LOGINHujan baru saja reda ketika Gadis akhirnya bisa memejamkan mata. Seharian ia kelelahan mengurus Mahen yang masih lemah karena luka-lukanya. Lelaki itu kini terbaring di dipan kayu sederhana dengan tubuh yang sebagian terbalut kain perban seadanya.
Suasana hening. Hanya suara jangkrik dari luar jendela yang sesekali terdengar. Gadis menghela napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang masih kacau. Ia belum sempat memikirkan siapa sebenarnya Mahen, dari mana asalnya, atau mengapa ia bisa terluka separah itu. Yang ia tahu hanyalah satu, ia tidak bisa membiarkan seorang manusia mati begitu saja. Baru beberapa menit matanya terpejam, tiba-tiba suara ketukan keras menggema dari pintu depan. Dug! Dug! Dug! “Gadis! Gadis! Buka pintunya sekarang!” Gadis tersentak kaget. Mahen yang masih setengah sadar ikut membuka matanya. Suara ketukan itu begitu keras dan kasar, disertai teriakan yang sudah tidak asing lagi. “Itu… suara Bibi Nimas,” bisik Gadis panik. Mahen menoleh lemah. “Siapa dia?” “Saudara jauh ibuku. Dia sering… datang ke sini. Biasanya minta uang dengan alasan bayar hutang orangtuaku.” Ketukan semakin keras, hampir seperti bentakan. “Gadis! Jangan pura-pura tidur! Aku tahu kamu di dalam! Cepat buka pintunya!” Dengan langkah ragu, Gadis berjalan ke pintu. Hatinya berdebar keras. Ia tahu kebiasaan Bibi Nimas dan putrinya, Saskia. Mereka tidak pernah percaya jika Gadis berkata tidak punya uang. Dan malam-malam begini, jelas ada maksud buruk di balik kedatangan mereka. Begitu pintu terbuka, tampaklah Bibi Nimas berdiri dengan wajah galak. Di sampingnya, Saskia berdiri angkuh dengan tangan bersedekap, matanya menatap Gadis penuh ejekan. “Bibi, sudah malam. Ada apa datang mendadak begini?” tanya Gadis hati-hati. Bibi Nimas langsung menyelonong masuk tanpa diundang. “Jangan banyak tanya! Kau punya uang atau tidak? Aku butuh sekarang juga untuk bayar utang!” “Aku sudah bilang berkali-kali, aku benar-benar nggak punya uang, Bi,” jawab Gadis lirih. “Bohong!” bentak Bibi Nimas. “Kamu pikir aku nggak tahu? Kamu dapat warisan rumah ini dari orang tuamu, pasti masih ada sisa uang simpanan. Jangan pura-pura miskin di depan aku!” Saskia ikut menambahkan dengan suara menyindir, “Iya, Gadis. Kamu tuh pintar menipu. Dari luar keliatan melarat, tapi siapa tahu di dalam rumah ini kamu simpan banyak uang.” Gadis menggenggam erat ujung bajunya, berusaha menahan air mata. Ia ingin menjelaskan, tapi apa pun yang ia katakan pasti tidak akan dipercaya. Tanpa menunggu jawaban, Bibi Nimas mendorong tubuh Gadis ke samping lalu melangkah masuk lebih dalam. Saskia menutup pintu di belakang mereka. “Bi! Jangan! Jangan masuk seenaknya! Ini rumahku!” seru Gadis, mencoba menghalangi. Namun Bibi Nimas mengabaikannya. Ia mulai membuka lemari, laci, bahkan hampir menggeledah kotak penyimpanan yang ada di sudut ruangan. Mahen yang menyaksikan dari dipan menegakkan tubuhnya. Meskipun masih lemah, matanya menyala marah melihat Gadis diperlakukan semena-mena. Dengan tenaga seadanya, ia bangkit berdiri dan bersandar di dinding. “Cukup!” suara Mahen lantang memecah ketegangan. Bibi Nimas menoleh, kaget melihat seorang pria asing di dalam rumah. “Siapa ini?" Gadis buru-buru melangkah maju. “Dia… dia orang yang aku tolong tadi. Aku menemukannya terluka di jalan. Jadi aku bawa ke sini untuk dirawat.” Namun tatapan Bibi Nimas berubah curiga. Bibirnya menyeringai sinis. “Orang yang kau tolong? Atau lelaki yang kau sembunyikan di rumahmu, hah?” “Tidak, Bi! Sungguh, aku tidak berbohong! Dia terluka parah, aku hanya ingin menolongnya,” Gadis mencoba meyakinkan. Tapi Saskia malah menutup mulutnya dengan tawa mengejek. “Astaga, Bu, ternyata benar juga gosip orang-orang. Gadis pura-pura alim, padahal diam-diam bawa laki-laki ke rumah!” Wajah Gadis memerah. “Itu nggak benar!” Mahen melangkah maju, meski jalannya masih goyah. “Cukup. Kalian berdua keluar dari sini. Gadis tidak salah. Dialah yang menolongku ketika aku hampir mati di jalan.” Bibi Nimas menunjuk Mahen dengan mata melotot. “Kau berani mengusir aku? Lelaki tak tahu malu! Kalian berdua pasti sudah berzina di rumah ini!” “Bi, jangan asal ngomong! Aku tidak pernah melakukan hal memalukan itu!” Gadis membela diri dengan suara bergetar. Namun Bibi Nimas tidak peduli. Ia menoleh pada putrinya. “Saskia, cepat panggil Pak Kades! Biar semua warga tahu kelakuan bejat mereka!” “Baik, Bu!” Saskia langsung berlari keluar dengan wajah penuh kemenangan. Gadis merasakan lututnya lemas. Ia menatap Mahen dengan wajah panik. “Apa yang harus kita lakukan? Mereka pasti akan salah paham…” Mahen menatapnya dalam, lalu berkata tenang, “Tenanglah. Aku akan melindungimu.” Tak lama kemudian, suara ramai terdengar dari luar. Warga berdatangan bersama kepala desa. Obor-obor menyala, wajah-wajah penasaran bermunculan di depan rumah Gadis. Pak Kades melangkah masuk dengan sorot mata tajam. “Apa yang terjadi di sini?” Bibi Nimas cepat-cepat maju, menangis pura-pura. “Pak Kades, kami semua jadi saksi. Gadis menyembunyikan lelaki asing di rumahnya. Kami khawatir mereka sudah berzina!” Seketika, semua mata menatap Gadis penuh tuduhan. Bisik-bisik mulai terdengar. “Pantas saja… anak yatim piatu ini ternyata rusak moralnya.” “Ya ampun, membawa laki-laki malam-malam begini…” Gadis mengguncang kepalanya, air mata jatuh di pipinya. “Tidak! Aku tidak seperti itu! Aku hanya menolong dia karena luka-lukanya parah. Sungguh, aku tidak melakukan hal buruk apa pun!” Namun siapa yang mau percaya pada seorang gadis miskin sendirian? Fitnah lebih mudah dipercaya daripada kebenaran. Pak Kades mengetukkan tongkatnya ke lantai. “Cukup! Kalau kalian memang tidak berbuat dosa, buktikan. Tapi karena kalian sudah tertangkap basah berada dalam satu rumah di malam hari, apalagi bukan suami istri, kalian sudah mencoreng nama desa ini.” “Pak, tolong… jangan hukum aku. Aku benar-benar tidak bersalah,” Gadis memohon. Namun Bibi Nimas menyela dengan teriakan lantang, “Kalau tidak mau menikah sekarang, besok pagi kita telanjangi Gadis dan arak keliling kampung biar jadi pelajaran!” Warga bersorak setuju. “Betul! Malu-maluin saja kalau dibiarkan!” Gadis terisak, tubuhnya bergetar hebat. Mahen maju selangkah, berdiri di depannya seolah menjadi perisai. Tatapannya dingin menantang kerumunan. “Kalau itu yang kalian mau,” katanya tegas, “maka aku akan menikahinya sekarang juga.” Gadis menoleh kaget, matanya melebar. “Mas… jangan…” suaranya lirih, penuh ketakutan. Tapi Mahen menggenggam tangannya erat, seolah menyalurkan kekuatan. “Lebih baik aku menikah denganmu daripada membiarkan mereka merendahkanmu.” Pak Kades mengangguk mantap. “Baiklah, kalau begitu. Malam ini juga kalian sah jadi suami istri. Aku yang akan menjadi saksi.” Sorak-sorai warga pecah, sementara Gadis hanya bisa berdiri terpaku. Hidupnya yang tenang mendadak berubah seketika. Semua karena fitnah, semua karena kebencian seorang bibi yang tak pernah rela melihatnya bahagia. Dan di balik semua hiruk pikuk itu, Mahen menatap Gadis dengan sorot mata penuh arti. Seolah di dalam hatinya ia sudah memutuskan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar pernikahan terpaksa. Malam itu, tanpa pilihan lain, nasib Gadis ditentukan, ia resmi menjadi istri seorang lelaki asing yang baru saja diselamatkannya bernama Mahendra Adiguna.Mobil Mahen melaju menembus malam. Lampu-lampu jalan menerangi jalanan yang sepi. Jam menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Rahang Mahen mengeras, tangannya mencengkeram setir dengan kuat. Ia membenci ini. Membenci harus meninggalkan Gadis... istrinya yang cantik, yang sudah menunggunya di ranjang mereka. Membenci harus keluar tengah malam hanya karena panggilan dari wanita itu. Lima belas menit kemudian, mobil berhenti di area parkir Rumah Sakit Permata Husada. Bangunan lima lantai itu masih terang benderang meski sudah larut malam. Mahen turun dari mobil dengan wajah dingin, memasukkan tangan ke saku jaket kulitnya. Ia berjalan dengan langkah cepat memasuki lobby, menuju lift, dan menekan tombol lantai tiga. Ruang rawat inap. Kamar 307. Pintu kamar itu terbuka. Mahen masuk tanpa mengetuk... ia sudah terlalu kesal untuk bersikap sopan. Di ranjang rumah sakit, seorang wanita duduk dengan kaki kiri yang dibalut perban. Mia. Ibu dari Karina. "Mahen!" Wajah Mia langsu
Kamar tidur utama di lantai dua rumah itu hanya diterangi oleh lampu tidur yang redup. Cahayanya yang lembut menciptakan suasana intim, hangat. Aroma lavender dari diffuser menyebar pelan, menenangkan. Gadis berbaring di ranjang king size dengan rambut barunya yang tergerai di atas bantal sutra. Dress peach sudah diganti dengan lingerie tidur berwarna putih gading yang sederhana namun anggun. Jantungnya berdebar... gugup sekaligus penuh antisipasi. Mahen keluar dari kamar mandi dengan handuk masih melingkar di lehernya. Rambut hitamnya yang basah menetes air. Ia hanya mengenakan kaus tanpa lengan dan celana panjang tidur. Otot-otot lengan dan dadanya yang terlatih terlihat jelas di bawah cahaya redup. Mata mereka bertemu. Mahen tersenyum... senyum lembut yang hanya ia tunjukkan pada Gadis. "Belum tidur?" tanyanya sambil mendekati ranjang. "Nungguin Mas." Gadis tersenyum malu. Mahen melempar handuknya ke sofa di sudut ruangan, lalu berbaring di samping istrinya. Tangannya meraih
Mobil Karina berhenti tepat di depan gerbang rumah mewah tempat Gadis tinggal. Gadis turun sambil membawa shopping bag. "Makasih ya, Rin. Udah nganterin." "Sama-sama! Besok aku jemput ya?" teriak Karina sebelum mobilnya melaju pergi. Gadis menarik napas panjang, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar. Ia masih belum terbiasa dengan penampilannya yang baru. Rambutnya yang kini berkilau terasa ringan di pundak, dress peach yang ia kenakan terasa asing namun nyaman. Gerbang otomatis terbuka setelah satpam mengenalinya. Gadis melangkah masuk ke halaman luas dengan taman yang tertata rapi. Pohon-pohon bonsai dan bunga-bunga hias yang dirawat dengan sempurna oleh tukang kebun membuat suasana rumah selalu asri. Pintu utama terbuka. Bi Surti, asisten rumah tangga yang sudah bekerja sejak lama, menyambutnya. "Selamat data..." Bi Surti terhenti. Matanya membulat. "Astaga! Nona Gadis?" "Iya, Bi. Kenapa?" Gadis tersenyum canggung. "Beda banget, Non! Cantik sekali!" Bi Surti bertepu
"Dis, ikut aku yuk!"Gadis baru saja menutup buku ketika Karina muncul dengan wajah berseri-seri. Jam menunjukkan pukul tiga sore, waktu pulang sekolah yang biasanya mereka habiskan dengan langsung pulang ke rumah masing-masing."Kemana?" tanya Gadis sambil merapikan buku-buku di dalam tasnya."Mall. Ada yang mau aku kasih ke kamu," jawab Karina dengan senyum misterius. "Anggap aja hadiah dari sahabat terbaikmu ini."Gadis ragu sejenak. Ia harus pulang, menyiapkan makan malam untuk Mahen. Suaminya pasti sudah lelah setelah seharian bekerja. Tapi tatapan Karina yang berbinar itu sulit untuk ditolak."Cuma bentar kok. Please?" Karina memasang wajah memelas yang berhasil membuat Gadis luluh."Oke, tapi nggak lama ya.""Siap, Bos!"Mereka naik mobil Karina menuju Mall yang jaraknya sekitar dua puluh menit dari sekolah. Sepanjang perjalanan, Karina terus berbicara tentang rencana rahasianya, sementara Gadis hanya mendengarkan sambil sesekali tersenyum.Mall sudah ramai ketika mereka tiba.
Bel istirahat berbunyi nyaring, memecah keheningan kelas yang tengah dilanda rasa kantuk pasca-pelajaran Matematika. Gadis meregangkan tubuhnya yang pegal, lalu menoleh ke arah Karina yang sudah berdiri sambil menenteng dompet. "Gas, perutku udah keroncongan dari tadi," ujar Karina sambil menggandeng lengan Gadis. Mereka berjalan beriringan menuju kantin, seperti biasa. Kemana pun pergi, mereka selalu berdua. Persahabatan mereka terjalin, dan tak pernah ada yang bisa memisahkan keduanya. Kantin sekolah sudah ramai ketika mereka tiba. Aroma mie goreng dan gorengan bercampur jadi satu, membuat perut Gadis ikut berbunyi. Mereka mengantri di depan warung Bu Siti yang terkenal dengan baksonya yang legendaris. "Dua bakso sama es teh manis, Bu," pesan Karina. Gadis mengeluarkan uang dari sakunya, tapi Karina menepis tangannya. "Udah, aku traktir. Kemarin kan kamu yang bayarin." Senyum hangat terukir di wajah Gadis. Ia memang beruntung punya sahabat seperti Karina. Setelah mendapat pes
Kamar Gadis dipenuhi cahaya lembut dari matahari yang mulai condong ke barat. Tirai putih bergoyang pelan diterpa angin dari jendela yang terbuka setengah. Di meja belajar mungilnya, Gadis sedang sibuk menulis di buku tugasnya, keningnya berkerut lucu karena sedang berpikir keras.Pensil di tangannya sudah tumpul. Ia mengetuk ujungnya ke meja berulang kali sambil menggumam kecil.“Aduh... rumusnya susah banget. Kok bisa sih jawabannya malah minus?”Ia mendesah panjang. Beberapa helai rambut jatuh menutupi wajahnya. Gadis mengibaskannya dengan jari, lalu menatap kertas tugas matematika di depannya dengan ekspresi sebal.Meski sudah seharian di sekolah, Gadis masih bersemangat. Semangatnya itu muncul karena ia benar-benar ingin belajar dan membuktikan pada Mahen bahwa dirinya bisa.Namun tetap saja, pelajaran SMA jauh berbeda dengan pelajaran yang dulu sempat ia pelajari di desa.Saat ia sedang serius menulis, terdengar suara langkah kaki di lorong luar kamar. Pelan, tapi berat dan mant







