แชร์

Bab 3 – Mahar Sebuah Janji

ผู้เขียน: Sabira Story
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-09-24 18:43:00

Malam telah merangkul desa Karangmulyo dengan dinginnya yang menusuk tulang. Puluhan obor bambu yang dibakar warga berjajar di halaman rumah Gadis, menciptakan bayangan-bayangan yang bergoyang menakutkan di dinding kayu lapuk. Suara derap kaki, bisikan, dan tawa mengejek bercampur dalam satu alunan yang menyesakkan dada.

Hampir seluruh warga desa berkerumun, dari anak-anak yang mengintip di balik kain sarung ibunya, hingga para tetua yang duduk dengan wajah masam. Udara malam yang sejuk berubah menjadi panas menyesakkan karena desakan tubuh manusia dan asap obor yang mengepul.

Di tengah kerumunan yang riuh itu, Pak Kades Sutarman duduk di kursi kayu dengan wibawa yang dipaksakan. Di hadapannya, sebuah meja kecil dengan kitab nikah lusuh yang sudah berdebu, buku yang jarang digunakan karena kebanyakan warga menikah di kantor catatan sipil kota.

Gadis duduk di tikar pandan dengan wajah pucat pasi, mata sembab merah karena tangisan yang tak henti-henti. Rambutnya yang biasanya rapi kini berantakan, pakaian sederhana yang ia kenakan kusut dan berdebu. Tubuhnya bergetar, entah karena dingin atau karena ketakutan yang luar biasa.

Di sampingnya, Mahen berdiri tegap meski balutan kain di perutnya terlihat sedikit basah oleh darah yang merembes. Wajahnya tenang, tatapannya tajam menyapu kerumunan yang menatapnya dengan pandangan penuh selidik dan curiga.

"Baiklah!" Pak Kades menepuk meja keras, suaranya lantang memecah keributan. "Karena kalian sudah tertangkap basah berduaan di rumah tanpa mahram, dan warga menuntut kehormatan desa dijaga, maka malam ini juga pernikahan harus dilangsungkan!"

Sorak nyinyir dari beberapa perempuan paruh baya terdengar. "Iya, Pak Kades! Mereka sudah merusak nama baik desa!"

"Gadis Larasati binti Surya," Pak Kades menatap gadis itu dengan pandangan yang tidak bersahabat. "Apakah engkau bersedia menikah dengan lelaki bernama Mahendra Adiguna ini?"

Gadis mengangkat wajahnya perlahan. Air mata mengalir deras di pipinya. Mulutnya bergetar, suaranya hampir tidak terdengar. "Aku... aku..."

"Jawab dengan lantang!" bentak salah seorang warga.

Gadis melirik Mahen yang menatapnya dengan pandangan menenangkan. Pria itu mengangguk pelan, seolah berkata 'tidak apa-apa'. Dengan suara bergetar ia menjawab, "Iya... aku bersedia."

Sorak sorai riuh rendah terdengar, bercampur tawa mengejek dari beberapa perempuan yang memang sudah lama tidak menyukai Gadis.

"Dasar perempuan jalang! Akhirnya ketahuan juga kelakuannya!" bisik Bibi Nimas keras-keras, sengaja ingin didengar.

"Pantas saja selama ini hidup menyendiri. Ternyata suka menggoda lelaki!" sahut Saskia sambil terkikik.

Gadis semakin menunduk dalam, tubuhnya bergetar hebat mendengar cacian itu.

Pak Kades kemudian menoleh ke Mahen dengan pandangan meremehkan. "Sekarang, sebutkan mahar yang akan kau berikan untuk gadis ini."

Detik-detik yang paling menegangkan tiba. Mahen terdiam, wajahnya menegang. Ia merogoh saku celananya, kosong. Kantong kemejanya, kosong. Tidak ada apa-apa. Tidak ada emas, tidak ada uang, bahkan tidak ada benda berharga apa pun.

Kerumunan mulai berbisik-bisik dengan nada mengejek.

"Ternyata miskin juga ya lelaki ini!"

"Gadis sial, dapat suami melarat!"

Tiba-tiba, dengan gerakan yang tegas, Mahen melepas jam tangan dari pergelangan tangannya. Jam itu tampak sederhana namun berkualitas, tali kulit coklat yang sudah agak lusuh, dengan muka jam berwarna putih klasik yang elegan.

"Maafkan aku," katanya sambil menatap Gadis dengan pandangan yang penuh penyesalan namun tulus. "Yang bisa aku berikan hanya ini. Jam tangan ini milikku, satu-satunya benda berharga yang kupunya. Akan kujadikan mahar untukmu."

Suasana mendadak hening. Gadis mengangkat wajahnya, menatap jam tangan di tangan Mahen. Hatinya mencelos melihat cara pria itu menatap jam tersebut, ada kesedihan mendalam di sana, seolah jam itu menyimpan kenangan yang sangat berharga.

"Aku... aku terima," suara Gadis bergetar, hatinya terharu melihat pengorbanan pria asing itu.

Setelahnya, akad nikah sederhana dilakukan. Mahen mengucapkan dalam satu tarikan nafas.

Sorak sorai kembali pecah ketika kata sah terucap, tapi kali ini lebih riuh dengan disusul nada mengejek.

"Cih! Mahar cuma jam tangan butut!" Bibi Nimas berteriak dengan tawa yang menusuk. "Gadis benar-benar sial, jadi istri lelaki miskin entah dari mana!"

"Wajah cantik tapi nasib hina!" Saskia menambahkan dengan kejam. "Suaminya cuma bisa kasih jam bekas!"

"Dasar jodoh tikus dengan tikus!" teriak warga lainnya.

Tawa mereka bersahutan, menusuk hati Gadis seperti pisau. Gadis menunduk semakin dalam, air matanya menetes tanpa bisa dibendung lagi. Tubuhnya bergetar hebat, merasakan penghinaan yang luar biasa di hadapan seluruh warga desa.

Tapi tiba-tiba, Mahen melangkah maju dengan mata yang menyala amarah. Suaranya menggelegar keras, membuat kerumunan terdiam seketika.

"JAGA UCAPAN KALIAN!" bentaknya dengan suara yang menggetarkan malam. "Mulai detik ini Gadis adalah istriku! Siapa pun yang berani merendahkan atau menyakitinya, sama saja menantang nyawanya pada diriku!"

Tatapannya yang tajam dan dingin menyapu seluruh kerumunan satu per satu. Ada aura berbahaya yang terpancar dari tubuhnya, membuat bahkan Bibi Nimas yang paling berisik pun tercekat ketakutan.

"Dan ingat baik-baik," lanjut Mahen dengan suara yang lebih rendah namun jauh lebih mengerikan, "aku bukan orang yang bisa kalian remehkan. Jangan pernah mencoba menguji kesabaranku."

Keheningan total menyelimuti halaman. Bahkan suara jangkrik pun seolah berhenti. Warga yang tadi riuh kini saling pandang dengan rasa takut dan penasaran. Siapa sebenarnya lelaki asing ini?

"Sudahlah! Bubar semua!" Pak Kades akhirnya bersuara, jelas tidak nyaman dengan situasi yang semakin tegang. "Pernikahan sudah sah! Kalian pulang ke rumah masing-masing!"

Satu per satu warga mulai meninggalkan halaman dengan langkah yang tidak begitu semangat lagi. Mereka masih berbisik-bisik, tapi kali ini dengan nada yang lebih hati-hati dan penasaran, bukan lagi mengejek.

Setelah kerumunan pergi, halaman rumah Gadis kembali sunyi. Hanya tersisa dua sosok manusia yang kini telah terikat dalam pernikahan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.

Gadis masih duduk di tikar dengan wajah tertutup kedua tangannya, bahunya bergetar hebat menahan tangis yang memilukan. Semua yang terjadi malam ini terasa seperti mimpi buruk yang tidak akan pernah berakhir.

Mahen berjalan pelan menghampirinya, setiap langkahnya terasa berat karena luka yang belum sembuh. Ia jongkok di hadapan Gadis, suaranya berubah lembut, sangat kontras dengan amarah yang baru saja ia keluarkan.

"Kenapa menangis? Apakah kau menyesal menikah denganku?" tanyanya dengan suara yang hampir berbisik.

Gadis menggeleng keras, air matanya semakin deras. "Bukan... bukan karena itu, Mas. Aku menangis karena aku sudah menyeretmu ke dalam masalahku. Aku cuma ingin menolong Mas Mahen ketika terluka. Aku tidak pernah bermimpi akan menyeret Mas ke dalam situasi seperti ini."

Mahen menatapnya lama dengan pandangan yang sulit diartikan. Perlahan, senyum tipis muncul di bibirnya. "Aku tahu. Aku tahu kau tulus menolong tanpa mengharapkan apa-apa. Justru karena ketulusanmu itu, aku masih bisa bernapas malam ini. Kalau bukan karena kau merawatku, mungkin aku sudah menjadi bangkai di hutan."

"Tapi... sekarang semua orang menuduh kita... menuduh aku..." Gadis terisak lagi, suaranya terputus-putus.

Mahen mengulurkan tangannya, mengangkat dagu Gadis lembut hingga mata mereka bertemu. "Dengar baik-baik. Aku tidak peduli apa kata mereka, sejahat apa pun mulut mereka. Mulai malam ini, aku suamimu dan kau istriku. Dan aku bersumpah di hadapan Allah, aku akan selalu menjaga dan melindungimu. Tidak akan ada seorang pun yang berani menyakitimu lagi."

Ucapan yang penuh kesungguhan itu membuat Gadis terdiam. Dadanya sesak, bukan lagi karena kesedihan, melainkan oleh rasa haru yang mengalir deras seperti air bah. Ia menatap mata Mahen yang penuh ketegasan, dan untuk pertama kalinya malam ini, ia merasa ada secercah harapan.

"Sejak Ayah dan Ibu meninggal tiga tahun lalu... aku tidak punya siapa-siapa lagi," bisik Gadis dengan suara bergetar. "Tidak ada yang peduli padaku. Aku selalu sendiri menghadapi segalanya... sampai malam ini..."

Mahen menggenggam kedua tangan Gadis dengan erat, kehangatan telapak tangannya menyalurkan kekuatan yang aneh. "Sekarang kau tidak akan pernah sendiri lagi, Gadis. Aku berjanji akan selalu di sini bersamamu, dalam suka maupun duka."

Gadis menatap genggaman tangan mereka, lalu menatap wajah Mahen yang penuh dengan ketegasan dan... sesuatu yang hangat, yang tidak bisa ia definisikan. Air matanya masih jatuh, tapi kali ini disertai senyum kecil yang penuh rasa syukur dan harapan baru.

Malam itu, di bawah cahaya lampu minyak yang redup, dua jiwa yang terluka menemukan penghiburan dalam takdir yang tidak pernah mereka rencanakan. Sebuah ikatan telah terjalin, bukan karena cinta pada pandangan pertama, melainkan karena kebaikan hati dan janji untuk saling menjaga hingga akhir waktu.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Simpanan Ayah Sahabatku   Bab 6 — Cinta yang Tumbuh Diam-diam

    Malam menua di atas atap rumah sederhana itu. Angin berhembus lembut dari sela dinding, membawa aroma tanah basah dan nyanyian jangkrik yang tiada henti. Langit bersih tanpa awan, tapi suasana di dalam rumah terasa sesak, seperti langit yang menggantungkan hujan di ujung malam.Sejak pertengkaran siang tadi, Gadis dan Mahen sama-sama diam. Tidak ada suara selain gesekan piring dan sendok, atau langkah kaki pelan yang kadang terdengar dari kamar. Gadis duduk di sudut dapur, memetik bayam sambil menunduk. Mahen duduk di kursi kayu, tak jauh dari sana. Ia berpura-pura sibuk memperbaiki perban di tangannya yang mulai longgar, tapi pikirannya melayang-layang entah ke mana. Tatapannya beberapa kali mencuri pandang ke arah Gadis yang menunduk.Ia ingin bicara, ingin meminta maaf, ingin menjelaskan bahwa tadi siang kata-katanya keluar tanpa pikir panjang. Tapi setiap kali melihat wajah Gadis yang diam dan tenang, lidahnya terasa kelu."Kenapa aku seperti ini?" pikir Mahen. "Kenapa aku kesal

  • Simpanan Ayah Sahabatku   Bab 5 – Senyum yang Membuat Cemburu

    Matahari sudah mencapai puncaknya ketika Gadis akhirnya melangkah gontai di jalan setapak menuju rumah. Keringat membasahi pelipis dan tengkuknya, pakaian sederhana yang dikenakannya lengket di kulit karena sengatan panas yang menyiksa. Namun bibirnya tetap tersenyum tipis, rasa syukur sederhana yang tak pernah luntur meski hidup keras terus menghadangnya.Di pelukan tangannya, tergenggam beberapa ikat sayur segar hasil jerih payahnya di ladang Pak Warno, bayam hijau mengkilat, kangkung yang masih segar, dan kacang panjang yang panjang-panjang. Pemberian sang pemilik ladang karena ia bekerja ekstra keras hari ini. Setidaknya untuk makan siang dan malam nanti, perut tidak akan keroncongan."Alhamdulillah," bisiknya pelan sambil mengelap keringat dengan punggung tangan. "Mas Mahen pasti sudah menunggu."Hanya menyebut nama itu saja membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ada perasaan aneh yang berkembang di dadanya, sesuatu yang hangat namun membingungkan. Mahen memang masih mi

  • Simpanan Ayah Sahabatku   Bab 4 – Fajar Pertama Bersama

    Embun pagi masih menempel di dedaunan, berkilau seperti permata kecil ketika cahaya rembulan yang tersisa perlahan tergantikan oleh semburat jingga di ufuk timur. Udara desa terasa dingin menusuk tulang, tetapi rumah kecil milik Gadis sudah dipenuhi dengan aroma sedap dari dapur.Sejak sebelum matahari menampakkan wajahnya, Gadis sudah terbangun. Ia tidak pernah punya kebiasaan bermalas-malasan. Hidup sendirian membuatnya terbiasa bekerja keras, mengurus rumah, kerja di ladang, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan tangannya sendiri. Namun pagi ini, hatinya terasa lebih berat dari biasanya. Sebab di kamar kecil di sudut rumahnya, ada seorang pria asing yang semalam resmi menjadi suaminya.“Mas Mahen...” lirihnya menyebut nama itu sambil mengaduk panci kecil berisi bubur jagung sederhana. Masih terasa aneh baginya, mulutnya menyebut nama itu dengan status baru. Bukan sekadar orang yang ditolong, tetapi kini menjadi pasangan hidupnya, meski tanpa perencanaan sedikit pun.Ia menghela

  • Simpanan Ayah Sahabatku   Bab 3 – Mahar Sebuah Janji

    Malam telah merangkul desa Karangmulyo dengan dinginnya yang menusuk tulang. Puluhan obor bambu yang dibakar warga berjajar di halaman rumah Gadis, menciptakan bayangan-bayangan yang bergoyang menakutkan di dinding kayu lapuk. Suara derap kaki, bisikan, dan tawa mengejek bercampur dalam satu alunan yang menyesakkan dada. Hampir seluruh warga desa berkerumun, dari anak-anak yang mengintip di balik kain sarung ibunya, hingga para tetua yang duduk dengan wajah masam. Udara malam yang sejuk berubah menjadi panas menyesakkan karena desakan tubuh manusia dan asap obor yang mengepul. Di tengah kerumunan yang riuh itu, Pak Kades Sutarman duduk di kursi kayu dengan wibawa yang dipaksakan. Di hadapannya, sebuah meja kecil dengan kitab nikah lusuh yang sudah berdebu, buku yang jarang digunakan karena kebanyakan warga menikah di kantor catatan sipil kota. Gadis duduk di tikar pandan dengan wajah pucat pasi, mata sembab merah karena tangisan yang tak henti-henti. Rambutnya yang biasanya rapi ki

  • Simpanan Ayah Sahabatku   Bab 2 – Malam Penghakiman

    Hujan baru saja reda ketika Gadis akhirnya bisa memejamkan mata. Seharian ia kelelahan mengurus Mahen yang masih lemah karena luka-lukanya. Lelaki itu kini terbaring di dipan kayu sederhana dengan tubuh yang sebagian terbalut kain perban seadanya.Suasana hening. Hanya suara jangkrik dari luar jendela yang sesekali terdengar. Gadis menghela napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang masih kacau. Ia belum sempat memikirkan siapa sebenarnya Mahen, dari mana asalnya, atau mengapa ia bisa terluka separah itu. Yang ia tahu hanyalah satu, ia tidak bisa membiarkan seorang manusia mati begitu saja.Baru beberapa menit matanya terpejam, tiba-tiba suara ketukan keras menggema dari pintu depan.Dug! Dug! Dug!“Gadis! Gadis! Buka pintunya sekarang!”Gadis tersentak kaget. Mahen yang masih setengah sadar ikut membuka matanya. Suara ketukan itu begitu keras dan kasar, disertai teriakan yang sudah tidak asing lagi.“Itu… suara Bibi Nimas,” bisik Gadis panik.Mahen menoleh lemah. “Siapa dia?”“

  • Simpanan Ayah Sahabatku   Bab 1 – Pertemuan Senja

    Senja merangkak perlahan di langit desa Karangmulyo. Cahaya emas merembes di antara rimbun dedaunan, menimbulkan bayangan panjang yang bergoyang lembut mengikuti hembusan angin sore. Di tengah keheningan itu, langkah kaki seorang gadis terdengar berderap pelan di tanah berbatu.Gadis menggenggam erat kantong anyaman pandan, warisan terakhir dari ibunya. Di dalamnya tersimpan beras sekarung kecil, beberapa batang kangkung layu, dan sepotong ikan asin yang aromanya menyengat.Ayah dan ibunya telah berpulang tiga tahun lalu karena demam berdarah yang melanda desa. Kini ia hidup sebatang kara di rumah kayu sederhana yang mulai lapuk, namun tetap ia rawat dengan penuh cinta."Harus cepat sampai rumah sebelum gelap," gumamnya sambil mempercepat langkah. Langit mulai berubah warna, dari jingga menjadi ungu kebiruan.Alih-alih mengambil jalan utama yang meski lebih aman namun memakan waktu lebih lama, Gadis memutuskan memotong jalan melalui hutan kecil di belakang bukit. Jalan setapak itu mem

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status