“Ma …,” lirih Falisha dengan keterkejutan yang kentara, sakit di pipi nyatanya tidak seberapa dibandingkan rasa sakit yang timbul di hati.“Jangan sebut Aku dengan panggilan itu lagi, Aku tidak sudi! Dasar perempuan sundal pembawa sial!”Tertegun sesaat Falisha melihat Reni, sang Mantan Ibu Mertua yang tampak begitu berapi-api baik melalui ucapan, tindakan juga bahasa tubuh wanita itu terhadapnya.Memang sejak awal pernikahannya dengan Bramantyo, Reni tidak pernah bisa menyukainya, Falisha sendiri sangat menyadari hal itu. Akan tetapi, sikap mertuanya ini tidak pernah menyurutkan rasa perjuangan Falisha untuk tetap mempertahankan biduk rumah tangganya dengan Bramantyo meskipun kerap kali mendapatkan perlakuan atau kata-kata menyakitkan, Falisha juga tidak pernah mengadukan sikap sang Mertua pada Suaminya.Kali ini, sekali lagi Falisha harus menerima arogansi Reni di depan mata semua orang yang jelas-jelas tidak memihak dan menghakimi sepihak.“Sudah, Ma … nggak perlu buang-buang energ
Si Gendut - Bab 19 4 lawan 1"Ma … kalau nggak segera, nanti bisa kacau loh," ucap Hera mengingatkan dengan suara yang begitu manis, menyela kegiatan yang tengah berlangsung itu penuh kesengajaan seolah menunjukkan pada Falisha jika dirinya lebih didengarkan, "Mas Bram, yuk cepetan. Keburu ini itu nanti," sambungnya tanpa melunturkan senyum sarat kelembutan di wajahnya.Sontak, apa yang baru saja dikatakan oleh Hera membuat firasat Falisha langsung memburuk.Falisha tidak mengerti mengapa Hera mendadak menyela pembicaraan seperti ini, padahal sedari tadi wanita muda yang menjadi madunya selama dua bulan terakhir itu hanya diam saja menyaksikan semua.Tak ayal, firasat buruk Falisha menguat secara signifikan. Nalurinya berkata empat orang ini datang tiba-tiba itu sudah pasti memiliki alasan, tidak mungkin hanya untuk mencacinya saja.Benar saja, bak kerbau ditusuk hidungnya, Bramantyo dan Reni langsung menuruti keinginan Hera tanpa membantah. Reni mengunci mulutnya dan cengkraman Brama
Ketidaksiapan dan karena gerakan mendadak dari kedua mantan mertuanya membuat Falisha terhuyung mundur dua ke belakang sebelum kemudian kehilangan keseimbangan dan membuatnya terjengkang hingga kepalanya membentur meja kecil yang berada di ruangan tersebut.Brug!Rasa sakit menyengat langsung timbul dari bagian samping kiri pelipis Falisha diikuti dengan rasa hangat yang basah disertai aroma amis darah.Akibat dorongan yang dilakukan oleh Benny, Falisha yang tengah terjatuh sama sekali tidak menyadari keberadaan meja yang berada di dekatnya. Ujung meja yang sebenarnya bisa dikatakan tumpul itu sukses menggores luka di bagian pelipis.Sakit yang menyerang, darah yang bercucuran membasahi sebagian wajah dan mulai mengotori lantai tidak membuat semangat Falisha surut untuk mempertahankan haknya, mempertahankan putri tercintanya.Namun, semangat hanya tinggal semangat sebab begitu Falisha bergerak ingin bangkit dari posisinya, serta merta gelap menerjang wanita itu dengan rasa pusing yang
“Sha! Apa yang terjadi?”Secercah harapan langsung menyergap hati Falisha tatkala menyadari suara familiar kawan lamanya itu.“Ameera, Mat … Ameera!” lirih Falisha mencoba untuk menjelaskan tapi yang terlontar hanya tiga kata itu sebab rasa sakit berdenyut di kepalanya telah mengambil alih fokusnya.Oleh Matteo, pria ini tidak memedulikan racauan yang dikeluarkan oleh Falisha. Dia sudah bisa menduga ada sesuatu yang terjadi dengan Ameera sebab anak itu berada di gendongan pria asing tadi.Dalam tempo sepersekian detik diputuskan Matteo untuk berkonsentrasi kepada Falisha terlebih dahulu ketimbang Ameera. Harapan tipis Matteo menggiring mengambil keputusan itu dengan berpegang pada perdebatan rombongan kecil tersebut dengan pihak petugas medis rumah sakit ini. Matteo berharap rombongan itu tertahan jalan keluarnya karena peraturan yang berlaku.Tanpa membuang waktu lebih banyak lagi, dengan satu gerakan cepat Matteo meraih Falisha dan membopongnya. Terima kasih untuk latihan rutin di g
“Sudah siap semua, Rio?” tanya Matteo pada sekretaris sekaligus asisten pribadinya, Satrio.“Sudah, Bos!” sahut Satrio cepat, sigap dalam segala urusan yang diinginkan Matteo untuk segera diselesaikan.Matteo mengangguk kecil sebagai responnya untuk jawaban Satrio, lantas ia melirik Falisha yang masih terbaring di atas brankar. Wanita yang sekarang berstatus sebagai calon istrinya itu kini sedang terlelap karena pengaruh obat yang dikonsumsinya.Tatapan netra biru Matteo singgah beberapa detik pada Falisha, simpati membungkus dirinya penuh karena peristiwa bertubi-tubi yang menimpa wanita bertubuh tambun itu.Setelahnya baru Matteo berpaling seorang wanita yang duduk di sisi ujung brankar Falisha."Riana … Saya tinggal dulu, tolong jaga kan Falisha sebentar. Saya akan mengurus Ameera sesuai permintaannya tadi," ucap Matteo pada salah seorang sahabat Falisha, yang dimintanya datang untuk menemani wanita yang belum sadarkan diri itu.Benar, mengambil kembali Ameera dari tangan Bramantyo
“Rio … nanti Kamu hubungi Direktur PT. Gema Sentosa ini, suruh dia pecat si Brengsek itu dalam satu kali dua puluh empat jam dan pastikan dia di blacklist dari semua perusahaan yang berhubungan dengan Taslim Grup dalam dan luar negeri!” titah Matteo seusai membaca file berisikan informasi tersebut di gawai kerjanya.“Siap, Bos! Laksanakan!” balas Satrio dari balik kemudi, telinganya tetap menanggapi perintah dengan baik tanpa mengganggu konsentrasinya yang tengah mengemudi.Meski demikian, Satrio tetap menyimpan keheranan di dalam hati. Pasalnya dia tidak menyangka Matteo akan mengambil tindakan super tegas ini terhadap mantan suami Falisha. Karena memang, Satrio tidak tahu cerita detail tentang Falisha, hanya Matteo yang mengetahuinya.Hanya memerlukan waktu setengah jam berkendara dengan menggunakan kendaraan mewahnya, Matteo dan Satrio sudah tiba di kediaman yang diyakini sebagai rumah milik Bramantyo Satya.Dalam setengah jam ini, segala informasi milik Bramantyo pun sudah dikanto
Satrio menjadi ujung tombak rombongan kecil badai untuk keluarga Satya. Pria itu yang pertama mencapai pintu lebih dulu lalu menekan bel dengan santainya.Dua petugas kepolisian, perwakilan dari Rumah Sakit Glory, Ali si Pengacara dan Matteo sang CEO berdiri di belakang Satrio. Semuanya siap di posisi masing-masing, mengerti porsi tugas mereka dan siap mengeksekusi pihak yang telah menyakiti Falisha dan Ameera itu.Ting Tong!Suara bel pintu nyata terdengar oleh dua pasang anak manusia yang tengah menikmati kudapan dalam rangka perayaan kecil-kecilan mereka.Hanya mereka berempat yang tahu alasan sebenarnya dari perebutan paksa seorang anak usia tujuh tahun yang terjadi beberapa jam lalu itu."Aku aja yang buka," ucap Hera berinisiatif duluan, dia tetap dalam topeng dan lakonnya sebagai seorang Hera yang manis, lemah lembut dan anggun. Hera yang menempatkan Bramantyo di atas segalanya, yang selalu tampil sempurna sebagai istri yang baik sekaligus menantu kesayangan mertua."Nggak usah
Pria berkemeja putih maju selangkah tapi tetap berada di belakang Gunawan, lalu menyela percakapan yang ada, “Maaf Pak Bramantyo, Saya Junaidi … perwakilan dari Rumah Sakit Glory. Pihak kami menuntut Bapak atas tindakan yang Bapak lakukan tadi pagi, membawa lari pasien kami, melanggar kode etik rumah sakit dan undang-undang kesehatan serta perlindungan anak di bawah umur!”Tertegun Bramantyo mendengarkan apa yang baru saja dikatakan oleh pria yang menyebut nama sebagai Junaidi tadi. Seakan dia tidak cukup terkejut dengan perkataan Junaidi, pria berkacamata yang sedari awal hanya diam kini maju selangkah dan ikut-ikutan buka suara.“Saya Ali Prayuda, kuasa hukum Ibu Falisha. Selain menuntut Anda di pengadilan untuk kasus perceraian kalian, Ibu Falisha juga melaporkan Anda dan Pak Benny Satya atas tuduhan penganiayaan, perbuatan tidak menyenangkan, perampasan hak milik dan beberapa delik hukum lainnya yang sudah dilaporkan kepada pihak kepolisian!” ucap Ali dengan lantangnya, menatap ke