Home / Romansa / Simpanan Ayah Sahabatku / Bab 5 – Senyum yang Membuat Cemburu

Share

Bab 5 – Senyum yang Membuat Cemburu

Author: Sabira Story
last update Last Updated: 2025-09-25 13:28:20

Matahari sudah mencapai puncaknya ketika Gadis akhirnya melangkah gontai di jalan setapak menuju rumah. Keringat membasahi pelipis dan tengkuknya, pakaian sederhana yang dikenakannya lengket di kulit karena sengatan panas yang menyiksa. Namun bibirnya tetap tersenyum tipis, rasa syukur sederhana yang tak pernah luntur meski hidup keras terus menghadangnya.

Di pelukan tangannya, tergenggam beberapa ikat sayur segar hasil jerih payahnya di ladang Pak Warno, bayam hijau mengkilat, kangkung yang masih segar, dan kacang panjang yang panjang-panjang. Pemberian sang pemilik ladang karena ia bekerja ekstra keras hari ini. Setidaknya untuk makan siang dan malam nanti, perut tidak akan keroncongan.

"Alhamdulillah," bisiknya pelan sambil mengelap keringat dengan punggung tangan. "Mas Mahen pasti sudah menunggu."

Hanya menyebut nama itu saja membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ada perasaan aneh yang berkembang di dadanya, sesuatu yang hangat namun membingungkan. Mahen memang masih misterius, tapi cara pria itu melindunginya dari cacian warga membuat hatinya tersentuh.

Ketika rumah kayunya yang sederhana sudah tampak di ujung jalan, Gadis melihat sosok yang membuatnya tersenyum lebar. Mahen berdiri tegak di teras depan, menyandar di tiang kayu dengan pakaian pinjaman almarhum ayahnya yang sedikit kebesaran. Meski masih pucat dan balutan luka di perutnya terlihat, postur tubuhnya memancarkan kewaspadaan seperti seorang penjaga yang setia.

Mata mereka bertemu dari kejauhan. Mahen mengangkat tangannya, melambai kecil dengan senyum tipis yang jarang ia tunjukkan. Gadis melambaikan tangan sayur-sayurannya sebagai balasan, langkahnya otomatis menjadi lebih ringan.

Tapi sebelum ia sempat berlari kecil menghampiri suaminya, sebuah suara familiar menghentikannya di tengah jalan.

"Gadis! Gadis, tunggu!"

Ia menoleh ke belakang, matanya membelalak terkejut. Seorang pemuda berlari terengah-engah menghampirinya dari arah pasar. Kulitnya sawo matang, tingginya sedang dengan badan yang kurus namun berotot. Wajahnya tampan dengan cara yang sederhana, mata jernih, hidung mancung, dan senyum yang hangat.

"Wira?" Gadis hampir menjatuhkan sayur-sayurannya karena terkejut. "Ya Allah, sejak kapan kau pulang? Bukannya kau masih sekolah di Yogyakarta?"

Wira tiba di hadapannya dengan napas terengah-engah, keringat membasahi kemeja kotaknya. Senyumnya mengembang lebar, senyum yang dulu selalu membuat Gadis merasa nyaman dan aman.

"Kemarin malam aku sampai. Langsung tidur di rumah Ibu karena kelelahan perjalanan," katanya sambil mengusap keringat. "Tapi pagi ini aku dengar kabar yang... mengejutkan tentangmu."

Wajah Gadis memerah, dadanya tiba-tiba berdesir tidak nyaman. "Kabar apa?"

"Tentang pernikahanmu." Suara Wira melemah, senyumnya memudar. Ada sorot mata yang terluka di sana, meski ia berusaha menyembunyikannya. "Benarkah kau sudah menikah, Gadis? Dengan orang yang tidak kita kenal?"

Pertanyaan itu seperti tamparan halus yang membuat Gadis menunduk. Ia merasa berat menjelaskan situasi yang rumit itu. "Itu... bukan sesuatu yang aku rencanakan atau bahkan aku impikan, Wira. Keadaannya... rumit. Aku tidak punya pilihan lain."

Dari kejauhan, Mahen mengamati percakapan itu dengan tatapan yang semakin mengeras. Setiap detik Gadis tersenyum pada pemuda asing itu membuat sesuatu yang panas dan tidak nyaman bergolak di dadanya. Tangannya yang sedang bersandar di tiang kayu mengepal kuat, rahangnya mengencang.

"Siapa pria itu?" gumamnya dengan suara rendah yang berbahaya. "Dan kenapa aku merasa ingin menghampiri dan menarik Gadis menjauh dari sana?"

Perasaan yang tidak pernah ia alami sebelumnya itu bernama cemburu, meski Mahen belum menyadari sepenuhnya.

Sementara itu, Wira melangkah sedikit lebih dekat pada Gadis, matanya menatap wajah gadis yang sudah ia cintai sejak kecil itu dengan pandangan yang dalam.

"Gadis, kau tahu kan... selama ini aku tidak pernah menganggapmu hanya sebagai teman masa kecil," katanya dengan suara bergetar. "Aku sekolah, aku bekerja paruh waktu, semuanya karena aku ingin punya masa depan yang layak untuk... untuk kita berdua."

Gadis tersentak, hatinya berdebar kencang. "Wira..."

"Aku tahu ini terlambat, tapi aku ingin bilang bahwa aku mencintaimu, Gadis. Sejak kita kecil, sejak pertama kali kau berbagi bekal nasimu denganku ketika aku tidak punya uang jajan. Sejak kau menangis saat aku harus pindah ke kota untuk sekolah. Sejak..."

"GADIS!" Suara Mahen memotong ucapan Wira seperti guntur di siang hari.

Semua mata menoleh. Mahen berjalan cepat menghampiri mereka, meski setiap langkahnya terlihat sedikit tertatih karena luka yang belum sembuh total. Wajahnya gelap, mata hitamnya menyala dengan emosi yang sulit diartikan.

"Mas Mahen!" Gadis terkejut melihat ekspresi suaminya yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. "Kenapa keluar? Luka Mas belum..."

"Kenapa kau lama sekali?" potong Mahen, suaranya dingin. Ia berdiri tepat di samping Gadis, posisinya protektif sekaligus posesif. Matanya menatap Wira dengan tatapan yang tidak ramah.

Wira menelan ludah, merasakan aura berbahaya dari pria asing di hadapannya. "Jadi... dia yang menikah denganmu?" tanyanya pada Gadis dengan suara yang hampir berbisik.

Gadis mengangguk pelan, wajahnya memerah. "Iya, Wira. Ini suamiku... Mas Mahen."

Keheningan tegang menyelimuti mereka bertiga. Angin siang berhembus kencang, mengangkat debu jalan dan membuat daun-daun bergesek dengan suara yang menyeramkan. Wira menatap Mahen dengan pandangan campuran terluka dan penasaran, sementara Mahen membalas tatapan itu dengan kewaspadaan tingkat tinggi.

"Jadi semua impianku... sudah terlambat," bisik Wira dengan senyum pahit. "Aku kira masih ada waktu untuk memberitahumu tentang perasaanku."

"Wira, aku..."

"Tidak apa-apa," Wira mengangkat tangannya, menghentikan kata-kata Gadis. "Mungkin memang ini yang terbaik. Yang penting kau bahagia, Gadis."

Mahen yang mendengar percakapan itu semakin tidak nyaman. Ada sesuatu dalam cara Wira menatap Gadis, terlalu lembut, terlalu dalam, terlalu... intim. Itu membuat dadanya sesak dengan emosi yang tidak ia mengerti.

"Kalau begitu aku pamit dulu," lanjut Wira sambil menatap Gadis dengan pandangan yang penuh makna. "Tapi ingat, Gadis. Kalau kau butuh bantuan apa pun, kau tahu di mana harus mencari. Aku akan selalu ada untukmu."

Kalimat terakhir itu diucapkan dengan nada yang sengaja keras, seolah Wira ingin memastikan Mahen mendengarnya juga.

Gadis mengangguk. "Terima kasih, Wira. Aku akan mengingatnya."

Begitu Wira berjalan menjauh, Mahen langsung menarik lengan Gadis dengan agak kasar. "Masuk ke dalam. Sekarang."

"Tapi, Mas Mahen..."

"Sekarang!" suaranya lebih keras, membuat Gadis tersentak.

Di dalam rumah, suasana menjadi sangat tegang. Mahen mondar-mandir dengan wajah gelap, sementara Gadis meletakkan sayur-sayurannya dengan tangan bergetar.

"Siapa pria itu?" tanya Mahen dengan suara rendah yang mengancam.

"Wira itu teman masa kecilku. Dia baru pulang dari..."

"Teman?" Mahen berbalik cepat, matanya menyala. "Teman tidak menatap istri orang dengan mata seperti itu! Teman tidak mengatakan 'akan selalu ada untukmu' dengan nada seolah-olah siap merebut kau dariku kapan saja!"

Gadis terkejut dengan amarah Mahen. "Mas Mahen salah paham! Wira itu orang baik, dia tidak akan..."

"Tidak akan apa? Tidak akan mencoba merebut kau dariku?" Mahen melangkah mendekat, suaranya semakin berbahaya. "Aku melihat cara dia menatapmu, Gadis. Mata pria yang jatuh cinta. Dan yang lebih membuatku marah adalah... kau terlihat senang melihatnya."

Wajah Gadis memanas, bukan karena malu tetapi karena kesal. "Aku cuma senang bertemu teman lama! Kenapa Mas berpikiran seperti itu?"

"Karena kau istriku!" Mahen setengah berteriak, emosinya meledak. "Kau milikku, Gadis! Dan aku tidak suka melihat pria lain menatapmu seperti itu!"

Pernyataan posesif itu membuat Gadis terdiam, matanya membelalak. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi lain dari Mahen, sisi yang gelap, intens, dan... cemburu?

Mahen sendiri terkejut dengan kata-katanya sendiri. Ia tidak pernah merasa seposesif ini pada siapa pun. Tapi melihat Gadis tersenyum pada pria lain membuat sesuatu yang primitif dan berbahaya bangkit dalam dirinya.

"Kenapa aku merasa begini?" bisiknya, lebih pada dirinya sendiri. "Kenapa melihatmu dengan pria lain membuat dadaku sesak dan sakit seperti ini?"

Gadis menatap wajah Mahen yang penuh konflik internal itu. Perlahan, ia mengerti. Suaminya yang misterius ini... sedang cemburu. Dan entah kenapa, itu membuat hatinya berdesir dengan perasaan yang tidak bisa ia definisikan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Simpanan Ayah Sahabatku   Bab 6 — Cinta yang Tumbuh Diam-diam

    Malam menua di atas atap rumah sederhana itu. Angin berhembus lembut dari sela dinding, membawa aroma tanah basah dan nyanyian jangkrik yang tiada henti. Langit bersih tanpa awan, tapi suasana di dalam rumah terasa sesak, seperti langit yang menggantungkan hujan di ujung malam.Sejak pertengkaran siang tadi, Gadis dan Mahen sama-sama diam. Tidak ada suara selain gesekan piring dan sendok, atau langkah kaki pelan yang kadang terdengar dari kamar. Gadis duduk di sudut dapur, memetik bayam sambil menunduk. Mahen duduk di kursi kayu, tak jauh dari sana. Ia berpura-pura sibuk memperbaiki perban di tangannya yang mulai longgar, tapi pikirannya melayang-layang entah ke mana. Tatapannya beberapa kali mencuri pandang ke arah Gadis yang menunduk.Ia ingin bicara, ingin meminta maaf, ingin menjelaskan bahwa tadi siang kata-katanya keluar tanpa pikir panjang. Tapi setiap kali melihat wajah Gadis yang diam dan tenang, lidahnya terasa kelu."Kenapa aku seperti ini?" pikir Mahen. "Kenapa aku kesal

  • Simpanan Ayah Sahabatku   Bab 5 – Senyum yang Membuat Cemburu

    Matahari sudah mencapai puncaknya ketika Gadis akhirnya melangkah gontai di jalan setapak menuju rumah. Keringat membasahi pelipis dan tengkuknya, pakaian sederhana yang dikenakannya lengket di kulit karena sengatan panas yang menyiksa. Namun bibirnya tetap tersenyum tipis, rasa syukur sederhana yang tak pernah luntur meski hidup keras terus menghadangnya.Di pelukan tangannya, tergenggam beberapa ikat sayur segar hasil jerih payahnya di ladang Pak Warno, bayam hijau mengkilat, kangkung yang masih segar, dan kacang panjang yang panjang-panjang. Pemberian sang pemilik ladang karena ia bekerja ekstra keras hari ini. Setidaknya untuk makan siang dan malam nanti, perut tidak akan keroncongan."Alhamdulillah," bisiknya pelan sambil mengelap keringat dengan punggung tangan. "Mas Mahen pasti sudah menunggu."Hanya menyebut nama itu saja membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ada perasaan aneh yang berkembang di dadanya, sesuatu yang hangat namun membingungkan. Mahen memang masih mi

  • Simpanan Ayah Sahabatku   Bab 4 – Fajar Pertama Bersama

    Embun pagi masih menempel di dedaunan, berkilau seperti permata kecil ketika cahaya rembulan yang tersisa perlahan tergantikan oleh semburat jingga di ufuk timur. Udara desa terasa dingin menusuk tulang, tetapi rumah kecil milik Gadis sudah dipenuhi dengan aroma sedap dari dapur.Sejak sebelum matahari menampakkan wajahnya, Gadis sudah terbangun. Ia tidak pernah punya kebiasaan bermalas-malasan. Hidup sendirian membuatnya terbiasa bekerja keras, mengurus rumah, kerja di ladang, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan tangannya sendiri. Namun pagi ini, hatinya terasa lebih berat dari biasanya. Sebab di kamar kecil di sudut rumahnya, ada seorang pria asing yang semalam resmi menjadi suaminya.“Mas Mahen...” lirihnya menyebut nama itu sambil mengaduk panci kecil berisi bubur jagung sederhana. Masih terasa aneh baginya, mulutnya menyebut nama itu dengan status baru. Bukan sekadar orang yang ditolong, tetapi kini menjadi pasangan hidupnya, meski tanpa perencanaan sedikit pun.Ia menghela

  • Simpanan Ayah Sahabatku   Bab 3 – Mahar Sebuah Janji

    Malam telah merangkul desa Karangmulyo dengan dinginnya yang menusuk tulang. Puluhan obor bambu yang dibakar warga berjajar di halaman rumah Gadis, menciptakan bayangan-bayangan yang bergoyang menakutkan di dinding kayu lapuk. Suara derap kaki, bisikan, dan tawa mengejek bercampur dalam satu alunan yang menyesakkan dada. Hampir seluruh warga desa berkerumun, dari anak-anak yang mengintip di balik kain sarung ibunya, hingga para tetua yang duduk dengan wajah masam. Udara malam yang sejuk berubah menjadi panas menyesakkan karena desakan tubuh manusia dan asap obor yang mengepul. Di tengah kerumunan yang riuh itu, Pak Kades Sutarman duduk di kursi kayu dengan wibawa yang dipaksakan. Di hadapannya, sebuah meja kecil dengan kitab nikah lusuh yang sudah berdebu, buku yang jarang digunakan karena kebanyakan warga menikah di kantor catatan sipil kota. Gadis duduk di tikar pandan dengan wajah pucat pasi, mata sembab merah karena tangisan yang tak henti-henti. Rambutnya yang biasanya rapi ki

  • Simpanan Ayah Sahabatku   Bab 2 – Malam Penghakiman

    Hujan baru saja reda ketika Gadis akhirnya bisa memejamkan mata. Seharian ia kelelahan mengurus Mahen yang masih lemah karena luka-lukanya. Lelaki itu kini terbaring di dipan kayu sederhana dengan tubuh yang sebagian terbalut kain perban seadanya.Suasana hening. Hanya suara jangkrik dari luar jendela yang sesekali terdengar. Gadis menghela napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang masih kacau. Ia belum sempat memikirkan siapa sebenarnya Mahen, dari mana asalnya, atau mengapa ia bisa terluka separah itu. Yang ia tahu hanyalah satu, ia tidak bisa membiarkan seorang manusia mati begitu saja.Baru beberapa menit matanya terpejam, tiba-tiba suara ketukan keras menggema dari pintu depan.Dug! Dug! Dug!“Gadis! Gadis! Buka pintunya sekarang!”Gadis tersentak kaget. Mahen yang masih setengah sadar ikut membuka matanya. Suara ketukan itu begitu keras dan kasar, disertai teriakan yang sudah tidak asing lagi.“Itu… suara Bibi Nimas,” bisik Gadis panik.Mahen menoleh lemah. “Siapa dia?”“

  • Simpanan Ayah Sahabatku   Bab 1 – Pertemuan Senja

    Senja merangkak perlahan di langit desa Karangmulyo. Cahaya emas merembes di antara rimbun dedaunan, menimbulkan bayangan panjang yang bergoyang lembut mengikuti hembusan angin sore. Di tengah keheningan itu, langkah kaki seorang gadis terdengar berderap pelan di tanah berbatu.Gadis menggenggam erat kantong anyaman pandan, warisan terakhir dari ibunya. Di dalamnya tersimpan beras sekarung kecil, beberapa batang kangkung layu, dan sepotong ikan asin yang aromanya menyengat.Ayah dan ibunya telah berpulang tiga tahun lalu karena demam berdarah yang melanda desa. Kini ia hidup sebatang kara di rumah kayu sederhana yang mulai lapuk, namun tetap ia rawat dengan penuh cinta."Harus cepat sampai rumah sebelum gelap," gumamnya sambil mempercepat langkah. Langit mulai berubah warna, dari jingga menjadi ungu kebiruan.Alih-alih mengambil jalan utama yang meski lebih aman namun memakan waktu lebih lama, Gadis memutuskan memotong jalan melalui hutan kecil di belakang bukit. Jalan setapak itu mem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status