Setelah Cela resmi menjadi calon istri Reza, pingitan terhadap dirinya dihapuskan. Cella tinggal bilang ke Reza bahwa ia akan mengunjungi Ken. Reza akan melindungi sepenuh hati dari kedua orang tua Cella. Sejak saat itu, itu Cella bebas mengunjungi kekasihnya. Ia hanya diwajibkan untuk pulang setiap malam. Namun, hal itu sama sekali bukan masalah. Ia dan Ken punya waktu sepanjang hari untuk bersama bila sedang tidak ada jadwal syuting.
Hal yang masih mengganggu adalah kekesalan Ken setelah makan malamnya bersama Reza. Lelaki itu terus merajuk berhari - hari. Cella yang sudah hafal tabiat sang pacar menanggapi dengan santai.
"Keeen? Cheyeeeennkkk? Kok cemberut terus? Ntar cepat tua, loh."
"Bodo amat!" Ken melengos dan manyun panjang. Cella terkekeh-kekeh melihat wajah yang sangat lucu itu.
"Kalau ngambek gitu kamu makin lucu, Cheyeenk! Udahan dong marahannya?"
"Gimana gue kagak kesel? Rayan dapat dokter cantik. Reza dapatin elo. Lah gue dapatin janda ngg
Hari demi hari berlalu. Reza mulai terbiasa dengan rutinitas baru. Rumah mereka bertiga terletak di pinggir kompleks, menghadap hutan mini sehingga sangat sedikit yang lalu lalang di jalan depan rumah. sepanjang jalan itu hanya terdapat lima belas kavling. Yang sudah dibangun baru delapan, namun yang telah ditempati hanya empat, termasuk ketiga rumah mereka. Satu keluarga tinggal di ujung jalan, cukup jauh. Dengan demikian, praktis tak ada yang melihat aktivitas pertukaran pasangan.Reza menikmati kehidupan baru bersama Dita. Setiap hari, ia sempatkan untuk mengantar wanita itu ke tempat kerja. Reza tidak pernah turun dari mobil karena takut ketahuan bukan suami resmi Dita yang menyetir mobil.“Kalau ada yang curiga bilang aja gue sopirnya Ray,” kata Reza saat pertama kali ke kantor berdua.“Iya,” jawab Dita. Dalam hati ia menggerutu. Mana ada sopir sedemikian perlente? Rayyan saja kalah modis. Semua yang menempel di badan Reza adalah barang - barang bermerek
Reza pulang dalam kondisi pening. Selain kasus Kalandra Sadhana, kasus Nita pun menjadi beban pikiran. Dalam hal kasus Nita, rasa bersalah karena tidak mengantisipasi kejadian buruk menjadi hantu baginya. Ia bahkan menjadi gamang untuk menangani kasus-kasus lain dan cenderung kelewat hati-hati.Hari ini Dita jaga pagi. Reza berharap menemukan istri yang bisa memeluk dan memanjakan sehingga bisa melupakan sejenak kepenatan jiwa akibat pekerjaan. Tapi mungkin harapannya agak berlebihan. Dita bukan istri yang memiliki kepekaan demikian. barangkali dibesarkan secara keras membuat wanita itu kehilangan kelembutan. Sampai di rumah, ternyata Cella yang membukakan pintu.“Loh, kok elu, Cel? Dita mana?” Reza heran sendiri mengapa hatinya girang menemukan wajah cantik itu.“Mertuanya datang. Jadi dia terpaksa nemenin Rayyan.”Rasa girang Reza mendadak lenyap. Ia berdecak. “Kapan mereka datang?”“Baru aj
Reza menatap layar monitor beberapa detik. Untuk sejenak, ia tak percaya dengan mata sendiri. Akan tetapi, yang terlihat di layar memang nama Cacarita. Pesan itu dikirim 10 menit yang lalu.Cacarita: Hai!Cacarita: Boleh ngobrol?Cacarita: Udah tidur, ya?Cacarita: Btw ceritamu laris. Selamat, ya.Bulu kuduk Reza meremang. Bagaimana mungkin orang yang sudah berada dalam kubur bisa melakukan chatting? Jantungnya berpacu cepat. Keringat dingin membulir di kening dan kedua telapak tangan.Matilah gue! Dia siapa? Bianca, Nita, Boni? Hiiiihhhhh!Reza bergidik berkali – kali. Akhirnya, ia menderap keluar dari ruang kerja, lalu menyalakan semua lampu. Secangkir kopi diseduh untuk menenangkan diri. Untuk sesaat, Reza berpikir keras. Sayang, otaknya buntu sehingga ia masuk ke kamar dan bergulung di bawah selimut. Bahkan komputernya di ruang kerja masih menyala. Hanya setelah matahari terbit ia berani masuk kembali ke sana untuk mematikan benda itu.***
Ken meraih pinggang Cella. Lantai empat woskshop-nya kembali menjadi tempat pertemuan mereka saat Cella tidak sedang kegiatan syuting di siang hari. Selama sandiwara berlangsung, wanita itu harus berhati-hati, jangan sampai keberadaan mereka terendus wartawan, kemudian menyebar ke media massa. Berkat kejelian dan kehati-hatian, mereka aman.“Gue udah nggak sabar nunggu elo cerai, Cel.” Ken berbisik sembari menyibak anak-anak rambut Cella. Sesudah itu, jemarinya turun untuk menelusur tubuh indah yang tergolek tanpa busana.Cella mengecup bibir kekasihnya dengan lembut. “Reza udah nyiapin berkasnya, tinggal dimasukkan ke pengadilan. Tapi masalahnya, Rayyan lambat. Dia malah minta penangguhan sampai nyokapnya keluar dari rumah itu.”“Bocah itu! Selalu aja duduk di ketiak mamanya! Mau bikin kita semua sengsara, kali.”“Aku kasihan sama Syifa. Kamu perhatikan dia waktu sarapan tadi?”Ken berusaha mengingat. Selama perempuan itu berada di rumahnya, ia memang
Ken menatap kacau pada Cella. Sebentuk penyesalan mulai tumbuh di dalam hati. Kata -kata Arya tadi benar. Demikian pula teguran Cella. Walau bukan istri sesungguhnya, ia tetap berkewajiban memperhatikan Syifa karena wanita itu tinggal serumah, bahkan istri sahabatnya.“Syifa masuk rumah sakit, Cel,” ujarnya. “Pingsan di sekolah.”“Hah? Sakit apa? Gimana kondisinya sekarang?”“Belum tahu. Tapi udah sadar sewaktu sampai di rumah sakit. Ada kakak angkatnya nemenin dia.”“Kamu harus—” Hampir saja Cella keceplosan mengatakan, Kamu harus menghubungi Rayyan. Untung ia segera sadar ada Jonathan dan Nara di situ. “Kamu harus segera ke rumah sakit.”Ken termangu. “Iya, gue berangkat sekarang,” ujarnya lirih. Kepada Jo dan Nara, ia pamit, “Kalian kalau masih mau di sini, silakan. Ada Cella. Bisa nemenin ngobrol.”“Oh, enggak usah. Kami ikutan pam
Ken terbengong sendiri. Tubuh ringkih yang terbaring lemah itu sukses mengambil perhatiannya. Iba hatinya. Sudah kecil, ringan, kurus, kini Syifa demam tinggi pula. Wajah putih wanita itu semakin tirus. Kedua lingkar matanya cekung dan agak menghitam. Memandang raut memelas itu, Ken berharap Rayyan bisa meluangkan waktu untuk menjenguk dan menemani. Ia sudah menelepon lelaki itu, namun tidak diangkat. Kata Dita operasinya sambung – menyambung. Ya, ampun, seberat itu menjadi dokter kandungan!“Pusing banget, Fa?” tanya Ken.Syifa berusaha tersenyum. “Udah berkurang.”Ken mengangguk. “Kalau perlu apa- apa, jangan sungkan. Gue bukan orang lain.”Ken tulus menghibur agar perempuan ini memiliki seseorang untuk bersandar. Ia sudah mendengar kisah hidupnya yang memilukan. Arya memang sangat perhatian dan setia menjenguk. Akan tetapi, Ken yakin dalam hati terdalam Syifa hanya Rayyan yang diharapkan.“Rayyan p
Malam itu, Syifa terbangun karena bermimpi buruk. Ia seperti tergelincir dan terjatuh ke dalam jurang. Saat terjaga, ia melihat notifikasi ponselnya bertambah banyak. Sebagian adalah pesan teks. Dengan menahan kepala pening, ia membaca satu demi satu.Ada beberapa pesan dari Rayyan menanyakan kabar dan mendoakan agar cepat sembuh. Lelaki itu minta maaf karena hari itu tidak bisa menjenguk akibat operasi yang sambung - menyambung. Ia berjanji akan datang secepatnya esok hari.Masa iya sesibuk itu, Mas? Biasanya juga operasi banyak tidak sampai membuatmu menghilang seperti ini, batin Syifa.Syifa: Nggak pa-pa. Aku udah baikan kok.Pesannya sampai namun tidak dibaca. Syifa merasa hatinya teriris. Padahal, kemungkinan Rayyan tidak membaca pesan karena telah tertidur. Kembali hatinya tertoreh. Bukankah Rayyan terpaksa satu kamar dengan Dita saat ini? Dirinya saja tidak pernah punya kesempatan untuk sekamar dengan Rayyan walau mereka serumah. Ah!Syifa b
Rayyan dan Dita duduk di kamar dengan wajah tegang. Mata mereka terpaku satu sama lain. Emosi terpancar dari netra keduanya."Gimana bisa berkas perceraian kita sampai ke tangan Mama?" cecar Rayyan."Mana gue tahu! Berkas itu kemarin gue taruh di kamar. Gue juga nggak tahu gimana Mama bisa menemukan berkas itu," jawab Dita dengan ketus.Ray menghembuskan napas dengan kasar. "Udah tahu itu berkas sensitif. Harusnya kamu simpan baik- baik, Dit!""Elu jangan nuduh sembarangan, Mas!""Aku nggak nuduh! Tapi lihat, apa hasil keteledoranmu! Semua orang menyalahkan aku!"Telinga Dita memanas. "Ya, gue tahu! Maaf banget kalau gue membuat Mas repot. Dari dulu gue memang cuma bisa bikin Mas Ray susah. Gue nggak ada artinya buat Mas Ray!"Kontan Rayyan mengerutkan kening, bingung dengan arah pembicaraan mereka."Kok jadi begitu ngomongnya? Kita ngomongin berkas perceraian, Dit. Lama-lama aku jadi mikir kalau kamu sebenarnya nggak mau berce