Kenan menghela napas panjang sambil menatap punggung Lea. Ia sudah berbaring di atas kasur dengan Lea tidur membelakanginya. Meski Lea berkata tidak marah, tapi Kenan tahu jika istrinya sedang marah saat ini.
Perlahan Kenan bangkit dari tidurnya dan tampak melakukan sebuah panggilan.
“Ron, tolong belikan kalung berlian yang kemarin aku minta. Sekalian kirim bunga beserta kue blakcforest besok pagi. Pukul enam harus sudah tiba di sini.”
Roni yang menerima telepon di seberang sana hanya mengangguk dengan mata yang terkantuk. Ia sangat terkejut saat menerima panggilan dari bosnya. Roni pikir ada masalah penting, tapi nyatanya Kenan malah meminta yang lain.
“Ron, kamu dengar, kan?”
Ucapan Kenan menginterupsi lamunan Roni.
“Iya, Pak. Saya dengar.”
“Ya sudah. Jangan kelewatan.”
Kenan mengakhiri panggilannya, meletakkan ponsel di nakas kemudian kembali masuk ke dalam selimut. Perlahan Kenan meletakkan kepalanya ke bantal. Ia tidur miring sambil memeluk Lea dari belakang. Karena Lea sudah terlelap, ia tidak menolak pelukan Kenan. Bahkan saat tangan pria itu sudah menerobos masuk baju tidurnya, Lea tidak melawan.
Keesokan pagi, Kenan terbangun lebih awal. Dia tidak melihat Lea di sampingnya. Kenan bergegas ke kamar mandi untuk mencari Lea, tapi istrinya juga tidak ada di sana. Kenan memutuskan langsung turun ke lantai satu.
“Bi, Lea mana?” tanya Kenan.
Ia hanya melihat asisten rumah tangganya yang sibuk mengatur makanan di meja makan. Sama sekali tidak melihat Lea di sana. Bukankah biasanya, Lea yang selalu melakukannya.
“Nyonya sudah berangkat ke toko, Tuan. Katanya ada pesanan bunga pagi ini.”
Kenan terperangah kaget. Ia sudah mengenal lama Lea dan tahu jika Lea marah, sikapnya akan menghindari Kenan. Itu artinya ada sesuatu yang sedang terjadi. Bisa jadi kemarahan Lea semalam belum reda.
Kenan membalikkan badan dan berlarian menitih tangga menuju kamarnya. Ia memilih akan menyusul Lea ke toko. Ia tidak mau membuat Lea terus marah padanya. Namun, begitu sampai lantai dua, Kenan bertemu Lisa. Lisa baru saja bangun. Ia hanya mengenakan baju tidur dengan potongan leher yang rendah, sama seperti tadi malam.
Kenan menghentikan langkah, menatap Lisa dengan saksama.
“Kak Kenan, ada apa? Kenapa kamu berlarian seperti itu?”
Kenan tidak menjawab, hanya bahunya naik turun mengolah udara. Benaknya kepikiran Lea, tapi matanya sudah melirik belahan dada Lisa yang menyembul keluar menggodanya. Lagi-lagi tanpa diminta ada bagian tubuh Kenan yang langsung bereaksi saat melihat hal tersebut.
Tanpa pikir panjang, Kenan langsung menarik tangan Lisa mengajaknya masuk kamar.
“Ayo, buruan!!”
Lisa tersenyum penuh kemenangan sambil menurut ajakan Kenan. Ia langsung menutup dan mengunci pintu kamarnya. Tak lama kemudian terdengar suara desahan menggoda dari kamar Lisa.
Baru satu jam kemudian, Kenan turun dari lantai dua dengan rambut setengah basah. Lisa tidak ikut turun, dia kembali tertidur usai melayani Kenan tadi.
“Tuan, tadi ada kiriman bunga dan kue untuk Nyonya Lea. Kuenya saya simpan di lemari pendingin sedangkan bunganya, masih saya letakkan di ruang tamu,” ujar salah satu asisten rumah tangga.
Kenan hanya diam sambil melirik sinis ke wanita paruh baya itu. Kemudian dia berjalan menuju ruang tamu dan melihat rangkaian bunga mawar merah sudah terletak di sana. Kenan membaca sekilas nama toko bunga yang mengirim. Itu adalah toko bunga milik istrinya.
“Bego banget si Roni ini. Pantes aja Lea berangkat pagi tadi.”
Kenan meremas kartu dengan nama toko tersebut dan membuangnya begitu saja. Selanjutnya tanpa sarapan, ia sudah keluar rumah menuju mobilnya.
Sementara itu, Lea sudah berada di toko. Toko bunganya membuka layanan pemesanan online. Saat bangun tadi pagi, Lea melihat ada pesanan online masuk. Itu sebabnya ia langsung bangun dan bergegas ke toko.
Lea tahu jika rangkaian bunga mawar itu akan dikirim ke rumahnya. Lea juga tahu jika bunga itu untuknya. Namun, Lea tidak peduli.
“Bu, ada paket untuk Anda.”
Sebuah suara membuyarkan lamunan Lea. Lea mendongak dan melihat salah satu karyawannya tampak berdiri di hadapannya sambil membawa beberapa paket di tangannya. Lea terdiam sambil menelan ludah. Ia sudah bisa menebak siapa yang mengirim paket sepagi ini.
“Sepertinya ini dari Pak Kenan, Bu. Suami Anda.”
Lea tidak bereaksi hanya diam sambil menundukkan kepala. Ia pura-pura sibuk dengan ponselnya.
“Bukannya hari ini bukan hari ulang tahun Bu Lea, tapi kenapa Pak Kenan mengirim paket sebanyak ini.”
Lea menghela napas panjang sambil mengangkat kepalanya. Ia langsung tersenyum membalas ucapan anak buahnya.
“Beruntung sekali menjadi Bu Lea, punya suami yang sangat perhatian seperti Pak Kenan.”
Lea kehabisan kata-kata, jadi hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Semua orang tahu jika suaminya sangat perhatian, penyayang dan akan memenuhi semua keinginan Lea. Mereka tidak tahu apa yang sedang ditutupi Kenan selama ini dari dunia luar.
“Taruh di situ saja paketnya.”
Akhirnya Lea bersuara. Karyawannya menurut, kemudian meletakkan beberapa paket tersebut di atas meja kerja Lea. Lea meliriknya sekilas, dari nama toko yang mengirim, Lea sudah menduga apa isi dalam paket tersebut. Apalagi kalau bukan kalung bertahta berlian atau kalau tidak cincin atau bisa jadi gelang.
Hampir penuh kotak perhiasaan Lea karena hadiah Kenan. Hal ini selalu dilakukan Kenan setiap dia usai melakukan kesalahan. Itu hal yang biasa bagi Lea. Namun, kejadian dua hari ini sangat tidak bisa ditolerir oleh akal sehat Lea.
Tanpa diminta, penggalan interaksi Kenan dan Lisa bermain di benaknya. Sakit hati Lea mengingatnya. Tak ayal buliran bening dari matanya luruh perlahan membuat kabur matanya. Lea mendongak hendak meraih tisu di depannya, saat tiba-tiba sebuah tangan sudah terulur dengan tisu di jarinya.
“Hari masih pagi, tidak baik jika diawali dengan kesedihan.”
Mata Tuan Fandi langsung berkaca-kaca usai mendengar kalimat terakhir Ghalib. Baru ini dia mendengar putra semata wayangnya memanggilnya ‘ayah’.Hal yang sama juga terjadi pada Nyonya Emilia. Wanita itu tersenyum dengan mata yang berkabut. Kemudian dengan lembut Nyonya Emilia menyentuh bahu Ghalib.“Ayahmu tidak pernah melupakanmu, Ghalib. Nanti biar Nenek yang membagi bagian ayahmu menjadi sama rata. Untuk kamu dan Lisa.”Ghalib hanya diam, ia sudah memalingkan wajah dari tatapan penuh cinta Tuan Fandi. Sementara Lisa hanya meliriknya dengan sinis. Ia kesal. Gara-gara Ghalib, bagian untuknya berkurang.“Sekarang kita lanjut makan saja, ya!!”Nyonya Emilia sudah mengambil alih pembicaraan lagi, tapi Ghalib tiba-tiba berdiri.“Sebenarnya … aku sudah menyiapkan kejutan untuk Nenek malam ini. Bukan, bukan untuk Nenek saja, tapi untuk semua yang hadir di sini.”“Kejutan apa yang
“Apa maksudnya, Ghalib? Kenapa kamu bicara seperti itu?”Sepertinya Nyonya Emilia menyadari ucapan Ghalib tadi dan ia jadi penasaran sehingga kembali mengajukan pertanyaan.Ghalib mengulum senyum sambil menggelengkan kepala.“Bukan apa-apa kok, Nek. Sudah, jangan dimasukkan hati. Lebih baik Nenek bersiap untuk pesta nanti malam. Aku punya banyak kejutan untuk Nenek.”Nyonya Emilia tersenyum sambil menganggukkan kepala. Kemudian keduanya sudah berjalan beriringan masuk ke bagian dalam rumah.Pukul tujuh malam, semua penghuni rumah berkumpul di ruang makan. Ada Nyonya Emilia, Tuan Fandi, Ghalib dan juga Lisa. Mereka tidak mengundang tamu lain untuk pesta ulang tahun malam ini. Nyonya Emilia tidak menginginkannya, tapi dia mengizinkan Lisa mendekor rumah dengan banyak bunga dan balon.“Jam berapa kamu datang, Ghalib? Kenapa Ayah tidak melihatmu seharian tadi?”Tuan Fandi membuka pembicaraan sambil mena
“Apa kamu sudah dengar kabar tentang Bu Lea?” tanya seorang karyawan siang itu.“Kabar apa?” tanya yang lain menyahuti.“Bu Lea kecelakaan di puncak. Katanya sih selamat, tapi aku dengar dia baru saja mendapat musibah lagi.”“Musibah apa?”“Ada yang menikam Bu Lea saat di rumah sakit. Itu sebabnya kondisi Bu Lea sekarang kritis.”“Ya Tuhan … .”Beberapa karyawan terlihat sedih, bahkan ada di antaranya yang menitikkan air mata. Lisa yang tanpa sengaja mendengar obrolan itu hanya diam.Saat ini dia memang sedang berada di kantin karyawan untuk makan siang, tidak disangka Lisa akan mendengar hal seperti ini.“Apa mungkin launching produknya akan diundur?” Kembali salah satu karyawan bertanya, sepertinya dia salah satu bagian tim Lea.“Sepertinya begitu, tapi kita tunggu Tuan Ghalib saja. Bagaimanapun dia yang berhak mengambil ke
“Lisa? Apa Anda mengenalnya?”Ghalib tidak menjawab. Ia duduk menyilangkan kaki sambil menautkan kedua tangan di atas lutut menatap tajam ke Handoko.“Sekarang, ceritakan saja siapa sebenarnya Lisa maka saya anggap Anda tidak berhutang pada saya.”Handoko tersenyum lebar, matanya yang tampak ketakutan kini kembali bersinar. Wajahnya juga tampak berseri-seri. Tidak pernah dia sesenang ini. Kalimat Ghalib barusan bagai oase di padang pasir.“Saya mulai dari mana, Tuan?” Handoko sangat antusias bahkan sudah mengubah posisi duduknya lebih nyaman berhadapan dengan Ghalib.Ghalib menarik napas tanpa sedikit pun melepas perhatiannya dari Handoko.“Ceritakan mulai dari siapa ayah dan ibunya!!”Handoko tersenyum, menganggukkan kepala sambil mulai bercerita. Ghalib hanya diam mendengarnya dan tak sedikit pun menyela penjelasan pria itu.Setelah hampir satu jam, Ghalib keluar dari kamar.
“Terima kasih, Tuan,” cicit Handoko.Pria berkacamata yang yang tak lain Arifin itu hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Tak lama ia sudah memberi kode ke anak buahnya agar membawa Handoko pergi dari sana.Pukul delapan pagi saat Ghalib melihat ada panggilan di ponselnya. Kali ini kembali Arifin yang melakukan panggilan.“Ada apa?”“Tuan, saya sudah menemukan Tuan Handoko.”Ghalib tersenyum lebar saat mendengar jawaban Arifin.“Di mana dia?”“Dia di tempat yang aman. Apa Anda ingin bertemu langsung dengannya?”Ghalib terdiam sejenak sambil melihat Lea yang masih terbaring di brankarnya. Helaan napas panjang keluar dengan perlahan dari bibir Ghalib.“Beri tahu lokasimu. Aku ke sana sebentar lagi.”Arifin mengangguk, mengakhiri panggilan kemudian tak lama sudah mengirim pesan ke Ghalib. Ghalib membaca sekilas dengan sebuah senyuman di wa
“Baik, Tuan.”Ghalib sudah mengakhiri panggilannya. Ia menyimpan ponsel sambil melirik sekilas Lea yang sedang terlelap.“Gak akan kubiarkan kamu melukainya, Lisa. Gak akan kubiarkan,” geram Ghalib tertahan.Sementara itu Lisa tampak berjalan mondar mandir di apartemennya. Sesekali ia remas jemarinya sambil mengerat bibir. Tak jarang pula, mata Lisa melirik ke arah jam di dinding ruangan, seolah dia sedang menantikan sesuatu di sana.“Sialan!! Kenapa belum ada kabar juga dari dia? Apa wanita berengsek itu masih hidup atau sudah mati?”Sejak tadi siang, Lisa belum mendapat kabar berita dari pamannya. Ia khawatir jika Handoko gagal dengan rencananya. Padahal dia sudah menaruh harapan penuh pada pria paruh baya itu.Lisa terjingkat kaget saat ponselnya tiba-tiba berdering. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Lisa langsung menjawabnya.“Gimana? Apa dia sudah mati?”“Siapa yang m