Share

Masa Lalunya

Entah kenapa? Di sudut hati yang paling dalam, aku merasa berat meninggalkannya dalam kondisi seperti ini. Aku memukul sisi kepala dengan kuat, bingung oleh kecamuk di hati.

Apa yang akan kulakukan? Aku menatapnya dengan sedih. Betapa kesepiannya hidup pria ini, jika aku meninggalkannya, siapa yang akan merawat luka Axel? Lebih dari semua itu, aku pun merasa berutang budi, dia menyelamatkan kehormatanku. Harga diri bagi seorang gadis polos sepertiku.

Ia kembali berbicara dalam tidur, bergumam, "Jangan dan tolong aku." Secara spontan aku berbalik kembali ke ranjang dan menggenggam tangannya, berusaha menenangkannya dalam tidur. Menepuk lembut lengan si pembunuh sadis itu.

Mungkin kau akan menyebutku wanita paling bodoh sedunia. Ya ... aku bahkan ingin sekali memaki diriku sendiri, seharusnya aku mengikuti akal sehat dan meninggalkan tempat terkutuk ini, tetapi yang kulakukan malah bersimpati pada si pembunuh dan berusaha menolongnya, sementara ia bisa bangun kapan saja untuk membunuhku.

Apa yang kupikirkan? Beberapa kali aku membenturkan kepala ke tembok untuk berpikir jernih, tetapi hatiku tidak mengizinkan langkah kaki menjauhinya.

Apa aku sudah terjerat olehnya? Atau aku ... tidak--tidak--mungkin.

Apa aku telah jatuh cinta padanya ....

Ah ... ini sangat memalukan ....

Memikirkan hal seperti ini pada saat yang tidak tepat, tetapi apalah daya upayaku untuk menolak semua ini, menolak keinginan hatiku. Aku malah dengan senang hati mengompres kepalanya dengan air dan membubuhi obat pada lukanya menggunakan salep yang pernah dioleskannya pada lenganku. Perlahan dan hati-hati, takut pemuda tampan ini mengernyit sakit atau terbangun oleh sentuhan tanganku.

Axel sering mengucapkan kata, "tolong" dalam igauannya. Membuatku merasa aneh, apa yang ditakuti oleh seorang pembunuh sadis seperti Axel?

Mungkin Ia mempunyai masa lalu kelam, yang terus membayangi hidupnya. Sepertiku ...

perasaan bersalah segera menyergapku, bersalah karena kematian adikku .... Aku menggelengkan kepala, berusaha mengusir perasaan itu.

Namun sialnya, setiap perasaan itu mencekam, aku terlena tak berdaya oleh luka hati. Reminisensi mengambil alih. Sakit, setiap helaan napas menjadi duri dalam daging.

Kilasan perjuanganku dari desa menuju kota terukir jelas di balik kelopak yang berkedut, aku memejam, air mata mengalir tanpa bisa kuhentikan.

Kedua tanganku bertaut cemas, saling meremas, merasakan betapa kasarnya kulit sebagai seorang wanita, perjuangan sia-sia, ketidakadilan dunia membuat hidupku merana.

“Kenapa bukan kau saja yang meninggal, kenapa harus adikmu?” Kalimat Ibu terngiang, membuatku tersedak tangis pilu.

Apa aku menginginkan semua ini terjadi? Tidak! Apa aku tak pantas hidup? Begitu tak berharganyakah aku di mata Ibu. Hanya anak lelaki yang selalu dihargai dalam keluarga, dianggap sebagai penerus keturunan. Semua perjuangan demi membahagiakan mereka malah berbalik menjadi cambuk yang memecut, meninggalkan derai air mata tak terperi.

Pernahkan mereka memikirkan perasaanku, memikirkan betapa susahnya hidup di ibu kota tanpa siapa pun. Dihina, diperlakukan kasar dan difitnah hingga dipecat. Tak pernah kusampaikan semua kelesah itu.

Aku juga manusia, yang bisa terluka dan sakit, bukan robot tanpa hati, atau rasa Lelah. Tak seorang pun mengerti, tak seorang pun ….

Aku mengusap pergi air mata kesedihan, berusahan mengatur napas, menenangkan kecamuk jiwa. Lupakan semua, itu hanya masa lalu, asaku memaksa bangkit. Kembali lagi kulabuhkan pandang pada pemuda tampan itu.

Panas tubuh Axel segera membuat bajunya basah kuyup oleh keringat, perlahan kubuka bajunya. Wajahku memerah saat teringat Ia menghentikan wanita seksi yang dibunuhnya saat si wanita berusaha membuka baju Axel.

Apa Ia akan marah kalau aku melakukan hal yang sama? Tetapi kasihan juga bila bajunya tidak diganti.

Memberanikan diri, aku melanjutkan membuka kancing demi kancing.

Yang penting aku tidak berbuat macam-macam.

Pemandangan berikutnya yang kulihat membuatku terkesiap ngeri. Dada putih Axel tampak tergores-gores, lukanya membekas dalam. Mulai dari bawah tulang selangka, memanjang hingga ke perut ratanya.

Kutelusuri jari di atas bekas luka pemuda itu.

Apa yang terjadi padamu? Apa yang telah kau alami? Sehingga mendapat luka sebanyak ini.

Bekas luka terus mengarah ke punggung. Perlahan kubalikkan tubuhnya. Ia bergumam sebentar, sebelum terdiam kembali.

Aku tercekat. Lebih banyak lagi bekas luka di punggungnya, seperti luka karena cambukan yang kulihat di film-film penyiksaan zaman dahulu.

Lukanya besar, memanjang cukup dalam sehingga ada ceruk-ceruk kecil seperti anak sungai.

Semua ini membuatku tak habis pikir, bagaimana rasa sakit yang ditanggung Axel, tergores jari saja rasanya sudah menyakitkan, apalagi hingga membekas dalam. Daging tercukil hilang meninggalkan jejak bergelombang.

Pantas saja selama ini dia selalu memakai kemeja meskipun hari sangat panas, tak pernah sekali pun aku melihatnya mengenakan kaus tanpan lengan atau singlet dengan potongan leher rendah, padahal Axel berada di rumah sendiri.

Jadi inikah kenangan masa lalunya, inikah yang menyebabkan ia berkata tolong?

Aku merasa sangat penasaran dengan apa yang telah dialami Axel. Penasaran atas luka yang disandangnya. Aku ingin tahu tentang diri pemuda ini lebih jauh, terutama masa lalunya. Sebelum Ia berubah menjadi Axel yang kejam.

Aku bangkit dari tempat tidur dan melangkah ke arah lemari baju. Kubuka lemari bajunya dan mengeluarkan baju ganti, setelah bersusah payah mengganti baju axel, aku kembali lagi ke lemari itu.

Ada sebuah laci di lemari itu yang menarik perhatianku. Dengan kunci berbentuk aneh yang kurogoh dari saku celananya. Aku memberanikan diri membuka laci itu.

Tanganku bergerak cepat, takut tiba-tiba Ia terbangun dan menemukanku sedang menggeledah barang-barangnya. Di laci itu, aku menemukan sebuah pistol, beberapa pisau beragam bentuk, sekotak peluru, serta sebuah buku.

Dengan tangan gemetar aku mengeluarkan buku itu, kubuka halaman pertama yang isinya adalah nama-nama orang, profesi, serta umur mereka. Kubuka lagi halaman berikutnya, yang berisi tempelan kartu nama perusahaan. Kubuka lagi dengan cepat halaman-halaman berikutnya, tetapi tidak ada yang menyangkut masa lalu Axel. Di sini hanya terdapat catatan nama-nama orang dan kesalahan mereka, yang kuduga adalah nama mangsa-mangsanya.

Aku menghela napas kecewa, mengembalikan buku itu ke tempat semula. Masih tidak puas, kuobrak-abrik isi laci tersebut hingga bagian terdalamnya, karena terlalu keluar kutarik, menyebabkan laci itu jatuh ke bawah, yang untungnya berhasil kutangkap sebelum jatuh ke lantai.

Untunglah ....

Aku menarik napas lega.

Hampir saja ....

Kalau sampai laci ini jatuh, pasti Axel akan terbangun. Jantungku bertalu semakin cepat.

Huh! Apa itu?

Sebuah benda tampak tergeletak di bawah tempat sanggahan laci, perlahan kuletakkan laci itu ke lantai, lalu aku berdiri melihat benda apa itu.

Sebuah buku tipis berdebu tergeletak di sana, bahkan bagian tepi kertasnya sudah tampak menguning oleh waktu. Kutepuk-tepuk buku itu untuk menghilangkan debu, bau apek menguar dari sampul kulit berwarna cokelatnya, lalu ... kubuka halaman pertama ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status