Share

JURNET

Gak terasa tahun ini Shintya sudah duduk di bangku kelas IX. Tahunnya yang berganti, tapi keadaannya masih sama. Bukannya Shintya tidak peduli, tapi dia juga ingin bahagia seperti yang lain. Dia akan menjalani hari-harinya seperti yg temannya lain, meski selalu menampilkan raut wajah yang berpura-pura.

Siang ini, kelas Shintya sedang mengerjakan tugas mandiri Matematika. Tidak diijinkan bicara, bergerak, apalagi kerjasama. Sehingga kelas itupun sejak 20 menit yang lalu mendadak hening.

'tokk..tokk..tokk..' ketukan pintu memecahkan keheningan di kelas itu.

"Permisi, Pak." sapa siswa yang menjabat sebagai ketua Osis.

"Silahkan masuk. Ada apa?"

"Saya mau memberitahukan kalau siang ini akan ada rapat para guru di ruang kepala sekolah."

"Sekarang?"

"Iya, Pak."

"Apa seluruh siswa di suruh pulang?"

"Sepertinya tidak Pak. Ini atas perintah pak Kasek."

"Baiklah. Saya akan segera kesana."

"Permisi, pak." Ucap ketua Osis sembari keluar kelas.

"Baik, tugasnya silahkan di serahkan. Saya ada rapat sebentar, jangan ada yang pulang. Masih ada 3 les kedepan."

"Baik, Paaaakkkkkk." Ucap para siswa serempak.

"Aaaahhh... Akhirnya." Ucap Dedi setelah gurunya keluar kelas.

"Huufffttt.... Menegangkan juga ya." Sahut Shintya.

"Guyz... Main yuk..." Ajak Nining, perempuan paling malas belajar di kelas.

"Elllaaahhh... Giliran main, cepat banget." Cibir Shintya.

"Iya tuh, coba kalo di suruh ngerjakan tugas. Paling, minta copy paste." Ujar Leli ikutan.

"Ampun deh. Punya teman gini amat ya, selalu aku yang ternistakan." Sahut Nining dramatis.

"Jadi, gk?" Lanjutnya.

"Main apa emang?" Tanya Shintya.

"Emmm... Ah, main Jurnet aja" Nining memberi idenya.

"Yoklah, enak main beginian." Ujar Leli penuh semangat.

"Nah, tadi nyindir. Sekarang mah tertarik." Sinis Nining.

"Hahahah... Masbuloh?"

"Ya..masbuge lah. Hahahaha..." Ucap mereka serempak.

"Ning, mana botolnya?"

"Sabar Shin, biar ku cariin dulu."

"Nah, ini aja. Pake penggaris."

"Tumben Leli pintar."

"Jangan ngajak brantem deh."

"Ayo, kapan mulai nih."

"Ciieee yg gk sabaran..."

Nining mulai memutar penggarisnya, dan bertepatan di hadapan Leli.

"Ok, pilih mana, Jujur atau Nekat?"tantang Nining.

Sejenak berpikir, akhirnya Leli memutuskan untuk jujur.

"Yakin, nih?" Ujar Shintya.

"100% yakin." Sahut Leli dengan penuh semangat.

"Ok, biar aku yang beri tantangannya." Nining mulai memutar otaknya.

"Aha. Jujur, kamu suka sama Tony apa gk, nih?" Ujar Nining sambil mengedipkan matanya.

"Nah, aku setuju nih. Ayookkk jujur." Timpal Shintya. "Biasanya juga nih, kalo suka brantem, berarti sama-sama suka." Lanjutnya.

"Cuman tingkahnya aja yg suka brantem, tapi hatinya, ada lope-lope. Hahaha." Tak habis-habisnya mereka menggoda teman mereka itu.

Leli memutar bola matanya dengan malez.

"Ok..ok.. aku jujur nih, tapi janji dulu." Memberhentikan ucapannya.

"Janji apa?" Tanya kedua temannya serempak.

"Janji, kalo aku jujur, kalian saja yang tau. No..bocor..bocor."

"Ok. Jadi gimana?" Ucap berdua kembali serempak.

"Sebernanya nihh... Dari awal tuh, aku mank gak suka sama dia. Nyebelin banget sih. Cuman, kali ini, gak tau mulai dari mana, aku tuh mulai suka samanya. Tapi maunya di pendam aja deh. Mustahil kalo aku nyatain perasaan. Mau taroh di mana muka ku?" Bisik Leli kepada kedua temannya.

"Aciiiiieeeee..."

"Serempak mulu. Tumben amat..." Ujar Leli merasa jengah dengan tingkah kedua temannya.

Sedangkan yang di cibir hanya tertawa terbahak-bahak. Membuat sang teman tambah kesal.

"Berarti, udah mulai jatuh cinta niiieee.." ujar Shintya.

"B aja lah. Ya udh nih, aku udh jujur, sekarang biar aku yang muter penggarisnya."

Sejanak menunggu, penggarisnya berhenti tepat di depan Shintya.

"Nah, kena. Ayo Shintya, pilih mana? Jujur apa nekat?" Leli tampak ingin balas dendam.

Shintya mulai menimbang-nimbang keputusannya, sungguh ini membuatnya rumit, tidak tahu harus milih apa. Jika milih jujur pasti di cerca dengan pertanyaan mengenai pribadi keluarganya, tapi kalo nekat, ahhh.. membuatnya frustasi.

"Ah, kelamaan deh." Nining mulai merasa bosan.

"Ayoo..apa?" Pepet Leli.

"Emmm... Nekat aja deh." Dengan penuh ketegangan, Shintya memutuskan. Dia sudah mulai was-was, hal gila apa yang di rencanakan temannya.

"Ok, sebentar. Dipikir dulu." Nining mulai berpikir.

"Yups aku dapat." Ujar Leli penuh semangat, membuat Shintya deg degan sendiri.

"Gimana kalo, kamu nembak si Robertino." Lanjutnya. Membuat jantung Shintya hampir berhenti.

"Whaaattt??" Teriak Shintya. Membuat seisi kelas memandangnya heran.

"Gak deh,, pliiisss" lanjutnya memohon.

"Aelahh, gimana, sih.. lagian kamu kan suka samanya sejak kelas VIII." Ujar  Leli sedikit memaksa.

"Iya nih, masa itu aja gak bisa. Dari pada berjamur tuh perasaan,mending di ungkapin." Timpal Nining.

"Yayayayaya. Dengar ya, aku tuh emang suka sama dia, tapi bukan berarti harga diriku yang jadi taruhannya. Pliisss deh, ini norak banget tau." 

"Ayolah Shin, masa iya tadi kamu udah milih nekat loh. Ah, cemen." Ujar Leli dengan sedikit merasa bosan. Membujuk temannya itu untuk melakukan tantangan sudah memakan waktu lama. "Bentar lagi bel, loh." Lanjutnya.

"Atau gini aja. Jangan ungkapin langsung, tapi melalui surat aja, gimana?" Nining mengungkapkan idenya kesekian kali.

"Udah mau bel lo, Shin. Masa iya kagak siap-siap nih permainan." Lanjutnya.

Shintya semakin berpikir keras, ini tentang masalah harga dirinya, dia memang menyukai anak kelas sebelah, tapi bukan berarti dia mesti melakukan hal konyol. Tapi tidak ada pilihan lagi, dia sangat menyesal memilih tantangan bodoh ini.

"Huuuffftttt... Yaudah deh. Ok, aku akan ungkapin melalui surat. Tapi, jangan aku yang kasihkan langsung." Putus Shintya.

"Truz siapa dong?" Tanya Nining.

"Ya kalian lah. Masa kalian tega lihat aku pingsan di depannya."

"Ok, biar kita berdua yang kasih, tenang aja. Sekarang silahkan tulis isi suratnya."

Shintya mengambil secarik kertas, dengan mengumpulkan keberanian, dan menghela napas berkali-kali, dia mulai menuliskan isi dan perasaannya, dengan kedua temannya mengawalnya dari samping.

Butuh waktu kurang lebih 10 menit menuliskan surat konyol bagi Shintya.

"Nah siap." Katanya sembari menyerahkan kepada kedua temannya.

"Tapi ingat, cuman kita yang tau. Truz ngasihnya jangan yang ada orang." Lanjutnya.

Kedua temannya menunjukan jempolnya. Dan setelah itu mereka mulai melakukan aksi mereka, menuju kelas Robertino.

Shintya merasa deg degan sendiri, dan mondar-mandir di depan kelasnya.

"Woi Shin, kamu kenapa sih? Macam orang stres tau gk." Teriak Tino, sang ketua kelas.

"Eh, kambing. Bikin aku jantungan aja. Diem aja napa, ini urusan cewek tau." Ujar Shintya dengan kesalnya.

Tidak lama kemudian kedua temannya kembali. Segera Shintya menyambut mereka dengan hati was-was.

"Jadi, gimana?" Tanyanya.

"Aman bre. Katanya ntar di rumah di balasnya." Jawab Leli.

"Jadi besok tunggu aja jawabannya, ok." Nining ikut menimpali.

Shintya hanya mampu mengangguk. Tidak lama kemudian bel berbunyi. Seluruh siswa segera keluar kelas menuju rumah masing-masing.

Saat Shintya hendak keluar kelas, tidak sengaja matanya dia melihat Robertino dari jauh, yang semakin mendekat di posisinya. Dengan jantung yang hampir melompat, Shintya segera memalingkan mukanya, dan segera berlari.

"Oh bidadari dari langit ke tujuh. Tolong hamba segera hilang dari bumi ini." Ucapnya dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status