Bismillahirrahmanirrahim.“Ibu tenang saja, wanita itu tidak pernah melihat saya langsung. Biasanya yang mengambil pesanan, selalu asisten saya, tapi kali ini ia berhalangan ikut karena sakit. Jadi tidak masalah-kan.” Ucap perempuan itu mengedikkan bahu, seraya mengangkat kedua tangan ke udara."Baiklah, kalau begitu aku tenang jadinya. Aku tidak mau menambah masalah baru. Kemaren saja rasanya sungguh menyakitkan dituduh sembarangan. Maaf apa ibu tidak takut rumor yang beredar," tanyaku tak lama kemudian sekedar memastikan."Kalau saya takut, saya tidak akan memesan untuk saya makan. Ibu jangan cemas gitu dong, rezeki ibu tidak akan kemana. Percaya sama saya,” ucapnya tersenyum. Lesung Pipit tampak nyata menghiasi pipi wanita itu.Wanita di depanku ini terlihat berwibawa, tidak mudah terpengaruh rumor yang beredar. Tidak tampak raut bingung di wajahnya. Syukurlah, paling tidak masih ada orang yang mempercayaiku, bahwa daganganku halal. Tidak ada campur ilmu goib atau ilmu pelet dan pe
Bismillahirrahmanirrahim.Tengah asyik memilih barang, pundakku diraba seseorang.Aku segera menoleh, terlihatdi depanku seorang perempuan yang tengah tersenyum ramah ke arahku."Bu Anggun? Ibu di sini? Rasanya sudah lama tidak jumpa.""Ibu kemana saja, sudah lama tidak melihat ibu," sapaku ramah, seraya membalas senyum perempuan berlesung pipit itu.“Ada Bu, saya tidak kemana-mana. Cuman belakangan ini lagi banyak pekerjaan. Jadi jarang keluar rumah."“Apa kabar Bu Anggun, senang bertemu dengan ibu.”“Kabar saya baik Bu Arini, lagi ngeborong ceritanya nih,” selidik Bu Anggun kepo.“Ah! Tidak, belanja biasa saja, kebutuhan Nisa dan Dio. Ibu sendiri kayaknya juga lagi ngeborong,” kelakarku.Tak lupa kutampakkan deretan gigi putih ala Pepsodent ke hadapan Bu Anggun. Bu Anggun membalas dengan senyuman.“Sudah selesai belanjanya atau belum,” tanya Bu Anggun tak lama kemudianTumben Bu Anggun menanyakan aku sudah selesai belanja apa belum, apa ada sesuatu yang ingin dibicarakannya. Bisikku
Bismillahirrahmanirrahim.Tiga puluh menit kemudian, akhirnya aku sampai di rumah, meskipun dengan langkah terseok-seok. Padahal dari rumah ke Indomaret hanya butuh 10 menit perjalanan. Tapi ingatan foto Bang Jun dengan perempuan itu selalu datang membayangi. Kadang aku berhenti begitu saja di jalanan. Bahkan aku hampir diserempet mobil karena jalan terlalu ke tengah. Aku seperti orang linglung tanpa kesadaran.“Hei buk, jangan melamun di jalan,” teriak sopir angkot dengan muka marah dan tampak kesal. "Nanti saya lagi yang disalahkan orang," lanjutnya terus saja bicara tak enak di dengar.Sontak wajahku mendadak pucat, menatap sekeliling. Barulah aku sadar, aku tengah di jalan raya, tanpa membuang waktu aku bergegas ke pinggir. Kuusap dada ini pelan menahan gejolak yang terasa menghantam jiwa. Sakit! Sungguh sakit terasa. Aku tidak sempat meminta maaf pada sopir angkot itu, karena setelah marah dia langsung kabur begitu saja setelah meluapkan amarahnya.Aku melanjutkan langkah dengan
Bismillahirrahmanirrahiim.“Ya Allah, Astaghfirullahal Adzhiim,” segera saja aku melangkah kekamar mandi membersihkan diri. Aku tidak mau Bang Jun pulang melihatku dalam kondisi mengenaskan begini. Aku juga harus tetap jaga penampilan, meskipun akan dicampakkan.Bisa-bisa Bang Jun semakin ingin meninggalkanku. Itu tidak baik bagi psikis anak-anakku. Demi anakku bahagia, bertahan dengan perselingkuhan pria itu akan kuterima dengan ikhlas. Itulah tekadku asal anakku tetap bahagia, apa pun itu demi melihat mereka senang, akan aku lakukan. Meskipun harus berbagi suami dengan perempuan lain. Kecuali Bang Jun sendiri yang tidak menginginkanku lagi, apa yang bisa kulakukan selain menerima dan pasrah akan takdirku.Setelah mandi dan badan terasa sejuk. Rasa lapar mulai mendera. Tak membuang waktu aku segera memasak yang ringan saja untuk mengganjal perut. Masak nasi goreng special.Untung Nisa dan Dio menginap di rumah Mita, jadi sementara aku bebas dari tingkah polah anak-anak. Bukan aku ti
Bismillahirrahmanirrahim.“Ibu mau tahu berapa uang belanja yang dikasih Bang Jun sebelum pergi, pasti ibu tidak akan mengira dan menduganya sama sekali.”“Sebenarnya aku tidak mau membuka aib Bang Jun, tapi karena ibu terlanjur mengetahui, maka dengan berat hati aku ceritakan. Tapi aku berharap ibu tidak marah atau sedih mendengarnya, lalu tanpa henti memikirkan nasibku dan anak-anak, kemudian ibu jatuh sakit. Itu yang aku hindari berkata terus terang pada ibu.”“Ibu mengerti Nak, kamu perlu tahu satu hal, ibu bukanlah seorang perempuan yang selalu mendengarkan dan membenarkan anaknya. Ibu selalu membela yang benar.”“Terima kasih Bu.” “Jadi berapa uang belanja yang dikasih suamimu ?”“500 ribu,” ucapku dengan menekan kata hanya 500 ribu.“Apa? 500 ribu? Jadi benar dong, apa yang dikatakan tetanggamu. Selama ini ibu mengira, tetanggamu itu berbohong pada ibu.”Aku mengernyitkan kening, mungkin lipatannya sampai seribu. Bingung sudah pasti. Ingin tahu, apa yang sudah disampaikan t
Bismillahirrahmanirrahim.Aku menggeleng lesu. “Aku tidak berhasil bicara dengannya Bu. Telpon diangkat, tapi ia mendadak bisu. Hanya helaan napas yang terdengar, kupanggil berkali-kali tetap saja Bang Jun tidak bersuara.“Mendadak bisu, apa maksudmu?”“Iya, Bang Juna tidak mau bicara denganku. Mungkin yang mengangkat telpon itu, perempuan selingkuhannya.”“Hust, jangan berpikiran jelek dulu, belum tentu benar.” Sanggah ibu cepat.“Astagfirullahal adziim,” sahutku meralat ucapan. Terkadang emosi membuat pikiran jadi sempit. Padahal aku dibesarkan dengan adab dan etika oleh ibu, tidak baik berprasangka buruk pada orang. Itulah pesan yang selalu ibu tanamkan, jika aku kadang salah dalam bertindak dan bersikap, apa lagi salah dalam menilai orang."Terus kenapa Bang Jun tidak menyahut," Balasku lagi."Mungkin dia sedang sakit gigi, jangan terlalu cepat menilai.""Atau dia sedang menyetir mobil, banyak kemungkinan Arini."Ah iya, ibu benar juga. Tak seharusnya aku berpikiran buruk tentang
Bismillahirrahmanirrahim.Empat hari pun berlalu, hari di mana tidak pernah kubayangkan akan menimpaku. Terpikirkan pun tidak sedikit pun, akan mengalami kejadian yang menakutkan, menegangkan dan mengkhawatirkan.Tanpa kepulangan Bang Jun hari Sabtu kemarin, ternyata berdampak pada hari ini. Kepulangan hari Sabtu bergeser sekarang. Jelas aku tidak siap dengan kedatangannya. Tahu begitu, aku pasti libur jualan hari Kamis ini. Biar aksiku tidak ketahuan, jelas aku tidak mau menanggung resiko yang berakibat fatal. Apalagi mengingat, daganganku sedang laris-larisnya. Tidak mungkin kuhentikan begitu saja. Bagaimana bila Bang Jun berkeras melarangku jualan. Pusing kepalaku memikirkan akhir dari pekerjaan yang terlanjur kusukai.“Ada apa ini ramai-ramai di depan rumahku,” teriak seorang pria menatap bingung pada semua orang.“Lagi bagi-bagi sembako ya,” katanya lagi mencoba menebak kegiatan orang yang sedang antri, bagaikan antri pembagian sembako gratis di Kecamatan.Antrian pembagian semb
Bismillahirrahmanirrahiim."Maaf Bang, ini bukan masalah pintar tidak pintar untukku menyiapkan menu bervariasi untuk mereka. Itu semua karena kamu memberiku jatah belanja yang tidak memadai. Jika kamu memberiku uang yang cukup, aku pasti berpikir dua kali untuk bekerja. Semua itu kulakukan karena terpaksa. Aku tidak mau lagi bergantung padamu, tuduhanmu waktu itu membuat mataku seketika terbuka.” “Kamu bisa bayangkan Bang, bagaimana caraku mengatur belanja dengan uang pas-pasan yang kamu berikan. Maka jangan salahkan aku, bila akhirnya aku menolak uang yang kamu berikan.”“Apa lagi setelah mendengar tuduhan boros yang kamu lontarkan, semakin kuat niatku bekerja untuk menutupi semua kebutuhan kami.” “Jadi itu sebabnya kamu bekerja, tidak mengindahkan laranganku. Kamu tidak takut dosa Arini, tidak menaati perintah suami itu, termasuk dosa besar.”“Ya, bagaimana lagi. Siapa sih manusia di dunia ini yang tidak takut dosa. Semuanya orang pasti takut, tapi bila terpaksa, tidak ada lagi k