Share

Bab 8

Penulis: Aira Tsuraya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-09 11:00:52

“HEH!!”

Lea termangu sambil menatap sosok tampan dengan sorot mata tajam yang berdiri di depannya. Pria itu tampak asing dan tidak pernah dilihat Lea sebelumnya, tapi mengapa dia begitu lancang berkata seperti itu.

“Maafkan kelancangan saya. Saya hanya mau pesan bunga.”

Lea segera tersadar dan tersenyum sambil menganggukkan kepala setelah sebelumnya menyeka air mata. Pria tampan dengan dagu terbelah itu hanya mengulum senyum memperhatikan Lea.

“Bunga apa yang hendak Anda pesan, Pak---”

“Ghalib. Nama saya Ghalib Haykal.”

Lea hanya mengangguk sambil mencatat namanya di sebuah buku pemesanan. Ghalib meliriknya sekilas.

“Apa Anda juga butuh alamat, tanggal lahir dan nomor telepon saya?”

Lea kembali mengangkat kepala, menatap Ghalib dengan alis mengernyit dan tatapan bingung. Ghalib tersenyum sambil menatap Lea lekat-lekat seraya menopang dagunya.

“Anda cukup cantik jika dilihat sedekat ini.”

Lea langsung melotot usai mendengar ucapan Ghalib. Apa pria ini sedang menggodanya?

Ghalib sontak tertawa melihat ekspresi wajah Lea. Tidak diduga, kedatangannya di kota baru ini sudah disambut dengan sesuatu yang membuatnya bahagia.

Lea mendengkus sambil mengangkat tangan dan menunjukkan cincin di jari manisnya.

“Saya sudah menikah dan tidak seharusnya Anda menggoda saya.”

Lea berkata dengan ketus berbanding terbalik dengan sapaan ramahnya tadi. Harusnya Ghalib langsung terdiam, tapi yang ada pria tampan itu malah tertawa.

“Jadi Anda pikir saya menggoda?”

Lea tidak menjawab, ia pura-pura menuliskan sesuatu di bukunya. Ghalib melirik tulisan tangan Lea dan tentu saja hal itu membuat Lea tidak nyaman. Dia tidak suka pria genit seperti Ghalib, baginya pria genit seperti ini pasti mempunyai banyak wanita di luar sana. Bisa saja dia dengan mudah berganti setiap saat.

Itu juga sebabnya dia suka pria yang biasa saja seperti Kenan, tapi ternyata dugaannya salah. Di mana-mana pria selalu sama, tidak tahan hanya dengan satu wanita di sampingnya.

“Saya sibuk, Pak Ghalib. Kalau Anda berniat memesan bunga, lebih baik katakan sekarang! Kalau tidak ---”

Lea tidak meneruskan kalimatnya, tapi tangannya sudah menunjuk pintu toko. Ghalib mengikuti arah tangan Lea kemudian langsung tersenyum. Ia tampak merapikan jasnya sambil menatap Lea dengan tajam.

“Nanti malam, ada grand opening di kantor saya dan saya butuh banyak bunga. Apa toko Anda bisa menyiapkannya?”

Lea tercengang kaget mendengar penjelasan Ghalib. Biasanya orang memesan bunga untuk acara sepenting ini jauh hari, minim satu hari sebelumnya. Jelas saja Lea terkejut mendengarnya.

Ghalib menarik napas sambil menautkan kedua tangannya seraya menatap Lea.

“Sepertinya toko Anda tidak sanggup memenuhi permintaan saya, ya?”

Lea tampak kesal dan buru-buru menggeleng. Dari dulu, dia terbiasa hidup mandiri dan ditempa kerasnya kehidupan. Wajar jika Lea marah saat diremehkan.

“Saya belum menjawabnya, kenapa Anda sudah memutuskan begitu saja?”

Ghalib tertawa membuat mata tajamnya menghilang. Lea hanya diam memperhatikan. Entah kenapa ada sesuatu yang menarik pada pria di depannya ini.

“Baik. Berarti Anda sanggup memenuhi permintaan saya?”

Lea mengangguk sambil tersenyum lebar. Ghalib membalasnya dengan senyuman yang tak kalah manis. Selanjutnya mereka tampak terlibat dengan pembicaraan serius. Baru satu jam kemudian, Ghalib meninggalkan toko bunga Lea.

“Siapa dia? Kenapa kamu tampak akrab dengannya?”

Lea terkejut saat melihat Kenan tiba-tiba masuk ke dalam tokonya sambil bertanya seperti itu. Tanpa Lea tahu, Kenan mengawasi interaksi Lea dan Ghalib tadi dari dalam mobil. Wajar jika Kenan merasa cemburu.

Lea hanya menghela napas sambil berjalan masuk menuju bagian dalam toko. Ia tidak suka jika karyawannya melihat perselisihan mereka.

“Kamu tidak menjawab, Lea?” Kenan kembali bertanya.

Lea menghentikan langkahnya dan menoleh menatap Kenan. Ia tersenyum mengejek sambil menggelengkan kepala. Belum sempat Lea bersuara, Kenan kembali bertutur.

“Apa karena dia, kamu berangkat pagi dan meninggalkanku begitu saja?”

Lea mengernyitkan alis sambil menyipitkan matanya. Lea yakin, Kenan suka dengan kepergiannya pagi ini. Bukankah akan banyak waktu yang bisa ia manfaatkan bersama Lisa. Namun, kenapa Kenan malah menuduhnya yang tidak-tidak.

“Dia bukan siapa-siapa. Dia hanya customerku.”

Mata Kenan terbelalak sambil menatap Lea tajam, seolah sedang menyelidiki kalimat Lea jujur atau tidak. Lea hanya berdecak sambil memalingkan wajah. Kenapa malah kini dia yang dicurigai? Lantas apa yang selama ini dilakukan Kenan padanya?

Lea siap berlalu pergi meninggalkan Kenan, tapi tangan Kenan lebih dulu meraih tangan Lea. Kemudian menarik tubuh wanita cantik itu dalam pelukannya. Lea tersentak kaget. Ia ingin berontak dan lepas, tapi Kenan malah mempererat pelukannya. Bahkan pria itu sudah mengikis jarak mereka.

“Kamu masih marah padaku?”

Suara Kenan terdengar lirih, berdesis di telinga Lea. Lea tidak menjawab, tapi tangannya sudah mengepal seakan sedang menahan amarah. Kalau mau jujur, Lea tidak sudi dipeluk seperti ini. Suaminya bukan hanya miliknya, bahkan hidung Lea malah mencium aroma parfum wanita lain dari tubuh suaminya.

“Mas … lepasin!! Aku sibuk.”

“GAK!! Kamu masih marah padaku dan aku tidak akan melepaskannya sampai kamu memaafkanku.”

Lea menghela napas sambil mendongak ke atas.

“Bukannya aku sudah bilang semalam. Aku memaafkanmu. Aku tahu kamu sibuk. Ya sudah.”

Kenan terdiam, matanya mengawasi Lea seakan mencari kejujuran di sana. Lea hanya diam, belakangan ini dia semakin pintar mengelola emosinya. Bahkan sebisa mungkin Lea mengesampingkan amarahnya.

Perlahan Kenan melonggarkan pelukannya. Lea bernapas lega dan bersiap pergi. Namun, Kenan malah menangkap tubuhnya kembali bahkan mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Lea tanpa izin.

Cukup lama Kenan melakukannya hingga membuat Lea kesulitan bernapas. Mungkin dulu, Lea akan menyukainya, tapi tidak saat ini.

“Aku akan memberimu lebih dari ciuman nanti malam. Jangan pulang malam, ya!!”

Kenan mengakhiri kecupannya dengan kalimat itu. Bahkan dengan sengaja jemari Kenan menyentuh lembut setiap sudut bibir Lea. Lea hanya diam sambil menganggukkan kepala. Ia yakin apa yang dikatakan suaminya tidak akan terwujud.

Ia tidak sudi berbagi dengan Lisa. Namun, tentu saja Lea tidak serta merta menunjukkan penolakannya. Kenan tersenyum sambil menatapnya dengan sendu. Kemudian tiba-tiba ponsel Kenan berdering.

Lea meliriknya. Lea berani taruhan jika yang melakukan panggilan saat ini adalah Lisa. Jika sudah seperti itu, Kenan pasti terlihat gelisah. Buru-buru menghindar untuk menjawabnya.

“Kenapa tidak dijawab?” tanya Lea.

Kenan membisu, kejadian ini mengingatkannya dengan kejadian semalam. Gara-gara panggilan di ponsel Kenan juga yang memicu amarah Lea.

Lea melihat Kenan dan pria itu tampak gelisah, sambil sesekali melirik layar ponselnya yang berkedip-kedip. Lea berdecak, bersiap pergi sambil bersuara,

“Aku tidak akan marah. Jawab saja teleponnya!!”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
dianrahmat
1 jam hanya utk bicarakan pesan bungaaaa? ....... hellooo.... relistislah sedikit. cwo pula yg pesen. makin gaje ...‍♀️
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Silakan Ambil Suamiku, Nona Pelakor   Bab 130

    Mata Tuan Fandi langsung berkaca-kaca usai mendengar kalimat terakhir Ghalib. Baru ini dia mendengar putra semata wayangnya memanggilnya ‘ayah’.Hal yang sama juga terjadi pada Nyonya Emilia. Wanita itu tersenyum dengan mata yang berkabut. Kemudian dengan lembut Nyonya Emilia menyentuh bahu Ghalib.“Ayahmu tidak pernah melupakanmu, Ghalib. Nanti biar Nenek yang membagi bagian ayahmu menjadi sama rata. Untuk kamu dan Lisa.”Ghalib hanya diam, ia sudah memalingkan wajah dari tatapan penuh cinta Tuan Fandi. Sementara Lisa hanya meliriknya dengan sinis. Ia kesal. Gara-gara Ghalib, bagian untuknya berkurang.“Sekarang kita lanjut makan saja, ya!!”Nyonya Emilia sudah mengambil alih pembicaraan lagi, tapi Ghalib tiba-tiba berdiri.“Sebenarnya … aku sudah menyiapkan kejutan untuk Nenek malam ini. Bukan, bukan untuk Nenek saja, tapi untuk semua yang hadir di sini.”“Kejutan apa yang

  • Silakan Ambil Suamiku, Nona Pelakor   Bab 129

    “Apa maksudnya, Ghalib? Kenapa kamu bicara seperti itu?”Sepertinya Nyonya Emilia menyadari ucapan Ghalib tadi dan ia jadi penasaran sehingga kembali mengajukan pertanyaan.Ghalib mengulum senyum sambil menggelengkan kepala.“Bukan apa-apa kok, Nek. Sudah, jangan dimasukkan hati. Lebih baik Nenek bersiap untuk pesta nanti malam. Aku punya banyak kejutan untuk Nenek.”Nyonya Emilia tersenyum sambil menganggukkan kepala. Kemudian keduanya sudah berjalan beriringan masuk ke bagian dalam rumah.Pukul tujuh malam, semua penghuni rumah berkumpul di ruang makan. Ada Nyonya Emilia, Tuan Fandi, Ghalib dan juga Lisa. Mereka tidak mengundang tamu lain untuk pesta ulang tahun malam ini. Nyonya Emilia tidak menginginkannya, tapi dia mengizinkan Lisa mendekor rumah dengan banyak bunga dan balon.“Jam berapa kamu datang, Ghalib? Kenapa Ayah tidak melihatmu seharian tadi?”Tuan Fandi membuka pembicaraan sambil mena

  • Silakan Ambil Suamiku, Nona Pelakor   Bab 128

    “Apa kamu sudah dengar kabar tentang Bu Lea?” tanya seorang karyawan siang itu.“Kabar apa?” tanya yang lain menyahuti.“Bu Lea kecelakaan di puncak. Katanya sih selamat, tapi aku dengar dia baru saja mendapat musibah lagi.”“Musibah apa?”“Ada yang menikam Bu Lea saat di rumah sakit. Itu sebabnya kondisi Bu Lea sekarang kritis.”“Ya Tuhan … .”Beberapa karyawan terlihat sedih, bahkan ada di antaranya yang menitikkan air mata. Lisa yang tanpa sengaja mendengar obrolan itu hanya diam.Saat ini dia memang sedang berada di kantin karyawan untuk makan siang, tidak disangka Lisa akan mendengar hal seperti ini.“Apa mungkin launching produknya akan diundur?” Kembali salah satu karyawan bertanya, sepertinya dia salah satu bagian tim Lea.“Sepertinya begitu, tapi kita tunggu Tuan Ghalib saja. Bagaimanapun dia yang berhak mengambil ke

  • Silakan Ambil Suamiku, Nona Pelakor   Bab 127

    “Lisa? Apa Anda mengenalnya?”Ghalib tidak menjawab. Ia duduk menyilangkan kaki sambil menautkan kedua tangan di atas lutut menatap tajam ke Handoko.“Sekarang, ceritakan saja siapa sebenarnya Lisa maka saya anggap Anda tidak berhutang pada saya.”Handoko tersenyum lebar, matanya yang tampak ketakutan kini kembali bersinar. Wajahnya juga tampak berseri-seri. Tidak pernah dia sesenang ini. Kalimat Ghalib barusan bagai oase di padang pasir.“Saya mulai dari mana, Tuan?” Handoko sangat antusias bahkan sudah mengubah posisi duduknya lebih nyaman berhadapan dengan Ghalib.Ghalib menarik napas tanpa sedikit pun melepas perhatiannya dari Handoko.“Ceritakan mulai dari siapa ayah dan ibunya!!”Handoko tersenyum, menganggukkan kepala sambil mulai bercerita. Ghalib hanya diam mendengarnya dan tak sedikit pun menyela penjelasan pria itu.Setelah hampir satu jam, Ghalib keluar dari kamar.

  • Silakan Ambil Suamiku, Nona Pelakor   Bab 126

    “Terima kasih, Tuan,” cicit Handoko.Pria berkacamata yang yang tak lain Arifin itu hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Tak lama ia sudah memberi kode ke anak buahnya agar membawa Handoko pergi dari sana.Pukul delapan pagi saat Ghalib melihat ada panggilan di ponselnya. Kali ini kembali Arifin yang melakukan panggilan.“Ada apa?”“Tuan, saya sudah menemukan Tuan Handoko.”Ghalib tersenyum lebar saat mendengar jawaban Arifin.“Di mana dia?”“Dia di tempat yang aman. Apa Anda ingin bertemu langsung dengannya?”Ghalib terdiam sejenak sambil melihat Lea yang masih terbaring di brankarnya. Helaan napas panjang keluar dengan perlahan dari bibir Ghalib.“Beri tahu lokasimu. Aku ke sana sebentar lagi.”Arifin mengangguk, mengakhiri panggilan kemudian tak lama sudah mengirim pesan ke Ghalib. Ghalib membaca sekilas dengan sebuah senyuman di wa

  • Silakan Ambil Suamiku, Nona Pelakor   Bab 125

    “Baik, Tuan.”Ghalib sudah mengakhiri panggilannya. Ia menyimpan ponsel sambil melirik sekilas Lea yang sedang terlelap.“Gak akan kubiarkan kamu melukainya, Lisa. Gak akan kubiarkan,” geram Ghalib tertahan.Sementara itu Lisa tampak berjalan mondar mandir di apartemennya. Sesekali ia remas jemarinya sambil mengerat bibir. Tak jarang pula, mata Lisa melirik ke arah jam di dinding ruangan, seolah dia sedang menantikan sesuatu di sana.“Sialan!! Kenapa belum ada kabar juga dari dia? Apa wanita berengsek itu masih hidup atau sudah mati?”Sejak tadi siang, Lisa belum mendapat kabar berita dari pamannya. Ia khawatir jika Handoko gagal dengan rencananya. Padahal dia sudah menaruh harapan penuh pada pria paruh baya itu.Lisa terjingkat kaget saat ponselnya tiba-tiba berdering. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Lisa langsung menjawabnya.“Gimana? Apa dia sudah mati?”“Siapa yang m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status