Sial, sial, sial, aku memaki dalam hati. Tanpa sadar bergerak cepat menutupi Owen dengan tubuhku dari pandangan pria besar itu.
Lewi telah mengunci sasarannya. Entah bagaimana mereka bisa sampai ke mari secepat ini, informasi dari mana? Ah, aku lupa ... jika jaringan pembunuh di Rumah Kayu bukan orang-orang biasa. Mereka pasti telah menemukan ahli lacak lain setelah Yuki tiada.
Dia berjalan cepat menuju ke arah kami. Tak seorang bodyguard pun bereaksi karena tak mengenal wajah si pembunuh. Lewi bersikap normal layaknya pengunjung lain. Sebentar-sebentar pura-pura melihat jajanan di pinggir jalan, tapi langkahnya menuju pasti ke arah kami.
Aku menekan telinga, earpiece telah terpasang untuk menghubungi Alpha tim B.
"Eve, dia datang. Arah jam sembilan. Pria berjanggut dan kacamata hitam," ujarku cepat.
"Kau yakin, bagaimana kau bisa mengenali mereka?" tanya Eve.
"Seratus persen, aku punya riwayat bertemu dengan salah satu dari mereka, te
Tangan si pembunuh terulur seakan hendak menyentuhku. Namun jemari panjang itu tak pernah sampai, seseorang menariknya dari balik kain tenda."No ... no ... no, jangan pergi!" teriakku parau, rasa sakit semakin tak tertahankan, bukan hanya di tubuhku, tapi di sini ... hatiku sakit. Sangat, sampai rasanya aku ingin mati saja. Mengapa, mengapa? Pertanyaan itu kembali menghantamku dan ketidakberdayaan mengungkungku di tempat aku berdiri.Axel, apa itu kau? Kau hidup lagi?Pikiran terakhir itu bernaung dalam benak yang mulai kacau balau. Suara berisik di sekitar seketika menjadi senyap. Owen masih menangis sambil mengguncang lenganku. Berusaha menahan tubuhku agar tak lari mengejar si pembunuh.Lalu ... semua tiba-tiba menjadi gelap. Tubuhku jatuh dan menimpa Owen, rasa sakit seketika menghilang.***Tahu pasti aku akan jatuh jika tetap melangkah maju.
"Jadi kau tinggal di sana, kau masih ingat lokasinya sekarang?" tanya George setelah kalimat terakhir keluar dari bibirku.Hanya si tua yang masih tetap seperti biasa, sementara para anggota lain terlihat murung. Well, meskipun tak kuterangkan secara detail apa yang terjadi dalam hidupku, lewat misi penerimaan dan sifat para anggota Rumah Kayu, mereka sudah bisa membayangkan bagaimana sulitnya hidup di tengah psikopat itu. Antara kau berhasil menjadi salah satu dari mereka ... atau menjadi gila.Setiap kali aku menyebutkan nama Axel, Owen bergerak canggung, matanya tak lepas dari wajahku. Entah apa yang dipikirkan anak ingusan ini di dalam benaknya."Sayangnya tidak, lokasinya di dalam hutan, tapi aku tak ingat di mana tempat itu berada. Setelah tinggal di dalam Rumah Kayu, aku tak pernah keluar lagi kecuali untuk misi pertama," jawabku."Aku akan menghubungi kakakku untuk mendapat perlindungan le
Entah apa yang berlabuh dalam pikiranku saat itu, mengundang apa yang seharusnya tak boleh dilakukan. Aku bodyguard-nya, pelindungnya, bukan kekasih Owen.Kemarahan membuncah menguras semua logika keluar dari otakku. Dia hidup, dia mempermainkan hidupku, dan mengapa aku masih hidup sampai detik ini? Apa karena Axel menyelamatkanku, menyuruhku pergi sejauh mungkin, atau karena dia sudah bosan padaku?Kalimatnya kembali bergaung, cerita tak masuk akalnya tentang ikan petarung yang bahkan membunuh kekasihnya sendiri. Hidup dalam kesendirian abadi. Apa dia merepresentasikan sosoknya saat itu? Dia ... tidak menginginkanku lagi.Aku membenamkan wajah ke dalam bantal, merasa sesak ini membantuku menghentikan pikiran buruk. Pedih, sakit. Seperti sesuatu menyalakan api di dalam dada. Terus berkobar menjilati semua organ tubuh, membakarku hidup-hidup.Sementara aku terbenam dalam tangis. Suara ketukan di pi
"Tidak apa-apa jika kau tidak mau." Aku menarik selimut menutupi tubuh setelah Owen selesai membelitkan perban baru, dan menggeser ke arah lain agar tidak berbaring di atas bekas darah. Kupikir, siapa yang suka berhubungan dengan gadis kaku sepertiku, bahkan di dalam sex, aku layaknya benda mati."Bukan itu. Aku sangat senang bisa menjadi pengalih rasa sakitmu, tapi El ...." Owen menyentuh noda merah di seprai. "Aku ingin kau juga menikmatinya. Aku ingin kau menerimaku.""Bukankah aku sudah menerima tubuhmu di dalamku." Kalimat vulgar itu membuat wajah Owen kembali memerah."Bukan itu, aku ingin hatimu.""Owen ...." Aku menatap mata biru itu sembari menghela napas lelah, "Eli ... sudah mati lima tahun yang lalu, kau tidak bisa memiliki hatinya lagi."Owen menekuk wajah, mengeraskan rahang lalu mengembuskan napas kalah. Ia bangkit, memberi kecupan ringan di keningku. "Aku akan menyuruh pela
"Got it!" Jawaban di ujung sambungan membuatku menghela napas sejenak. Kerinduan itu kini berganti rasa terhina dan marah.Sengaja kukecup pipi Owen sementara mataku terpatri pada wajah tampan Axel. Masih rupa yang sama, seolah usia enggan menjamah kulit mulusnya. Axel tak berpaling sekali pun. Mengunci tatapan ke arah kami.Owen terkejut mendapat reaksi agresif dariku, tepuk tangan hadirin menjadi satu-satunya suara berisik di ruangan ini. Mereka kira tindakanku merupakan jawaban atas pernyataan cinta Owen."Kita harus keluar sekarang," bisikku ke telinga Owen."Kenapa, kau ingin--" Pikiran kotor sepertinya mengontaminasi otak anak ingusan ini."Mereka di sini." Kalimat tersebut seketika membungkam kebahagiaan di binar mata biru Owen."Apa?""Bersikaplah sebagaimana biasanya, beri tahu ibumu diam-diam."Owen mengikuti perintahku,
Axel melepaskan pelukan eratnya. Tawa membahana segera terdengar setelah keterkejutan kami. Aku mengira anggota PPS telah tiba, tapi yang kulihat malah kehadiran Madam Ghie.Wanita berwajah oriental itu menggenakan gaun panjang berwarna hazelnut. Menonjolkan lekuk tubuh ramping dan riasan yang masih kuingat sejauh ini. Minimalis, cantik, dan elegan."Kalian kira aku agen PPS kan? Hei, Axel, apa gadis ini yang kau ceritakan kemarin?" Ia melangkah mendekati kami.Jemari lentik Madam Ghie memegang rahangku. "Ini bukan wajah si Manis. Ini bukan dia," putusnya."Suaranya," jawab Axel."Siapa namamu, Nak? Kau bukan Gregory Eli 'kan?" tanya Madam Ghie, ia menarik sebuah pisau kecil dan menekankan benda itu ke wajahku."Jangan." Axel memperingatkan Madam Ghie."Dia tahu tentang kita, dia harus mati atau menjadi anggota, maukah kau, hm?"U
"El!" panggil Owen sewaktu kakiku menjejak ke dalam ruang tamu keluarga Riley."Kau baik-baik saja?" tanyaku.Pandangan Owen jatuh pada garis darah di leherku. Ia mendekat dan langsung memelukku erat-erat."Kau terluka? Apa dia menyakitimu?" Bisa kurasakan detak jantung Owen bertalu kuat."Aku tidak apa-apa, hanya goresan kecil. Kau membuatku sesak."Owen tak jua melepaskan pelukannya."Owen?"Aku mendengar isakan tangis, Owen membenamkan wajah pada leherku. "Jangan tinggalkan aku, El. Aku takut kau terluka."Pernyataan itu membuatku terkesiap. Apa anak ingusan ini benar jatuh cinta padaku? Aku tak ingin menjerumuskannya pada cinta menyakitkan, kebohongan berupa pelarian."Tenanglah, tidak ada yang mati hari ini." Cukup enggan aku mengelus punggung Owen lamat-lamat.Owen mengurai pelukan kami. Menanamkan c
"Kau yakin ini yang terbaik, El? Kau tahu bisa mendapatkan promosi setelah kasus Owen selesai, mungkin saja menjadi bagian tim Alpha," protes Eve.Aku mengepak semua pakaian ke dalam koper. "Kita sudah membicarakannya kemarin Eve, aku sudah mengajukan resign.""Kau pergi begitu saja setelah lima tahun perjuangan, semua menjadi sia-sia, El." Jodi ikut menimpali. Mereka semua berkumpul di dalam kamarku di rumah Keluarga Riley."Ini hidupku," ucapku kasar.Mereka menggeleng frustrasi. "Terserahlah." George memilih keluar dari kamar."Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Boni, hanya dia yang menerima diriku keluar dari PPS tanpa protes."Entahlah, menjalani hidup," jawabku singkat. Semua barangku telah ter-packing rapi.Eve melihatku hendak beranjak pergi. Ia menarikku ke dalam pelukan hangat. "Sampai jumpa lagi.""Terima kasih, Eve." Ak