“HEH!!”
Lea termangu sambil menatap sosok tampan dengan sorot mata tajam yang berdiri di depannya. Pria itu tampak asing dan tidak pernah dilihat Lea sebelumnya, tapi mengapa dia begitu lancang berkata seperti itu.
“Maafkan kelancangan saya. Saya hanya mau pesan bunga.”
Lea segera tersadar dan tersenyum sambil menganggukkan kepala setelah sebelumnya menyeka air mata. Pria tampan dengan dagu terbelah itu hanya mengulum senyum memperhatikan Lea.
“Bunga apa yang hendak Anda pesan, Pak---”
“Ghalib. Nama saya Ghalib Haykal.”
Lea hanya mengangguk sambil mencatat namanya di sebuah buku pemesanan. Ghalib meliriknya sekilas.
“Apa Anda juga butuh alamat, tanggal lahir dan nomor telepon saya?”
Lea kembali mengangkat kepala, menatap Ghalib dengan alis mengernyit dan tatapan bingung. Ghalib tersenyum sambil menatap Lea lekat-lekat seraya menopang dagunya.
“Anda cukup cantik jika dilihat sedekat ini.”
Lea langsung melotot usai mendengar ucapan Ghalib. Apa pria ini sedang menggodanya?
Ghalib sontak tertawa melihat ekspresi wajah Lea. Tidak diduga, kedatangannya di kota baru ini sudah disambut dengan sesuatu yang membuatnya bahagia.
Lea mendengkus sambil mengangkat tangan dan menunjukkan cincin di jari manisnya.
“Saya sudah menikah dan tidak seharusnya Anda menggoda saya.”
Lea berkata dengan ketus berbanding terbalik dengan sapaan ramahnya tadi. Harusnya Ghalib langsung terdiam, tapi yang ada pria tampan itu malah tertawa.
“Jadi Anda pikir saya menggoda?”
Lea tidak menjawab, ia pura-pura menuliskan sesuatu di bukunya. Ghalib melirik tulisan tangan Lea dan tentu saja hal itu membuat Lea tidak nyaman. Dia tidak suka pria genit seperti Ghalib, baginya pria genit seperti ini pasti mempunyai banyak wanita di luar sana. Bisa saja dia dengan mudah berganti setiap saat.
Itu juga sebabnya dia suka pria yang biasa saja seperti Kenan, tapi ternyata dugaannya salah. Di mana-mana pria selalu sama, tidak tahan hanya dengan satu wanita di sampingnya.
“Saya sibuk, Pak Ghalib. Kalau Anda berniat memesan bunga, lebih baik katakan sekarang! Kalau tidak ---”
Lea tidak meneruskan kalimatnya, tapi tangannya sudah menunjuk pintu toko. Ghalib mengikuti arah tangan Lea kemudian langsung tersenyum. Ia tampak merapikan jasnya sambil menatap Lea dengan tajam.
“Nanti malam, ada grand opening di kantor saya dan saya butuh banyak bunga. Apa toko Anda bisa menyiapkannya?”
Lea tercengang kaget mendengar penjelasan Ghalib. Biasanya orang memesan bunga untuk acara sepenting ini jauh hari, minim satu hari sebelumnya. Jelas saja Lea terkejut mendengarnya.
Ghalib menarik napas sambil menautkan kedua tangannya seraya menatap Lea.
“Sepertinya toko Anda tidak sanggup memenuhi permintaan saya, ya?”
Lea tampak kesal dan buru-buru menggeleng. Dari dulu, dia terbiasa hidup mandiri dan ditempa kerasnya kehidupan. Wajar jika Lea marah saat diremehkan.
“Saya belum menjawabnya, kenapa Anda sudah memutuskan begitu saja?”
Ghalib tertawa membuat mata tajamnya menghilang. Lea hanya diam memperhatikan. Entah kenapa ada sesuatu yang menarik pada pria di depannya ini.
“Baik. Berarti Anda sanggup memenuhi permintaan saya?”
Lea mengangguk sambil tersenyum lebar. Ghalib membalasnya dengan senyuman yang tak kalah manis. Selanjutnya mereka tampak terlibat dengan pembicaraan serius. Baru satu jam kemudian, Ghalib meninggalkan toko bunga Lea.
“Siapa dia? Kenapa kamu tampak akrab dengannya?”
Lea terkejut saat melihat Kenan tiba-tiba masuk ke dalam tokonya sambil bertanya seperti itu. Tanpa Lea tahu, Kenan mengawasi interaksi Lea dan Ghalib tadi dari dalam mobil. Wajar jika Kenan merasa cemburu.
Lea hanya menghela napas sambil berjalan masuk menuju bagian dalam toko. Ia tidak suka jika karyawannya melihat perselisihan mereka.
“Kamu tidak menjawab, Lea?” Kenan kembali bertanya.
Lea menghentikan langkahnya dan menoleh menatap Kenan. Ia tersenyum mengejek sambil menggelengkan kepala. Belum sempat Lea bersuara, Kenan kembali bertutur.
“Apa karena dia, kamu berangkat pagi dan meninggalkanku begitu saja?”
Lea mengernyitkan alis sambil menyipitkan matanya. Lea yakin, Kenan suka dengan kepergiannya pagi ini. Bukankah akan banyak waktu yang bisa ia manfaatkan bersama Lisa. Namun, kenapa Kenan malah menuduhnya yang tidak-tidak.
“Dia bukan siapa-siapa. Dia hanya customerku.”
Mata Kenan terbelalak sambil menatap Lea tajam, seolah sedang menyelidiki kalimat Lea jujur atau tidak. Lea hanya berdecak sambil memalingkan wajah. Kenapa malah kini dia yang dicurigai? Lantas apa yang selama ini dilakukan Kenan padanya?
Lea siap berlalu pergi meninggalkan Kenan, tapi tangan Kenan lebih dulu meraih tangan Lea. Kemudian menarik tubuh wanita cantik itu dalam pelukannya. Lea tersentak kaget. Ia ingin berontak dan lepas, tapi Kenan malah mempererat pelukannya. Bahkan pria itu sudah mengikis jarak mereka.
“Kamu masih marah padaku?”
Suara Kenan terdengar lirih, berdesis di telinga Lea. Lea tidak menjawab, tapi tangannya sudah mengepal seakan sedang menahan amarah. Kalau mau jujur, Lea tidak sudi dipeluk seperti ini. Suaminya bukan hanya miliknya, bahkan hidung Lea malah mencium aroma parfum wanita lain dari tubuh suaminya.
“Mas … lepasin!! Aku sibuk.”
“GAK!! Kamu masih marah padaku dan aku tidak akan melepaskannya sampai kamu memaafkanku.”
Lea menghela napas sambil mendongak ke atas.
“Bukannya aku sudah bilang semalam. Aku memaafkanmu. Aku tahu kamu sibuk. Ya sudah.”
Kenan terdiam, matanya mengawasi Lea seakan mencari kejujuran di sana. Lea hanya diam, belakangan ini dia semakin pintar mengelola emosinya. Bahkan sebisa mungkin Lea mengesampingkan amarahnya.
Perlahan Kenan melonggarkan pelukannya. Lea bernapas lega dan bersiap pergi. Namun, Kenan malah menangkap tubuhnya kembali bahkan mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Lea tanpa izin.
Cukup lama Kenan melakukannya hingga membuat Lea kesulitan bernapas. Mungkin dulu, Lea akan menyukainya, tapi tidak saat ini.
“Aku akan memberimu lebih dari ciuman nanti malam. Jangan pulang malam, ya!!”
Kenan mengakhiri kecupannya dengan kalimat itu. Bahkan dengan sengaja jemari Kenan menyentuh lembut setiap sudut bibir Lea. Lea hanya diam sambil menganggukkan kepala. Ia yakin apa yang dikatakan suaminya tidak akan terwujud.
Ia tidak sudi berbagi dengan Lisa. Namun, tentu saja Lea tidak serta merta menunjukkan penolakannya. Kenan tersenyum sambil menatapnya dengan sendu. Kemudian tiba-tiba ponsel Kenan berdering.
Lea meliriknya. Lea berani taruhan jika yang melakukan panggilan saat ini adalah Lisa. Jika sudah seperti itu, Kenan pasti terlihat gelisah. Buru-buru menghindar untuk menjawabnya.
“Kenapa tidak dijawab?” tanya Lea.
Kenan membisu, kejadian ini mengingatkannya dengan kejadian semalam. Gara-gara panggilan di ponsel Kenan juga yang memicu amarah Lea.
Lea melihat Kenan dan pria itu tampak gelisah, sambil sesekali melirik layar ponselnya yang berkedip-kedip. Lea berdecak, bersiap pergi sambil bersuara,
“Aku tidak akan marah. Jawab saja teleponnya!!”
Ghalib mendengkus sambil menatap Deasy dengan tajam.“Sudah kuduga, kamu memang licik. Jadi berapa nomor rekeningmu, biar aku transfer jumlah yang kau sebutkan.”Deasy langsung terkekeh mendengar jawaban Ghalib. Selama ini Deasy selalu takut dan penurut kepada Ghalib. Ia takut Ghalib tidak akan menyukainya jika dia menunjukkan sifat aslinya.Namun, sejak ia membuat kesepakatan dengan Nyonya Emilia, Deasy tidak sungkan menunjukkan ke Ghalib siapa sejatinya dia.“Aku tidak perlu uang. Cukup cium aku saja, maka aku anggap pertolonganku hari ini lunas.”Seketika Ghalib geram, tangannya mengepal dengan wajah yang menegang menatap Deasy.“Ternyata kamu murahan. Aku yakin tidak hanya aku saja yang kau beri penawaran seperti itu.”Bibir Deasy langsung terkatup usai mendengar ucapan Ghalib. Ia tidak menduga Ghalib akan berkata seperti ini. Jangan-jangan Ghalib tahu tentang dia dan Kenan.Bahu Deasy na
Ghalib tidak bisa menjawab. Ia hanya diam kemudian sudah mengakhiri panggilannya. Lea yang melihatnya jadi penasaran.“Kenapa? Ada apa?”Jakun Ghalib naik turun dengan mata pekatnya yang menatap Lea.“Babe, Nenek ada di sini. Ia sedang mencariku.”Lea terdiam, alisnya terangkat dengan wajah miring menatap Ghalib.“Maksudmu di kantor ini? Sekarang?”Ghalib mengangguk. “Iya, aku sendiri tidak tahu kenapa Nenek tiba-tiba datang.”“Jangan-jangan Nenek sudah bersengkokol dengan Deasy untuk bertemu di sini hari ini.”Lea tidak menjawab. Rencana pesta pertunangan Ghalib dan Deasy memang tinggal menunggu hari saja. Mungkin itu sebabnya Nyonya Emilia datang ke sini hari ini.“Kalau begitu, temui nenekmu!! Jangan buat dia curiga.”Ghalib tidak bereaksi malah menatap Lea dengan tajam.“Aku akan pulang. Malam ini aku tidak keberatan jika kamu
“LEA!! TUNGGU!!!” Ghalib langsung berlari keluar mengejar Lea. Ia tidak menduga Lea akan datang ke kantornya dan melihatnya saat bersama Deasy. Ghalib sungguh menyesali kecerobohannya. Padahal sikapnya ke Deasy tadi tidak bermaksud apa-apa, tapi tentu saja berbeda dengan yang dilihat Lea. Sementara itu Deasy masih bergeming di posisinya melihat Ghalib yang kelabakan mengejar Lea. Sebuah senyum kemenangan terukir dengan jelas di wajah manis Deasy. “Padahal tadinya aku hanya sekedar mampir untuk melihat keadaanmu, Ghalib, tapi, aku malah disuguhkan pemandangan menyenangkan seperti ini.” Deasy berdecak sambil menggelengkan kepala berjalan keluar dari ruangan Ghalib. Sedangkan Ghalib sudah berhasil mengejar Lea. Ia menarik tangan Lea dan mengajaknya masuk ke dalam salah satu ruangan di lantai tersebut. Lea hanya diam membisu, menunduk tanpa mau melihat Ghalib. “Kamu marah padaku, Babe?” Tidak ada jawaban dari Lea dan tentu saja itu membuat Ghalib semakin khawatir. Ghalib menghela n
“Kamu lupa dengan tujuan utamaku, Ghalib?” tanya Kenan.Ghalib tidak menjawab hanya diam dengan mata pekatnya menatap Kenan. Kenan semakin mencondongkan tubuhnya ke Ghalib, kini jemarinya tampak mengetuk meja beberapa kali.“Aku hanya menginginkan milikku kembali Ghalib.”Tidak ada reaksi dari Ghalib, tapi Kenan melihat mata pria tampan berdagu belah itu berkedut sekilas seolah sedang menahan amarah.“Aku mulai dari mengambil kembali perusahaanku, kemudian bersambung ke yang lain, termasuk mengambil kembali kekasihku, Lea.”BRAK!!!Ghalib langsung menggebrak meja di depannya membuat cangkir kopi Kenan bergetar dan menumpahkan cairan kopi ke meja.“JAGA MULUTMU, KENAN!!!”“Kamu pikir Lea barang yang bisa seenaknya saja kamu buang lalu kamu ambil.”Kenan hanya tersenyum masam mendengar ucapan Ghalib.“Kamu yang mulai lebih dulu, Kenan. Kamu yang menya
Ghalib tidak menjawab, tapi wajahnya terlihat tegang dengan tangan yang terkepal di samping tubuhnya.Ia sudah menduga Kenan akan menyerangnya usai kejadian kemarin, tapi Ghalib tidak menyangka kalau akan secepat ini.“Baik, panggil ahli dari kalian dan aku akan memanggil ahli dariku untuk memeriksa keaslian surat itu!!”Akhirnya setelah terdiam beberapa saat, Ghalib bersuara. Bobi tersenyum, menganggukkan kepala menyetujui permintaan Ghalib.Tak berapa lama dua ahli didatangkan untuk memeriksa keaslian surat. Ghalib sudah tahu kalau dia akan kalah, tapi dia tidak akan mengalah begitu mudah.“Tuan, surat kepemilikan ini asli dan sepertinya mereka tidak bohong. Perusahaan ini telah beralih kepemilikan menjadi milik Tuan Kenan.”Ahli dari pihak Ghalib menjelaskan hasil penyelidikannya. Ahli dari pihak Kenan juga berkata hal yang sama. Bobi tersenyum lebar begitu mengetahui hasilnya.“Bagaimana, Tuan? Anda p
“APA!! Hilang?? Bagaimana mungkin, Pak?”Ghalib sangat terkejut begitu mendengar penjelasan Pak Jonas. Pak Jonas hanya diam sambil menundukkan kepala. Ia sendiri tidak tahu mengapa surat sepenting itu bisa hilang.Setahu Pak Jonas hanya beberapa orang saja yang mengetahui kombinasi kunci pada lemari penyimpanannya. Mengapa sekarang malah seperti ini?“Maafkan saya, Tuan. Saya benar-benar kecolongan kali ini.”Ghalib tidak menjawab, tapi bahunya terlihat naik turun mengatur udara dengan tergesa.“Lalu apa ada kabar yang lain dari Arifin?”“Belum, Tuan. Sepertinya Arifin sedang berusaha mengendalikan situasi di sana.”Ghalib mengangguk, kemudian langsung bangkit dari duduknya. Pak Jonas tampak terkejut melihat reaksi Ghalib.“Aku akan ke sana sekarang. Aku ingin lihat apa benar surat kepemilikan itu asli atau bukan.”“Jangan-jangan ini hanya permainan Kenan.