Share

Menjadi Si Penggoda

Aku melangkah cepat ke ujung jalan. Agak malu dengan penampilanku yang sangat seksi. Mata-mata kurang ajar melemparkan tatapan menjijikkan ketika kaki ini melewati mereka.

Sebelum aku sampai ke tempat pria berjas biru itu, ia sudah menatapku lekat-lekat dari jauh. Ya ... kombinasi dari gaun merah mencolok dan baju seseksi ini, siapa yang tidak melihat kedatanganku. Bahkan kerlipan indah di sepatu mewah ini menarik atensi para wanita.

Aku berjalan ke arahnya perlahan, mengeja langkah lamat-lamat. Tahu dengan pasti Axel sedang memperhatikan kami saat ini.

"Hallo, Manis! Ada yang bisa kubantu?" ucapnya sambil memicing ke arah pahaku.

Jijik sekali mendengar lelaki itu memanggilku seperti ini. Panggilan serupa dengan yang diberikan Axel padaku.

"Ya …," jawabku sengaja menggantungkan suara, "kurasa … aku tersesat," tambahku malu-malu dan mengerling padanya.

Ok! Kuakui aktingku sangat memalukan, tidak pernah sekali pun seumur hidup aku menggoda lelaki, yang aku tahu hanya sebatas ini. Itu pun berasal dari drama percintaan yang kutonton di televisi. Kehidupan monoton penuh kerja keras menjeratku hingga aku melajang tanpa punya pengalaman percintaan.

Kurasa pria ini mengerti maksud kalimatku dan tahu aku hanya berpura-pura tersesat. Bodohnya aku, siapa yang sengaja tersesat di pasar malam, aku bahkan bukan turis, wajah lokal terpampang sangat jelas.

"Maukah Bapak mengantarku pulang? Akan kuberikan apa saja sebagai balasan terima kasih." Aku menunduk malu sambil menggigit bibir.

Sangat memalukan ... sangat memalukan, batinku. Andai aku bisa sembunyi di mana saja sekarang ini.

Pria mesum itu langsung tersenyum cerah. "Tentu saja. Ayo! Eh, tapi jangan memanggilku bapak, panggil nama saja, namaku Januar. Di mana rumahmu, Manis?" tanyanya sambil menggandeng lenganku tanpa permisi.

"Di sana!" Tunjukku, berusaha melepaskan gandengannya.

Pria itu menggerak-gerakkan kumis tipis yang serupa misai tikus. "Ah, jangan malu-malu." Ia menepuk bokongku perlahan.

Kurang ajar!

Jijik sekali aku melihat pria ini, tampangnya memang seperti om-om genit, meski tubuhnya lumayan bagus, sangat atletis. Otot dada tampak menyembul dari balik kaus putih polos ketat yang ia kenakan bersama jas biru langit. Gayanya pun sangat necis. Jauh di lubuk hati, kurasa ia lebih pantas mati dibanding anak kecil tak berdosa yang ditunjuk Axel.

Tangan si kurang ajar berusaha menyentuh tubuhku lagi, sebisa mungkin aku menggeser menjauh cukup sopan. Kami mulai menelusuri jalanan pasar malam menuju rumah Axel, hanya satu blok jauhnya dari tempat ini, jika aku tak salah mengingat.

Sesekali lelaki itu melemparkan guyonan garing selama perjalanan kami. Satu belokan simpang lagi, kami akhirnya tiba di rumah Axel. Rumah normal di komplek sunyi, rumah para tetangga berjarak cukup jauh satu sama lain. Terpisah oleh halaman dan pepohonan asri.

"Itu rumahku!" tunjukku.

"Ayo!" ajaknya, Ia semakin bersemangat, entah pikiran kotor apa yang bersemayam di dalam otaknya.

"Emn ... Pak!" ucapku, menghentikan langkahnya. Januar mengernyit tak senang. “Maksudku, Januar,” ralatku.

Aku ingin tahu satu hal, tidak tega membiarkan dia mati begitu saja, bagaimanapun juga, masih tertinggal belas kasihan di hatiku.

"Apa kamu sudah berkeluarga?"

Ia menatapku sejenak, bimbang. Menimbang, apakah ingin memberi tahuku atau tidak. Pria itu lalu menurunkan bibirnya di telingaku, berbisik perlahan, "Sebenarnya ... aku sudah punya istri dan dua orang anak yang lucu." Ia terkekeh. "Tapi tidak apa-apa 'kan? Kita hanya bersenang-senang." Lidahnya terjulur dan menggelitik ujung telingaku.

Aku terkejut, berusaha menjauh. "Januar! Sebaiknya kamu memikirkan istri dan anakmu, pulanglah sekarang!"

“Hei! Apa?” hardiknya marah.

Pulanglah demi dirimu sendiri, kalau tidak ... kau akan mati malam ini.

"Mereka pasti sedang menunggumu pulang. Selamat tinggal, terima kasih sudah mengantarku pulang," ucapku sambil membalikkan badan dan melangkah ke arah pintu. Tanpa menunggu balasannya.

Pergilah dengan cepat sebelum Axel datang ... kumohon ... kasihani keluargamu sendiri ... bila kau tidak pergi, kau akan mati.

Aku membuka pintu dan melangkah masuk. Kukira pria itu sudah pergi, ketika tiba-tiba sebuah tangan membekap mulutku dan menutup pintu di belakang kami.

Axel? Apa dia marah?

Tidak! Ternyata bukan, tangan ini bukan milik Axel. Telapak kulitnya kapalan, Axel tak memiliki itu. Tubuhku dihempaskan dengan kasar ke sofa.

"Apa yang-?" Kalimatku terputus saat tangan itu kembali membekap mulutku. Jemariku menggapai-gapai, berusaha menekan tombol lampu di samping sofa. Tanganku berhasil mencapai tombol lampu dan menghidupkannya. Cahaya menyinari sosok itu.

Kau!!!

Pria mesum itu ternyata tidak pergi, tangannya yang besar mengunci lenganku. Aku berusaha memberontak.

Apa yang akan dia lakukan?

Jemariku berusaha mencakar tubuhnya. Ia tersenyum licik, napasnya memburu di telingaku. Dengan berat tubuh dan tangan kekar berototnya, aku benar-benar tidak bisa berkutik. Ia lalu menurunkan bibir dan mencium leherku

Kurang ajar!

Aku memberontak semakin kuat. Menendang liar.

"Shhhh! Tenanglah, Sayang!" Ia menjulurkan lidah, menjilati bibirnya perlahan.

Tolong ... tolong ... aku!!!

Pria itu mulai merobek gaun merahku dengan sentakan kuat, dan mulai melucuti pakaiannya sendiri dengan tangan kiri, sambil masih mengunci kedua lenganku dengan tangan kanannya. Ia lalu menurunkan bibirnya ke bibirku.

"AXELLL!!! Tolong aku!" jeritku sekuat tenaga.

BUK!!!

Pria itu terhuyung-huyung dan jatuh ke sampingku, di bawah sofa. Ia menggeleng-gelengkan kepala sebentar, sebelum berbalik menghadap kepada penyerangnya.

Masih berlepotan air mata, aku melihat sosok Axel menjulang tinggi di atasku. Wajahnya sangat sulit dilukiskan, begitu marah dan menakutkan.

"Hey ... Mister," ucapnya kemudian, "jangan pernah menyentuh sesuatu yang menjadi milikku." Axel kembali mengayunkan stick golf yang dia pukulkan tadi.

Si pria berteriak perlahan sambil menangkis stick dengan lengannya. Segera saja terdengar bunyi keretak tulang patah diiringi jeritan pilu menyakitkan.

Axel tidak berhenti begitu saja, ia kembali menghantamkan stick itu berkali-kali; ke punggung, kaki, lengan, bahkan kepala pria itu.

Si pria menjerit menakutkan. Axel sudah lupa cara rapinya. Ia membabi buta, bahkan terus menyerang mangsanya bertubi-tubi di ruang tamu, bukan di ruang bawah tanah yang kedap suara.

Dengan jantung masih berdegup kencang, aku berusaha merapikan pakaianku yang sudah tidak karuan. Akhirnya pria itu tidak menjerit lagi setelah mendapat serangan bertubi-tubi. Axel menurunkan stick-nya sambil terengah-engah dan mengusap wajah tampannya perlahan. Ekspresi pemuda itu seolah ia baru terbangun dari mimpi buruk.

Axel melemparkan tatapan bingung, terkejut bahwa ia baru saja kehilangan kendali atas kesadarannya. Dengan gontai Axel membalikkan tubuh pria itu, darah mulai merembes dari luka terbuka di kepala. Genangan merah menodai karpet ruang tamu. Tubuhku menggigil ketakutan, sebisa mungkin aku merapat ke dinding, menjauhi mereka berdua.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Axel, mata besarnya menatapku lekat-lekat. Aku hanya bisa menganguk perlahan. Masih syok.

"Baguslah kalau be--ufhhhh!" Tubuh Axel terbanting ke samping diiringi oleh jeritanku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status