"Aku nggak percaya, maaf, jadi nunggu mamaku muncul aja," timpalku membuat Mbok Tuti beranjak pergi dan terdengar menghentakkan kakinya. Tangan Mbak Giska meraih telapak tangan ini. Lalu meletakkan ke dadanya. Dia tersenyum sangat manis. Seandainya Mas Firman juga tidak neko-neko, mungkin kami adalah salah satu keluarga yang sangat harmonis. Jarang ditemui kakak dan adik madu saling mendukung seperti ini.Aku sengaja duduk dengan posisi setengah jongkok, supaya bisa bicara dengan bahasa isyarat pada Mbak Giska. "Mas Firman akan menyesal, Mbak." Tangan ini diayunkan ketika bicara dengan Mbak Giska. "Tuhan telah menunjukkan keburukannya," jawab Mbak Giska dengan tangan yang memperagakan bicaranya. Tidak lama kemudian, mama pun datang, aku sontak memberikan pesan padanya untuk menjaga Mbak Giska. Sebab, ada urusan kantor yang harus diselesaikan. Di ruang tamu, aku berpapasan dengan Mbok Tuti, dia menghadang jalanku dengan tangan yang sengaja dibentangkan. Ini bukan satu kali pembant
Aku membuka mata dan ternyata sudah ada ruangan yang berisi suster. "Aku di mana, Sus?" Suaraku pelan tapi seorang suster langsung menghampiriku. "Ibu berada di rumah sakit, tadi Ibu beserta keluarga mengalami kecelakaan," jawab suster. Aku teringat kejadian tadi, dimana mamaku dan Mbak Giska juga terserempet dan terakhir kalinya aku membuka mata sempat mendengar suara lembut Mbak Giska. "Keluarga saya di mana, Sus?" tanyaku padanya. "Kondisiku bagaimana?" Aku menambah pertanyaan. "Kondisi Ibu baik, hanya tadi pingsan mungkin shock ringan, sedangkan dia wanita yang bersama Ibu ....""Bu Rosmala dan Bu Giska juga baik-baik saja."Suster menghentikan ucapannya. Namun, tiba-tiba Adnan muncul dan dia yang memberikan informasi bahwa mereka juga dalam kondisi baik. "Adnan, kamu bicara serius atau hanya ingin menenangkanku?" Suster pergi karena sudah ada Adnan yang datang. Kini sosok orang kepercayaan Mbak Giska itu berada di dekatku dengan disertai senyuman semringah. Aku ingat betu
Entah apa kesalahanku sehingga Mama menamparku dengan api kemarahan. Yang jelas Mama tengah membela Mbak Giska yang barusan aku maki-maki. "Pergi dari sini, Mama tidak sudi melihat anak yang tidak tahu terima kasih," celetuknya dengan nada pelan. "Mah, aku berkata benar, tadi Mama ingin menyelamatkan Mbak Giska, kan?" sanggahku tak mau kalah. Mama membuang wajahnya, ia tak mau menatapku. "Mama istirahat ya, aku akan kembali setelah urus ruang rawat inap," ucapku padanya. Ia kembali menoleh lagi, lalu mencekal tangan ini. "Nggak malu urus biaya rumah sakit dengan menggunakan uangnya Giska?" sindir Mama membuatku tertegun. Omongannya pelan tapi dalam, tidakkah dia berpikir bahwa telah menyakitiku? "Mah, aku kerja, yang urus perusahaan adalah aku," jawabku ketus. Mama menggelengkan kepalanya, la menarik napasnya sambil memegang dada. "Tolong telepon papamu suruh jemput Mama di sini, jangan membantah," suruhnya. "Baik, aku akan telepon Papa," jawabku. "Kamu juga pulang, nggak u
"Lapor aja, silakan! Saya nggak takut!" Aku menabrak bahu Mbok Tuti, lalu mendorong kursi roda mamaku ke dalam. Rencananya malam ini Mama akan diantar pulang ke Semarang oleh Adnan. Aku putuskan tidak melibatkan Mama lagi dalam misi ini, terlalu beresiko, biarkan aku saja yang menjadi taruhannya. Meskipun nyawa yang akan kupertaruhkan nantinya, demi Mbak Giska. ***Aku duduk di ruang keluarga, ada Mama Rosmala tengah berkemas-kemas. Ponsel pun berdering, panggilan masuk dari Mas Firman. Aku segera mengangkat telepon darinya. "Halo, Mas," ucapku. "Nurma, kamu gimana sih, kenapa nggak bilang-bilang kalau terjadi kecelakaan?" Mas Firman membentak meskipun melalui sambungan telepon. "Maaf, Mas. Ponsel kami mati," jawabku. sekenanya. "Loh, kalau kecelakaan kan ada polisi, kenapa nggak ada yang kabarin aku?" tanyanya lagi lebih detail. "Mas, sudahlah, lebih baik sekarang kita pikirkan bagaimana mencari keberadaan Mbak Giska," jawabku membuat suasana di seberang sama hening. Kenapa t
Aku melangkah meskipun dada ini sesak, ya sebab akan melihat selingkuhan suamiku di dalam gudang yang isinya sudah bukan lagi barang-barang tidak terpakai. Kalau dulu gudang berisi barang tak layak pakai, sekarang dihuni dengan wanita perebut suami orang. Ia bak sampah yang memang pantas disembunyikan di tempat seperti ini. Aku melewati lorong yang mengarahkan ke pintu kamar. Lalu kubuka kembali pintu kamar itu dengan kerasnya. Brak! Suara daun pintu yang beradu dengan dinding membuat seorang wanita yang tengah duduk di atas ranjang itu terkejut. Ia melempar ponsel genggamnya seketika. Lalu berdiri dan menyorotku dengan menggigit bibirnya. Aku sengaja menghampiri tanpa menyapanya lebih dulu. Ingin rasanya menarik rambutnya yang lurus itu hingga tersungkur ke lantai. Plak! Tamparan keras aku layangkan ketika tubuh ini berada di hadapannya persis. Dia mendesah kesakitan, tangannya memegang pipi yang merah akibat dari tamparan keras yang kulayangkan. "Nurma!" Mas Firman berteria
"Adnan," celetuk Mas Firman dengan mulut menganga lebar. Aku menyaksikan sendiri bagaimana suamiku ketahuan bicara tentang Mbak Giska di hadapan orang kepercayaan keluarganya. "Ya, saya. Orang yang sebenarnya sudah tahu semuanya, tapi belum cukup bukti untuk mempertontonkan pada Bu Nurma, istri kedua yang sah," jawab Adnan. "Tapi kini Pak Firman telah menjelaskan semuanya, sudah membeberkan sifat asli Mas Firman pada Bu Nurma," tambahnya. Aku menghela napas, lalu melangkah sedikit supaya sejajar berdiri dengan Adnan. "Kamu tidak berhak mengubah semua keputusan yang sudah Giska tanda tangani sebelum dia hilang," sahut Mas Firman dengan percaya dirinya. "Keputusan yang mana? Tanda tangannya kapan?" Adnan mencecar Mas Firman yang gelagapan. Namun, tiba-tiba ponsel Adnan berdering, ia izin sebentar dan menjauh dari kami untuk angkat telepon. Aku masih berdiri di hadapan Mas Firman sambil menunggu Adnan usai menerima panggilan masuk dan kembali berdiri di sebelahku. Mata Mas Firman
Aku pikir Mas Firman berubah jadi manusia culas semenjak Mbak Giska lumpuh dan bisa. Namun, aku salah menilainya. Justru dia adalah penyebab sakitnya Mbak Giska.Suamiku memang pandai menyimpan bangkai ini. Tiga tahun lamanya baru hari ini aku mendengar pengakuan darinya. Serumit itu hidup orang kaya? Menghalalkan segala cara untuk menggapai dan menikmati apa yang diinginkannya.Aku menghela napas kasar, lalu melanjutkan lagi menguping apa yang mereka bicarakan."Akhirnya penantianku selama lima tahun akan berakhir di pelaminan. Kamu janji akan nikahin aku, kan?" tanya Airin.Kenyataan pahit lagi yang kudengar menyesakkan hati ini. Kalau ternyata Mas Firman dan Airin lebih dulu saling kenal dibandingkan aku. Itu artinya Mas Firman selingkuh sudah lama, sebelum Mbak Giska memintaku untuk menjadi madunya.Pelik masalah yang kuhadapi ini sangat pahit didengar oleh Mbak Giska. Apakah dia sanggup mendengarnya nanti? Aku yakin dia akan shock mendengar kabar ini."Kita nikmati malam ini dulu
"Telepon dari siapa sih? Nggak kelihatan. Aku angkat ya?" Mas Firman meraih ponselku yang ada di dashboard mobil. Sedangkan aku, jantung ini detakannya berubah menjadi sangat kencang. "Mas, ini lepasin dulu rambutku dijambak pacarmu loh!" pintaku dengan nada terengah-engah, aku sulit bicara karena tarikan Airin semakin kencang. Namun, tiba-tiba Mas Firman menghentikan mobilnya. Ada polisi yang menghadang mobil kami. Rambut ini pun dilepas oleh Airin. Sedangkan Mas Firman membuka kaca mobilnya karena sudah diketuk oleh polisi. "Maaf, Pak, tadi kami lihat dan dengar ada keributan di dalam mobil," tanya petugas. Mas Firman meletakkan ponselku yang tadi sempat ia raih. "Biasa Pak, punya istri dua pada ribut," jawab Mas Firman. Sementara itu, tanganku berinisiatif untuk mengganti kontak Mbak Giska menjadi Felly. Ya, dia sekretarisku di kantor. Ini kulakukan supaya Mas Firman tidak mengetahui bahwa yang menghubungi barusan adalah Mbak Giska. Kejadian tadi memang harus diambil pelajar