“Nona, Anda baik-baik saja?”
Sebuah tanya menginterupsi lamunan Lea. Usai keluar rumah tadi, Lea langsung mencegat taxi yang melintas. Ia ingin secepatnya pergi dari sana. Namun, yang ada kini dia sesenggukan di dalam taxi,
Lea menarik napas panjang sambil menganggukkan kepala.
“Iya, saya gak papa, Pak. Terima kasih.”
Pria paruh baya yang mengemudi taxi hanya tersenyum sambil melirik Lea dari kaca spion. Kemudian ia mengangsurkan tisu ke Lea.
“Kalau ada masalah lebih baik dibicarakan, Non. Siapa tahu menemukan jalan keluar.”
Lea tersenyum sambil menyeka air matanya. Andai saja pria ini tahu apa yang baru saja dialami Lea, tapi tentu saja Lea tidak akan begitu saja menceritakannya.
Lea bisa saja langsung masuk dan memergoki aksi bejad Kenan dan Lisa tadi. Namun, apa untungnya bagi dia? Yang ada dia hanya menerima kerugian. Apa keluarga Kenan akan menerima penjelasannya tanpa bukti konkret?
Lea menarik napas panjang sambil mendongakkan kepala. Mertuanya sudah membenci Lea karena tidak kunjung hamil. Selain itu keluarga Kenan keluarga terpandang dan punya kuasa di kota ini. Masyarakat awam pasti lebih percaya dengan mereka dari pada aduan Lea.
Yang ada dia malah dituduh melakukan pencemaran nama baik. Bisa jadi Kenan tidak akan menghentikan ulahnya kemudian Lisa dengan mudah menggantikan kedudukannya.
“Tidak. Aku tidak akan membuat semudah itu untuk mereka,” batin Lea.
Untuk menghilangkan kesedihannya, sepanjang hari Lea menyibukkan diri di toko bunga. Baru saat pukul tujuh malam, Kenan datang menjemput Lea.
“Aku pikir kamu belum siap, Sayang?” sapa Kenan dengan senyum manisnya.
Lea hanya tersenyum sekilas. Ia tidak bisa bersikap biasa setelah kejadian semalam dan tadi pagi. Namun, tentu saja Kenan akan curiga jika dia berubah sikap.
“Aku tidak lupa, kok.”
Kenan tersenyum, berjalan mendekat kemudian hendak mencium pipi Lea. Namun, dengan spontan Lea malah mundur. Tentu saja ulah Lea membuat Kenan terkejut. Ia melihat Lea dengan satu alis yang terangkat dan tatapan bertanya.
Lea tersenyum, menepuk lembut pipi Kenan.
“Aku takut kamu merusak riasanku, Mas.”
Tentu saja jawaban Lea seketika membuat Kenan tenang. Ternyata hanya alasan itu yang membuat Lea menolaknya.
“Ya sudah. Kita berangkat, yuk!!”
Lea mengangguk sambil mengapit lengan Kenan berjalan beriringan menuju mobil. Selang beberapa saat, mereka tiba di rumah keluarga Kenan. Nyonya Eliana langsung menyambut kedatangan mereka dengan muka masam.
Lea sudah biasa dengan sapaan ramah mertuanya. Sejak dulu, Nyonya Eliana memang tidak menyetujui hubungannya dengan Kenan. Lea hanya anak yatim piatu yang tidak jelas asal usulnya. Gara-gara Lea juga membuat Kenan cinta buta dan melakukan hal yang dianggap Nyonya Eliana di luar nalar.
“Selamat malam, Ma,” sapa Lea.
Nyonya Eliana tidak menjawab hanya melengos sambil melipat tangannya di depan dada. Kenan yang melihat reaksi ibunya berdecak kencang.
“Ma, Lea memberi salam, tuh. Apa tidak dengar?”
Nyonya Eliana berdecak tak kalah kencang. “Malam. Ayo, masuk!! Papamu sudah menunggu.”
Kenan mengangguk kemudian membimbing Lea masuk ke dalam rumah. Tuan Eliot, ayah Kenan berbanding terbalik dengan reaksi Nyonya Eliana. Pria paruh baya itu tersenyum saat menyambut menantu dan putranya.
“Bagaimana kabar kantormu, Kenan?” Tuan Eliot memulai pembicaraan di tengah makan malam.
“Baik, Pak. Semua beres, kok. Kantor cabang baru juga sudah mulai beroperasi.”
Tuan Eliot manggut-manggut. Dari wajahnya terlihat kalau dia cukup puas dengan jawaban Kenan.
“Urusan bisnis saja yang dibahas. Apa kalian tahu apa tujuan makan malam ini?”
Kenan dan Lea tidak menjawab. Mereka tahu pada akhirnya Nyonya Eliana akan membahas anak yang tak kunjung datang di pernikahan mereka.
“Mama sudah buat janji dengan Dokter Hans. Beliau itu ---”
“Tunggu, Ma. Aku harus terima telepon dulu.” Tiba-tiba ponsel Kenan berdering nyaring dan seperti biasa, ia dengan tergesa pergi begitu saja meninggalkan ruang makan.
Lea hanya diam sambil meliriknya sekilas. Siapa yang menelepon Kenan semalam ini? Apa dia masih mengurusi kerjaan? Atau jangan-jangan Lisa yang melakukannya? Hanya itu tanya yang bergentayangan di benak Lea.
Bahkan Lea tidak mendengar apa lagi yang dikatakan mertuanya. Malah ia mendengar suara deru mobil suaminya yang menyala dan pergi meninggalkan rumah.
“Lea, kamu bersedia melakukan test itu, kan?”
Lamunan Lea terinterupsi oleh pertanyaan Nyonya Eliana. Lea mendongak, matanya bersiroboh dengan mata wanita paruh baya itu. Ia benar-benar tidak tahu pembicaraan mertuanya tentang apa hari ini. Namun, Lea menduga pasti tidak jauh dari cucu.
“Saya terserah Mas Kenan saja, Ma. Kalau dia bersedia, saya juga bersedia.”
Nyonya Eliana tersenyum kesenangan sambil menganggukkan kepala.
“Syukurlah kalau begitu. Mama sudah tidak sabar ingin punya cucu. Mama yakin setelah pemeriksaan nanti kita akan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kamu atau Kenan yang bermasalah.”
Lea tidak menanggapi, hanya menunduk sembari melanjutkan makan malamnya.
“Kalau berdasar keturunan dan silsilah, keluarga kami tidak ada yang mandul. Entah kalau dari keluargamu. Toh, kami tidak tahu silsilah keluargamu, Lea.”
Kembali Nyonya Eliana berkata sinis dan selalu seperti itu di setiap pertemuan. Nanti ujung-ujungnya Nyonya Eliana menyesal sudah merestui pernikahannya dengan Kenan. Lea hanya diam tanpa menjawab sedikit pun. Lama-lama telinganya sudah kebal dengan omongan pedas mertuanya.
Setelah hampir dua jam, akhirnya Nyonya Eliana menyudahi pembicaraannya. Ia memilih langsung masuk kamar untuk beristirahat. Hal yang sama juga dilakukan Tuan Eliot. Tinggal Lea yang menunggu kedatangan Kenan seorang diri.
Lea mencoba menghubungi ponsel Kenan. Ponselnya aktif, tapi tidak diangkat sejak tadi. Lea menghela napas panjang dan memilih pulang sendiri dengan menggunakan taxi. Namun, kaki Lea langsung membeku saat melihat mobil Kenan terparkir dengan rapi di garasi rumahnya.
Dengan mengendap-endap Lea masuk ke dalam rumah. Belum sampai ke ruang tamu, ia langsung menutup pintu lagi. Pasalnya dia melihat Kenan sedang bercumbu dengan Lisa di sana.
“Lisa … tolong jangan panggil aku jika sedang bersama Mama dan Papa. Aku takut mereka curiga.”
Lisa berdecak sambil mengancingkan kemejanya. Bibir merahnya maju beberapa senti.
“Kan Kak Kenan sendiri yang bilang, kalau aku boleh memanggil kapan saja jika si Kecil yang minta. Tadi bukan aku yang melakukannya, tapi si Kecil.”
Kenan terkekeh dengan jawaban Lisa dan suara manjanya yang menggemaskan.
“Jadi si Kecil yang minta, bukan ibunya?”
Lisa mengangguk sambil menyusur dada Kenan yang masih terbuka dengan jari lentiknya.
“Hmm … .”
Kenan tertawa, mendekatkan wajahnya dan langsung menyambar bibir Lisa. Tak ayal wanita itu kembali tumbang di atas sofa dengan Kenan yang merayap di atas tubuhnya.
Lea yang menyaksikan semua itu dari celah pintu hanya membisu. Hatinya kembali hancur berantakan. Teganya Kenan meninggalkannya seorang diri, dicerca habis-habisan oleh mertuanya hanya demi bermesraan dengan Lisa. Apa kini dia sudah tidak berarti bagi Kenan?
Tanpa menunggu lama, Lea langsung pergi begitu saja. Ia memilih menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di taman kota. Setelah beberapa saat, Lea memutuskan pulang. Ia tidak melihat mobil Kenan terparkir di garasi. Bisa jadi, Kenan kembali ke rumah ibunya hendak menjemput Lea.
Lea tidak peduli dan sengaja tidak menghubunginya. Biar saja Kenan kebingungan mencarinya.
“Mbak baru datang?”
Lea terkejut dengan suara Lisa yang menyapanya. Lea menoleh sambil menganggukkan kepala. Lisa berjalan mendekat, kali ini dia sengaja mengikat rambut panjangnya ke atas. Tak ayal leher jenjangnya nan putih mulus terekspos dengan sempurna. Lea meliriknya sekilas dan melihat ada banyak tanda merah tertinggal di sana. Lea bisa memastikan jika itu jejak suaminya.
Lisa tersenyum, sesekali ia membasahi bibirnya dengan saliva seolah sedang mengejek Lea. Kemudian setelah beberapa saat, Lisa kembali bersuara.
“Jadi, Mbak sudah melihatnya?”
Mata Tuan Fandi langsung berkaca-kaca usai mendengar kalimat terakhir Ghalib. Baru ini dia mendengar putra semata wayangnya memanggilnya ‘ayah’.Hal yang sama juga terjadi pada Nyonya Emilia. Wanita itu tersenyum dengan mata yang berkabut. Kemudian dengan lembut Nyonya Emilia menyentuh bahu Ghalib.“Ayahmu tidak pernah melupakanmu, Ghalib. Nanti biar Nenek yang membagi bagian ayahmu menjadi sama rata. Untuk kamu dan Lisa.”Ghalib hanya diam, ia sudah memalingkan wajah dari tatapan penuh cinta Tuan Fandi. Sementara Lisa hanya meliriknya dengan sinis. Ia kesal. Gara-gara Ghalib, bagian untuknya berkurang.“Sekarang kita lanjut makan saja, ya!!”Nyonya Emilia sudah mengambil alih pembicaraan lagi, tapi Ghalib tiba-tiba berdiri.“Sebenarnya … aku sudah menyiapkan kejutan untuk Nenek malam ini. Bukan, bukan untuk Nenek saja, tapi untuk semua yang hadir di sini.”“Kejutan apa yang
“Apa maksudnya, Ghalib? Kenapa kamu bicara seperti itu?”Sepertinya Nyonya Emilia menyadari ucapan Ghalib tadi dan ia jadi penasaran sehingga kembali mengajukan pertanyaan.Ghalib mengulum senyum sambil menggelengkan kepala.“Bukan apa-apa kok, Nek. Sudah, jangan dimasukkan hati. Lebih baik Nenek bersiap untuk pesta nanti malam. Aku punya banyak kejutan untuk Nenek.”Nyonya Emilia tersenyum sambil menganggukkan kepala. Kemudian keduanya sudah berjalan beriringan masuk ke bagian dalam rumah.Pukul tujuh malam, semua penghuni rumah berkumpul di ruang makan. Ada Nyonya Emilia, Tuan Fandi, Ghalib dan juga Lisa. Mereka tidak mengundang tamu lain untuk pesta ulang tahun malam ini. Nyonya Emilia tidak menginginkannya, tapi dia mengizinkan Lisa mendekor rumah dengan banyak bunga dan balon.“Jam berapa kamu datang, Ghalib? Kenapa Ayah tidak melihatmu seharian tadi?”Tuan Fandi membuka pembicaraan sambil mena
“Apa kamu sudah dengar kabar tentang Bu Lea?” tanya seorang karyawan siang itu.“Kabar apa?” tanya yang lain menyahuti.“Bu Lea kecelakaan di puncak. Katanya sih selamat, tapi aku dengar dia baru saja mendapat musibah lagi.”“Musibah apa?”“Ada yang menikam Bu Lea saat di rumah sakit. Itu sebabnya kondisi Bu Lea sekarang kritis.”“Ya Tuhan … .”Beberapa karyawan terlihat sedih, bahkan ada di antaranya yang menitikkan air mata. Lisa yang tanpa sengaja mendengar obrolan itu hanya diam.Saat ini dia memang sedang berada di kantin karyawan untuk makan siang, tidak disangka Lisa akan mendengar hal seperti ini.“Apa mungkin launching produknya akan diundur?” Kembali salah satu karyawan bertanya, sepertinya dia salah satu bagian tim Lea.“Sepertinya begitu, tapi kita tunggu Tuan Ghalib saja. Bagaimanapun dia yang berhak mengambil ke
“Lisa? Apa Anda mengenalnya?”Ghalib tidak menjawab. Ia duduk menyilangkan kaki sambil menautkan kedua tangan di atas lutut menatap tajam ke Handoko.“Sekarang, ceritakan saja siapa sebenarnya Lisa maka saya anggap Anda tidak berhutang pada saya.”Handoko tersenyum lebar, matanya yang tampak ketakutan kini kembali bersinar. Wajahnya juga tampak berseri-seri. Tidak pernah dia sesenang ini. Kalimat Ghalib barusan bagai oase di padang pasir.“Saya mulai dari mana, Tuan?” Handoko sangat antusias bahkan sudah mengubah posisi duduknya lebih nyaman berhadapan dengan Ghalib.Ghalib menarik napas tanpa sedikit pun melepas perhatiannya dari Handoko.“Ceritakan mulai dari siapa ayah dan ibunya!!”Handoko tersenyum, menganggukkan kepala sambil mulai bercerita. Ghalib hanya diam mendengarnya dan tak sedikit pun menyela penjelasan pria itu.Setelah hampir satu jam, Ghalib keluar dari kamar.
“Terima kasih, Tuan,” cicit Handoko.Pria berkacamata yang yang tak lain Arifin itu hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Tak lama ia sudah memberi kode ke anak buahnya agar membawa Handoko pergi dari sana.Pukul delapan pagi saat Ghalib melihat ada panggilan di ponselnya. Kali ini kembali Arifin yang melakukan panggilan.“Ada apa?”“Tuan, saya sudah menemukan Tuan Handoko.”Ghalib tersenyum lebar saat mendengar jawaban Arifin.“Di mana dia?”“Dia di tempat yang aman. Apa Anda ingin bertemu langsung dengannya?”Ghalib terdiam sejenak sambil melihat Lea yang masih terbaring di brankarnya. Helaan napas panjang keluar dengan perlahan dari bibir Ghalib.“Beri tahu lokasimu. Aku ke sana sebentar lagi.”Arifin mengangguk, mengakhiri panggilan kemudian tak lama sudah mengirim pesan ke Ghalib. Ghalib membaca sekilas dengan sebuah senyuman di wa
“Baik, Tuan.”Ghalib sudah mengakhiri panggilannya. Ia menyimpan ponsel sambil melirik sekilas Lea yang sedang terlelap.“Gak akan kubiarkan kamu melukainya, Lisa. Gak akan kubiarkan,” geram Ghalib tertahan.Sementara itu Lisa tampak berjalan mondar mandir di apartemennya. Sesekali ia remas jemarinya sambil mengerat bibir. Tak jarang pula, mata Lisa melirik ke arah jam di dinding ruangan, seolah dia sedang menantikan sesuatu di sana.“Sialan!! Kenapa belum ada kabar juga dari dia? Apa wanita berengsek itu masih hidup atau sudah mati?”Sejak tadi siang, Lisa belum mendapat kabar berita dari pamannya. Ia khawatir jika Handoko gagal dengan rencananya. Padahal dia sudah menaruh harapan penuh pada pria paruh baya itu.Lisa terjingkat kaget saat ponselnya tiba-tiba berdering. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Lisa langsung menjawabnya.“Gimana? Apa dia sudah mati?”“Siapa yang m