, setiap minggunya keluarga kecil yang dimiliki Chandie bisa berkumpul lagi. “Yang patuh sama Mama, ya,” pesan Lee sekali lagi pada putrinya. Setelah itu, manik Lee fokus memandang Gemi dengan wajah polos, tanpa riasan
Setelah membayar ongkos taksinya, Lee buru-buru keluar dan memasuki rumah sakit dengan tergesa. Sesekali ia melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan, berharap dirinya belum terlambat sama sekali. Napas Lee pun terbuang lega, ketika melihat Chandie yang berdiri sembari menggoyang-goyangkan tubuhnya dari jauh. Kedua tangan putrinya itu, terlihat tengah berpegangan pada seorang wanita yang sedang duduk di ruang tunggu. “Untung belum terlambat.” Napas Lee sedikit tersengal ketika berhenti di samping Gemi, yang tengah menunggu giliran untuk memeriksakan kehamilannya. Seperti ucapan Lee kala itu, ia benar-benar menemani Gemi untuk memeriksakan kandungannya. Kali ini pun Chandie merengek untuk ikut, meskipun sudah dilarang karena khawatir akan pulang terlalu malam. Ini pertama kalinya Chandie punya kesempatan untuk ikut memeriksa kehamilan Gemi, karena itulah gadis kecil itu bersikeras untuk ikut ke rumah sakit. Dari jauh hari, Lee sudah menyusun
Setelah Chandie tertidur lelap, Gemi yang berada di sebelahnya belum bisa memejamkan mata. Pertemuannya dengan Aries di rumah sakit, benar-benar mengganggu pikirannya. Ada perasaan cemas, ketika Gemi membayangkan wajah anaknya kelak. Bagaimana jika paras anaknya nanti mirip dengan Aries?Memikirkannya saja, sudah membuat Gemi sakit kepala.Gemi kemudian bangkit dan beranjak untuk keluar dari kamar. Pergi menuju dapur untuk membuat segelas susu dan memakan pizza yang tadi sempat di beli ketika pulang dari rumah sakit.“Belum tidur, Gem?”Gemi yang tengah berjalan menuju dapur, menghentikan langkahnya. Menengok ke arah Lee dan melihat pria itu sedang menuruni anak tangga.Ketika Lee kembali ke Jakarta dan pulang ke rumah di ujung minggu, mereka berdua memang tinggal satu atap. Masih berlakon sebagai suami istri dan membohongi semua orang. Namun, keduanya masih ingat semua batasan yang ada.Lee selalu tidur di kamarnya di lantai dua
Lee terdiam tegang. Mendengar tiap kalimat yang lolos dari bibir Gemi, dengan penuh sesal. Ada sebuah lubang besar yang kini menganga lebar, karena sikap egois dan kasarnya dahulu kala. Harusnya, Lee bisa bersikap lebih bijak ketika menghadapi permasalahan yang menimpa hubungan mereka. “Siapa, Gem?” tanya Lee sembari meremas erat telapak tangan Gemi yang dingin dan terasa tremor. “Siapa dia? “ Sejauh ini, Gemi hanya menceritakan bahwa dirinya dijebak ketika tengah makan malam bersama sang mantan. Sampai Gemi berakhir, melakukan malam panas yang tidak diinginkannya sama sekali. Namun, Gemi menggeleng enggan untuk menanggapi pertanyaan Lee. Ia sama sekali tidak ingin mengungkap, bahwa Arieslah yang telah melakukan semua hal rendah tersebut. “Gem—” “Maas, please,” putus Gemi dengan helaan separuh lega, karena mengatakan semua hal yang pernah menimpanya sebelum mereka menikah. Ada sebagian beban yang hilang, meskipun rasa sesak itu masih saja meng
Gemi hampir tidak bisa menidurkan pikirannya semalaman. Ia tidak bisa menebak-nebak, apa yang tengah dipikirkan oleh Lee saat ini. Pria itu terlihat begitu tenang meskipun Gemi tahu, kalau semalam Lee benar-benar menekan seluruh emosi yang ada di dalam dada. Mengingat Geeta adalah sahabat dari mendiang istri Lee dahulu kala, Gemi yakin, kalau pembicaraan semalam dengan Lee, pasti sudah membuat pria itu syok. Lee juga terlihat lebih diam daripada kemarin-kemarin, ketika pria itu pulang dan menghabiskan liburan di rumah. “Mas, aku—“ “Ke mana Chandie?” putus Lee yang sedang berada di ruang tengah dan masih sibuk dengan tabletnya. “Masih telponan sama ibu di kamar, ada mbak Asri sama Raka juga di rumah,” Gemi menghampiri Lee yang ada di sofa dan duduk di sampingnya. Gemi menghela sejenak untuk menguatkan hati, setelah itu ia menoleh pada Lee yang masih saja menatap benda persegi yang ada di tangannya. “Soal semalem—“ “Nggak perlu dibahas,”
Kembali pindah ke Surabaya dan menempuh hidup baru, sepertinya bukan hal yang buruk. Meninggalkan semua masa lalu di belakang dan menjalani masa depan bersama keluarga kecil yang bahagia, tentu saja merupakan tawaran terbaik.Namun, masih ada beberapa tanggung jawab yang tidak bisa dilepas Gemi begitu saja di Metro. Gemi harus menjalankan dan merampungkan semua rencananya terlebih dahulu, barulah ia akan mengundurkan diri dari Metro.Atau, jika memang Pras berbaik hati, Gemi bisa saja kembali dipekerjakan di Metro Surabaya. Tentu saja dengan divisi yang berbeda dengan Lee. Itu pun, kalau Pras masih berkenan mempekerjakannya, jika tidak, Gemi juga tidak menuntut apapun. Mungkin, mencoba menjadi ibu rumah tangga yang baik untuk kedua anaknya, sudah cukup bagi Gemi.“Pagi, Bu Gemi,” satu sapaan ramah dari seorang gadis di balik meja front office, membuat Gemi berhenti sejenak.Pagi-pagi sekali, Lee sudah berangkat kembali ke Surabaya. Tentunya di
“Waktuku cuma sedikit.” Gemi bangkit dari sofa setelah Harsa keluar dari ruangannya dan menutup pintu. Gemi beranjak menuju meja kerja dan duduk pada kursi kebesarannya. Mengambil ponsel dan menghubungi Lee saat itu juga dalam senyap. Tanpa diketahui Aries sama sekali.“Rapat redaksi masih setengah jam lagi, Gem.” Aries pun ikut beranjak lalu duduk pada salah satu kursi yang berada tepat bersebrangan dengan Gemi.Meletakkan ponselnya yang sudah tersambung dengan Lee di balik kalender duduk yang ada di atas meja, Gemi lantas menarik kursi berodanya sedikit lebih maju. Ia menghela sejenak, lalu melirik benda pipih yang menyala di sampingnya sekilas.“Jadi, ada perlu apa sampai jauh-jauh datang ke sini?” Gemi benar-benar tidak ingin berbasa-basa dengan pria ambisius seperti Aries.“Aku telpon Rudi kemarin, dan dia bilang kamu sudah jadi pemred Metro sekarang. Selamat, ya!” ujar Aries dengan tulus. “Akhirn
Gemi yang baru selangkah keluar melewati pintu lobi Metro Ibukota, sontak menahan geramannya. Maniknya bersirobok tajam dengan Aries, yang baru saja terlihat menutup pintu mobilnya di parkiran. Pria itu dengan santainya berjalan menghampiri Gemi, yang berdiri mematung tepat di depan pintu lobi. Gemi sedikit menggeser tubuhnya ke pinggir pelataran kantor agar tidak menghalagi orang yang lalu lalang. “Mau apa lagi ke sini? Kamu mau kita jadi bahan gosip?” desis Gemi yang benar-benar memelankan suaranya. Maniknya pun sibuk berlari dan mengawasi tiap orang yang mungkin saja menaruh rasa curiga pada Gemi dan Aries. “Aku belum selesai bicara tadi pagi.” Pandangan Aries turun sejenak untuk memperhatikan perut Gemi yang memang tidak terlihat terlalu besar. “Masih ada hal yang harus kita bicarakan.” “Sudah aku bilang, ini anaknya mas Lee, suamiku,” tegas Gemi lalu melengos meninggalkan Aries begitu saja. Kalau begini terus-terusan, sepertinya Gemi akan