Home / Romansa / Simpanan Ayah Sahabatku / Bab 6 — Cinta yang Tumbuh Diam-diam

Share

Bab 6 — Cinta yang Tumbuh Diam-diam

Author: Sabira Story
last update Last Updated: 2025-10-16 13:28:44

Malam menua di atas atap rumah sederhana itu. Angin berhembus lembut dari sela dinding, membawa aroma tanah basah dan nyanyian jangkrik yang tiada henti. Langit bersih tanpa awan, tapi suasana di dalam rumah terasa sesak, seperti langit yang menggantungkan hujan di ujung malam.

Sejak pertengkaran siang tadi, Gadis dan Mahen sama-sama diam. Tidak ada suara selain gesekan piring dan sendok, atau langkah kaki pelan yang kadang terdengar dari kamar. Gadis duduk di sudut dapur, memetik bayam sambil menunduk.

Mahen duduk di kursi kayu, tak jauh dari sana. Ia berpura-pura sibuk memperbaiki perban di tangannya yang mulai longgar, tapi pikirannya melayang-layang entah ke mana. Tatapannya beberapa kali mencuri pandang ke arah Gadis yang menunduk.

Ia ingin bicara, ingin meminta maaf, ingin menjelaskan bahwa tadi siang kata-katanya keluar tanpa pikir panjang. Tapi setiap kali melihat wajah Gadis yang diam dan tenang, lidahnya terasa kelu.

"Kenapa aku seperti ini?" pikir Mahen. "Kenapa aku kesal hanya karena dia tersenyum pada lelaki lain? Kenapa dadaku sesak setiap kali mengingatnya menyebut nama Wira dengan suara lembut?"

Ia mengusap wajahnya kasar. Tidak, ini bukan sekadar rasa marah. Ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang hangat tapi juga menakutkan.

Sementara Gadis, dari sudut matanya, bisa melihat Mahen duduk diam seperti patung. Pria itu tak banyak bicara sejak ia pulang dari ladang sore tadi. Tidak menatapnya, tidak menjawab sapaan, bahkan makan malam pun belum disentuh.

Gadis menggigit bibir. Ia ingin menjelaskan segalanya bahwa antara dia dan Wira tidak ada apa-apa, bahwa sejak dulu Wira hanya teman. Tapi setiap kali hendak bicara, suara Mahen yang dingin siang tadi terngiang di kepalanya.

“Kau istriku sekarang, Gadis. Kau harus tahu tempatmu.”

Kata-kata itu menusuk hati. Bukan karena kerasnya nada, tapi karena Gadis merasa tidak pantas disebut istri, padahal ia tidak pernah benar-benar merasa punya suami. Pernikahan mereka terjadi karena paksaan, bukan karena cinta. Tapi entah kenapa, dalam diam, ia justru takut kehilangan pria itu.

Gadis menghela napas. “Aku cuma ingin suasana ini tidak seperti ini,” gumamnya pelan, tapi Mahen tidak mendengar.

Beberapa jam berlalu. Langit makin gelap, udara mulai dingin. Gadis menyiapkan makan malam sederhana, nasi hangat, sayur bayam, dan tempe goreng seadanya. Ia menata dua piring di atas meja kayu kecil di ruang tengah.

“Mas... sudah malam, makan dulu,” ucapnya pelan, tanpa berani menatap langsung.

Mahen menoleh. Matanya terlihat lelah, tapi ada rasa bersalah yang berusaha ia sembunyikan. Ia tidak langsung menjawab, hanya berdiri dan melangkah pelan ke meja makan.

Gadis menunduk dalam. Ia duduk di seberang Mahen, tapi suasana di antara mereka terasa kaku. Hanya bunyi sendok yang sesekali beradu dengan piring.

Gadis ingin membuka percakapan. Ia ingin menjelaskan semuanya agar tidak ada salah paham. Tapi begitu ia mengangkat wajah, Mahen juga melakukan hal yang sama. Tatapan mereka beradu untuk pertama kalinya sejak siang tadi.

Keduanya terdiam.

Beberapa detik kemudian, tanpa direncanakan, dua kata meluncur bersamaan dari bibir mereka.

“Maaf.”

Suara mereka nyaris bertumpuk. Gadis tertegun, begitu pula Mahen. Lalu keduanya tersenyum kaku, malu sendiri.

“Kenapa kau minta maaf?” tanya Mahen, suaranya lebih lembut dari biasanya.

“Karena aku membuat Mas Mahen marah,” jawab Gadis jujur. “Aku tidak bermaksud bicara lama dengan Wira. Kami cuma saling menyapa. Aku bahkan tidak tahu kalau dia baru pulang.”

Mahen menghela napas panjang. Ia menunduk, jari-jarinya mengetuk pelan meja. “Bukan salahmu. Aku yang harusnya minta maaf duluan.”

Gadis menatapnya. “Mas...?”

Mahen mengangkat kepala. Di balik sorot matanya yang teduh, ada ketulusan yang baru Gadis lihat malam ini. “Aku terlalu keras padamu tadi siang. Aku tidak punya hak bicara seperti itu. Aku tidak punya hak melarangmu berteman.”

“Mas bilang begitu karena marah, kan?” Gadis berusaha tersenyum. “Aku tidak dendam. Aku cuma takut Mas salah paham.”

Mahen terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Aku tidak marah karena salah paham, Gadis. Aku marah... karena aku takut kehilanganmu.”

Gadis tertegun. Nafasnya tertahan di tenggorokan.

“Aku tidak tahu kenapa aku merasa begitu. Tapi saat kulihat kau tersenyum pada lelaki lain, dadaku terasa sesak. Aku tidak ingin siapa pun menatapmu seperti itu.”

“Mas...” Gadis nyaris tidak bisa bicara. Ia menunduk, wajahnya memanas.

Mahen menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, “Aku tahu ini gila. Kita baru saling mengenal beberapa hari. Pernikahan kita pun tidak terjadi karena cinta, tapi karena keadaan. Tapi aku tidak bisa bohong pada diriku sendiri.”

Ia mengulurkan tangan, menyentuh ujung jemari Gadis di atas meja. Sentuhan itu lembut, tapi cukup membuat jantung Gadis berdegup kencang.

“Aku mencintaimu, Gadis,” ucap Mahen lirih. “Aku tidak tahu sejak kapan, mungkin sejak malam pertama kau mengobati lukaku tanpa mengeluh. Mungkin sejak kulihat matamu yang jernih, atau caramu menatapku dengan tulus. Tapi aku yakin satu hal, aku jatuh cinta padamu.”

Gadis menatap tangan Mahen yang menggenggamnya. Suara di dalam kepalanya seakan berhenti. Hanya degupan jantungnya yang terdengar, keras, menekan dadanya.

Ia ingin bicara, tapi kata-katanya tak kunjung keluar. Bibirnya bergetar, matanya memanas. Air mata tanpa sadar menetes jatuh di punggung tangan Mahen.

“Kenapa kau menangis?” Mahen buru-buru menyentuh pipinya.

“Aku... tidak tahu harus bilang apa,” Gadis tersenyum di sela air matanya. “Aku tidak pernah merasa ada yang mencintaiku seperti ini. Aku tidak pernah mengira ada orang yang ingin menjagaku.”

Mahen menatapnya lembut. “Sekarang ada aku.”

Gadis menggeleng kecil. “Tapi, Mas... aku tidak pantas. Aku cuma gadis desa yang miskin, tidak punya apa-apa. Bahkan aku tidak bisa memberikan apa pun padamu.”

Mahen menatapnya dalam-dalam. “Yang kubutuhkan hanya hatimu, Gadis. Itu sudah lebih dari cukup.”

Ucapan itu menghantam hatinya seperti angin hangat yang menerobos malam. Gadis terdiam lama. Lalu pelan-pelan, ia menggenggam tangan Mahen balik.

“Kalau begitu... izinkan aku belajar mencintaimu, Mas.”

Mahen tersenyum, dan untuk pertama kalinya sejak mereka menikah, senyum itu tulus sepenuhnya.

Selesai makan malam, mereka berdua duduk di teras, menatap langit yang bertabur bintang. Mahen bersandar di kursi, sementara Gadis duduk di lantai kayu, menyandarkan kepala di tiang rumah.

“Bintang di sini lebih banyak daripada di kota,” gumam Mahen.

“Karena di sini langitnya tidak tertutup gedung tinggi,” jawab Gadis pelan. “Aku sering menatap bintang saat merasa sepi. Kadang aku berandai, di antara cahaya itu ada Ayah dan Ibu yang sedang melihatku.”

Mahen menoleh, menatap wajahnya dari samping. Ada cahaya redup lampu minyak yang membuat kulit Gadis berkilau lembut. “Sekarang kau tidak sendiri lagi. Kalau kau ingin menatap bintang, aku akan menemanimu.”

Gadis menoleh pelan, bibirnya membentuk senyum yang lembut. “Terima kasih, Mas.”

Mahen membalas senyumnya, tapi di dalam dadanya, ia bersumpah akan menepati janji itu. Apa pun yang terjadi, ia tidak akan membiarkan Gadis kembali merasa sendirian seperti dulu.

Malam itu, tanpa mereka sadari, cinta yang sederhana mulai tumbuh di antara dua hati.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Simpanan Ayah Sahabatku   Bab 6 — Cinta yang Tumbuh Diam-diam

    Malam menua di atas atap rumah sederhana itu. Angin berhembus lembut dari sela dinding, membawa aroma tanah basah dan nyanyian jangkrik yang tiada henti. Langit bersih tanpa awan, tapi suasana di dalam rumah terasa sesak, seperti langit yang menggantungkan hujan di ujung malam.Sejak pertengkaran siang tadi, Gadis dan Mahen sama-sama diam. Tidak ada suara selain gesekan piring dan sendok, atau langkah kaki pelan yang kadang terdengar dari kamar. Gadis duduk di sudut dapur, memetik bayam sambil menunduk. Mahen duduk di kursi kayu, tak jauh dari sana. Ia berpura-pura sibuk memperbaiki perban di tangannya yang mulai longgar, tapi pikirannya melayang-layang entah ke mana. Tatapannya beberapa kali mencuri pandang ke arah Gadis yang menunduk.Ia ingin bicara, ingin meminta maaf, ingin menjelaskan bahwa tadi siang kata-katanya keluar tanpa pikir panjang. Tapi setiap kali melihat wajah Gadis yang diam dan tenang, lidahnya terasa kelu."Kenapa aku seperti ini?" pikir Mahen. "Kenapa aku kesal

  • Simpanan Ayah Sahabatku   Bab 5 – Senyum yang Membuat Cemburu

    Matahari sudah mencapai puncaknya ketika Gadis akhirnya melangkah gontai di jalan setapak menuju rumah. Keringat membasahi pelipis dan tengkuknya, pakaian sederhana yang dikenakannya lengket di kulit karena sengatan panas yang menyiksa. Namun bibirnya tetap tersenyum tipis, rasa syukur sederhana yang tak pernah luntur meski hidup keras terus menghadangnya.Di pelukan tangannya, tergenggam beberapa ikat sayur segar hasil jerih payahnya di ladang Pak Warno, bayam hijau mengkilat, kangkung yang masih segar, dan kacang panjang yang panjang-panjang. Pemberian sang pemilik ladang karena ia bekerja ekstra keras hari ini. Setidaknya untuk makan siang dan malam nanti, perut tidak akan keroncongan."Alhamdulillah," bisiknya pelan sambil mengelap keringat dengan punggung tangan. "Mas Mahen pasti sudah menunggu."Hanya menyebut nama itu saja membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ada perasaan aneh yang berkembang di dadanya, sesuatu yang hangat namun membingungkan. Mahen memang masih mi

  • Simpanan Ayah Sahabatku   Bab 4 – Fajar Pertama Bersama

    Embun pagi masih menempel di dedaunan, berkilau seperti permata kecil ketika cahaya rembulan yang tersisa perlahan tergantikan oleh semburat jingga di ufuk timur. Udara desa terasa dingin menusuk tulang, tetapi rumah kecil milik Gadis sudah dipenuhi dengan aroma sedap dari dapur.Sejak sebelum matahari menampakkan wajahnya, Gadis sudah terbangun. Ia tidak pernah punya kebiasaan bermalas-malasan. Hidup sendirian membuatnya terbiasa bekerja keras, mengurus rumah, kerja di ladang, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan tangannya sendiri. Namun pagi ini, hatinya terasa lebih berat dari biasanya. Sebab di kamar kecil di sudut rumahnya, ada seorang pria asing yang semalam resmi menjadi suaminya.“Mas Mahen...” lirihnya menyebut nama itu sambil mengaduk panci kecil berisi bubur jagung sederhana. Masih terasa aneh baginya, mulutnya menyebut nama itu dengan status baru. Bukan sekadar orang yang ditolong, tetapi kini menjadi pasangan hidupnya, meski tanpa perencanaan sedikit pun.Ia menghela

  • Simpanan Ayah Sahabatku   Bab 3 – Mahar Sebuah Janji

    Malam telah merangkul desa Karangmulyo dengan dinginnya yang menusuk tulang. Puluhan obor bambu yang dibakar warga berjajar di halaman rumah Gadis, menciptakan bayangan-bayangan yang bergoyang menakutkan di dinding kayu lapuk. Suara derap kaki, bisikan, dan tawa mengejek bercampur dalam satu alunan yang menyesakkan dada. Hampir seluruh warga desa berkerumun, dari anak-anak yang mengintip di balik kain sarung ibunya, hingga para tetua yang duduk dengan wajah masam. Udara malam yang sejuk berubah menjadi panas menyesakkan karena desakan tubuh manusia dan asap obor yang mengepul. Di tengah kerumunan yang riuh itu, Pak Kades Sutarman duduk di kursi kayu dengan wibawa yang dipaksakan. Di hadapannya, sebuah meja kecil dengan kitab nikah lusuh yang sudah berdebu, buku yang jarang digunakan karena kebanyakan warga menikah di kantor catatan sipil kota. Gadis duduk di tikar pandan dengan wajah pucat pasi, mata sembab merah karena tangisan yang tak henti-henti. Rambutnya yang biasanya rapi ki

  • Simpanan Ayah Sahabatku   Bab 2 – Malam Penghakiman

    Hujan baru saja reda ketika Gadis akhirnya bisa memejamkan mata. Seharian ia kelelahan mengurus Mahen yang masih lemah karena luka-lukanya. Lelaki itu kini terbaring di dipan kayu sederhana dengan tubuh yang sebagian terbalut kain perban seadanya.Suasana hening. Hanya suara jangkrik dari luar jendela yang sesekali terdengar. Gadis menghela napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang masih kacau. Ia belum sempat memikirkan siapa sebenarnya Mahen, dari mana asalnya, atau mengapa ia bisa terluka separah itu. Yang ia tahu hanyalah satu, ia tidak bisa membiarkan seorang manusia mati begitu saja.Baru beberapa menit matanya terpejam, tiba-tiba suara ketukan keras menggema dari pintu depan.Dug! Dug! Dug!“Gadis! Gadis! Buka pintunya sekarang!”Gadis tersentak kaget. Mahen yang masih setengah sadar ikut membuka matanya. Suara ketukan itu begitu keras dan kasar, disertai teriakan yang sudah tidak asing lagi.“Itu… suara Bibi Nimas,” bisik Gadis panik.Mahen menoleh lemah. “Siapa dia?”“

  • Simpanan Ayah Sahabatku   Bab 1 – Pertemuan Senja

    Senja merangkak perlahan di langit desa Karangmulyo. Cahaya emas merembes di antara rimbun dedaunan, menimbulkan bayangan panjang yang bergoyang lembut mengikuti hembusan angin sore. Di tengah keheningan itu, langkah kaki seorang gadis terdengar berderap pelan di tanah berbatu.Gadis menggenggam erat kantong anyaman pandan, warisan terakhir dari ibunya. Di dalamnya tersimpan beras sekarung kecil, beberapa batang kangkung layu, dan sepotong ikan asin yang aromanya menyengat.Ayah dan ibunya telah berpulang tiga tahun lalu karena demam berdarah yang melanda desa. Kini ia hidup sebatang kara di rumah kayu sederhana yang mulai lapuk, namun tetap ia rawat dengan penuh cinta."Harus cepat sampai rumah sebelum gelap," gumamnya sambil mempercepat langkah. Langit mulai berubah warna, dari jingga menjadi ungu kebiruan.Alih-alih mengambil jalan utama yang meski lebih aman namun memakan waktu lebih lama, Gadis memutuskan memotong jalan melalui hutan kecil di belakang bukit. Jalan setapak itu mem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status