"Nadira, Sayang. Cowok itu memang normalnya kayak gitu. Kalo cewek baper karena novel atau adegan romantis di film. Cowok ya bapernya nonton begitu sambil..." Nadira menutup mulut Erhan. Wajahnya sudah berubah merah. Ucapan Erhan meracuni otaknya. Walau bagaimanapun, Nadira bukan anak kecil yang tidak tahu apa itu film bok**. Membayangkan adegan laki-laki dan perempuan melakukan olahraga yang mengeluarkan suara desahan-desahan jelas membuat sisi kewanitaannya bangkit.
Nadira terdiam sendirian. Menatap langit kota Jakarta di malam hari. Deru mesin kendaraan menggaung di kejauhan. Angin dingin masuk tanpa ijin dari arah balkon yang pintunya sengaja ia buka lebar. Erhan sudah pergi, ia memintanya demikian. Rasa shock yang diperolehnya setelah permintaan Erhan membuatnya mengusir pria itu secara halus.Jujur, ia nyaman berada bersama Erhan. Emosi yang ia miliki saat bersama Erhan berbeda dengan yang ia rasakan pada pria lain yang selama ini dekat dengannya. Merasa aman. Merasa diperhatikan. Bahkan untuk pertama kalinya ia
Ganjar dan asistennya sudah menantinya di ruangan saat Erhan masuk. Membahas kesibukan mereka hari ini serta meeting-meeting yang akan mereka lakukan sepanjang hari."Foto-foto kemaren udah mau publish." Ucap Ganjar saat asisten Erhan keluar. "Udah di e-mail kemarin malam. Coba aja cek. Bagian marketing juga udah milih foto yang bakal dicetak. Kali aja ada revisi, mereka minta keputusan maksimal besok siang." Erhan mengangguk. Tangannya bergerak membuka e-mail kantor yang salah satunya memang di cc kan kepadanya.
Nadira meletakkan kembali novel yang sejak tadi berada di pangkuannya. Halamannya tidak berubah sejak beberapa waktu lalu. Niatannya untuk membaca hilanglah sudah. Ia akhirnya memilih untuk keluar dari kamarnya dan bermaksud untuk membuat minuman yang manis."Kamu sama sekali gak ada niatan keluar rumah, Na?" Tanya ibunya saat Nadira baru saja menuang bubuk minuman kemasan ke dalam gelas tinggi.
Erhan langsung berlari meninggalkan rumah sakit setelah mendapat pesan dari Gisna kalau Nadira sedang makan siang bersama mereka. Wanita itu, kenapa tidak sejak tadi saja mengatakan kalau mereka memang punya rencana untuk makan siang bersama. Jadinya kan Erhan punya waktu lebih banyak, siapa yang tahu kalau Nadira akan pergi lagi dan menghilang tanpa ia ketahui.Ia mengendarai motornya dan tak seberapa lama sudah berada di depan Café yang ditunjuk Gisna. Memang dekat meskipun berjalan kaki, hanya saja ia tidak ingin kembali ke rumah sakit hanya untuk mengambil motornya. Kalau sudah begini, Nadira tidak akan menolak jika ia ajak pulang bersama."Ekhem." Erhan berdeham saat sudah sampai di meja tempat Gisna, Meta dan Nadira berada. Gadis itu tampak membelalak lebar melihat ke arahnya. Lalu kemudian matanya menyipit curiga ke arah dua sahabatnya."Siapa yang ngehubungin dia?" tanyanya dengan gigi terkatup.&nb
Bel pintu apartemennya berbunyi. Nadira mengintip siapa tamu yang datang, karena jika itu adalah Erhan, ia bermaksud untuk mengabaikannya. Yang entah sampai kapan.Untung bukan pria itu.Desahnya lega. Karena sosok yang muncul di layar kecil di samping pintunya adalah seorang wanita bertubuh tinggi langsing dengan wajah rupawan. "Hai." Sapa gadis itu ramah. Nadira membuka pintunya lebih lebar, membiarkan tetangga yang juga sekaligus rekan seprofesinya masuk ke dalam. "Jadi, kemana aja kamu selama dua minggu ini?" tanyanya tanpa basa-basi. Dia Bianca, seorang model yang lebih senior di agencynya. Sebenarnya, dari Bianca pula Nadira mendapatkan kabar mengenai apartemen kosong yang kini Nadira tempati. Dan sebagai tanda terima kasih, Nadira selalu bersikap ramah pada gadis itu. Toh gadis itu juga selama ini sudah bersikap baik kepadanya.Nadira mempersilahkannya duduk dan menawarkan minuman, setelah Bianca mengataka
Hari demi hari berlalu begitu saja menjadi minggu. Hubungan Erhan dan Nadira masih saja menggebu. Meskipun belum ada komitmen apapun di antara mereka. Dan Nadira masih saja mengelak memberikan jawaban atas permintaan ketiga Erhan.Disela waktu diantara kesibukan mereka, mereka habiskan bersama. Erhan seringkali datang ke tempat pemotretan Nadira jika pria itu sedang senggang, atau jika pemotretan berada di dalam kota dan di akhir pekan, maka Erhan akan menemaninya seharian. Menjadi supir pribadi sekaligus bodyguard dan kekasih yang baik pada saat bersama
Ponselnya berdering. Dengan malas Nadira meliriknya. Dipikirnya itu Erhan yang mengganti cara membujuknya dengan mencoba meneleponnya. Tapi tidak. Panggilan itu memunculkan wajah Meta di layar.Nadira melirik jam di atas nakas. Pukul sembilan malam. Ia mengerutkan dahi, tidak biasanya Meta menghubunginya malam-malam seperti ini. "Ya?""Ra, loe dimana?""Apartemen, kenapa?""Sir Lucas sadar!" Pekiknya. Nadira mematung seketika. "Ra?""Ini beneran? Bukan hoax?" Tanyanya tak yakin.Terdengar suara gesekan kain. Kemudian suara. "Beneran. Ganjar barusan nelepon gue. Katanya Sir Lucas bangun. Gue mau otewe ke RS sekarang. Loe kesana juga?""Iya, gue kesana sekarang.""Mah gue jemput?""Gak usah. Gue sendiri aja." Lalu kemudian telepon di tutup. Nadira dengan cepat memasuki kamar mandi. Mencuci muka, ber
Caliana, Syaquilla, Adskhan dan Caliana sudah meninggalkan rumah sakit beberapa saat lalu. Kini hanya tinggal Lucas, Gisna dan Erhan di kamar. Erhan sengaja tinggal lebih lama untuk menemani Gisna. Ia merasa takut kalau-kalau ada sesuatu yang dibutuhkan Lucas ataupun Gisna. Dia tidak suka melihat sepupu iparnya yang tengah mengandung itu harus pergi kesana kemari dan membuat dirinya sendiri lelah. Jadi Erhan mengatakan kalau ia tidak mau kembali ke apartemen dan merasa kesepian sebagai alasan."Han.." suara itu begitu lirih. Erhan yang sedang menonton berita di TV menoleh. Gisna tengah menatapnya."Kamu manggil aku?" Tanyanya tak yakin. Wanita hamil itu mengangguk."Ada yang kamu butuhin?" Tanyanya seraya bangkit dan mendekat ke arah tempat tidur. Gisna masih duduk di kursi samping tempat tidur. Nanti ketika hendak tidur, wanita itu akan naik ke atas tempat tidur dan berbagi ranjang rumah sakit yang tak terlalu besar itu