Pagi pun menjelang. Saat aku membuka mata setelah tertidur selama dua jam, Axel sudah menghilang dari tempat tidur kami.
Apa yang disiapkannya?
Apa yang direncanakannya?
Aku memegang kepalaku dengan takut.
Tanpa sadar kakiku menyentuh sesuatu di bawah ranjang, aku melongok ke bawah.
Sebuah piring berisi makanan diletakkan di sana, beserta segelas besar air dan secarik pesan.Makan pagimu, Axel!
Axel sebelumnya tidak pernah meninggalkanku pada saat pemberian makan, selalu mengawasi gerak-gerikku. Aneh sekali kali ini dia melakukan pengecualian. Dia bahkan menyediakan pispot urinal wanita di samping ranjang. Secara tidak langsung, ini menyiratkan bahwa dia akan pergi dalam waktu lama.
Setelah seharian menanti dengan takut, akhirnya sang pembunuh kembali. Ia masuk ke ruang bawah tanah dengan wajah berseri-seri, lalu melemparkan dua buah bungkusan ke atas kasurku.
"Ayo mandi!" ucapnya sambil membuka borgol, lalu menyampirkan handuk ke bahuku sambal menggiring langkahku ke kamar mandi.
Aku mencuri-curi pandang pada wajah tampan itu, penasaran dengan jalan pikirannya.
Ia bersiul pelan sambil mengamatiku mengguyur tubuh dengan air. Aku tidak bisa menahan diri lagi, tertekan oleh rasa ingin tahu.Jika aku akan mati, maka aku ingin tahu terlebih dahulu sebelum ia tiba-tiba membunuhku.
"Apa yang akan kau lakukan padaku?" tanyaku.
Axel tersenyum memesona. "Sesuatu yang spesial," ucapnya sambil memicing menatap tubuhku.
Aku menjadi jengah, baru teringat! Tubuhku masih tanpa pakaian sehelai pun, tapi malah mengajaknya berbicara.
Cepat-cepat kuselesaikan mandiku, lalu mengenakan handuk ke tubuh.
Axel menarik jemariku, kemudian mendudukkan tubuhku ke ranjang. Tangannya menjangkau bungkusan yang tadi dilemparkan begitu saja.
"Pakai ini, Manis!" Axel menyerahkan bungkusan itu.
Aku membuka bungkusan kantong kertas itu dan mendapati sebuah gaun berwarna merah sebatas paha di hadapanku, gaun halus berbahan elastis yang menyesuaikan dengan bentuk tubuh sang pemakai, di sana juga terdapat set perlengkapan make-up: dari lipstik, foundation, hingga pallet tiga puluh enam warna lengkap.
Aku menatapnya bingung. Selama ini ia hanya memberiku pakaian laki-laki, yang kutebak adalah pakaiannya sendiri, lalu kenapa sekarang Axel memberiku pakaian yang sangat seksi ini?"Pakai saja! Simpan semua pertanyaanmu. Semua akan terjawab nanti." Axel mengedipkan sebelah matanya.
“Ah, iya. Ini sepatumu!” Pria tampan itu kembali menyerahkan kantong kertas kedua ke tanganku. Sebuah sepatu sewarna gaun dengan heel setinggi sepuluh senti dihiasi butiran Swarovski. Indah sekali, berkelap-kelip ditimpa cahaya lampu.
"Rias wajahmu secantik mungkin," tambahnya. Axel menarik kursi, duduk, dan menungguku memulai aksi.
Aku meraih gaun merah, menggenakannya. Ternyata sangat pas di tubuh. Axel bahkan tahu ukuran tubuhku tanpa memastikan terlebih dahulu. Kemudian kurias wajah secantik mungkin, sesuai permintaannya.
Setelah persiapan selesai, ia mematutku dari atas sampai ke bawah dan menampilkan cengiran puas.
"Ayo, Manis! Kita akan pergi jalan-jalan keluar." Axel menggandeng tanganku, menarikku keluar dari ruang bawah tanah itu. Melewati undakan tangga menuju ke lantai atas. Axel membuka pintu depan. Ia mengulurkan tangan dan menautkan jemari kami.
Udara terbuka begitu segar ketika terhirup sampai ke paru-paruku, beberapa kali aku memejamkan mata menikmati momen ini.
Axel sama sekali tidak peduli dengan apa yang sedang aku lakukan, ia menarik tanganku dengan cepat, tidak membiarkanku berlama-lama menikmati angin malam.
Setelah lama terkurung di ruang bawah tanah yang pengap dan amis, senang sekali rasanya bisa menjejakkan kaki lagi ke dunia luar, lupa dengan apa yang mungkin direncanakan Axel.
Akhirnya kami tiba di sebuah pasar malam. Di sini, jalanan sangat ramai. Tenda-tenda pedangang kaki lima berjamur di mana-mana, menawarkan dagangan dengan teriakan khas masing-masing.Beberapa kali aku bahkan hampir jatuh tersenggol oleh orang lewat, beruntung Axel memegangku kuat-kuat.
Kulihat, banyak sekali gadis-gadis muda yang melewati kami, dan diam-diam mencuri pandang pada Axel. Aku tahu, mata mereka juga menatapku penuh iri.
Kenapa gadis biasa-biasa saja sepertiku bisa digandeng oleh pria setampan Axel? Mungkin mereka berpikir seperti itu. Oh! Andai saja mereka tahu seperti apa kelakuan pemuda itu. Kuyakin seratus persen, mereka akan lari terbirit-birit.
Tiba-tiba Axel menghentikan langkah di belokan jalan, lalu memutar tubuhnya sehingga kami berhadapan, dan menatapku lekat-lekat.
"Pergilah ke pria itu!" tunjuknya pada seorang pria di ujung jalan.
"Ya ... itu! Yang memakai jas biru muda, ajak dia ke rumah kita, Manis."
Aku menatapnya tak mengerti.
"Maksudku, gunakan segala cara untuk membawa dia ke rumah kita, kalau memang perlu, goda dia sedapat mungkin. Tawarkan sesuatu agar dia mau ikut denganmu, apa saja."
Tubuhku gemetar mendengar kalimat pemuda itu. Apa maksud Axel orang itu adalah sasaran berikutnya? Dan dia akan menggunakanku sebagai umpan?
Tawarkan apa saja katanya? Memangnya dia pikir aku wanita seperti apa? Semurahan itukah aku di mata Axel?Aku berusaha menahan air mata; takut, terhina, dan marah. Tanpa sedikitpun bergeming dari tempatku berdiri, menatap pemuda itu lekat-lekat.
"Apa saja?" tanyaku sarkas.
"Termasuk ... ini?" Kuturunkan tali bajuku sebelah, memperlihatkan tulang selangkaku pada si pemuda. Belahan gaun yang rendah bahkan hampir memperlihatkan bagian pribadiku.
Tangan Axel terulur cepat, segera membetulkan tali bajuku.
"Terserah kau saja!" ucapnya sambil memalingkan wajah.
Apa? Apa tadi dia malu?
Aku benar-benar tidak percaya dengan mataku, seolah perubahan mimiknya hanya fatamorgana, tetapi jelas sekali tadi rona merah sempat mewarnai wajah rupawan itu.
"Lakukan saja perintahku." Dalam sekejap saja, roman pemuda tampan itu berubah dingin.
Ow! Dinding pertahanan diri, dia pasti tidak ingin aku menyadari bahwa dia malu barusan.
Aku menggelengkan kepala perlahan. "Tidak mau! Jika kau mau, bawa saja dia sendiri. Aku bukan wanita yang bisa menggoda laki-laki," bantahku takut-takut. Jantungku berdetak tak karuan.
Ekspresinya langsung mengeras, ia mencengkeram bahuku sangat kuat. Menatap tepat ke dalam mataku. Sedingin es.
"Bawa dia ... atau anak itu akan kubunuh menggantikan pria itu, dan itu semua adalah salahmu. Karena kau sudah berani membantahku." Tangan Axel menuding seorang anak kecil tak jauh dari tempat kami berdiri.
Anak itu masih sangat kecil, kira-kira berusia lima tahun. Ia menggandeng lengan sang ibu dengan senyum semringah, balon merah tergenggam erat di jemari mungil itu. Bagaimana mungkin aku akan membiarkan hal itu terjadi. Anak kecil yang tidak bersalah akan mati oleh ketidakpatuhanku.
Axel menarik ujung pistolnya keluar dari balik jaket bajunya, mengancamku, dan membidikkannya tepat ke arah anak itu.
Aku akhirnya mengangguk terpaksa.
"Pergilah!" ujar Axel sambil mengedikkan kepala.
"Satu lagi!" tambahnya sambil menahan lenganku. "Jangan pernah berpaling, Manis. Ok?"
Aku mengangguk lagi, ia tidak ingin lokasinya diketahui, dan tidak ingin orang curiga padanya bila aku selalu menoleh ke belakang.
Tanganku bergerak merapikan rambut akibat tiupan angin malam. Gugup, kutarik gaunku yang pendek. Aku menarik napas panjang sebelum mengembus kuat dan memulai misi ini.
"Apa?" tanya Axel tak percaya."Aku mengandung anakmu, kau ingat waktu itu?" Aku menunduk malu, terlalu takut dengan penolakan dari bibir pria ini."Benarkah, sungguh!" Suaranya berubah penuh sukacita.Aku baru berani menatapnya. "Dokter baru memberitahuku tadi," lirihku."Milikku?""Ya, hanya kau yang melakukannya tanpa proteksi."Senyum merekah, wajah pria tampan itu seketika menguarkan cahaya kebahagiaan."Aku ... akan menjadi ayah?" tanyanya tak percaya."Ya," jawabku pelan.Axel berusaha meraih wajahku dan menanamkan kecupan pada keningku. "Aku mencintaimu, Eli. Kekasihku, separuh jiwaku."Hatiku bergetar, tersentuh oleh pernyataannya. Namun dalam sekejap, kebahagiaan itu sirna ketika Axel menyadari kenyataan di masa depan."Aku ... tidak akan bisa mendampingimu, membelikanmu makanan yang kau inginkan saat ngidam, aku ... tak bisa menggenggam tanganmu saat kau melahirkan bayi kita."
"Ms. Ellena, ini hasil pemeriksaannya." Dokter itu menatapku dengan senyum terkembang lebar pada bibir tipisnya."Ya," jawabku pelan. Masih merasa pusing setelah terbangun dari pingsan.Dokter melirik kehadiran George, Boni, Jodi, dan juga Eve."Tidak apa-apa, langsung katakan saja, Dok." pintaku."Selamat, Anda sedang mengandung.""Apa?" Seketika keempat rekanku berteriak terkejut."Maksud Dokter?""Ya, kandungan masih sangat kecil. Satu bulan."Apa? Bagaimana mungkin? Seketika bayangan pemaksaan itu kembali hadir dalam benak. Oh ya benar, Axel melakukannya tanpa proteksi waktu itu. Di saat seperti ini, kenapa harus terjadi."Selamat ya. Jaga kondisi, istirahat cukup agar morning sicknes tak semakin parah," pesan dokter itu sebelum pergi.Setelah pintu ditutup, Eve segera mendekatiku. "A
Jeritanku membahana membelah kericuhan di tengah baku tembak. Perlahan, priaku menoleh menatap tangan gemetar ini.Tidak. Bukan aku yang menembak. Kami telah dikelilingi para polisi berseragam anti peluru dari lantai empat. Asad, berikutnya mendapat tembakan setelah Axel, tepat di kepalanya. Pemuda berambut keriting itu jatuh dengan suara berdebum keras."Tenanglah, kau aman sekarang!" Seseorang memelukku dari belakang, menyeretku pergi sementara dalam kegamangan aku melihat Axel terhuyung jatuh bersimbah darah.Jiwaku seakan meninggalkan raga. Hampa. Kosong. Tanpa kehendak tubuhku dibawa pergi. Semua menjadi kesunyian abadi. Berkomat-kamit dalam gerak lambat membuatku berkedip bingung. Otakku tak mau mencerna. Tubuhku gemetar hebat. Dan kegelapan absolut menelanku dalam kedamaian.***Suara dengungan mesin membangunkanku. Aku mengedip bingung mencerna plafon putih di atas kepala.
Asap mengepul dari salah satu pojokan. Aku bisa melihat dari sini rombongan pria memakai rompi khusus sedang membidik ke arah tersebut.Jantungku bertalu semakin kuat. Memohon dalam hati semoga di sana Axel tidak berada. Aku merunduk saat melihat salah seorang dari mereka berbalik."Hei siapa itu?" teriaknya.Sial, dia melihatku. Aku berlari ke salah satu kamar dan menutupnya. Segera bersembunyi ke bawah tempat tidur.Langkah kaki terdengar mengejar di luar kamar. Berdentum seperti irama jantungku.Pergilah, kumohon. Suara tembakan lagi terdengar dari luar pintuku."Periksa setiap kamar!" Teriakan terdengar dari luar."Tidak! Mereka berada di sayap kiri. Lihat, mereka membalas tembakan! Di sini butuh bantuan!" Sahutan terdengar samar-samar."Satu orang memeriksa di sini! Sisanya bantu ke sayap kiri!" perintah sebuah suara berat.
Aku memberontak, lecetnya kulit tak kuhiraukan sama sekali. Semakin cepat aku membebaskan diri, kemungkinan dirinya selamat lebih besar. Apa pun itu, aku akan melakukannya demi Axel. Betapa bodohnya diriku, aku mengutuk dalam hati, tapi jeratan itu terlalu kuat untuk bisa kubebaskan. Benang takdir yang tak bisa kami putuskan. Cinta semenyakitkan ini. "Kumohon, sekali ini saja, bantu aku!" Aku memohon pada Yang Kuasa. Keajaiban yang kunanti, yang tak kunjung datang seumur hidup. Namun kali ini, keajaiban itu terjadi. Aku melihat lempengan besi kecil bagian dari sparepart jamku terjatuh tak jauh dari jangkauan. Menggunakan kaki aku menggapai benda kecil itu menuju lenganku. Bersyukur, tubuhku sefleksibel itu hingga bisa menjangkaunya. Menggunakan benda kecil itu aku mulai mengerat tali yang mengikatku ke ranjang. Dalam sepuluh menit kemudian semua tali sudah terlepas. Aku berla
Terbangun dalam pusing parah membuatku terbatuk-batuk. Udara berbau tak enak, apek dan lembap. Belum lagi ruangan yang gelap gulita.Aku berusaha menggerakkan tangan, tapi tak ada yang terjadi. Tubuhku bergeming. Apa ini? Tanganku terasa seperti diikat oleh tali."Axel?" panggilku parau. "Kau di sini?" Pipiku menyentuh seprai lembut. Dia membaringkanku ke tempat tidur. Kakiku juga terikat kuat dan terhubung pada ranjang."Axel!" teriakku marah. Dia membiusku dan mengikatku layaknya tawanan. Apa maunya pria sialan ini?"Apa maumu? Kuperingatkan kau, lepaskan aku sekarang!" Aku memberontak marah. Hidungku berdenyut nyeri saat aku berteriak.Lampu tiba-tiba dihidupkan. Terang benderang membuatku berkedip tak fokus demi menyesuaikan intensitas cahaya."El, apa ini?" Axel berjalan mendekat. Menatapku lekat-lekat.Ia mengangkat telepon gantungan kunci ke atas su