LOGINMalam menua di atas atap rumah sederhana itu. Angin berhembus lembut dari sela dinding, membawa aroma tanah basah dan nyanyian jangkrik yang tiada henti. Langit bersih tanpa awan, tapi suasana di dalam rumah terasa sesak, seperti langit yang menggantungkan hujan di ujung malam.
Sejak pertengkaran siang tadi, Gadis dan Mahen sama-sama diam. Tidak ada suara selain gesekan piring dan sendok, atau langkah kaki pelan yang kadang terdengar dari kamar. Gadis duduk di sudut dapur, memetik bayam sambil menunduk. Mahen duduk di kursi kayu, tak jauh dari sana. Ia berpura-pura sibuk memperbaiki perban di tangannya yang mulai longgar, tapi pikirannya melayang-layang entah ke mana. Tatapannya beberapa kali mencuri pandang ke arah Gadis yang menunduk. Ia ingin bicara, ingin meminta maaf, ingin menjelaskan bahwa tadi siang kata-katanya keluar tanpa pikir panjang. Tapi setiap kali melihat wajah Gadis yang diam dan tenang, lidahnya terasa kelu. "Kenapa aku seperti ini?" pikir Mahen. "Kenapa aku kesal hanya karena dia tersenyum pada lelaki lain? Kenapa dadaku sesak setiap kali mengingatnya menyebut nama Wira dengan suara lembut?" Ia mengusap wajahnya kasar. Tidak, ini bukan sekadar rasa marah. Ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang hangat tapi juga menakutkan. Sementara Gadis, dari sudut matanya, bisa melihat Mahen duduk diam seperti patung. Pria itu tak banyak bicara sejak ia pulang dari ladang sore tadi. Tidak menatapnya, tidak menjawab sapaan, bahkan makan malam pun belum disentuh. Gadis menggigit bibir. Ia ingin menjelaskan segalanya bahwa antara dia dan Wira tidak ada apa-apa, bahwa sejak dulu Wira hanya teman. Tapi setiap kali hendak bicara, suara Mahen yang dingin siang tadi terngiang di kepalanya. “Kau istriku sekarang, Gadis. Kau harus tahu tempatmu.” Kata-kata itu menusuk hati. Bukan karena kerasnya nada, tapi karena Gadis merasa tidak pantas disebut istri, padahal ia tidak pernah benar-benar merasa punya suami. Pernikahan mereka terjadi karena paksaan, bukan karena cinta. Tapi entah kenapa, dalam diam, ia justru takut kehilangan pria itu. Gadis menghela napas. “Aku cuma ingin suasana ini tidak seperti ini,” gumamnya pelan, tapi Mahen tidak mendengar. Beberapa jam berlalu. Langit makin gelap, udara mulai dingin. Gadis menyiapkan makan malam sederhana, nasi hangat, sayur bayam, dan tempe goreng seadanya. Ia menata dua piring di atas meja kayu kecil di ruang tengah. “Mas... sudah malam, makan dulu,” ucapnya pelan, tanpa berani menatap langsung. Mahen menoleh. Matanya terlihat lelah, tapi ada rasa bersalah yang berusaha ia sembunyikan. Ia tidak langsung menjawab, hanya berdiri dan melangkah pelan ke meja makan. Gadis menunduk dalam. Ia duduk di seberang Mahen, tapi suasana di antara mereka terasa kaku. Hanya bunyi sendok yang sesekali beradu dengan piring. Gadis ingin membuka percakapan. Ia ingin menjelaskan semuanya agar tidak ada salah paham. Tapi begitu ia mengangkat wajah, Mahen juga melakukan hal yang sama. Tatapan mereka beradu untuk pertama kalinya sejak siang tadi. Keduanya terdiam. Beberapa detik kemudian, tanpa direncanakan, dua kata meluncur bersamaan dari bibir mereka. “Maaf.” Suara mereka nyaris bertumpuk. Gadis tertegun, begitu pula Mahen. Lalu keduanya tersenyum kaku, malu sendiri. “Kenapa kau minta maaf?” tanya Mahen, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Karena aku membuat Mas Mahen marah,” jawab Gadis jujur. “Aku tidak bermaksud bicara lama dengan Wira. Kami cuma saling menyapa. Aku bahkan tidak tahu kalau dia baru pulang.” Mahen menghela napas panjang. Ia menunduk, jari-jarinya mengetuk pelan meja. “Bukan salahmu. Aku yang harusnya minta maaf duluan.” Gadis menatapnya. “Mas...?” Mahen mengangkat kepala. Di balik sorot matanya yang teduh, ada ketulusan yang baru Gadis lihat malam ini. “Aku terlalu keras padamu tadi siang. Aku tidak punya hak bicara seperti itu. Aku tidak punya hak melarangmu berteman.” “Mas bilang begitu karena marah, kan?” Gadis berusaha tersenyum. “Aku tidak dendam. Aku cuma takut Mas salah paham.” Mahen terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Aku tidak marah karena salah paham, Gadis. Aku marah... karena aku takut kehilanganmu.” Gadis tertegun. Nafasnya tertahan di tenggorokan. “Aku tidak tahu kenapa aku merasa begitu. Tapi saat kulihat kau tersenyum pada lelaki lain, dadaku terasa sesak. Aku tidak ingin siapa pun menatapmu seperti itu.” “Mas...” Gadis nyaris tidak bisa bicara. Ia menunduk, wajahnya memanas. Mahen menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, “Aku tahu ini gila. Kita baru saling mengenal beberapa hari. Pernikahan kita pun tidak terjadi karena cinta, tapi karena keadaan. Tapi aku tidak bisa bohong pada diriku sendiri.” Ia mengulurkan tangan, menyentuh ujung jemari Gadis di atas meja. Sentuhan itu lembut, tapi cukup membuat jantung Gadis berdegup kencang. “Aku mencintaimu, Gadis,” ucap Mahen lirih. “Aku tidak tahu sejak kapan, mungkin sejak malam pertama kau mengobati lukaku tanpa mengeluh. Mungkin sejak kulihat matamu yang jernih, atau caramu menatapku dengan tulus. Tapi aku yakin satu hal, aku jatuh cinta padamu.” Gadis menatap tangan Mahen yang menggenggamnya. Suara di dalam kepalanya seakan berhenti. Hanya degupan jantungnya yang terdengar, keras, menekan dadanya. Ia ingin bicara, tapi kata-katanya tak kunjung keluar. Bibirnya bergetar, matanya memanas. Air mata tanpa sadar menetes jatuh di punggung tangan Mahen. “Kenapa kau menangis?” Mahen buru-buru menyentuh pipinya. “Aku... tidak tahu harus bilang apa,” Gadis tersenyum di sela air matanya. “Aku tidak pernah merasa ada yang mencintaiku seperti ini. Aku tidak pernah mengira ada orang yang ingin menjagaku.” Mahen menatapnya lembut. “Sekarang ada aku.” Gadis menggeleng kecil. “Tapi, Mas... aku tidak pantas. Aku cuma gadis desa yang miskin, tidak punya apa-apa. Bahkan aku tidak bisa memberikan apa pun padamu.” Mahen menatapnya dalam-dalam. “Yang kubutuhkan hanya hatimu, Gadis. Itu sudah lebih dari cukup.” Ucapan itu menghantam hatinya seperti angin hangat yang menerobos malam. Gadis terdiam lama. Lalu pelan-pelan, ia menggenggam tangan Mahen balik. “Kalau begitu... izinkan aku belajar mencintaimu, Mas.” Mahen tersenyum, dan untuk pertama kalinya sejak mereka menikah, senyum itu tulus sepenuhnya. Selesai makan malam, mereka berdua duduk di teras, menatap langit yang bertabur bintang. Mahen bersandar di kursi, sementara Gadis duduk di lantai kayu, menyandarkan kepala di tiang rumah. “Bintang di sini lebih banyak daripada di kota,” gumam Mahen. “Karena di sini langitnya tidak tertutup gedung tinggi,” jawab Gadis pelan. “Aku sering menatap bintang saat merasa sepi. Kadang aku berandai, di antara cahaya itu ada Ayah dan Ibu yang sedang melihatku.” Mahen menoleh, menatap wajahnya dari samping. Ada cahaya redup lampu minyak yang membuat kulit Gadis berkilau lembut. “Sekarang kau tidak sendiri lagi. Kalau kau ingin menatap bintang, aku akan menemanimu.” Gadis menoleh pelan, bibirnya membentuk senyum yang lembut. “Terima kasih, Mas.” Mahen membalas senyumnya, tapi di dalam dadanya, ia bersumpah akan menepati janji itu. Apa pun yang terjadi, ia tidak akan membiarkan Gadis kembali merasa sendirian seperti dulu. Malam itu, tanpa mereka sadari, cinta yang sederhana mulai tumbuh di antara dua hati.Mobil Mahen melaju menembus malam. Lampu-lampu jalan menerangi jalanan yang sepi. Jam menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Rahang Mahen mengeras, tangannya mencengkeram setir dengan kuat. Ia membenci ini. Membenci harus meninggalkan Gadis... istrinya yang cantik, yang sudah menunggunya di ranjang mereka. Membenci harus keluar tengah malam hanya karena panggilan dari wanita itu. Lima belas menit kemudian, mobil berhenti di area parkir Rumah Sakit Permata Husada. Bangunan lima lantai itu masih terang benderang meski sudah larut malam. Mahen turun dari mobil dengan wajah dingin, memasukkan tangan ke saku jaket kulitnya. Ia berjalan dengan langkah cepat memasuki lobby, menuju lift, dan menekan tombol lantai tiga. Ruang rawat inap. Kamar 307. Pintu kamar itu terbuka. Mahen masuk tanpa mengetuk... ia sudah terlalu kesal untuk bersikap sopan. Di ranjang rumah sakit, seorang wanita duduk dengan kaki kiri yang dibalut perban. Mia. Ibu dari Karina. "Mahen!" Wajah Mia langsu
Kamar tidur utama di lantai dua rumah itu hanya diterangi oleh lampu tidur yang redup. Cahayanya yang lembut menciptakan suasana intim, hangat. Aroma lavender dari diffuser menyebar pelan, menenangkan. Gadis berbaring di ranjang king size dengan rambut barunya yang tergerai di atas bantal sutra. Dress peach sudah diganti dengan lingerie tidur berwarna putih gading yang sederhana namun anggun. Jantungnya berdebar... gugup sekaligus penuh antisipasi. Mahen keluar dari kamar mandi dengan handuk masih melingkar di lehernya. Rambut hitamnya yang basah menetes air. Ia hanya mengenakan kaus tanpa lengan dan celana panjang tidur. Otot-otot lengan dan dadanya yang terlatih terlihat jelas di bawah cahaya redup. Mata mereka bertemu. Mahen tersenyum... senyum lembut yang hanya ia tunjukkan pada Gadis. "Belum tidur?" tanyanya sambil mendekati ranjang. "Nungguin Mas." Gadis tersenyum malu. Mahen melempar handuknya ke sofa di sudut ruangan, lalu berbaring di samping istrinya. Tangannya meraih
Mobil Karina berhenti tepat di depan gerbang rumah mewah tempat Gadis tinggal. Gadis turun sambil membawa shopping bag. "Makasih ya, Rin. Udah nganterin." "Sama-sama! Besok aku jemput ya?" teriak Karina sebelum mobilnya melaju pergi. Gadis menarik napas panjang, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar. Ia masih belum terbiasa dengan penampilannya yang baru. Rambutnya yang kini berkilau terasa ringan di pundak, dress peach yang ia kenakan terasa asing namun nyaman. Gerbang otomatis terbuka setelah satpam mengenalinya. Gadis melangkah masuk ke halaman luas dengan taman yang tertata rapi. Pohon-pohon bonsai dan bunga-bunga hias yang dirawat dengan sempurna oleh tukang kebun membuat suasana rumah selalu asri. Pintu utama terbuka. Bi Surti, asisten rumah tangga yang sudah bekerja sejak lama, menyambutnya. "Selamat data..." Bi Surti terhenti. Matanya membulat. "Astaga! Nona Gadis?" "Iya, Bi. Kenapa?" Gadis tersenyum canggung. "Beda banget, Non! Cantik sekali!" Bi Surti bertepu
"Dis, ikut aku yuk!"Gadis baru saja menutup buku ketika Karina muncul dengan wajah berseri-seri. Jam menunjukkan pukul tiga sore, waktu pulang sekolah yang biasanya mereka habiskan dengan langsung pulang ke rumah masing-masing."Kemana?" tanya Gadis sambil merapikan buku-buku di dalam tasnya."Mall. Ada yang mau aku kasih ke kamu," jawab Karina dengan senyum misterius. "Anggap aja hadiah dari sahabat terbaikmu ini."Gadis ragu sejenak. Ia harus pulang, menyiapkan makan malam untuk Mahen. Suaminya pasti sudah lelah setelah seharian bekerja. Tapi tatapan Karina yang berbinar itu sulit untuk ditolak."Cuma bentar kok. Please?" Karina memasang wajah memelas yang berhasil membuat Gadis luluh."Oke, tapi nggak lama ya.""Siap, Bos!"Mereka naik mobil Karina menuju Mall yang jaraknya sekitar dua puluh menit dari sekolah. Sepanjang perjalanan, Karina terus berbicara tentang rencana rahasianya, sementara Gadis hanya mendengarkan sambil sesekali tersenyum.Mall sudah ramai ketika mereka tiba.
Bel istirahat berbunyi nyaring, memecah keheningan kelas yang tengah dilanda rasa kantuk pasca-pelajaran Matematika. Gadis meregangkan tubuhnya yang pegal, lalu menoleh ke arah Karina yang sudah berdiri sambil menenteng dompet. "Gas, perutku udah keroncongan dari tadi," ujar Karina sambil menggandeng lengan Gadis. Mereka berjalan beriringan menuju kantin, seperti biasa. Kemana pun pergi, mereka selalu berdua. Persahabatan mereka terjalin, dan tak pernah ada yang bisa memisahkan keduanya. Kantin sekolah sudah ramai ketika mereka tiba. Aroma mie goreng dan gorengan bercampur jadi satu, membuat perut Gadis ikut berbunyi. Mereka mengantri di depan warung Bu Siti yang terkenal dengan baksonya yang legendaris. "Dua bakso sama es teh manis, Bu," pesan Karina. Gadis mengeluarkan uang dari sakunya, tapi Karina menepis tangannya. "Udah, aku traktir. Kemarin kan kamu yang bayarin." Senyum hangat terukir di wajah Gadis. Ia memang beruntung punya sahabat seperti Karina. Setelah mendapat pes
Kamar Gadis dipenuhi cahaya lembut dari matahari yang mulai condong ke barat. Tirai putih bergoyang pelan diterpa angin dari jendela yang terbuka setengah. Di meja belajar mungilnya, Gadis sedang sibuk menulis di buku tugasnya, keningnya berkerut lucu karena sedang berpikir keras.Pensil di tangannya sudah tumpul. Ia mengetuk ujungnya ke meja berulang kali sambil menggumam kecil.“Aduh... rumusnya susah banget. Kok bisa sih jawabannya malah minus?”Ia mendesah panjang. Beberapa helai rambut jatuh menutupi wajahnya. Gadis mengibaskannya dengan jari, lalu menatap kertas tugas matematika di depannya dengan ekspresi sebal.Meski sudah seharian di sekolah, Gadis masih bersemangat. Semangatnya itu muncul karena ia benar-benar ingin belajar dan membuktikan pada Mahen bahwa dirinya bisa.Namun tetap saja, pelajaran SMA jauh berbeda dengan pelajaran yang dulu sempat ia pelajari di desa.Saat ia sedang serius menulis, terdengar suara langkah kaki di lorong luar kamar. Pelan, tapi berat dan mant







