Beranda / Romansa / Shadow on me / bab 4. di antara sekat dan nafas

Share

bab 4. di antara sekat dan nafas

Penulis: Dwie_ina
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-10 01:11:33

Aira tahu dirinya tak akan pernah melihat apartemen itu dengan cara yang sama lagi.

Sudah lewat dua hari sejak malam saat Dante—dingin, kasar, dan tak bisa dilupakan—menjatuhkan batas di antara mereka. Dan kini, setiap sudut ruangan seolah menyimpan napasnya, setiap pantulan bayangan di jendela seakan menampakkan sosok tinggi tegap pria itu.

Ia duduk di meja makan kecilnya dengan secangkir kopi yang sudah dingin, menatap kosong ke arah pintu balkon yang tertutup rapat. Di luar, kota masih berdenyut, tapi Aira hanya bisa memikirkan satu hal—Dante, dan bagaimana pria itu meninggalkan bekas di tubuh dan pikirannya seperti luka yang tak terlihat, namun terasa menyiksa.

Brisik ketukan di pintu memecah lamunannya.

"Miss Aira?" suara berat itu lagi. Rasanya seperti déjà vu, tapi kini, Aira tidak berlari atau bersembunyi.

Ia membuka pintu, dan di sana berdiri Dante, lebih rapi dari malam itu, mengenakan kaus hitam yang menempel pas di dadanya dan celana jeans gelap. Hanya sorot matanya yang tetap sama—tajam, penuh kendali, dan seolah memerintah dunia untuk tunduk.

"Kita ada pertemuan dengan ayahmu jam sepuluh. Siapkan dirimu."

Nada suaranya netral, namun tubuhnya berdiri terlalu dekat. Aira bisa merasakan panas yang menjalari tulang rusuknya. Ia tidak menjawab, hanya berjalan pelan ke kamarnya, sadar betul bahwa Dante mengikutinya dengan langkah berat seperti singa menjaga mangsanya.

"Kenapa kau masuk?" tanyanya pelan, berdiri di depan lemari pakaian, jemarinya ragu menyentuh blus satin putih.

"Aku tidak akan membiarkanmu jalan sendiri ke ruangan pribadi. Kau sudah tahu itu."

"Tapi aku di apartemenku sendiri," katanya dengan nada memberontak, "Aku tahu apa yang kulakukan."

"Justru itu masalahnya," desah Dante, "Kau pikir kau tahu. Tapi kau selalu main api."

Aira memutar tubuhnya, menatap pria itu. "Mungkin aku memang ingin terbakar."

Senyuman Dante miring. Tidak hangat. Lebih menyerupai ancaman. "Jangan bilang itu, Aira. Kecuali kau benar-benar mengerti artinya."

Aira tidak menjawab. Ia berbalik lagi, mengambil blus dan berjalan menuju kamar mandi. Tapi sebelum ia menutup pintu, ia mendongak sedikit dan menatap bayangannya sendiri—wajahnya merah, napasnya tak teratur. Dan itu karena Dante. Lagi.

Kantor pusat Aira Tower berdiri megah di jantung kota, dengan lantai-lantai kaca yang berkilau keemasan ditimpa matahari pagi. Di lantai 28, ruang rapat utama sudah dipenuhi oleh petinggi-petinggi yang siap menilai putri pemilik perusahaan. Dan Dante berdiri beberapa langkah di belakang Aira, menjadi bayangan setianya.

Tapi hari ini, Aira tidak bermain peran sebagai putri manja.

Ia berdiri anggun, suara tegas, penuh visi. Membicarakan konsep kampanye digital terbaru untuk lini resort mewah milik perusahaan ayahnya. Setiap kata disusun rapi, setiap kalimat membuat orang diam dan mendengar.

Dante mengamatinya dalam diam, matanya tak pernah lepas.

Ia tahu, gadis itu jauh lebih cerdas dari yang orang pikirkan. Dan itulah yang membuatnya berbahaya. Pesona, kecerdasan, dan... godaan yang tak disengaja.

Pertemuan berakhir dengan tepukan tangan dan ekspresi puas. Tapi ketika semua mulai membubarkan diri, suara berat ayah Aira memanggil. "Kau punya waktu lima menit?"

Dante menoleh pelan. Tapi ayah Aira tak menatapnya—ia menatap Aira. "Tanpa bodyguard-mu."

Aira menahan napas. Ia melirik ke arah Dante, lalu masuk ke ruang kerja ayahnya. Pintu tertutup. Dante tetap di luar, berdiri seperti patung, tapi pikirannya berputar.

Beberapa menit kemudian, Aira keluar. Wajahnya sedikit tegang, tapi ia berjalan dengan langkah pasti. Dante langsung mendekat.

"Ada masalah?"

Ia menggeleng. "Tidak. Tapi... ayah akan menyuruh seseorang bergabung dengan kita minggu depan."

"Siapa?"

"Adrian. Tunanganku."

Dunia seperti berhenti sebentar.

Dante tak menunjukkan ekspresi apa pun. Tapi rahangnya mengeras.

"Aku pikir itu sudah dibatalkan," katanya dingin.

"Ayah ingin memperbaiki hubungan bisnis. Dan menurutnya, menikah denganku adalah cara tercepat mengikat merger baru. Aku... tak punya suara."

"Kau selalu punya suara. Kau hanya takut menggunakannya."

"Dan kau apa? Kau pikir aku bisa menolak semuanya dan hidup bebas seperti—"

"Aku tidak pernah bebas, Aira." Suaranya mendadak pelan, hampir menyakitkan. "Tapi aku tahu saat harus melawan."

Aira tak menjawab. Ia menunduk, lalu berjalan mendahului pria itu. Tapi sebelum mereka keluar dari ruangan, ia berbisik lirih tanpa menoleh, "Adrian akan ikut perjalanan ke Seminyak minggu depan. Bersiaplah... mungkin kau akan melihatku bersikap sebagai calon istri."

Malam itu, hujan turun seperti air mata. Aira berdiri di balkon apartemennya dengan secangkir wine merah. Tubuhnya hanya dibalut tank top putih dan celana pendek. Dingin menggigit, tapi ia membiarkannya.

Di dalam, Dante duduk di sofa, mencoba fokus membaca file digital yang dikirim tim keamanan. Tapi sorot matanya sesekali terangkat. Ia bisa melihat siluet tubuh Aira, basah oleh kabut hujan, bahunya gemetar.

"Masuk," katanya keras, "Kau bisa sakit."

Aira membalikkan badan. "Biar saja. Setidaknya aku akan punya alasan tidak menemui Adrian."

"Kau ingin aku menyelamatkanmu lagi?"

Ia melangkah perlahan, memasuki ruang dalam, mendekati Dante. "Kau tidak menyelamatkanku malam itu. Kau membuatku jatuh lebih dalam."

Nafas Dante tertahan. Tubuhnya tegang.

Aira berdiri di hadapannya, menantang. "Kau tahu apa yang terjadi kalau kau terus di sini, kan?"

"Aku tahu."

"Kau akan kehilangan kendali lagi."

"Aku selalu punya kendali," katanya, namun suaranya mulai serak.

Aira mendekat. Duduk di pangkuannya. "Buktikan."

Dan untuk pertama kalinya sejak malam itu, Dante membiarkan dirinya pecah.

Tangannya mengunci di pinggang Aira, bibirnya menemukan leher basah itu dengan tekanan kasar. Aira mendesah, tubuhnya melemas, membiarkan pria itu menguasai setiap inci dari dirinya.

Tapi saat mereka hampir tenggelam lagi dalam gelombang yang sama...

Ponsel Aira bergetar. Nama di layar: Adrian.

Aira terpaku.

Dante menatapnya, rahangnya mengencang. Tapi ia tidak berkata apa-apa. Hanya berdiri, menarik napas panjang, dan pergi ke kamar sebelah. Meninggalkan Aira dengan dada sesak dan panggilan yang belum dijawab.

Satu jam kemudian, Aira duduk di sofa, rambutnya kering, tubuhnya dibungkus sweater, namun jiwanya tak utuh.

Pintu kamarnya terbuka sedikit.

Dante menatapnya dari ambang pintu. Tatapannya tenang, namun matanya gelap. "Aku akan keluar malam ini. Jangan pergi ke mana-mana."

"Ke mana kau pergi?"

"Latihan."

"Biar aku tebak. Tinju? Atau... wanita?"

Dante menoleh tajam. Tapi kali ini, senyumnya tipis, menyedihkan. "Kau pikir aku bisa menyentuh wanita lain setelah menyentuhmu?"

Pintu ditutup.

Dan Aira pun menyadari, malam itu bukan hanya tubuhnya yang ditinggalkan. Tapi juga hatinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Shadow on me   bab 28. stasiun yang terkubur waktu

    Angin pagi menyusup masuk ke sela-sela jaket mereka saat kelima pejuang itu berjalan menyusuri hutan jarang menuju reruntuhan Stasiun Varra—sebuah bangunan kuno yang konon pernah digunakan sebagai tempat penyimpanan data awal sistem pemetaan cinta. Bangunan itu ditinggalkan sejak lebih dari satu dekade lalu, dikabarkan ambruk karena kebakaran misterius. Namun bagi Leona, tempat itu lebih dari sekadar reruntuhan. Ia menyebutnya “akar dari segalanya”.“Tempat ini yang pertama kali memproses basis data emosi,” jelas Leona sembari menatap peta digital dari gawai kecilnya. “Di sinilah algoritma awal dikembangkan sebelum dipindahkan ke server utama pemerintah pusat.”Aira mengerutkan kening. “Jadi di tempat ini... manusia pertama kali mulai dipelajari seperti objek?”“Ya,” jawab Leona lirih. “Dipetakan. Diberi nilai. Lalu diarahkan seperti boneka.”Langkah mereka berhenti di depan sebuah dinding beton besar yang penuh semak merambat. Dante mengamati permukaan kusam itu dan menemukan celah l

  • Shadow on me   bab 27. denting yang tak bisa dibungkam

    Sungai kecil di balik bukit itu membawa air yang dingin dan beraroma lumut. Aira menggigil, menahan napas sambil menyusuri arus dangkal bersama Dante, Lana, Leona, dan Joel. Langit mulai menggelap, namun tidak benar-benar gelap—sisa-sisa siaran yang tadi mereka pancarkan masih terasa, seperti arus listrik halus yang mengalir dalam udara malam.Mereka berjalan beriringan, tidak bicara, hanya suara gemericik air dan napas yang berat yang mengisi keheningan. Tubuh mereka lelah, tapi hati mereka penuh.Saat mereka akhirnya mencapai tebing rendah di sisi timur, Leona memberi isyarat berhenti. Mereka berlindung di balik formasi batu-batu alam, duduk berjajar, menggeliat mengeringkan pakaian dan peralatan.“Ini akan membekas,” gumam Joel sambil membuka bagian bawah tasnya yang basah kuyup, memperlihatkan alat komunikasi kecil yang masih menyala.Dante mengangguk. “Bukan hanya karena kita hampir mati. Tapi karena siaran itu… sampai.”Leona mengusap rambut basahnya ke belakang. “Tiga jaringan

  • Shadow on me   bab 26. menara yang menunggu nyala

    Langit tampak pucat saat matahari menggeliat dari balik awan, menyinari jalan setapak penuh batu tajam dan reruntuhan logam. Angin di perbukitan utara berembus dingin, membawa bau karat dan abu dari menara tua yang menjulang jauh di atas sana.Mereka berenam mendaki dalam diam. Setiap langkah diatur dengan waspada. Leona memimpin, diikuti oleh Joel yang membawa perangkat siaran dalam tas hitam. Di belakang mereka, Aira dan Dante berjalan beriringan, sementara Lana menjaga posisi paling belakang dengan mata tajam dan tangan siap di senjata api kecilnya.“Menara itu dulunya milik penyiar independen,” kata Leona tanpa menoleh. “Tapi setelah penggabungan sistem, sinyalnya dipadamkan dan lokasinya dikunci. Sekarang, satu-satunya yang tersisa adalah struktur usang dan... jejak sinyal yang kadang masih menyala sendiri.”“Seolah tempat itu belum siap mati,” gumam Dante.Leona berhenti mendadak di balik semak berduri. Ia berjongkok dan mengangkat tangan. “Penjaga.”Dari atas, tampak dua orang

  • Shadow on me   bab 25. pantulan yang tak pernah ilang

    Malam belum benar-benar surut saat Aira berdiri di depan monitor besar dalam ruangan bawah tanah. Gema suara-suara sistem terdengar seperti napas terakhir dari bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan. Pipa-pipa menggantung di atas kepala mereka, dan suara tetesan air mengiringi detak jantung yang semakin tak karuan.Di layar, wajah Aira terekam secara langsung.Joel berdiri di balik konsol kendali, jari-jarinya cepat menari di atas keyboard. Dante mengawasi ruangan dari belakang, mata waspada. Sementara Lana, bersandar pada dinding, menggenggam pisau lipat kecil—satu-satunya yang membuatnya merasa masih bisa bertahan hidup.Siaran dimulai.“Namaku Aira Vex,” ucapnya dengan suara tenang tapi bergetar, “dan jika kalian melihat ini... berarti sistem telah gagal menyembunyikan kami lagi.”Ia berhenti sejenak, menatap langsung ke kamera. Tak ada naskah. Tak ada arahan. Hanya kebenaran yang menggantung di lidahnya.“Kami dulu hanyala

  • Shadow on me   bab 24. gema dari kota mati

    Sore itu, langit tampak lebih berat daripada biasanya. Awan menggumpal seperti rahasia-rahasia yang belum terucap. Kabut tipis menyelimuti jalan berkerikil menuju ke kota tua—kota yang dulu mereka tinggalkan karena bahaya, dan kini mereka masuki kembali karena pilihan.Mobil mereka bergerak lambat, sunyi. Tidak ada musik, tidak ada obrolan ringan. Hanya denting waktu dan suara ban yang menelan jarak.Dante menyetir. Matanya tertuju lurus ke depan, tapi tangannya sesekali mengetuk setir seperti menahan gelisah. Aira duduk di sampingnya, menggenggam peta lama yang sudah direvisi dengan tinta biru dan coretan tangan Joel. Di kursi belakang, Lana memeriksa senjata untuk kesekian kalinya, dan Joel memandangi layar kecil yang menampilkan sinyal dari tiga drone kecil yang dilepaskan sebelumnya.“Berapa menit lagi kita sampai di titik aman?” tanya Dante tanpa menoleh.“Kurang dari sepuluh menit,” jawab Joel. “Kalau tak ada drone patroli musuh. Tapi… aku t

  • Shadow on me   bab 23. di antara retakan kota

    Udara kota menyambut mereka dengan aroma logam dan beton tua. Langit seperti dinding kusam yang menggantung terlalu rendah, dan cahaya lampu jalan menyapu wajah mereka dalam bayangan bergerak. Aira duduk di kursi belakang mobil van yang mereka pakai, jantungnya berdetak perlahan tapi berat. Sesuatu dalam dirinya menolak untuk merasa aman. Bahkan sekarang, ketika pintu belakang dunia tampak terbuka di hadapan mereka.Dante duduk di kursi pengemudi, tangannya menggenggam setir seperti menahan seluruh beban langit. Di sebelahnya, Joel memeluk koper berisi data, seperti seorang ayah yang menolak menyerahkan anaknya. Lana diam, menatap ke luar jendela, matanya mengikuti siluet bangunan yang mereka lewati.Mereka tiba di markas bawah tanah Elias menjelang tengah malam. Sebuah ruangan tersembunyi di balik lorong parkiran tua, terlindung dari radar, kamera, dan sinyal umum. Elias menyambut mereka seperti seorang tuan rumah yang terlalu tenang untuk dunia yang sedang terbak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status