Share

Axel Sakit

Pria itu bangkit kembali seperti zombie. Darah menetes dari lukanya yang menganga lebar. Terutama pada bagian kepala. Layaknya keran bocor, likuid kental memberi tampilan mengerikan di sosoknya.

"Brengsek!" makinya sambil menendang Axel sekali lagi. Ia lalu menjambak kemeja Axel dan menghantamkan kepalanya ke kepala pemuda itu.

Tubrukan keras menyebabkan Axel terhuyung-huyung, tetapi tidak terjatuh karena si pria mesum masih mencengkeram pemuda itu.

Axel berusaha melawan dengan menendangkan kakinya ke sisi tubuh pria itu, membuat si pria melepaskan cengkeramannya.

Axel memutar tubuh dan memberi tendangan berputar ke kepala pria itu. Namun sayangnya, si pria sudah bersiap dengan ancang-ancang. Ia berhasil menangkap kaki Axel lalu memelintirnya, membuat Axel menjerit keras, sebelum membanting tubuh pemuda itu ke lantai. Axel terjerembap, kemudian jatuh berguling di tangga menuju ruang bawah tanah.

"AXEL!!!" teriakku panik, kudengar ia berteriak kesakitan di bawah sana.

Pria itu berlari menuruni tangga menuju lantai bawah tanah, bersiap menghabisi Axel. Dengan kalut aku mengikuti langkah mereka ke bawah. Tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu bagaimana cara menolong pemuda itu?

Saat aku tiba di sana, si pria atletis sudah menduduki Axel sambil menghajar wajahnya. Spontan, aku meraih lampu tidur di samping ranjang, lalu menghajar kepala pria itu dengan bagian tiangnya yang keras.

Pria itu berteriak sambil memegang bagian belakang kepalanya, darah di kepala mengucur semakin deras. Ia berbalik penuh amarah ke arahku. Terkejut. Tangan ini refleks melepaskan lampu tidur dalam genggaman.

Ia mengulurkan tangannya, kemudian mencengkeram leherku sekuat tenaga. Aku merasa sesak, megap-megap mencari udara. Tanganku mencakar-cakar lengannya. Pria itu sama sekali tidak peduli, semakin menguatkan cengkeramannya.

Saat kurasa kepala semakin ringan dan perlawananku semakin mengendur, aku tahu aku akan segera pingsan bila tidak segera mendapatkan oksigen. Bercak-bercak kegelapan mulai menyelimuti sudut mata, ketika kegelapan akan menyelimutiku sepenuhnya, aku melihat sebuah bayangan putih menarik cengkeraman tangan pria itu, membuatku jatuh dan terbatuk-batuk hebat.

Udara yang masuk serasa membakar tenggorokan. Aku mendengar suara tersedak, kemudian tubuh atletis pria itu jatuh tepat di depanku.

Darah muncrat dari luka di punggungnya dengan kapak besar yang menancap di sana. Masih terbatuk hebat, aku mendorong tubuh menjauhi genangan darah.

Axel berdiri di atas tubuh pria itu sambil mencabut kapaknya. Ia lalu menghunjamkan kapaknya sekali lagi, membelah batok kepala pria itu.

Aku menjerit, tetapi tidak ada suara yang keluar. Kupalingkan wajah sambil memejamkan mata kuat-kuat. Terlalu takut menyaksikan pemandangan di hadapanku.

Kurasakan sebuah tangan meraih dan memelukku. Kembali aku menjerit kuat, suaraku hilang dan terdengar serak. Gemetar hebat di tubuhku tak mau berhenti.

"Shhhh! Tidak apa-apa, tenanglah ... dia sudah mati."

Axel merengkuh tubuhku, aku menangis dalam pelukannya. Tak kuasa menolak meskipun ketakutan. Bau darah begitu memuakkan. Kepalaku berputar kuat, ragaku terasa semakin ringan dan tak berdaya. Entah berapa lama kami saling berpelukan seperti ini, hingga akhirnya tubuhku menyerah oleh lelah. Kelopak mataku memejam, lalu kegelapan menyelimutiku dengan tenang.

***

Cahaya menyapa terlampau terang saat aku terbangun keesokkan harinya. Mataku berkedip, menyesuaikan bias sinar. Pandanganku mengeja jam di dinding, pukul delapan pagi. Ah! aku sudah berada di ranjangku lagi.

Aku mengusap wajah, tekejut mendapati kedua tanganku bebas. Tanpa borgol yang biasanya melingkari lengan kanan.

Perlahan-lahan, ingatan kejadian tadi malam menyergap otakku. Secara spontan aku meraih leher, merasa masih tercekik. Kulit di sekitar area itu terasa sakit saat tersentuh jemari. Aku tahu area ini pasti memar dari intensitas sakitnya. Tanpa sadar napasku tercekat, rasa takut menyergap, membangunkan tremor di seluruh tubuh ini.

Aku meraup udara tergesa, duduk di tempat tidur sambil menenangkan diri.

Tanpa sengaja, sudut mataku menatap gerakkan di samping. Tubuhku terlonjak ke belakang. Betapa mudahnya aku terkejut. Itu hanya sosok Axel. Pemuda itu tengah tertidur nyenyak.

Axel membalikkan badan menghadap ke arahku, ia tampak terlelap, tetapi napasnya terdengar berat. Tangan pemuda itu menggenggam secarik besar kain merah. Kutarik perlahan kain itu dan akhirnya tersadar, itu adalah gaun yang kukenakan semalam.

Aku menilik dengan cepat ke arah tubuh ini. Mendapati diriku mengenakan baju Axel lagi, kaus putih polos dan celana kain pendek. Wajahku seketika terasa panas.

Berarti ... berarti dia yang mengganti bajuku semalam. Apa dia-?

Aku memukul kepalaku.

Jangan berpikir yang bukan-bukan. Ia tidak mungkin berbuat macam-macam padaku ....

Aku menatap wajahnya untuk mencari kepastian, takut juga apa yang kupikirkan ternyata benar.

Takut-takut, aku mengangkat kausku ke atas, mencari penampakan apa pun, aku tahu betapa konyolnya tindakan ini, tetapi statusku sebagai jomlo membuatku buta perihal sex dan sejenisnya. Aku memukul kepala kesal, ingatan memuakkan bibir pria mesum itu menyentuh bibirku kembali tergiang, ciuman pertamaku dicuri begitu saja, aku bahkan hampir menjadi korban pelecehan. Untung saja Axel datang tepat waktu, betapa bersyukurnya aku. Pemuda ini, menyelamatkan kehormatanku sebagai wanita.

Aku membelai kulit putihnya perlahan, menyadari wajah tampan Axel babak belur, pipi dan sudut mata besar itu membiru. Jemariku menelusuri warna-warni menyedihkan itu, jejak inflamasi juga mengembang di tulang pipi serta rahang persegi Axel. Anehnya, aku merasa kasihan melihat dia terluka.

Axel bergerak dalam tidur, seketika aku terlonjak, belum sempat menarik tanganku kembali, Ia sudah menggenggamnya era-erat.

Kukira pemuda itu terbangun, tetapi Ia hanya bergumam, masih tertidur lelap. Aku berusaha menarik tanganku kembali, genggamannya begitu kuat. Ia meletakkan tanganku di pipi dan menjadikannya bantal. Menggesekkan perlahan ke pipinya, perasaan hangat menyentuh relung hatiku. Tingkahnya seperti anak kecil yang memeluk boneka kesayangan.

Axel lalu mendesah berat, napasnya panas dan pipinya yang tersentuh oleh tanganku juga terasa membara.

Apa dia demam?

Dengan tangan kiriku, perlahan-lahan kutelusuri dahi pemuda itu. Tanganku tersentak karena suhu tubuhnya. Dahi Axel bagai terbakar. Sangat panas. Ia kembali menggumamkan sesuatu, mungkin mengigau karena demamnya. Mula-mula rintihan pelan, semakin lama berganti gumaman gelisah. Kelopak matanya bergerak, berkedut konstan. Bibir merah si pemuda pecah-pecah oleh dehidrasi dan juga terluka akibat pukulan lelaki mesum itu.

Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Batinku dilanda dilema.

Sebuah pikiran melintas di otakku, bukankah ini adalah kesempatan untuk kabur? Sementara aku tidak terikat sama sekali dan Axel sedang tidak sadar karena sakit.

Aku mulai kembali menurunkan kakiku ke lantai, lalu menarik tanganku perlahan dari genggamannya. Kali ini dengan sedikit sentakan kuat aku berhasil melepaskan diri.

Aku akan pergi, meninggalkan semua ini dan melupakan yang terjadi. Memulai semua dari awal, menata hidupku kembali.

Kakiku mulai melangkah ke arah pintu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status